Haruskah Aku Bermazhab?

Di antara permasalahan yang banyak diperdebatkan oleh kalangan penuntut ilmu dan kaum muslimin secara umum adalah mengenai hukum bermazhab. Haruskah aku bermazhab? Apakah bermazhab itu adalah sesuatu yang terpuji atau bahkan tercela? Dan bukankah bermazhab itu akan mengarah pada fanatisme buta yang itu tercela?

Dua kategori manusia

Untuk menjawab berbagai pertanyaan ini, harus kita ketahui terlebih dahulu bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala membagi manusia menjadi dua kategori pada firman-Nya,

فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

“Bertanyalah kepada ahli ilmu jika engkau tidak mengetahui.” (QS. An-Nahl: 43)

Pada ayat ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan dua kategori manusia beserta kewajibannya masing-masing. Kategori pertama adalah mujtahid, di mana Allah menyifatinya sebagai orang yang berilmu dan Allah perintahkan dia untuk mengarahkan umat kepada al-haq dan menjawab berbagai pertanyaan mereka dengan menyampaikan hukum-hukum yang telah Allah tetapkan. Dan kategori kedua dari manusia yang disebutkan pada ayat di atas adalah muqallid, di mana Allah menyifatinya dengan ketiadaan ilmu dan Allah perintahkan dia untuk bertanya kepada ahli ilmu jika dia tidak mengetahui.

Mujtahid adalah seseorang yang mampu dan boleh untuk melakukan ijtihad, di mana ijtihad adalah

استفراغ الفقيه وسعه لدرك حكم شرعي.

“Pengerahan segenap upaya oleh seorang faqih untuk mengetahui sebuah hukum syar’i.”

Seseorang baru boleh berijtihad jika terpenuhi beberapa syarat berikut:

1. Mengetahui dalil-dalil syar’i tentang suatu masalah dari segi sahih dan dhaif-nya.

2. Mengetahui bahasa Arab sehingga dia mampu untuk memahami makna ayat dan hadis.

3. Mengetahui kaidah-kaidah ushul fikih dan dapat menerapkannya, seperti mengetahui tentang dalalatul-alfazh.

4. Mengetahui asbabun-nuzul dari ayat dan juga asbabul-wurud dari hadis.

5. Megetahui masalah-masalah yang telah ada ijma’ para ulama di dalamnya.

6. Mengetahui mana dalil yang nasikh dan mansukh.

Seseorang yang telah memenuhi syarat-syarat di atas maka dia sudah mampu untuk berijtihad, bahkan wajib baginya untuk berijtihad ketika ada sebuah permasalahan yang butuh untuk diketahui hukum syar’i yang berkaitan dengannya. Tidak boleh baginya untuk mengikuti pendapat mujtahid lain tanpa dia sendiri melakukan proses ijtihad tersebut, kecuali jika waktunya sudah sedemikian sempit sehingga pada kondisi ini baru boleh baginya untuk mengikuti pendapat mujtahid lain.

Adapun muqallid, maka dia adalah seseorang yang melakukan taqlid, di mana taqlid adalah

أخذ مذهب الغير بلا معرفة دليله.

“Mengambil pendapat orang lain tanpa mengetahui dalilnya.”

Oleh karena itu, seseorang itu berada di antara dua kondisi: antara dia adalah seorang mujtahid atau muqallid. Jika dia tidak memenuhi syarat-syarat sebagai mujtahid, maka dia adalah muqallid, baik apakah dia melakukan taqlid kepada imam mazhab tertentu atau kepada ulama kontemporer. Selama dia bukan termasuk orang yang mampu untuk melakukan ijtihad, maka dia termasuk dalam barisan para muqallidin.

Taqlid yang terpuji dan taqlid yang tercela

Sebagian orang berpikir bahwa taqlid itu adalah hal yang tercela. Dan mereka berpikir bahwa taqlid itu terjadi ketika dia mengikuti suatu mazhab tertentu, sementara ketika dia mengikuti fatwa seorang ulama kontemporer tertentu maka itu bukan taqlid. Ini adalah pemahaman yang salah. Kita katakan: Taqlid itu ada dua jenis: taqlid yang tercela dan taqlid yang terpuji. Taqlid yang tercela adalah taqlid yang disertai dengan sikap fanatik buta pada ulama yang dia ikuti, sehingga dia melandaskan al-wala’ wal-bara’ dalam permasalahan khilafiyyah ijtihadiyyah yang seharusnya ruang untuk berbeda pendapat dalam masalah itu terbuka lapang.

Adapun taqlid yang terpuji adalah taqlid yang tidak disertai dengan sikap fanatik buta, yang dilakukan seseorang karena memang itulah yang hanya bisa dia lakukan. Dia tidak mampu untuk berijtihad, karena dia tidak mampu menyimpulkan hukum sendiri dari dalil-dalil syar’i yang ada. Satu-satunya cara yang bisa dia lakukan adalah dengan bertanya kepada para mujtahid mengenai permasalahan yang dia hadapi. Jika dia melakukan hal ini, maka itu berarti dia telah melakukan perintah Allah kepadanya, yaitu, “Bertanyalah kepada ahli ilmu jika engkau tidak mengetahui.” Itu mengapa hal ini adalah taqlid yang terpuji, karena memang itulah yang diperintahkan oleh Allah kepadanya.

