Apakah Anda Sudah Mengenal Allah?

Pertanyaan ini mungkin jarang sekali kita dengar. Bahkan, bagi banyak orang akan terasa aneh dan terkesan tidak penting. Padahal, mengenal Allah dengan benar (baca: ma’rifatullah) merupakan sumber ketentraman hidup di dunia maupun di akherat. Orang yang tidak mengenal Allah, niscaya tidak akan mengenal kemaslahatan dirinya, melanggar hak-hak orang lain, menzalimi dirinya sendiri, dan menebarkan kerusakan di atas muka bumi tanpa sedikitpun mengenal rasa malu.

Berikut ini, sebagian ciri-ciri atau indikasi dari al-Qur’an dan as-Sunnah serta keterangan para ulama salaf yang dapat kita jadikan sebagai pedoman dalam menjawab pertanyaan di atas:

Pertama; Orang Yang Mengenal Allah Merasa Takut Kepada-Nya

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya yang merasa takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya adalah orang-orang yang berilmu saja.” (QS. Fathir: 28)

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “…Ibnu Mas’ud pernah mengatakan, ‘Cukuplah rasa takut kepada Allah sebagai bukti keilmuan.’ Kurangnya rasa takut kepada Allah itu muncul akibat kurangnya pengenalan/ma’rifah yang dimiliki seorang hamba kepada-Nya. Oleh sebab itu, orang yang paling mengenal Allah ialah yang paling takut kepada Allah di antara mereka. Barangsiapa yang mengenal Allah, niscaya akan menebal rasa malu kepada-Nya, semakin dalam rasa takut kepada-Nya, dan semakin kuat cinta kepada-Nya. Semakin pengenalan itu bertambah, maka semakin bertambah pula rasa malu, takut dan cinta tersebut….” (Thariq al-Hijratain, dinukil dari adh-Dhau’ al-Munir ‘ala at-Tafsir [5/97])

Kedua; Orang Yang Mengenal Allah Mencurigai Dirinya Sendiri

Ibnu Abi Mulaikah -salah seorang tabi’in- berkata, “Aku telah bertemu dengan tiga puluhan orang Shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sedangkan mereka semua merasa sangat takut kalau-kalau dirinya tertimpa kemunafikan.” (HR. Bukhari secara mu’allaq).

Suatu ketika, ada seseorang yang berkata kepada asy-Sya’bi, “Wahai sang alim/ahli ilmu.” Maka beliau menjawab, “Kami ini bukan ulama. Sebenarnya orang yang alim itu adalah orang yang senantiasa merasa takut kepada Allah.” (dinukil dari adh-Dhau’ al-Munir ‘ala at-Tafsir [5/98])

Ketiga; Orang Yang Mengenal Allah Mengawasi Gerak-Gerik Hatinya

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “..Begitu pula hati yang telah disibukkan dengan kecintaan kepada selain Allah, keinginan terhadapnya, rindu dan merasa tentram dengannya, maka tidak akan mungkin baginya untuk disibukkan dengan kecintaan kepada Allah, keinginan, rasa cinta dan kerinduan untuk bertemu dengan-Nya kecuali dengan mengosongkan hati tersebut dari ketergantungan terhadap selain-Nya. Lisan juga tidak akan mungkin digerakkan untuk mengingat-Nya dan anggota badan pun tidak akan bisa tunduk berkhidmat kepada-Nya kecuali apabila ia dibersihkan dari mengingat dan berkhidmat kepada selain-Nya. Apabila hati telah terpenuhi dengan kesibukan dengan makhluk atau ilmu-ilmu yang tidak bermanfaat maka tidak akan tersisa lagi padanya ruang untuk menyibukkan diri dengan Allah serta mengenal nama-nama, sifat-sifat dan hukum-hukum-Nya…” (al-Fawa’id, hal. 31-32)

Keempat; Orang Yang Mengenal Allah Selalu Mengingat Akherat

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, maka akan Kami sempurnakan baginya balasan amalnya di sana dan mereka tak sedikitpun dirugikan. Mereka itulah orang-orang yang tidak mendapatkan apa-apa di akherat kecuali neraka dan lenyaplah apa yang mereka perbuat serta sia-sia apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Huud: 15-16)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bersegeralah dalam melakukan amal-amal, sebelum datangnya fitnah-fitnah (ujian dan malapetaka) bagaikan potongan-potongan malam yang gelap gulita, sehingga membuat seorang yang di pagi hari beriman namun di sore harinya menjadi kafir, atau sore harinya beriman namun di pagi harinya menjadi kafir, dia menjual agamanya demi mendapatkan kesenangan duniawi semata.” (HR. Muslim)

