Sekitar abad kedua hijriah terdapat seorang sufi kenamaan yang memiliki nama lengkap Abu Muhammad Sahal bin Abdullah bin Yunus bin ‘Isa bin Abdullah bin Rafi‘ At-Tustari. Keistimewan beliau memang sudah tampak sejak beliau masuk berusia remaja. Sehingga tidak aneh apabila beliau disebut dikenal oleh ulama sezamannya, seperti Khalid bin Muhammad bin Sawar, Dzun Nun al-Mishri, dan lain sebagainya. Terdapat kisah teladan dari beliau tentang bagaimana cara untuk tidak menyakiti tetangga, meski tetangga itu ialah seorang yang berbeda agama. Kisah ini terdokumentasikan dalam kitab Al-Kabair karya Imam Abu Abdillah Muhammad adz-Dzahabi. Disebutkan bahwa Syekh Sahal at-Tustari memiliki tetangga Majusi, yakni agama yang terkenal dengan ajaran menyembah api.
Adapun rumah tetangga yang dimaksud itu berada di atas tempat tinggal Sang Sufi. Bahkan tempat pembuangan kotoran milik tetangga Majusi itu tepat berada di atas salah satu ruangan dari rumah Sang Sufi. Namun nahas, tempat pembuangan bocor hingga mengotori rumah At-Tustari. Meskin demikian, At-Tustari tak memberitahukan akan hal yang menimpanya kepada pemilik rumah, dengan alasan tak ingin menyakiti tetangganya.
Yang beliau lakukan justru menaruh ember tepat di bawah tempat jatuhnya kotoran supaya tak mengotori kediamannya. Kemudian beliau membuang kotoran yang telah terkumpul dalam ember tersebut pada malam harinya, supaya tak ada seorang pun yang melihat apa yang terjadi, terlebih supaya tetangganya yang Majusi tak melihat kesusahannya. Kejadian tersebut terus terulang setiap harinya dan berlangsung sangat lama.
Jangka waktu terjadinya peristiwa tersebut ditaksir mencapai hingga puluhan tahun. Sebagaimana keterangan dalam kitab Is’ad ar-Rafiq Wa Bughyah ash-Shadiq karya Habib Abdullah bin Husein bin Thahir Ba’alawi, dijelaskan bahwa selama puluhan tahun seorang tokoh sufi bernama Sahal at-Tustari memiliki hubungan baik dengan dengan tetangganya yang beragama Majusi. Kebaikan hubungan keduanya dapat dilihat dari perilaku saling berbagi makanan yang dilakukan keduanya tatkala hari raya tiba.
Ketika Sahal at-Tustari sudah tua dan merasa ajalnya akan segera tiba, ia sengaja mengundang tetangganya yang beragama Majusi untuk datang ke kediamannya. Begitu yang diundang telah datang, At-Tustari lantas meminta tetangganya itu untuk masuk ke dalam rumah At-Tustari dan melihat apa yang terjadi di dalam kediaman beliau.
Ketika tetangga Majusi itu telah masuk ke dalam rumah At-Tustari, ia melihat adanya air dan kotoran yang menetes dari atas dan di bawahnya terdapat ember untuk menampung tetesan kotoran itu. Tetangga itu pun menanyakan tentang apa yang dilihatnya kepada At-Tustari.
Sang Sufi lantas memberikan penjelasan atas yang dilihat tetangganya, berikut alasan mengapa ia diundang. At-Tustari berkata, “Ini sudah terjadi sangat lama. Kotoran dari rumahmu jatuh ke rumah ini. Yang aku lakukan ialah meletakkan ember ini ketika siang hari dan aku membuangnya ketia malam hari. Andai bukan karena ajalku akan segera datang, juga bukan karena kekhawatiranku akan akhlak orang yang menggantikanku menempati rumah ini, maka tidak akan kuberitahukan kepadamu apa yang terjadi dan kubiarkan tetap terjadi sebagaimana yang engkau lihat.”
Tetangga beragama Majusi pun terperangah setelah mendengar penjelasan At-Tustari. Ia terheran, bagaimana bisa seorang manusia mampu menahan kesusahan yang tak dibuat oleh dirinya sendiri selama itu. Ia juga kagum dengan akhlak orang Islam yang senantiasa berbuat baik kepada tetangganya, meski dengan latar belakang agama berbeda.
Mendengar penuturan At-Tustari, tetangga Majusi pun berkata, “Wahai Syekh, engkau telah berlaku sebaik itu kepadaku dalam jangka waktu yang sangat lama, sedangkan aku masih saja bertahan dalam kekufuranku? Julurkanlah tanganmu, kunyatakan bahwa, aku bersaksi sesungguhnya tiada Tuhan yang berhak disembah selain Allah, dan aku bersaksi sesungguhnya Muhammad adalah utusan Allah.”
Tidak lama setelah kejadian tersebut, wafaflah Sahal bin Abdillah at-Tustari setelah menjadi saksi atas syahadat tetangganya yang sebelumnya beragama Majusi. Dalam kitab Ath-Thabaqah al-Kubra karya Abdul Wahhab asy-Sya’rani, disebutkan bahwa At-Tustari wafat sekitar tahun 283 H.
Berdasar kisah di atas, dapat diambil pelajaran bahwa perilaku yang baik akan membuahkan hasil yang baik. Kebaikan At-Tustari di atas tentu selaras dengan yang diajarkan Nabi Muhammad supaya selalu bersikap baik kepada semua orang, khususnya tetangga. Petunjuk Allah yang diberikan lewat kebaikan akhlak At-Tustari juga mampu menjadikan seseorang yang puluhan tahun berada dalam kekufuran, berubah menjadi orang yang mengesakan Allah Swt. Wallahu a’lam bish shawab.