Di sini penting bagi kita untuk mengetahui bahwa walaupun seseorang ketika bertanya kepada seorang ulama kontemporer kemudian ulama tersebut menyebutkan dalil-dalil dalam fatwanya sehingga penanya tadi mengetahui dalil-dalil yang ada pada masalah tersebut, maka itu tidak berarti bahwa seorang tadi sudah naik tingkat dari muqallid menjadi mujtahid. Itu karena dia hanya mengetahui lafaz dan mana zahir dari dalil yang disebutkan oleh sang ulama’ Dia tidak mengetahui bagaimana metode pendalilan yang dipakai untuk menyimpulkan hukum dari dalil-dalil tersebut. Dia belum mengetahui apa itu lafazh nashzhahir‘aamkhashmujmalmubayyanmuthlaqmuqayyadhaqiqahmajaz, dll. Dia tidak mengetahui mengapa dalil tersebut yang dipakai, mengapa bukan dalil yang lain? Dia tidak mengetahui apa saja syarat-syarat yang ada dalam fatwa mujtahid tersebut, karena sesungguhnya mujtahid tersebut memfatwakan hukum itu kepadanya karena mujtahid itu melihat bahwa kondisi penanya telah memenuhi syarat-syarat diberlakukannya hukum tersebut. Jika yang bertanya adalah orang lain dengan kondisi yang berbeda, maka bisa jadi fatwanya akan menjadi berbeda.

Dari sini kita ketahui bahwa hanya mujtahid yang boleh untuk berfatwa. Seorang muqallid hanya boleh untuk menukil fatwa, misalnya dengan berkata bahwa ini adalah fatwa Syaikh Fulan, dan tidak boleh baginya untuk berkata bahwa hukum Allah dalam masalah ini adalah demikian dan demikian. Bahkan para ulama juga memberikan peringatan kepada muqallid agar tidak sembarangan dalam menukil fatwa walaupun itu sekadar menukil, karena dia tidak mengetahui apa saja syarat-syarat berlakunya fatwa tersebut, dan apakah kondisi riil yang terjadi di lapangan telah memenuhi syarat-syarat itu atau tidak. Bahkan ketika seorang mujtahid itu dibolehkan untuk tidak berijtihad dan boleh baginya untuk mengikuti pendapat mujtahid lain karena waktunya sudah sedemikian sempit, maka para ulama berkata bahwa fatwa mujtahid lain tersebut hanya untuk dia amalkan saja, tidak boleh baginya untuk kemudian ikut berfatwa dengan fatwa tersebut kepada masyarakat tanpa melakukan proses ijtihad itu sendiri, karena dia pada asalnya adalah seorang mujtahid yang wajib untuk berijtihad. Syariat membolehkan dia untuk melakukan taqlid kepada mujtahid lain dalam kondisi ini tidak lain karena kondisinya yang terdesak tidak cukup waktu untuk melakukan ijtihad sementara sudah harus melakukan amalan. Jika hal ini berlaku untuk seseorang yang sudah mampu untuk berijtihad dan telah mencapai derajat mujtahid, maka apalagi untuk orang yang masih berada dalam derajat muqallid.

Haruskah aku bermazhab?

Setelah kita mengetahui dua kategori manusia ini, yaitu mujtahid dan muqallid, maka kita dapat masuk pada pembahasan utama kita, yaitu haruskah aku bermazhab? Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini.

Pendapat pertama: Wajib untuk melazimi mazhab tertentu, yaitu dengan mengikuti seluruh pendapat yang ada dalam mazhab tersebut. Ini adalah pendapat di mazhab Syafi’i. Tajud-Din as-Subkiy rahimahullah berkata,

وأنه يجب التزام مذهب معيَّن يعتقده أرجح أو مساويا.

“Wajib untuk melazimi mazhab tertentu yang dia yakini lebih kuat atau setara.”

Pendapat kedua: Tidak wajib untuk melazimi mazhab tertentu. Ini adalah pendapat di mazhab Hanbali. ‘Ala’ud-Din al-Mardawiy rahimahullah berkata,

ولا يلزم التمذهب بمذهب.

“Tidak wajib bagi seseorang untuk bermazhab dengan mazhab tertentu.”

Syaikhul-Islam Ibn Taimiyyah rahimahullah berkata,

أن من التزم مذهبا معيَّنا ثم فعل خلافه من غير تقليد لعالم آخر أفتاه، ولا استدلال بدليل يقتضي خلاف ذلك، ومن غير عذر شرعي يبيح له ما فعله، فإنه يكون متبعا لهواه، وعاملا بغير اجتهاد ولا تقليد، فاعلا للمحرم بغير عذر شرعي، فهذا منكر.

