Mereka adalah Orang-Orang yang Khusyuk dalam Salat (Bag. 3)

Renungan ketika sujud (lanjutan)

Oleh karena itu, termasuk di antara kesempurnaan sujud yang wajib adalah bersujud dengan meletakkan tujuh anggota badan: 1) wajah, 2) dua telapak tangan, 3) dua lutut, 4) dan ujung jari dua kaki. Inilah kewajiban yang Allah Ta’ala perintahkan kepada Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam.

Sedangkan di antara kesempurnaan sujud yang sunah adalah menempelkan langsung bagian wajah ke tempat sujud, sehingga bagian kepala menekan ke tempat sujud. Bagian yang paling rendah (yaitu, pantat) menjadi bagian yang paling tinggi.

Kesempurnaan sujud yang sunah lainnya adalah meletakkan anggota badan dalam posisi yang penuh dengan ketundukan. Yaitu, dia dekatkan perut dengan paha, paha dengan betis, dijauhkan tangan dari lambung, dan tidak meletakkannya di lantai (yaitu dengan diangkat). Sehingga setiap anggota badan tersebut dapat merealisasikan ‘ubudiyyah sesuai dengan porsinya masing-masing.

Oleh karena itu, ketika setan melihat manusia bersujud kepada Allah Ta’ala, dia pun menyingkir dan menangis, sambil berkata,

يَا وَيْلَهُ وَفِي رِوَايَةِ أَبِي كُرَيْبٍ يَا وَيْلِي أُمِرَ ابْنُ آدَمَ بِالسُّجُودِ فَسَجَدَ فَلَهُ الْجَنَّةُ وَأُمِرْتُ بِالسُّجُودِ فَأَبَيْتُ فَلِي النَّارُ

Celakalah aku, manusia disuruh bersujud, maka mereka pun bersujud sehingga mendapatkan surga. Sedangkan aku disuruh bersujud, lalu aku enggan, sehingga aku pun mendapatkan neraka.” (HR. Muslim no. 81)

Allah Ta’ala memuji orang-orang yang tersungkur bersujud kepada-Nya ketika mendengar kalam-Nya. Dan Allah mencela orang yang tidak bersujud ketika mendengar kalam-Nya. Oleh karena itu, pendapat yang menyatakan wajibnya sujud ketika itu lebih kuat dari sisi pendalilan. Demikian pula, ketika tukang sihir Fir’aun mengetahui benarnya Musa ‘alaihis salam dan kedustaan Fir’aun, mereka pun tersungkur bersujud kepada Allah Ta’ala. Sehingga sujud mereka menjadi pembuka keselamatan dan kebahagiaan, dan menjadi sebab ampunan perbuatan sihir yang mereka lakukan sebelumnya.

Allah Ta’ala pun mengabarkan sujudnya seluruh makhluk kepada-Nya. Allah Ta’ala berfirman,

وَلِلّهِ يَسْجُدُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الأَرْضِ مِن دَآبَّةٍ وَالْمَلآئِكَةُ وَهُمْ لاَ يَسْتَكْبِرُونَ يَخَافُونَ رَبَّهُم مِّن فَوْقِهِمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ

Dan kepada Allah sajalah bersujud segala apa yang berada di langit dan semua makhluk yang melata di bumi dan (juga) para malaikat, sedang mereka (malaikat) tidak menyombongkan diri. Mereka takut kepada Tuhan mereka yang di atas mereka dan melaksanakan apa yang diperintahkan (kepada mereka).” (QS. An-Nahl: 49-50)

Dalam ayat tersebut, Allah Ta’ala mengabarkan tentang keimanan mereka bahwa Allah adalah Zat yang Mahatinggi, juga Allah kabarkan ketundukan mereka dengan bersujud kepada-Nya dengan penuh pengagungan dan pemuliaan.

