Mengatasi Wajah Janus Politik Identitas

Politik identitas membingungkan. Tidak hanya dalam tataran praktik. Namun juga dalam ranah konsep. Sebagian kalangan, menilai bahwa politik identitas adalah sesuatu yang wajar. Absah. Bahkan niscaya untuk diperjuangkan. Sebaliknya, sebagian yang lain, menyakini politik identitas adalah bahaya. Virus dalam kancah kehidupan berbangsa dan bernegara. Terlebih, bagi bangsa yang multi identitas. Di titik inilah, kita menemukan wajah janus politik identitas.

Dalam mitologi Yunani, Janus digambarkan sebagai dewa bermuka dua. Menghadap ke arah yang berlawanan. Satu muka menunjukkan optimisme, harapan perubahan dan masa depan. Satu mukanya lagi pesimisme, keraguan, kegalauan, kesuraman yang meyimbolkan situasi tak menyenangkan. Analogi ini, tidak jauh berbeda dengan politik identitas. Dalam artian, politik identitas memiliki dua sisi. Dilihat sebagai sesuatu yang wajar, bahkan niscaya. Di sisi lain, dianggap tidak wajar dan destruktif.

Dalam kajian ilmu politik, paradoksal politik identitas ini erat kaitannya dengan definisi politik itu sendiri. Di awal kemunculannya, politik adalah upaya mengatur kehidupan bersama. Sesuai akar kata politik dari kata polis. Dalam bahasa Yunani, polis diartikan sebagai kota. Karena itu, pengetahuan dan upaya mengatur kehidupan kota (polis) yang baik, disebut sebagai politik. Pandangan positif terhadap politik ini dapat mudah ditemukan dalam pemikiran filsuf Yunani kuno. Semisal Socrates, Plato, dan Aristoteles.

Di era berikutnya, pemikir Barat menawarkan makna lain. Arti yang relatif bertolak belakang. Melihat sisi negatif wajah politik. Tokoh yang mudah dirujuk adalah Niccolo Machiavelli (1469-1527). Bagi Machiavelli, dalam dunia politik, wajar adanya menghalalkan segala cara. Yang penting kekuasaan dapat diraih dan dipertahankan.

Lebih mutakhir lagi, Harold D. Lasswell mendefinisikan politik sebagai siapa mendapatkan apa, kapan, dan bagaimana (who gets what, when, and how). Politik tidak lain adalah berebut kekuasaan.

Ditambah lagi, dalam kajian ilmu sosial, identitas dipahami sebagai sesuatu yang melekat pada diri seseorang (identity is the fact of being or feeling that you are). Baik yang berkaitan dengan dengan latar belakang suku, agama, ras, ataupun golongan. Karena itu, seseorang tidak mungkin hidup tanpa identitas. Lebih dari itu, identitas ini yang mempengaruhi cara pandang dan tindakannya. Termasuk memperjuangkannya.

Kajian politik identitas dalam ilmu politik menarik banyak pihak setelah disimposiumkan. Tepatnya adalah pertemuan internasional Asosiasi Ilmuan Politik Internasional di Wina pada 1994. Agnes Haller (1995) memaparkan definisi politik identitas sebagai konsep dan gerakan politik yang fokus perhatiannya adalah pada perbedaan (difference) sebagai suatu kategori perjuangan politik.

Tidak jauh berbeda, Cressida Heyes mendefinisikan politik identitas sebagai aktivitas politis yang didasarkan pada identitas. (Cressida Heyes, 2007). Dengan kata lain, politik identitas adalah politik yang mengedepankan kepentingan suatu kelompok. Terikat dengan kesamaan identitas atau karakteristik, baik berbasis ras, etnisitas, gender, atau agama.

Dari tilikan ini, tidak aneh jika politik identitas memiliki wajah ganda. Wajah janus politik identitas, di satu sisi, dipahami sebagai kewajaran. Memperjuangkan kepentingan dan aspirasi masing-masing kelompok. Di satu sisi, politik identitas dianggap merusak, karena memiliki potensi benturan antar satu identitas dengan identitas lainnya.

Wajah Positif Politik Identitas

Perjuangan identitas adalah bagian dari perjuangan kemanusiaan. Dimana satu identitas, secara faktual tertindas. Ditambah lagi, tidak sedikit doktrin agama yang menentang kesewenang-wenangan. Sejarah mencatat adanya tokoh, komunitas, dan institusi keagamaan bisa berperan menjadi penjaga moral masyarakat serta pengkritik kekuasaan yang garang.

Bahkan, agama bisa menjadi sumber energi luar biasa untuk melakukan perlawanan terhadap rezim korup dan despotik. Sejarah gerakan Gereja Katolik di Amerika Latin, Black Chruches di Amerika Serikat, Sufi Sanusiyah di Lybia, atau Tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah di Banten, Indonesia, hanyalah contoh sejarah dimana agama telah melakukan fungsi kritisnya. Agama menjadi medium kritik sosial sebuah masyarakat sekaligus sarana perubahan politik sebuah tatanan kekuasaan.

Politik identitas (agama) dalam konteks sejarah Indonesia mengalami pasang surut. Relasi agama dan politik dapat dibagi menjadi 4 zaman; Kolonial, Orde Lama, Orde Baru, dan Era Revormasi. Pada masa Kolonial, agama berperan ganda; sebagai legitimasi kolonialisme sekaligus kritik sosial. Banyak tokoh agama yang bekerja dengan pemerintah kolonial. Tetapi pada saat yang bersamaan, juga banyak di antara mereka yang menjadi pengkritik dan melawan kolonial.