“Barangsiapa yang melazimi mazhab tertentu kemudian mengambil pendapat lainnya bukan karena taqlid kepada ulama lain yang memfatwakannya, dan bukan pula karena pendalilan dengan dalil yang membuat dia mengambil pendapat lain tersebut, dan tanpa ‘udzur syar’i yang membolehkan dia untuk melakukan hal tersebut, maka dia telah mengikuti hawa nafsunya dan mengamalkan suatu pendapat tanpa ijtihad dan juga tanpa taqlid, dan dia telah melakukan suatu perbuatan yang haram tanpa adanya ‘udzur syar’i, maka ini adalah kemungkaran.”

Kemudian beliau rahimahullah berkata,

وأما إذا تبيَّن له ما يوجب رجحان قول على قول، إما بالأدلة المفصَّلة إن كان يعرفها ويفهمها، وإما بأن يرى أحد رجلين أعلم بتلك المسألة من الآخر، وهو أتقى لله فيما يقوله، فيرجع عن قول إلى قول لمثل هذا، فهذا يجوز، بل يجب! وقد نص الإمام أحمد على ذلك.

“Adapun jika tampak jelas baginya bahwa pendapat lain itu lebih kuat, baik dengan pendalilan yang terperinci jika dia mengetahui dan memahami pendalilan tersebut, atau karena dia melihat ulama lain yang memilih pendapat itu lebih berilmu dalam masalah tersebut daripada selainnya, dan ulama tersebut lebih bertakwa kepada Allah mengenai apa yang beliau ucapkan, sehingga dia memilih pendapat lain tersebut karena sebab seperti ini, maka ini boleh, bahkan wajib! Dan Imam Ahmad telah menyatakan hal ini.”

Dari kalangan Syafi’iyyah yang memilih pendapat ini adalah Imam an-Nawawi rahimahullah, di mana beliau berkata,

والذي يقتضيه الدليل أنه لا يلزمه التمذهب بمذهب، بل يستفتي من شاء أو من اتفق، لكن من غير تلقط الرخص، ولعل من منعه لم يثق بعدم تلقطه.

“Adapun yang ditunjukkan oleh dalil adalah bahwa tidak wajib bagi seseorang untuk melazimi mazhab tertentu. Akan tetapi, dia boleh untuk meminta fatwa kepada ulama mujtahid siapa pun yang dia kehendaki atau yang dia temui, akan tetapi tidak boleh mencari-cari keringanan. Para ulama yang melarang hal ini bisa jadi tidak yakin akan tidak adanya perbuatan mencari-cari keringanan ini.”

Pendapat kedua ini adalah pendapat yang kami lebih condong kepadanya. Perhatikan bahwa tidak boleh bagi kita untuk su’uzhan kepada para ulama yang memilih pendapat pertama, sebagaimana perkataan Imam an-Nawawi rahimahullah di atas, “Para ulama yang melarang hal ini (yakni, melarang untuk meminta fatwa kepada ulama mujtahid siapa pun yang dia kehendaki -penj.) bisa jadi tidak yakin akan tidak adanya perbuatan mencari-cari keringanan ini.”

Yang dimaksud dengan perbuatan mencari-cari keringanan ini adalah ketika seseorang memilih pendapat lain karena sekadar mengikuti hawa nafsunya, bukan karena pendalilan dari pendapat tersebut dia nilai lebih kuat (jika dia sudah mengerti berbagai ilmu alat seperti ushul fikih sehingga bisa memahami mana pendalilan yang lebih kuat), dan bukan pula karena dia mengikuti ulama mujtahid yang dia nilai lebih berilmu dan lebih bertakwa. Selalu mencari-cari pendapat yang paling ringan itu haram, dan perbuatan ini telah banyak dicela oleh para ulama. Tidak boleh bagi kita untuk melakukan fatwa shopping, di mana kita memilih-milih fatwa para ulama yang paling sesuai selera kita sebagaimana ketika kita sedang berbelanja. Dan tidak boleh juga bagi kita untuk memilih fatwa seperti kita sedang makan prasmanan, yaitu berbagai makanan sudah tersedia di meja dan kita tinggal pilih-pilih mana makanan yang sesuai selera kita. Perbuatan ini disebutkan sebagai kemungkaran oleh Syaikhul-Islam Ibn Taimiyyah rahimahullah, sebagaimana yang telah kami nukilkan perkataan beliau di atas.

Oleh karena itu, kita simpulkan bahwa tidak wajib bagi kita untuk melazimi mazhab tertentu, di mana kita harus mengikuti seluruh pendapat yang ada dalam mazhab tersebut. Akan tetapi, boleh bagi kita untuk bertanya kepada para ulama mujtahid yang Allah mudahkan bagi kita untuk bertanya kepada mereka mengenai berbagai permasalahan kita. Jika kita mengetahui ada dua pendapat atau lebih dari berbagai para ulama mujtahid dalam satu permasalahan yang sama, maka jika kita mampu memahami dan mencerna alur pendalilan dari masing-masing pendapat tersebut, kita harus memilih pendapat yang paling kuat. Jika kita tidak bisa melakukan hal ini, maka kita pilih pendapat dari ulama mujtahid yang lebih berilmu dan lebih bertakwa.