Kelima; Orang Yang Mengenal Allah Tidak Tertipu Oleh Harta

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bukanlah kekayaan itu dengan banyaknya perbendaharaan dunia. Akan tetapi kekayaan yang sebenarnya adalah rasa cukup di dalam hati.” (HR. Bukhari). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seandainya anak Adam itu memiliki dua lembah emas niscaya dia akan mencari yang ketiga. Dan tidak akan mengenyangkan rongga/perut anak Adam selain tanah. Dan Allah akan menerima taubat siapa pun yang mau bertaubat.” (HR. Bukhari)

Keenam; Orang Yang Mengenal Allah Akan Merasakan Manisnya Iman

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ada tiga perkara, barangsiapa memilikinya maka dia akan merasakan manisnya iman…” Di antaranya, “Allah dan rasul-Nya lebih dicintainya daripada segala sesuatu selain keduanya.” (HR. Bukhari dan Muslim). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Akan bisa merasakan lezatnya iman orang-orang yang ridha kepada Rabbnya, ridha Islam sebagai agamanya, dan Muhammad sebagai rasul.” (HR. Muslim).

Ketujuh; Orang Yang Mengenal Allah Tulus Beribadah Kepada-Nya

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya setiap amal itu dinilai berdasarkan niatnya. Dan setiap orang hanya akan meraih balasan sebatas apa yang dia niatkan. Maka barangsiapa yang hijrahnya [tulus] karena Allah dan Rasul-Nya niscaya hijrahnya itu akan sampai kepada Allah dan Rasul-Nya. Barangsiapa yang hijrahnya karena [perkara] dunia yang ingin dia gapai atau perempuan yang ingin dia nikahi, itu artinya hijrahnya akan dibalas sebatas apa yang dia inginkan saja.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak memandang kepada rupa kalian, tidak juga harta kalian. Akan tetapi yang dipandang adalah hati dan amal kalian.” (HR. Muslim). Ibnu Mubarak rahimahullah mengingatkan, “Betapa banyak amalan kecil yang menjadi besar karena niat. Dan betapa banyak amalan besar menjadi kecil gara-gara niat.” (Jami’ al-’Ulum wal Hikam oleh Ibnu Rajab).

Demikianlah, sebagian ciri-ciri orang yang benar-benar mengenal Allah. Semoga Allah memberikan taufik kepada kita untuk termasuk dalam golongan mereka. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa sallam. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.

Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/5876-apakah-anda-sudah-mengenal-allah.html

Empat Tingkatan Mengenal Allah SWT, Apa Saja?

Mengenali Allah (makrifah Allah) merupakan hal yang amat sangat mendasar bagi setiap orang beriman. Menurut Abi Bakr al-Jazairi ada empat macam untuk bisa mengenal Allah. Prof Muhammad Amin Suma, dalam Tafsir Al-Amin Bedah Surah Al-Fatihah menjelaskan ada empat tingkatan mengenal Allah. 

Pertama tingkatan yang diraih para ilmuwan yang mengobservasi alam semesta (‘ulama al-kauniyyat). Keimanan mereka kepada Allah didapatkan dengan melakukan penalaran dan berargumentasi al-nazhar wa-al-istidlal.  

Kedua tingkatan keimanan orang-orang mukmin yang keimanannya lebih didasarkan pada sikap pengikutan (al-Iman al taqlidi) yang diperoleh mereka melalui rasa kesadaran diri yang bersifat fitrah (al-syuur al fithri) dan sebatas mengandalkan berita-berita yang disampaikan orang lain dalam pengertian menurut orang lain tentang eksistensi Allah dan kemasyhurannya (wujudillah wa syuhratiha). 

Tingkatan pengenalan Allah dengan cara yang kedua ini masih tergolong ke dalam tingkatan yang rendah, mengingat pemiliknya adalah orang-orang yang mukmin yang sedikit tipis ketakwaan, ketakutan, dan kecintaannya kepada Allah. 

Ketiga pengetahuan orang-orang mukmin dari kalangan ahli-ahli syariat ilahiah (ahl al-syar’i al-ilahiyyah) yang mampu mengenali Allah dengan mengacu kepada metode yang Allah berikan kepada mereka melalui berita dan petunjuknya, serta berita yang diperoleh dari orang yang lebih dulu mengenali Allah dengan cara yang benar berdasarkan kesaksian (as-syawahid) argumentasi (al-barahin) dan dalil-dalil (al-dillah) yang relevan dengan itu.  

Orang-orang mukmin terpelajar macam inilah yang kebanyakan mampu mencintai Allah seperti dicontohkan orang-orang berilmu sebagai pewaris Nabi sebagaimana dimaksud dalam surah Fathir ayat 28.

Dan keempat tingkatan pengetahuan para nabi dan rasul Allah sebagai tingkatan yang paling tinggi, lebih sempurna dan lebih lengkap. “Karena  dalam mengenal Allah mereka langsung dari Allah sendiri yang meliputi seluruh aspek keilmuan yang bersifat komprehensif dan sempurna (tamam),” katanya.

