Harus diakui bahwa sampai detik ini, masih banyak umat Islam, khususnya di Indonesia, yang sama sekali tidak mau sungguh-sungguh menaati pemerintah, khususnya kaitannya dengan kebijakan untuk memberantas wabah Covid-19. Hal ini bisa dilihat dari pendapat yang mencuat di berbagai kesempatan, termasuk yang ramai di media sosial.
Banyak penceramah yang tidak percaya Covid-19 itu, ada juga yang dengan garang menyebutkan bahwa Covid-19 tak perlu ditakuti sampai menuduh kebijakan pemerintah terkait penanganan Covid-19 sebagai upaya untuk membendung dakwah Islam lantaran di beberapa wilayah, masjid ditutup.
Akibat dari sikap dan pandangan itu, banyak warga yang nekat tetap menggelar shalat berjamaah tanpa menerapkan prokes ketat. Di luar ritual keagamaan, kita juga menyaksikan betapa banyaknya masyarakat yang abai terhadap himabaun pemerintah untuk tetap di rumah, tidak berkerumun, memakai masker dan lain sejenisnya.
Artinya, banyak masyarakat yang abai terhadap aturan yang diterapkan oleh pemerintah. Mereka lebih mengedepankan kesenangan pribadi. Padahal, sikapnya itu sejatinya membahayakan dirinya sendiri dan orang lain. Dalam situasi seperti ini, seharusnya tokoh agama mengkampanyekan kebijakan pemerintah dalam rangka menjaga keselamatan jiwa bersama, bukan malah memprovokasi dan mencela pemerintah.
Sebut saja aturan PPKM Darurat, sebagai kebijakan teranyar dari pemerintah dalam menyikapi lonjakan gelombang Covid-19 kedua ini, apakah di dalamnya ada perintah untuk bermaksiat? Tentu saja tidak ada. Yang ada justru, pemerintah sedang menjalankan tugas dan kewajibannya, yakni menjaga jiwa rakyatnya.
Dalil Wajib Menaati Pemerintah untuk Kemashlahatan
Berbicara tentang ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya, harus dimaknai secara luas pula. Misalnya, bersungguh-sungguh menaati pemerintah pada masa wabah. Yang demikian ini bukan berarti sikap dan pilihan yang buruk. Justru menaati pemerintah dalam hal ma’ruf (yang baik) termasuk ibadah. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam QS. An-Nisa: 59:
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
Ulama otoritatif seperti Ibnu Katsir dalam tafsirnya (2/345) menyebutkan bahwa ayat di atas mencakup setiap pihak yang menjadi ulil amri, baik pemerintah maupun ulama. Inilah yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim terhadap anknya, Nabi Ismail. Beliau lebih mengedepankan perintah Allah ketimbang egonya sendiri.
Begitu juga dalam konteks wabah yang masih membuncah seperti saat ini, menaati pemerintah dalam perkara ma’ruf merupakan prinsip utama dalam ajaran Islam. Untuk itu, ketika seorang Muslim menaati pemerintah, niatkan dengan penuh ikhlas dan sungguh-sungguh sebagai ibadah.
Dalam sebuah hadis dijelaskan bahwa tidak taat kepada pemerintah termasuk perbuatan maksiat. Rasulullah bersabda:
“Barang siapa menaatiku, sungguh dia telah menaati Allah. Barang siapa memaksiatiku, sungguh dia telah bermaksiat kepada Allah. Barang siapa menaati pemimpin, sungguh dia telah menaatiku. Dan barang siapa bermaksiat (tidak taat) kepada pemimpin, sungguh dia telah bermaksiat kepadaku.” (HR. Bukhari no. 2957 dan Muslim no. 1835).
Ulama kenamaan dan reputasinya tak diragukan lagi seperti Ibnu Hajar Asqalani menjelaskan bahwa hadis tersebut merupakan salah satu dalil wajibnya menaati pemimpin atau pemerintah (penguasa), dengan syarat/catatan dalam perkara yang bukan maksiat. Ibnu Hajar juga menjelaskan lebih lanjut bahwa diantara hikmahnya adalah terjaganya persatuan kaum muslimin. Dan jika dikontekstualisasikan, maka hikmahnya adalah untuk menjaga jiwa umat.