Akan tetapi, bagi para penuntut ilmu yang ingin belajar fikih secara terstruktur dan terkurikulum, sehingga dia ingin naik tingkat dan naik kelas dalam ilmu fikihnya, maka sangat direkomendasikan baginya untuk belajar fikih dengan menggunakan kurikulum mazhab. Dia mulai proses belajarnya dari matan yang ringkas untuk penuntut ilmu tingkat pemula, kemudian beranjak ke matan yang lebih tebal untuk penuntut ilmu tingkat menengah, sebelum kemudian dia bisa mencerna matan yang lebih tebal lagi untuk penuntut ilmu tingkat lanjutan. Jika dia mempelajari fikih menggunakan metode ini, maka itu akan memudahkannya untuk menaiki tangga ilmu, sebab dia akan menjadi kokoh dengan satu sudut pandang pendalilan terlebih dahulu sebelum dia masuk ke ranah khilaf yang ada di kalangan para ulama. Ingat, masalah fikih itu banyak sekali, dan metode pendalilan yang digunakan oleh para ulama pun tidak bisa dipahami dengan cepat — kecuali oleh orang yang dirahmati oleh Allah. Dengan mempelajari fikih menggunakan satu sudut pandang terlebih dahulu, yaitu sudut pandang mazhab yang sedang dia pelajari tersebut, akan membuat seorang penuntut ilmu memiliki malakah fiqhiyyah atau kompetensi fikih yang kokoh, sebelum kemudian dia menceburkan dirinya ke dalam lautan khilaf yang ada di kalangan para fuqaha’. Jika tidak ingin tenggelam dan tersesat dalam lautan yang luas dan dalam ini, maka perkuatlah kemampuan kita terlebih dahulu dengan cara belajar fikih secara terstruktur dan terkurikulum menggunakan kurikulum mazhab, tanpa disertai fanatik buta tentunya.

Itu mengapa kami tuliskan judul artikel ini sebagai, “Haruskah Aku Bermazhab?” dan bukan, “Haruskah Kita Bermazhab?” untuk mengingatkan bahwa hukum untuk setiap orang dalam masalah ini berbeda, apakah dia seorang awam kaum muslimin yang tidak ingin mendalami ilmu fikih, atau apakah dia adalah seorang penuntut ilmu yang ingin menaiki tangga ilmu fikih dengan mudah dan selamat dari rapuhnya pondasi ilmu dan berbagai kontradiksi ketika berfatwa, bi-idznillah.

Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan kita taufik untuk selalu menuntut ilmu syar’i demi meraih rida-Nya.

Penulis: Dr. Andy Octavian Latief, M.Sc.

sumber: Muslim.or.id

Mazhab Apa yang Harus Saya Pilih?

DALAM kitabnya, Raudhoh Al-Nadzir wa Junnah Al-Munadzir, di bab Taqlid, Imam Ibnu Qudamah Al-Maqdisi (620H) menyebutkan Ijma (Konsensus) para sahabat bahwa seorang awam boleh taqlid (mengikuti) mujtahid atau mazhab dalam masalah-masalah syari yang furui (cabang/fiqih), bahkan bukan cuma boleh, tapi wajib taqlid.

Sama sekali tidak diwajibkan seorang awam untuk mengetahui dalil, cukup bagi seorang awam untuk mengetahui hukum suatu masalah, dan menjalankan ibadah sesuai hukum yang ia ketahui walau tidak tahu dalil. Dan cukup baginya fatwa ulama yang ia ikuti, atau guru yang ia belajar kepadanya.

Fatwa-fatwa ulama mujtahidin bagi orang awam itu ibarat dalil syari bagi para mujtahid. (Ibrahim bin Musa as-Syathibi w. 790 H, al-Muwafaqat, h. 5/ 336).

Dan semua fatwa-fatwa ulama mujtahid itu sudah terkumpul dan terformulasikan dalam sebuah institusi besar yang kita sebut dengan mazhab. Yang mana di dalamnya berisi ribuan bahkan ratusan ribu ulama yang bekerja untuk memudahkan kita sebagai muslim dalam menjalankan syariat ini.

Nah, jadi pertanyaan lagi, kira-kira dari sekian banyak mazhab, mana mazhab yang benar? Jawabannya tidak ada yang tidak benar, semua benar dan tidak ada yang salah. Kata Imam Ibnu Qudamah:

“Karena pendapat satu tidak lebih baik di antara yang lainnya.”

Begitu kata Imam Ibnu Qudamah! Karena memang kesemuanya itu baik, dan tidak ada yang lebih baik di antara keduanya, maka tidak dibenarkan untuk saling menyalahkan siapa yang mengambil fatwa berbeda dari ulama yang berbeda. Syariat ini memberikan kebebasan untuk memilih kepada siapa kita harus mengikuti.

[Ahmad Zarkasih, Lc]

 

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2316184/mazhab-apa-yang-harus-saya-pilih#sthash.EXwx43zy.dpuf

Bermadzhab, Untuk Apa?

