Mualaf Ku Khie Fung mendapat Islam agama paling masuk akal.
Ku Khie Fung masih mengingat betul masa ketika dia merasa terpuruk dan berada di titik nadir hidup. Suka cita masa remajanya seakan sirna begitu saja, begitu sang ayah meninggal dunia apda 1987.
“Sejak papa meninggal, perekonomian kami seluruhnya dibantu keluarga besar,“ ujar lelaki keturunan Tionghoa itu saat menuturkan kisah hidupnya, sebagaimana dikutip dari arsip Harian Republika.
A Fung demikian sapaan akrabnya, seakan-akan tak lagi memiliki tujuan hidup. Satu hal yang pasti. Dia, saudara-saudara kandungnya, serta ibunya sendiri tak mungkin terus bergantung pada keluarga besar ataupun jamaat kelenteng dan gereja terdekat.
Anak kedua dari tiga bersaudara itu nyaris frustrasi dalam menghadapi tantangan hidup. A Fung waktu merasa, keluarga besar dan teman-temannya tak cukup menguatkannya secara psikis. Kebimbangan itu terus menghantuinya hingga beberapa bulan setelah meninggalnya sang ayah.
Untuk menghormati ayahnya, lanjut A Fung, banyak keluarga yang berdatangan ke rumahnya. Di antara mereka adalah adik ibunya yang saat itu telah menjadi Muslim. Peringatan itu terjadi pada Desember 1987. A Fung mengaku, masih ingat betul pamannya dengan sengaja menduduki meja sesajen untuk ayahnya.
“Saya marah besar kepada paman saya saat itu karena, bagi saya, ayah merupakan orang yang paling dihormati kami sekeluarga. Menduduki meja tersebut sama seperti menghina ayah saya,” ujar dia.
Pamannya kemudian memperdebatkan masalah ini. Dia menyarankan A Fung untuk berpikir dengan kepala dingin. Apalagi, pemuda itu sudah dianggap sebagai orang yang berpendidikan.
Hingga acara peringatan itu usai, wajah kekesalan belum mereda. Pamannya itu pun lantas memberikan kepada A Fung sebuah buku tentang perbandingan agama. Barulah kemudian ida pamit pulang.
Awalnya, A Fung sekadar melihat-lihat sampul buku tersebut. Namun, lama-kelamaan, timbul minatnya untuk membaca pemberian sang paman. Akhirnya, dia menemukan suatu pemikiran yang membuka kesadarannya.
A Fung lantas bertanya kepada seorang pendeta yang selama ini membimbingnya. Namun, jawaban yang dia terima tidak dapat memuaskan rasa penasarannya. Justru, dia semakin tertarik dengan Islam, yakni agama yang dipeluk pamannya itu. Kebetulan, rumahnya di bilangan Pagarasih, Bandung, dekat dengan sebuah masjid.
“Saya kemudian dipertemukan dengan seorang ustadz, namanya Ustaz Ahmad Ilyas Arifin atau Ustadz Asep saya biasa menyapanya. Dia merupakan seorang pegawai Departemen Agama dan sarjana perbandingan agama. Dari dialah saya mendapatkan penjelasan tentang keyakinan dan agama. Ini begitu masuk akal,” tutur dia.
Sejak akrab dengan Ustadz Asep, A Fung kian mempelajari Islam. Tak jarang, dia melontarkan banyak pertanyaan kepada guru agama tersebut. Bagaimanapun, tak sekalipun A Fung menemukan titik kelemahan dalam ajaran Islam.
Pada 12 Januari 1988 A Fung telah meyakini dirinya siap memeluk Islam. Dia mengucapkan dua kalimat syahadat di masjid binaan organisasi Persatuan Islam (Persis) di daerah Penjagalan, Bandung, Jawa Barat. Setelah resmi menjadi seorang Muslim, A Fung mendapatkan nama baru Islam yakni Muhammad Syarief Abdurrahman.
A Fung menuturkan, waktu itu, dirinya belum berani untuk menyatakan secara terbuka keislamannya kepada keluarga besarnya. Sebab, dia masih khawatir mereka akan menghentikan sokongan ekonomi yang selama ini diterimanya secara rutin jika kabar itu diketahui. Apalagi, dia dan saudara- saudaranya memerlukan biaya untuk hidup sehari-hari dan sekolah.