Dan keempat tingkatan pengetahuan para nabi dan rasul Allah sebagai tingkatan yang paling tinggi, lebih sempurna dan lebih lengkap. “Karena  dalam mengenal Allah mereka langsung dari Allah sendiri yang meliputi seluruh aspek keilmuan yang bersifat komprehensif dan sempurna (tamam),” katanya.

KHAZANAH REPUBLIKA

Hati adalah Raja, Tempat Kita Mengenal Allah ( 2-selesai)

Sambungan artikel PERTAMA

 Ibarat Emas

Hati merupakan instrumen penggerak dari aktifitas dan perilaku manusia. Perilaku seseorang tidak dapat terpisah dari kondisi hatinya. Bila bijaksana dalam mengupayakan hatinya maka seseorang dapat mempertimbangkan perbuatannya dan membawanya ke jalan yang benar.

Sebaliknya, jika tidak bijaksana maka akan memalingkannya ke jalan yang menyimpang, seperti riya’, hasud, tamak yang termasuk dari macam-macam penyakit hati.

Menurut Al-Ghazali, hati merupakan elemen yang berharga bagi seorang hamba. Ia mengatakan bahwa hati merupakan tempat mengenal Allah Subhanahu Wata’ala. Al-Ghazali menyebutkan bahwa didalam hatiterdapat hal-hal yang berarti; yaitu hati memiliki akal. Dan tujuannya adalah untuk mengenal Allah (al-ma’rifah).

Hati memiliki penglihatan yang di gunakan untuk berhadapan dengan kehadirat ilahi. Dan hati memiliki niat yang tulus dan keikhlasan dalam ketaatan terhadap AllahSubhanahu Wata’ala. Hati memiliki ilmu-ilmu dan kebijaksanaan yang menghantarkan seorang hamba kepada tingkat kemuliaan dan akhlak yang terpuji.

Oleh sebab itu menurut Al-Ghazali, sudah sepatutnya seorang hamba senantiasa menjaga dan merawat hatinya dari segala kekotoran duniawi agar kemuliaan hati tetap terlindungi dan terjaga dalam keagungan.

Sudah sepatutnya bagi seorang hamba senantiasa mengupayakan hatinya dalam keagungan dan kemuliaan agar hati senantiasa berada dalam kesadaran dan dapat menangkap kehadirat Allah Subhanahu Wata’ala . Rasulullah Shalallahu ‘alahi Wassallam.

Mengupayakan hati dalam kebaikan adalah hal yang mutlak di perlukan. Jangan sampai hati menjadi keruh karena kesalahan dan dosanya.  Sebab hati pula merupakan daya kekuatan dalam bertindak yang secara tidak langsung berpengaruh dalam tindakan seseorang.

Seseorang yang senantiasa melakukan maksiat adalah di sebabkan karena tidak mengetahui potensi-potensi yang ada di dalam hatinya.

Seorang ulama, Ibnu ‘Athoillah As-Sakandari, mengatakan bahwa tanda-tanda dari kematian hati seseorang adalah tidak merasa sedih ketika meninggalkan ketaatan terhadap Allah Subhanahu Wata’ala  dan tidak menyesal ketika melakukan kesalahan dan dosa. (Lihat Kitab Syarah al-Hikam, Muhammad bin Ibrahim, hal-42  juz 1)

Sudah sepatutnya bagi seorang hamba untuk senantiasa menjaga hati dari kekotoran dan dosa yang dapat memadamkan hatinya. Hati ibarat wadah yang terbuat dari emas. Maka jangan sampai mengisinya dengan hal yang tak berharga dan sia-sia agar nilai tinggi dari wadah itu tetap lestari. Wallahu a’lam bi as-showab.*/

 

Muhammad Anasmahasiswa fakultas Dirasat Islamiyah (studi keislaman UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

HIDAYATULLAH

Hati adalah Raja, Tempat Kita Mengenal Allah ( 1 )

HAKIKAT dari hati adalah tak terlihat dan samar bagi panca indera manusia. Namun keberadaan hati dapat dirasakan. Keberadaan hati pun termasuk perkara ghaib bagi manusia, sama halnya dengan ruh.