Ketika kita membicarakan madzhab-madzhab fiqih, sejatinya kita tidak hanya membicarakan Imam Abu Hanifah sendiri, juga tidak Imam Malik bin Anas sendirian sebagai “Founder” madzhab al-Malikiyah, tidak juga membicarakan Imam al-Syafi’i sendiri saja, dan bukan juga kita membicarakan fatwa-fatwa Imam Ahmad saja sebagai “ikon” madzhab al-Hanabilah.

Akan tetapi, bukan beliau-beliau yang kita bicarakan, melainkan kita sedang membicarakan sebuah institusi besar yang diampuh oleh orang-orang dengan keilmuan luas yang mumpuni dalam bidang syariah dan hukum, serta tentara-tentara akademisi yang militant dalam melakukan penelitian hukum serta menggali illah dan hikam dari setiap hukum dan dalil yang ada, baik itu ayat atau juga hadits.

Mereka yang bekerja untuk istitusi madzhab bukan dalam waktu harian atau bulanan, akan tetapi mereka bekerja dalam waktu tahunan bahkan jauh lebih panjang dari sekdar tahunan. Bukan hanya itu, pekerjaan mereka pun bersambung, tidak hanya berhenti pada satu masa; apa yang dikerjakan di masa sebelumnya terus dikaji dan disempurnakna oleh para punggawa-punggawa madzhab di masa selanjutnya.

Mereka inilah yang kemudian mengkaji dan mendalami kaidah-kaidah ushul (induk) yang telah dirumuskan oleh Imam madzhab mereka, serta menjelaskan apa yang rancu dari kaidah tersebut, mengoreksi, emanmbahkan serta memperbaiki apa yan sekiranya punya kemungkinan salah aplikasi. Kemudian memberikan sample-sample furu’ (cabang) dalam kktab-kitab mereka, serta juga merumuskan kaidah ushul baru yang Imam mereka belum merumuskan itu berdasarkan apa yang sudah digariskan dalam madzhab sang Imam.

Sampai kita melihat bahwa apa yang dilakukan oleh sang Imam madzhab dan tentara ulama dalam setiap madzhab yang bekerja puluhan bahkan ratusan tahun tersebut tidak lagi meninggalkan masalah yang kosong jawaban kecuali sudah disiapkan oleh mereka kaidah ushul untuk dicocokan dengan masalah yang muncul.

Itu dia kenapa dalam satu madzhab kita menemukan adanya tingkatan-tingkatan ijtihad dan level ulama yang berbeda-beda dengan kelas mereka masing-masing. Karena memang semua bekerja dalam bidang dan keahlian masing-masing, guna saling melengkapi dan menyempurnakan sebuah “jalan” (madzhab) bagi para awam untuk bisa memahami syariah ini secara komprehensif. Di situlah fungsi madzhab.

Setiap madzhab punya level-level dan tingkatan mujtahid yang berbeda dengan madzhab lain, hanya saja secara global kita bisa mengklasifikasi dalam 2 level mujtahid; [1] Mujtahid Muthlaq, dan [2] mujtahid fi al-Madzhab. 

Dari ulama-ulama pada 2 level ini lah kemudian muncul banyak sekali istilah-istilah ushul dalam masing-masing madzhab, serta merumuskan beberapa kaidah ushul dan Fiqih­-nya. seperti kaidah ‘am wa al-khash, nash, Zahir, Majaz, Muta’awwil, Muhtamal, naskh mansukh.

Lebih rumit lagi istilah-istilah dalam istinbath hukum, seperti haml al-Muqayyad ‘ala al-Muthlaq, takhriij ushul ala al-furu’, takhrij Furu ala al-Ushul dan lain-lain yang mana para ulama madzhab tersebut bekerja dalam jangka abad (bukan tahunan) untuk sebuah “jalan” bersyariah.

Tingkatan-tingkatan Mujtahid dalam Madzhab

  1. Muthlaq Muthlaq

[1.1] Mujathid Muthlaq Mustaqil

Beliau adalah 4 Imam yang masyhur; Imam Abu Hanifah al-Bu’man, Imam Malik bin Anas, Imam Muhammad bin Idris al-Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal. Beliau-beliau adalah orang pertama yang merumuskan dan menggariskan jalan madzhab serta memformulasikan kaidah-kaidah ushul (induk) untuk madzhab serta sedikit mambahas masalah Furu’-nya.

[1.2] Mujtahid Muthlaq Muntasib

Mereka yang ada dalam level ini sejatinya orang-orang dengan keilmuan yang sudah mencapai derajat Mujtahid muthlaq setara dengan Mujtahid Muthlaq Mustaqil. Hanya saja mereka tidak menciptakan kaidah baru yang independen, akan tetapi mereka tetap loyal kepada guru-guru mereka, yaitu para Imam yang empat.

Mereka berjalan sesuai dengan apa yang sudah digariskan oleh guru-guru mereka, dan pekerjaan yang paling sangat terlihat jelas hasilnya ialah mereka ini yang menjelaskan kaidah-kaidah yang sudah digariskan oleh guru mereka karena mereka adalah orang-orang terdekat sang Imam. Mereka yang menjadi penghubung antara kecerdasan sang Imam dan keawaman umat Islam terhadap syariah.