Namun, kebimbangan itu tak lama dibiarkan. A Fung dan keluarganya yang sudah memeluk Islam akhirnya memutuskan untuk mengmumkan keyakinan barunya itu kepada mereka.
“Sekitar 1991-1992, saya dan keluarga sempat mengalami kegelisahan. Saat itu, ibu dan adik perempuan saya juga sudah Muslim. Kami bermusyawarah untuk terbuka mengenai agama kami,” ujar dia.
A Fung menguatkan diri dan keluarganya sesama Muslim. Baginya, kebenaran seharusnya tidak dibiarkan sembunyi-sembunyi seperti halnya menjalani sebuah kebatilan. Dia ingat, pertama kali keluarga besar mengetahuinya sebagai Muslim adalah ketika dirinya membelikan sebuah jilbab untuk ibunya.
Semua terang-benderang setelah ibunya mengenakan jilbab saat bertemu dengan mereka. A Fung ingat, yang pertama kali ibu dan saudarasaudaranya terima dari mereka adalah ujaran intimidatif. Bagaimanapun, A Fung, ibu, dan adik perempuannya tetap bertahan. Sebab, ketiganya sudah bersungguh-sungguh sebagai Muslim.
Sejak saat itu, A Fung dan saudaranya terus bertungkus-lumus untuk mencari nafkah. Dia mulai berjualan apa pun asalkan itu halal, termasuk menjajakan roti sobek dan buah-buahan. A”lhamdulillah, Allah Mahamenolong. Perekonomian keluarga kami kembali bangkit,” kenang dia.
A Fung kemudian meneruskan kuliah di Universitas Bandung. Dia mengambil jurusan Perbandingan Agama. Pada 1997 dia memutuskan menikah. Hingga kini, dia dan istri telah dikaruniai dua orang anak.
Kehidupannya sebagai Muslim kerap dilalui dengan ujian. Suatu ketika, A Fung memutuskan untuk berhenti dari pekerjaannya.
Dia memilih fokus berdakwah. Suatu hari, anaknya membutuhkan susu. Namun, uang yang dimilikinya hanya tersisa Rp 20 ribu, padahal harga susu saat itu mencapai Rp 47 ribu.
Kebetulan, kenangnya, saat itu menjelang sholat Jumat. Namanya sudah banyak dikenal sebagai pengisi berbagai kajian keislaman. A Fung pada hari itu kemudian dihubungi pihak masjid untuk mengisi khutbah Jumat.
Dalam hati, berpikir akan mendapat balasan dari khutbah Jumat. Ternyata, setelah sampai di masjid tersebut bukan aku yang dipanggil. “Ini bukan salah panitia, tetapi aku yang salah lokasi. Jadi, bukannya uang Rp 20 ribu bertambah, justru berkurang,” kata A Fung.
Sampai di rumah, dia pun bercerita kepada istrinya. Tersadarlah dirinya. Dia merasa, peristiwa itu adalah teguran dari Allah SWT. Sebab, niat dakwahnya sudah berbeda, tak lagi lillahi Ta’ala. Dia menyadari, berdakwah tidak boleh dijadikan sebagai sumber penghasilan.
A Fung memiliki filosofi tersendiri dalam dunia dakwah. Menurut dia, seorang dai bagaikan melihat laut yang indah, tetapi hanya dari pinggir pantai. Dai belum sampai menikmati keindahan laut di kedalamannya. Untuk yang sudah mampu menyelam, mereka pasti dapat memegang mutiara yang indah di dasar lautan. Seperti itulah kira-kira dalam mempelajari Islam, simpul A Fung.
Kini, namanya dikenal sebagai pemuka Masjid Lao Tse Kota Bandung, Jawa Barat. Sudah tujuh tahun aktif memimpin takmir masjid tersebut. Sekitar 40 orang sudah dibimbingnya selama ini untuk menjadi mualaf. Sebagian besar mereka adalah orang keturunan Tionghoa.