Penggunaan cacing untuk pengobatan dan kecantikan merupakan salah satu metode kuno yang banyak dipergunakan dalam sejarah peradaban manusia. Tak terkecuali di dunia kecantikan modern. Ekstrak cacing ternyata juga menjadi salah satu bahan penting yang tak pernah dilewatkan.
Seperti apakah penggunaan cacing dalam kosmetik? Direktur Halal Centre Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada (UGM), Ir Nanung Danar Dono menjelaskan, ada tiga macam pigmen cacing yang harus diperhatikan. Pertama, pigmen darah yang berwarna merah, berwarna hijau dan tidak berwarna. Yang berwarna hijau merupakan jenis pigmen yang bisa menyala di kegelapan, yang ternyata telah digunakan ahli-ahli kosmetik di Jepang untuk lipstik.
Lipstik yang menggunakan bahan itu biasanya biasa saja ketika dipakai, tapi terlihat sangat menarik dari kejauhan atau kegelapan. Terkait hukumnya, Nanung merasa harus disesuaikan kepada masing-masing orang.
“Ini kaidah fikih, ulama berpendapat kalau kita jijik terhadap cacing kita tidak boleh menggunakan itu,” kata ujar Nanung yang juga auditor halal LPPOM Majelis Ulama Indonesia (MUI) DIY itu saat mengisi Kajian Halal Class di Masjid Suciati Saliman, Rabu (21/11).
Salah satu rujukan yang dapat digunakan tidak lain hadis yang diriwayatkan Anas bin Malik tentang Khalid bin Walid yang disuguhkan daging dhab. Nanung berpendapat, kisah itu bisa menguatkan pemahaman terkait kasus di atas.
Menurut Nanung, ada memang hewan-hewan yang tidak masalah untuk dimakan, tapi haram dimakan jika kita merasa jijik terhadapnya. Kondisi itu dirasa bisa jadi panduan terhadap kandungan seperti pigmen cacing yang menjadi bahan kosmetik.
Lantas bagaimana dengan pendangan fikih terhadap penggunaan ekstrak cacing dalam kosmetik? Menurut Mazhab Syafii, hukum mengonsumsi cacing dan menggunakan ekstraknya tidak diperbolehkan. Pengharaman ini kembali kepada fakta bahwa, cacing termasuk binatang yang menjijikkan (khabaits). “Dan Allah menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk.” (QS al A’raf: 157).
Sementara, menurut Mazhab Maliki, konsumsi cacing hukum dasarnya adalah halal. Namun, konsumsi ini tidak boleh jika ada unsur yang membahayakan.
Fatwa MUI yang dirilis pada tahun 2000 menyebutkan, terdapat dua pandangan hukum terkait dengan mengonsumi atau menggunakan ekstrak cacing. Pendapat Imam Malik, Ibn Abi Laila, dan al-Auza’i menghalalkan memakan cacing sepanjang bermanfaat dan tidak membahayakan. Namun, ada pula yang mengaramkan konsumsi cacing, seperti Imam Syafi’i.
Dalam fatwa MUI itu juga disinggung hukum membudidayakan cacing untuk diambil manfaatnya, tidak untuk dimakan. Aktivitas tersebut dinyatakan tidak bertentangan dengan hukum Islam.