Kadang mereka juga berbeda dalam beberapa hal furu’iyyah dengan guru-guru mereka, akan tetapi tetapi ber-intisab kepada madzhab guru mereka. Imam Ya’qub Abu Yusuf dan juga Imam Muhammad al-Syaubani, contoh 2 mujtahid muntasib dari madzhab al-Hanafiyah. Imam Ibn al-Qasim serta Imam Sahnun dari madzahb al-Malikiyah. Imam al-Buwaithi dan juga Imam al-Muzani dari kalangan al-Syafi’iyyah.

  1. Mujtahid fi al-Madzhab

[2.1] Mujtahid Mukharrij atau Ashhab al-Wujuh

Mereka adalah tingkatan ulama yang hidup setelah masa Mujtahid muntasib. Dalam sejarahnya, mereka inilah yang membuat madzhab menjadi jauh lebih berkembang dan lebih dinamis dibanding sebelumnya.

Mereka tidak membuat kaidah-kaidah baru dalam madzhab, akan tetapi mereka melengkapi apa yang terlewat dari ulama-ulama madzhab sebelumnya. Mereka menyimpulkan hukum beberapa –bahkan banyak- hukum masalah furu’iyyah yang tidak dijelaskan oleh sang Imam dan para murid serta sahabatnya, dengan menggunakan dasar serkat kaidah induk yang telah dirumuskan oleh ulama sebelumnya dalam mdazhab tersebut, sambil meneliti dan menyempurnakn redaksi-redaksi kaidah yang –sekiranya- tidak sempurna.

[2.2] Mujtahid Tarjih

Mereka hidup berbarengan atau setelah ulama mujtahid takhrij. Apa yang mereka lakukan tidak kalah penting dengan apa yang dilakukan oleh pendahulunya, walaupun memang tingkatan keilmuan yang mereka miliki tidak seluas apa yang dimiliki oleh ulama sebelumnya.

Bisa dikatakan mereka yang membuat madzhab lebih sistemik dan mudah untuk diklasifikasi. Mereka melakukan verifikasi dalam setiap hukum-hukum yang sudah disimpulkan oleh para pendahulunya, jika memang itu ada 2 atau 3 atau bahkan lebih dalam satu masalah yang sama. Dan adanya 2 sampai lebih pendapat dalam masalah yang sama di satu madzhab adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari.

Dan dari perbedaan-perbedaan itu, mujtahid tarjih-lah yang kemudian mengklasifikasi mana yang sesuai dengan madzhab dan mana pendapat yang bukan resmi pendapat madzhab melainkan ijtihad personal salah satu ulamanya saja.

Mereka yang sering sekali menyebut dalam kitab-kitab mereka setelah membandingkan 2 atau lebih pendapat yang berseberangan dengan istilah; hadza aula (ini pendapat yang lebih utama), hadza ashahhu riwayatin (ini riwayat yang benar), hadza huwa al-madzhab (inilah pendapat madzhab), hadza huwa azhar ‘inda al-madzhab (ini yang lebih jelas dalam madzhab), hadza awfaq lil-Qiyas (ini pendapat yang lebih sesuai dengan qiyas).

Beberapa ulama memasukan tingkatan ulama ini ke tingkatan di atasnya, yakni tingkatan ujtahid Mukharrij, melihat pekerjaan yang dilakukan hampir sama, dan banyak ulama madzhab yang melakukan 2 pekerjaan ini. Akan tetapi, Imam Muhammad Abu Zahrah dalam kitabnya Ushul-Fiqh menjelaskan bahwa keduanya berbeda.

[2.3] Mujtahid fatwa

Mereka adalah ulama-ulama yang memang tidak sampai pada level mujtahid muthlaq, dan tidak juga setara dengan mujtahid mukharrij atau mujtahid tarjih dalam madzhab. Akan tetapi mereka adalah seorang faqih yang mumpuni, royal terhadap mafdzhab Imamnya, menghafal dalil dalam setiap masalah dari pendapat-pendapat madzhab tersebut.

Ima Ibn Shalah dalam kitabnya Adabul-Muftiy wa al-Mustaftiy, menyebutkan bahwa ulama level ini tidak sampai pada derajat Mujtahid tarjih atau juga mukhaarij karena punya cacat dalam kemampuan ushul-fiqh madzhabnya.

Untuk Apa Ini Semua?

Lalu menjadi pertanyaan kemudian, sebenarnya untuk apa itu semua? Kenapa harus ada banyak istilah rumit? Kenapa harus banyak orang terlibat?

Jawabannya ialah untuk mengurangi dan memperkecil kemungkinan salah dan keliru dalam memahami syariah serta menyimpulan sebuah hokum dari teks-teks syariah. Karena semakin banyak orang yang terlibat di dalamnya, semakin banyak sesuatu yang bisa dikoreksi. Dan itu terus berulang di setiap generasinya.

Apa yang sudah ada di masa ulama sebelumnya, deteliti oleh ulama sesudahnya, disempurnakan, dijelaskan apa yang masih rancu dan ditambahka apa yang mungkin harus ditambahkan. Semakin banyak orang yang bekerja untuk menyempurnakan itu, semakin sedikit kesalahan yang akan timbul.

