Perempuan Memakai Wewangian di Ruang Publik, Masalah?

Wewangian, seperti parfum, saat ini bukan hanya menjadi tren atau kebutuhan semata, tapi juga menjadi bagian dari rutinitas harian, terutama di kalangan pekerja. Penggunaan parfum, meskipun umum, kadang-kadang menuai pertanyaan terkait dengan ajaran agama. Dalam konteks ini, hadis yang menyebutkan tentang penggunaan wewangian oleh perempuan muncul, mengundang tafsiran dan pendapat ulama.

Hadis yang dikutip menyatakan, “Perempuan manapun yang memakai wewangian kemudian lewat pada suatu kaum (laki-laki) supaya mereka mencium wanginya maka ia seorang pezina” (HR An-Nasa’i). Pernyataan ini bisa menimbulkan keraguan, terutama jika dilihat dari segi tekstual. Namun, penting untuk memahami konteks dan maksud dari hadis ini.

Menelusuri tafsiran, Al-Munawi, dalam kitab “Faydhul Qadir,” menjelaskan bahwa keharaman penggunaan parfum oleh perempuan berkaitan dengan niatnya. Jika perempuan menggunakan wewangian dengan niat agar orang-orang yang bukan mahram mencium baunya, maka dia dianggap termasuk pezina dalam segi dosa. Ini menunjukkan bahwa niat memainkan peran penting dalam hukum agama terkait penggunaan wewangian.

Pentingnya niat dalam Islam sering ditekankan, dan hal ini mencerminkan pendekatan holistik terhadap perbuatan. Al-Munawi menegaskan bahwa niat jelas membedakan antara penggunaan wewangian yang dilarang dan yang diperbolehkan. Dalam konteks ini, menggunakannya tanpa tujuan untuk menarik perhatian kaum laki-laki yang bukan mahramnya tidak melanggar aturan.

Namun, jika melihat lebih lanjut, apakah kondisi masyarakat pada masa lalu dan sekarang dapat dibandingkan dengan sederhana? Pada masa Jahiliyah, masyarakat mungkin memiliki tantangan keamanan yang berbeda, dan larangan ini dapat diartikan sebagai langkah perlindungan. Namun, saat ini, dengan berbagai langkah keamanan yang diterapkan di tempat-tempat umum, apakah larangan tersebut tetap relevan?

Pandangan ulama tentang hukum memakai wewangian bagi perempuan juga dapat dilihat melalui perspektif madzhab fikih. Masing-masing madzhab memiliki pandangan yang berbeda terkait hal ini.  Menurut madzhab Hanafi, perempuan boleh menggunakan wewangian di depan umum asalkan aromanya tidak terlalu kuat sehingga menarik perhatian. Tetapi, beberapa ulama Hanafi menyatakan bahwa lebih baik untuk menghindari penggunaan wewangian di ruang publik.

Sedangkan Madzhab Maliki memperbolehkan perempuan menggunakan wewangian di hadapan umum, selama bau yang dihasilkan tidak mencolok atau mengganggu orang lain. Hal sama dari kalangan madzhab Syafi’I yang membolehkan perempuan menggunakan wewangian di hadapan umum asalkan aromanya tidak terlalu kuat dan tidak menarik perhatian laki-laki yang bukan mahramnya.

Madzhab Hambali cenderung lebih konservatif dalam memandang hal ini. Beberapa ulama Hambali berpendapat bahwa perempuan sebaiknya tidak menggunakan wewangian di depan umum, terutama jika situasi tersebut dapat menimbulkan fitnah atau gangguan.

Secara umum, banyak ulama sepakat bahwa penggunaan wewangian oleh perempuan sebaiknya dilakukan dengan penuh kehati-hatian agar tidak menarik perhatian yang tidak diinginkan atau menimbulkan fitnah. Prinsip dasar adalah menjaga kesopanan dan menghindari tindakan yang dapat menimbulkan godaan atau ketidaknyamanan di masyarakat.

Oleh karena itu, dalam merangkai ulasan ini, dapat diambil kesimpulan bahwa penggunaan parfum oleh perempuan tidak secara otomatis dianggap sebagai tindakan yang dilarang dalam Islam. Yang ditekankan adalah niat dan konteks penggunaannya. Islam memberikan kebijaksanaan dan keterbukaan terhadap realitas sosial yang berkembang.

ISLAMKAFFAH