Oleh sebab itu, Imam al-Ghazali menempatkan hati sebagai hakikat ruh. Beliau menyebut hati sebagai bagian jenis malaikat. Karena, hati merupakan suatu bentuk yang abstrak bagi manusia atau tak dapat dilihat oleh panca indera. (al Ghazali dalam kitab Kimiya as Sa’adah)

Hati juga merupakan tempat memperolehnya pengetahuan hakiki setelah panca indera. Jika saja AllahSubhanahu Wata’ala tidak menciptakan hati bagi manusia, maka seseorang tidak akan mengetahui sesuatu sampai hakikatnya. Sebagaimana firman Allah Subhanahu Wata’ala  :

وَٱللَّهُ أَخۡرَجَكُم مِّنۢ بُطُونِ أُمَّهَـٰتِكُمۡ لَا تَعۡلَمُونَ شَيۡـًٔ۬ا وَجَعَلَ لَكُمُ ٱلسَّمۡعَ وَٱلۡأَبۡصَـٰرَ وَٱلۡأَفۡـِٔدَةَ‌ۙلَعَلَّكُمۡ تَشۡكُرُونَ (٧٨)

“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati agar kamu bersyukur.” (QS An-Nahl [16] : 78).

Ulama mengatakan hati merupakan tempatnya akal (fikiran), dan hati memiliki cahaya sebagai daya yangkarenanya akal bisa berfikir. (Lihat Kitab Jauhar at-Tauhid, Ibrahim al-Baijuri, hal-99).

Jadi, tanpa hati berserta cahayanya seorang manusia tidak dapat berfikir, serta tidak mampu membedakan antara kebaikan dan keburukan. Oleh sebab itu, hati adalah instrumen terpenting dalam diri manusia.

Objeknya tidak hanya kepada hal-hal yang bersifat profan, namun nilai objektifitas dari hati adalah untuk mencapaiperkara yang bersifat spiritual dan sakral, seperti halnya ketulusan atau keikhlasan dan rasa syukur, bahkan untuk mengenal Allah Subhanahu Wata’ala (al-ma’rifah).

Oleh karena itu, tanpa mengupayakan hati dapat menjerumuskan manusia ke dalam lembah kesesatan. Hal ini terjadi ketika orang-orang musyrik mendustakan kebenaran Rasulullah Shalallahu ‘alahi Wassallam sehingga membawa mereka ke dalam azab yang pedih. Sebagaimana telah Allah abadikan di dalam Al-Quran:

خَتَمَ ٱللَّهُ عَلَىٰ قُلُوبِهِمۡ وَعَلَىٰ سَمۡعِهِمۡ‌ۖ وَعَلَىٰٓ أَبۡصَـٰرِهِمۡ غِشَـٰوَةٌ۬‌ۖ وَلَهُمۡ عَذَابٌ عَظِيمٌ۬ (٧)

“Allah telah mengunci-mati hati dan pendengaran mereka (musyrikin) dan penglihatan mereka di tutup. Dan bagi mereka siksa yang amat berat.” (QS. Al-Baqarah [2] : 7).

Hati juga sarana vital dalam menerima suatu kebenaran. Seseorang tanpa mengupayakan hatinya dalam kebaikan maka akan terjatuh ke dalam kekufuran.

Hati sangat berpengaruh terhadap tindakan seseorang. Bila hatinya baik, maka baik pula perilakunya. Dan sebaliknya, jika hatinya keruh maka tindakannya pun buruk. Sebagaimana sabda Rasulullah Shalallahu ‘alahi Wassallam yang di riwayatkan sahabat Abu Abdillah An-Nu’man bin Basyir R.A :

“Sesungguhnya di dalam jasad (badan) terdapat segumpal daging, jika ia bagus maka seluruh jasadnya bagus. Dan jika rusak maka seluruh jasadnya pun rusak. Ingatlah! Segumpal daging itu adalah hati.” (HR Bukhari dan Muslim).

Seorang ulama mengatakan, “Hati adalah raja. Ketika yang merawatnya bagus maka rakyatnyapun bagus.” (Lihat Kitab Syarah Arba’in Nawawi, Yahya bin Syarafuddin, hal-29, hadis keenam)

Dalam hadits yang diriwayatkan Abu Sa’id Al-Khudri R.A, Rasulullah bersabda :

“Sepasang mata adalah petunjuk. Sepasang telinga adalah corong. Lisan adalah juru bicara. Kedua tangan adalah sayap. Perut adalah kasih sayang. Limpa adalah senyuman. Paru-paru adalah jiwa. Kedua pinggang adalah tipu daya. Dan hati adalah raja. Ketika rajanya bagus, maka rakyatnya pun bagus. Dan jika rajanya rusak maka rakyatnya pun rusak.” (HR Ibnu Hibban, Abu syaikh dan Abu Nu’aim).

Seorang ulama mengatakan, “Penglihatan, pendengaran dan indera pencium laksana daya kekuatan yang dilihat dan di pertimbangkan oleh jiwa. sedangkan hati adalah rajanya. Jika yang merawatnya baik maka baik pula rakyatnya.“ (Lihat Kitab Syarah Arba’in Nawawi, Yahya bin Syarafuddin, hal 29).

BERSAMBUNG

 

HIDAYATULLAH