Layaknya sebuah penemuan teknologi, yang dari tahun ketahun selalu diteliti dan diupgrade ke penemuan yang lebih muthakhir dan yang terpenting ialah mempermudah pengguna serta memberikan kenamanan, dan penting lagi yaitu memperkecil kemungkinan bahaya yang muncul yang bisa saja melukai pengguna.

Jadi ini bukan masalah mempersulit syariah, justru ini memudahkan kita untuk memahami syariah secara komprehensif, dengan melihat kenyataan bahwa banyak dalil baik dari ayat atau hadits yang nyatanya masing-masing bersinggungan dalam kandungan hukumnya.

Dan harus dicamkan baik-baik, bahwa memahami dalil-dalil yang ada itu tidak cukup untuk hanya diterjemahkan saja. Kalau seandainya syariah serta dalil-dalilnya bisa dipahami hanya dengan terjemahannya saja, lalu buat apa ulama sejak 14 abad tahun lalu repot-repot membuat kitab tafsir yang berpuluh jilid? Buat apa juga repot-repot menulis kitab syarah (penjelasan) hadits kalau hanya bisa dipahami dengan  terjemah?

Melihat kenyataan seperti itu, lalu apakah masih kita akan mengatakan “kita kembali ke al-Quran dan hadits langsung, tanpa harus bermadzhab karena mereka juga manusia yang bisa salah, dan perkataan mereka tidak bisa dijadikan dalil!” masih kah kita berkata demikian?

Kalau madzhab bisa salah, apakah kita terbebas dari kesalahan dalam memamahi syariah denga akal yang sempit ini?

Mana yang lebih mungkin salah, pekerjaan yang dikerjakan oleh satu kelompok besar yang bekerja saling melengkapi, atau mereka yang bekerja sendirian?

Mana yang lebih mungkin salah, para ulama madzhab yang hidupnya jauh lebih dekat ke masa Nabi atau kita yang sudah terpisah ribuan tahun dari zaman Nabi?

Wajib kembali ke al-quran dan sunnah, akan tetapi kita tidak mungkin bisa memahami al-quran dan sunnah tanpa peran sebuah madzhab fiqih!

Wallahu a’lam

 

oleh Ahmad Zarkasih, Lc

sumber: Rumah Fiqih Indonesia

Sahabat Nabi SAW Tidak Bermadzhab, Benarkah?

Beberapa muslim belakangan atau memang sejak lama banyak yang menolak untuk mengikuti madzhab dan bahkan memaksa orang lain untuk pula tidak bermadzhab.

Salah satu alasannya karena memang sahabat Nabi SAW. yang hidup di generasi terbaik umat Islam ini tidak bermadzhb dan memang tidak ada madzhab. Memang iya, para sahabat Nabi SAW. tidak bermadzhab.

Akan tetapi tidak sesimpel itu untuk kita akhirnya menolak madzhab fiqih dengan alasan yang sangat rapuh seperti itu. Coba teliti lagi apa fungsi dan manfaat madzhab fiqih itu sendiri.

Kenapa Bermadzhab?

Madzhab fiqih itu ada sebagai jalan untuk kita memahami al-Qur’an dan Sunnah Nabi SAW.  Dia ibarat peta yang menuntun kita agar tidak tersesat dalam memahami teks-teks syariah. Sebagai tangga yang menyampaikan kita kepada pemahaman al-Qur’an dan sunnah yang memang tinggi, yang tidak mungkin kita mencapainya dengan badan sendiri.

Semua itu karena memang memahami al-Qur’an dan sunnah itu tidak semudah dan tidak sesimpel yang dibayangkan. Bukan hanya karena paham bahasa Arab lalu bisa menggali hukum dari 2 sumber utama tersebut.

Kalau memang memahami kedua sumber mulia itu hanya dengan bermodal bahasa Arab, tentu semua orang di negara-negara berbahasa Arab itu menjadi mujtahid semua. Tapi nyatanya tidak.

Selain bahasa Arab, masih banyak ilmu-ilmu yang harus dikuasai sampai akhirnya bisa menduduki bangku mujtahid yang mana layak untuk menggali hukum dari al-Qur’an dan sunnah. Karena itulah kita membutuhkan tangga sebagai wasilah mencapai tujuan; yakni al-Qur’an dan Sunnah.

Kata ulama ushul; “lil-Wasa’il hukumul-maqashid”, yang artinya “wasilah itu hukumnya sama dengan hukum tujuannya”. Merujuk kepada al-Qur’an dan Sunnah itu wajib, akan tetapi sulit untuk mencapai itu kecuali ada petanya dan tangganya. Maka mendapatkan tangga itu menjadi wajib, karena tujuannya itu wajib. Dengan kesadaran diri atas ketidak mampuan dan kehati-hatian dalam beragama akan jatuh pada kekliruan, maka bermadzhab itu menjadi sebuah keharusan.