Pada zaman Orde Lama, Presiden Sukarno di satu sisi mengakomodasi tokoh-tokoh muslim Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, dan Masyumi. Bahkan tokoh dari organisasi ini terjun ke dalam politik praktis. Yakni dengan mendirikan partai politik. Di sisi lain, pemerintah juga tegas melakukan tindakan militer terhadap DI/TI, NII, dan lainnya.

Pada masa Orde Baru, Presiden Suharto tidak melirik kelompok Islam meskipun pada awalnya mereka digandeng untuk mengantarkan jalan kekuasaan. Dalam perjalanannya, Islam politik tidak banyak diberi ruang. Stabilitas politik untuk pembangunan diutamakan. Pancasila sebagai asas ideologi tunggal diterapkan.

Selain itu, Pak Harto lebih tertarik menggandeng kelompok abangan-kejawen dan kalangan militer. Baru pada awal 1990-an, ia tertarik “melirik” Islam dengan menggaet kelompok kelas menengah teknokrat di bawah bendera ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia) setelah terjadi friksi dengan sejumlah petinggi militer.

Pada Era-Revormasi, keran kebebasan dibuka kembali lebar-lebar. Indonesia menjadi bebas. Salah satu konsekuensinya ialah lahirlah partai-partai berbasis agama. Masing-masing mengonsolidasikan kekuatan politik identitas mereka.

Di kalangan umat Islam misalnya, Deliar Noer menghendaki didirikannya partai Islam. Partai yang menampung aspirasi umat. Didukung oleh beberapa aktivis Islam, akhirnya didirikan Partai Umat Islam (PUI). Kalangan Islam tradisionalis, yakni Nahdlatul Ulama (NU) memelopori berdirinya Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). PKB dapat disebut lahir dari rahim tokoh-tokoh NU, khususnya KH. Abdurrahman Wahid.

Demikian pula dengan lahirnya partai-partai agama lainnya, seperti Partai Damai Sejahtera (PDS), Partai Keadilan (PK), Partai Bulan Bintang (PBB), dan Partai Bintang Reformasi (PBR). Dari empat periodesasi ini, Islam menjadi identitas perjuangan politik. Namun, disalurkan dan diperjuangakan dalam koridor konstitusi.

Didasarkan pada Pancasila dan UUD 45 dalam bingkai NKRI. Dalam konteks ini, identitas Islam yang diperjuangkan dalam ranah politik dianggap wajar adanya. Tidak terbilang, tokoh-tokohnya memegang jabatan strategis. Mulai dari wilayah legislatif, eksekutif, hingga yudikatif.

Wajah Negatif Politik Identitas

Jika dilihat secara seksama, di awal berdirinya Republik Indonesia, politik identitas juga telah memberikan pelajaran berharga. Dimana identitas Islam digunakan sebagai basis melawan pemerintahan yang sah. DI/TI, NII, pemberontakan Daud Beureueh, dan Kahar Mudzakar adalah contah nyata. Sesama anak bangsa harus saling menumpahkan darah.

Tragedi sesama anak bangsa kembali terulang di kisaran tahun 1965. Kubu komunis, islamis, dan nasionalis saling angkat senjata. Tak terhitung, korban nyawa dipertontonkan. Dengan bentuk yang berbeda, Pilkada DKI Jakarta 2017 juga menyimpan trauma. Perbedaan identitas sesama anak bangsa dieksploitasi sedemikian hingga.

Masyarakat tersekat. Agamawan dan tempat-tempat ibadah dijadikan alat dan arena rebut kuasa. Hanya segelintir elit yang bermain, namun masyarakat awam merasakan dampaknya. Proses politik semacam ini disadari atau tidak, telah menggerus demokratisasi di Indonesia. Lantas bagaimana kita mengatasinya? Dan siapa saja yang bertanggungjawab?

Politik identitas harus diminimalisir dengan penguatan identitas nasional. Bangsa Indonesia tidak boleh terjebak pada solidaritas kelompok yang melahirkan primordialisme dan chauvinisme. Terjebak pada fanatisme kedaerahan, kesukuan, agama, golongan, serta kelompok-kelompok lainnya.

Selain itu, politik identitas tak bisa dilawan dengan politik identitas “yang lebih lunak”. Ia harus dilawan dengan politik yang mengutamakan kepentingan publik di atas kepentingan pribadi dan golongan.

Lebih dari itu, pencegahan terjadinya politik identitas pada Pemilu 2024 merupakan tanggung jawab multisektor. Mencakup pemerintah, partai politik, penyelenggara pemilu, dan kelompok masyarakat sipil. Masing-masing harus mengambil peran. Sesuai dengan kapasitas dan fungsi masing-masing.

Pengalaman telah mengajari bangsa Indonesia. Bahwa politik identitas, pada hakikatnya hanya elit yang menikmatinya. Namun, resikonya sangat besar. Yakni keutuhan hidup berbangsa dan bernegara. Sebagai anak bangsa yang baik, tentu kita tidak ingin ikut bertaruh di dalamnya.

Semoga penjelasan tentang wajah janus politik identitas ini memberikan manfaat. Pun kita berharap Indonesia tetap aman, harmoni dan damai. Wallhu a’lam bishawab.

BINCANG SYARIAH