Islam memandang para difabel sebagai entitas yang wajib diperhatikan karena beberapa alasan kuat. Paling mendasar ialah atas nama kemanusiaan. Satu fakta yang tak bisa dimungkiri bahwa mereka sama-sama makhluk Allah SWT yang wajib dihormati.
Apalagi, para penyandang tersebut juga manusia yang dimuliakan oleh Allah. Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam. (QS al-Israa’ [17] : 70). Pentingnya kasih sayang dan memuliakan sesama ini juga ditekankan oleh Rasulullah.
Dalam sebuah hadis riwayat Abu Dawud, Nabi menegaskan bahwa mereka yang saling mengasihi akan disayang oleh Allah. Karenanya, hendaknya saling menebar kasih sayang untuk segenap penduduk bumi agar para penghuni kahyangan berbalik mengasihi mereka.
Dari sisi persaudaraan sesama manusia (ukhuwah insaniyyah), mereka juga pada hakikatnya adalah saudara dari satu garis keturunan, yaitu Adam. Persaudaraan ini akan semakin bermakna jika diperkuat dengan tolong menolong.
Di sisi lain, bila yang bersangkutan adalah Muslim maka penekanannya akan bertambah. Sebab, ia juga merupakan saudara seiman. Maka, iman tersebut akan semakin sempurna dengan saling cinta-mencintai dan kasih-mengasih. Perwujudannya lewat tolong menolong. (HR Muslim).
Menurut guru besar Fakultas Syariah Universitas Afrika Internasional, Sudan, Prof Ismail Muhammad Hanafi, para difabel tersebut—termasuk para lansia dan jompo—memiliki hak yang sama sebagai warga negara. Karena itu, dalam makalah yang berjudul Daur ad-Daulah fi Ri’ayat Dzawi al-Hajat al-Khassah fi al-Islam, negara memiliki tanggung jawab dan kewajiban untuk memperhatikan dan mengurus mereka.
Di satu sisi, katanya, perhatian pemerintah juga mesti diprioritaskan untuk mereka. Suatu saat, Abu Maryam al-Azdi pernah berpesan satu hadis kepada Mua’wiyah. Hadis itu berisi ancaman bagi pemimpin yang lalai memenuhi kebutuhan para difabel. Riwayat ini dinukilkan dari Abu Dawud dan at-Tirmidzi.
Seperti apakah bentuk perhatian yang mesti diberikan pemerintah kepada mereka?
Kembali, Prof Ismail memaparkan, perintah dituntut aktif melakukan upaya sosialiasi dan langkah penyadaran masyarakat untuk berinteraksi dengan baik terhadap difabel. Rendahnya kesadaran dinilai menjadi penghambat bagi upaya pemberdayaan mereka. Ini sesuai dengan kaidah fikih, mencegah lebih baik daripada mengobati (ad-daf’u ‘aqwa min ar-raf’i).
Pemerintah berkewajiban pula membuka akses pendidikan bagi para penyandang cacat. Pendidikan adalah salah satu instrumen penting untuk memperbaiki taraf kehidupan mereka. Sulit meningkatkan kesejahteraan mereka tanpa memberikan pendidikan yang laik.
Prof Ismail menambahkan, pemerintah hendaknya mendirikan lembaga atau instansi khusus yang melayani mereka. Umar bin Abdul Aziz pernah menulis instruksi kepada pejabat Syam. Ia memerintahkan agar para tunanetra, pensiunan, atau sakit, dan para jompo didata sedemikian rupa guna memperoleh tunjangan. Instruksi ini dijalankan dengan baik.
Bahkan, konon sejumlah tunanetra memiliki pelayan yang menemani setiap waktu. Kebijakan yang sama juga ditempuh oleh al-Walid bin Abdul Malik. Sementara, Abu Ja’far al-Manshur mendirikan rumah sakit khusus untuk penyandang cacat di Baghdad.