Kalau menolak bermadzhab dan kembali langsung kepada al-Qur’an dan sunnah, akan tetapi masih memahami makna teka al-Qur’an dari Quran terjemah yang dikeluarkan Departemen Agama atau penerbit lain; itu namanya bukan kembali ke al-Qur’an, itu namanya mengikuti Departemen Agama atau penerbit jadi penerjemah al-Qur’an tersebut. Karena kalau memang mampu, harusnya jauhkan semua media-media itu, langsung saja maknai teks-teks al-Qur’an itu sendiri, tanpa alat.

Lalu kalau menolak bermadzhab dan menghukumi sesuatu denga hadits yang ada pada kita shahih al-Bukhari atau ulama hadits lainnya. Itu namanya bukan kembali ke al-Qur’an dan sunnah, itu namanya mengikuti Imam al-Bukhari. Kalau memang mampu menggali hukum tanpa perantara madzhab, harus juga mempu menstatusi hadits sendiri tanpa rujuakan manusia lain. Tidak al-Bukhari, tapi al-Albani, itu juga sama, mengikuti manusia namanya, bukan mengikuti al-Qur’an dan Sunnah.

 

Sahabat Nabi SAW Bermadzhab!

Nah, para sahabat Nabi s.a.w. tidak bermadzhab, kenapa? Karena sumber syariah sudah ada di depan mata mereka, hidup bersama mereka, berdialog langsung dengan mereka. Lalu dimana kegunaan madzhab jika sumber itu sendiri sudah jelas depan mata? toh karena memang madzhab itu ada disebabkan rentan waktu yang berjarak ke masa Nabi s.a.w. dan kesulitan memahami teks-teks syariah yang ada. Zaman sahabat, mereka semua tianggal bertanya langsung kepada sumbernya.

Akan tetapi coba lihat bagaimana keadaan para sahabat setelah Nabi SAW wafat, apakah semua mereka jadi ulama dan mujtahid? Tidak! Diantara mereka ada orang awamnya juga yang kemudian mereka itu bertanya tentang masalah-masalah agama yang bagi mereka masih membingungkan kepada tokoh-tokoh sahabat yang memang dikenal sebagai orang ‘Alim dan dianggap paling mengerti terhadap wahyu juga maksud sabda Nabi SAW.

Ketika tokoh-tokoh sahabat (seperti 4 Khulafa al-Rasyidin, Ibn Mas’ud, Ibn ‘Abbas, Abdullah bin Zaid, Zaid bin Tsabit dll) itu ditanya tentang suatu masalah oleh Awam Sahabat, mereka langsung menjawab pertanyaan itu. Mereka tidak menolak pertanyaan tersebut dengan mengatakan: “anda kan sahabat Nabi, hidup bersama dan mendengarkan wahyu, kalau begitu ijtihad saja sendiri!”. Tidak! Tidak ada jawaban seperti itu.

Itu artinya memang awam-awam sahabat pun beragama dan beribadah melalui pemahaman tokoh-tokoh sahabat ‘alim tersbut; karena memang sang awam sadar diri bahwa mereka tidak mengerti dan mereka juga punya tuntutan untuk menjaga ajaran agama ini dengan tidak sok-sok-an langsung berhukum tanpa merujuk kepada para tokoh-tokoh sahabat itu.

Dengan kata lain, tokoh-tokoh itulah jalan (madzhab) para awam. Dan apa yang dilakukan oleh awam sahabat tersebut, sama seperti yang kita lakukan saat ini ketika beribadah dengan jalan (madzhab) ulama-ulama dan imam-imam madzhab mulia tersebut.

Dan karena memang mereka mengambil jalan beribadah itu melalui para tokoh-tokoh sahabat tersebut, sudah barang tentu perbedaan menjadi sesuatu yang niscaya terjadi. Dan itu yang kita saksikan, bahwa di kalangan sahabatpun ada perbedaan.

Tapi dahsyatnya, perbedaan itu tidak membuat sahabat satu sama lain saling menuding dan menunjuk hidung sahabat lain bahwa kesalahan ada pada tertunjuk. Tidak! semua aman dan mesra. Dan itu juga yang akhirnya diwariskan kepada ulama-ulama madzhab yang ada, sehingga tidak pernah kita saksikan ada permusuhan antara ulama madzhab walaupun ada perbedaan diantara mereka.

Jika Awam Boleh Ijtihad

Sebagai tambahan; bahwa kalau saja seandainya kita tidak perlu bermadzhab atau tidak pelu melewati jalan dan tangga yang valid, dan kita yang awam ini diminta untuk menggali hukum langsung dari al-Quran dan sunnah, artinya berijtihad.

Tentu ijtihadnya awam-awam di generasi terbaik, apalagi sahabat, ijtihad itu yang mestinya sangat layak kita jalankan. Dan apakah kita akan menjalankan ijtihad salah seorang sahabat Nabi yang tidak memberika keringanan bagi orang junub yang sakit untuk harus mandi janabah sehingga salah seorang diantaranya wafat karena harus mandi janabah.

Ataukah kita bertayammum dengan berguling-guling tanah sebagaimana itu dilakukan oleh sahabat yang junub namun tidak menemukan air. Begitukah?

Wallahu a’lam.

 

oleh:  Ahmad Zarkasih, Lc

sumber:Rumah Fiqih Indonesia