TERDAPAT kaidah umum yang disampaikan para ulama fiqh. Kaidah itu menyatakan, “Menghindari mafsadah (potensi bahaya) lebih didahulukan dari pada mengambil maslahat (kebaikan).” Dalam banyak literatur yang membahas qawaid fiqh, kaidah ini sering disebutkan. Diantara dalil yang mendukung kaidah ini adalah firman Allah, “Janganlah kamu memaki tuhan-tuhan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa ilmu.” (QS. al-Anam: 108)
Syaikh Dr. Muhammad Shidqi al-Burnu menjelaskan kandungan makna ayat ini, “Memaki tuhan orang kafir ada maslahatnya, yaitu merendahkan agama mereka dan tindakan kesyirikan mereka kepada Allah Taala . Namun ketika perbuatan ini menyebabkan potensi bahaya, yaitu mereka membalas makian, dengan menghina Allah, maka Allah melarang memaki tuhan mereka, sebagai bentuk untuk menghindari potensi bahaya.” (al-Wajiz fi Idhah Qawaid Fiqh, hlm. 265).
Karena pertimbangan inilah, pelaksaan kewajiban yang sifatnya muwassa (waktunya longgar), harus ditunda untuk melakukan kewajiban yang waktunya terbatas. Shalat wajib termasuk wajib muwassa (waktunya longgar). Shalat isya rentang waktunya sejak hilangnya awan merah di ufuk barat, hingga tengah malam. Sehingga, kalaupun seseorang tidak bisa menyelesaikan di awal malam, dia bisa tunda di waktu setelahnya.
Sementara menyelamatkan nyawa juga kewajiban. Karena secara sengaja berdiam di tempat yang berbahaya, hukumnya haram. Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Tidak boleh melakukan sesuatu yang membahayakan diri sendiri maupun orang lain.” (HR. Imam Ahmad 2863, Ibnu Mjah 2341 dan dihasankan Syuaib al-Arnauth)
Ketika terjadi gempa, sementara posisi kita sedang shalat, di sana terjadi pertentangan antara maslahat dengan mafsadah. Mempertahankan shalat, itu maslahat, sehingga jamaah bisa segera menyelesaikan kewajibannya. Namun di sana ada potensi bahaya, karena jika bangunan itu roboh, bisa mengancam nyawa jamaah. Mana yang harus didahulukan? Kaidah di atas memberikan jawaban, menghindari potensi bahaya lebih didahulukan, dari pada mempertahankan maslahat. Apalagi shalat termasuk kewajiban yang waktunya longgar.
Wajib Menyelamatkan Nyawa dengan Membatalkan Shalat
Karena itulah, para ulama menegaskan wajib mendahulukan penyelamatan nyawa, dari para shalat wajib. Kita simak keterangan mereka,
[1] Keterangan Hasan bin Ammar al-Mishri ulama Hanafiyah “Penjelasan tentang apa saja yang mewajibkan orang untuk membatalkan shalat dan apa yang membolehkannya wajib membatalkan shalat ketika ada orang dalam kondisi darurat meminta pertolongan kepada orang yang shalat” (Nurul Idhah wa Najat al-Arwah, hlm. 75)
[2] Keterangan al-Izz bin Abdus Salam ulama Syafiiyah wafat 660 H.
Dalam kitabnya Qawaid al-Ahkam, beliau menjelaskan, “Harus mendahulukan upaya penyelamatan orang yang tenggelam, dari pada pelaksanaan shalat. Karena menyelamatkan nyawa orang yang tenggelam, lebih afdhal di sisi Allah dibandingkan melaksanaan shalat. Disamping menggabungkan kedua maslahat ini sangat mungkin, yaitu orang yang tenggelam diselamatkan dulu, kemudian shalatnya diqadha.” (Qawaid al-Ahkam fi Mashalih al-Anam, 1/66).
Beliau berbicara tentang penyelamatan nyawa orang lain. Dia didahulukan dibandingkan pelaksanaan shalat wajib. Tentu saja, menyelamatkan diri sendiri harus didahulukan dibandingkan shalat.
[3] Keterangan al-Buhuti ulama hambali (wafat 1051 H),
“Wajib menyelamatkan orang tenggelam atau korban kebakaran, sehingga harus membatalkan shalat, baik shalat wajib maupun sunah. Dan yang kami pahami, aturan ini berlaku meskipun waktunya pendek. Karena shalat tetap bisa dilakukan dengan cara qadha, berbeda dengan menolong orang tenggelam atau semacamnya. Jika dia tidak mau membatalkan shalatnya untuk menyelamatkan orang yang tenggelam atau korban lainnya, maka dia berdosa meskpiun shalatnya sah.” (Kasyaf al-Qina, 1/380).
Karena itulah, bagi mereka yang sedang shalat jamaah, kemudian terjadi gempa, sikap yang tepat bukan bertahan shalat namun segera dibatalkan. Karena ini potensi bahaya yang seharusnya dihindari. Terlebih, shalat bisa ditunda setelah situasi memungkinkan.
Demikian. Allahu alam. [Ustadz Ammi Nur Baits]