Allah Ta’ala juga berfirman,

أَلَمْ تَرَ أَنَّ اللَّهَ يَسْجُدُ لَهُ مَن فِي السَّمَاوَاتِ وَمَن فِي الْأَرْضِ وَالشَّمْسُ وَالْقَمَرُ وَالنُّجُومُ وَالْجِبَالُ وَالشَّجَرُ وَالدَّوَابُّ وَكَثِيرٌ مِّنَ النَّاسِ وَكَثِيرٌ حَقَّ عَلَيْهِ الْعَذَابُ وَمَن يُهِنِ اللَّهُ فَمَا لَهُ مِن مُّكْرِمٍ إِنَّ اللَّهَ يَفْعَلُ مَا يَشَاءُ

Tidakkah engkau mengetahui bahwa bersujud kepada Allah siapa yang ada di langit dan siapa yang ada di bumi, juga matahari, bulan, bintang, gunung, pohon, hewan melata, dan kebanyakan manusia? Akan tetapi, banyak (manusia) yang pantas mendapatkan azab. Siapa yang dihinakan Allah tidak seorang pun yang akan memuliakannya. Sesungguhnya Allah melakukan apa yang Dia kehendaki.” (QS. Al-Hajj: 18)

Orang-orang yang berhak mendapatkan azab adalah mereka yang tidak mau bersujud kepada-Nya. Mereka itulah yang Allah Ta’ala hinakan karena tidak mau bersujud kepada-Nya. Allah juga mengabarkan bahwa tidak ada seorang pun yang bisa memuliakan mereka.

Allah Ta’ala berfirman,

وَلِلّهِ يَسْجُدُ مَن فِي السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ طَوْعاً وَكَرْهاً وَظِلالُهُم بِالْغُدُوِّ وَالآصَالِ

Hanya kepada Allahlah siapa saja yang ada di langit dan di bumi bersujud, baik dengan kemauan sendiri maupun terpaksa. (Bersujud pula kepada-Nya) bayang-bayang mereka pada waktu pagi dan petang hari.” (QS. Ar-Ra’d: 15)

Merealisasikan ‘ubudiyyah merupakan puncak kesempurnaan seorang hamba. Kedekatan seorang hamba kepada Allah itu sebanding dengan seberapa besar hamba tersebut merealisasikan ‘ubudiyyah kepada-Nya. Salat merupakan amal yang menyatukan seluruh perkara ‘ubudiyyah, sehingga merupakan salah satu amal ibadah yang paling utama. Kedudukan salat di dalam Islam itu bagaikan tiang dalam sebuah bangunan. Adapun sujud, dia merupakan rukun salat yang paling afdal. Sujud merupakan rukun yang paling banyak diulang ketika seseorang mendirikan salat. Sujud juga merupakan penutup setiap rakaat salat. Sujud disyariatkan setelah rukuk, sehingga rukuk bagaikan pendahuluan sebelum sujud.

Ketika sujud, Allah Ta’ala syariatkan untuk membaca zikir yang sesuai dengan kondisi saat itu, yaitu ucapan zikir,

سبحان ربي الأعلى

Mahasuci Allah, Zat Yang Mahatinggi.

Inilah zikir yang paling afdal diucapkan ketika sujud. Tidak terdapat dalil dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa beliau memerintahkan secara langsung untuk membaca lafaz zikir yang lain selain lafaz tersebut. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

اجْعَلُوهَا فِي سُجُودِكُمْ

Jadikanlah ia sebagai bacaan sujud kalian.” (HR. Ahmad no. 17414, Abu Dawud no. 869, dinilai dha’if oleh Al-Albani dalam Dha’if Abu Dawud no. 152)

Kita memuji Allah dengan menyebut salah satu sifat Allah yang mulia, yaitu “Al-‘Uluw” (Zat yang Mahatinggi), dalam kondisi bersujud tersebut. Penyebutan sifat itu sangat sesuai dengan kondisi orang yang bersujud, ketika mereka menjatuhkan diri ke posisi paling rendah dengan bertumpukan wajahnya. Mereka menyebut sifat Al-‘Uluw ketika berada dalam posisi yang paling rendah. Sebagaimana mereka menyebutkan keagungan Allah Ta’ala ketika dalam posisi rukuk. Mereka pun menyucikan Allah dari segala sifat yang bertentangan dengan keagungan dan ketinggian-Nya.

Renungan ketika duduk di antara dua sujud

Ketika sujud disyariatkan untuk diulang sebanyak dua kali pada setiap rakaat, maka tentu harus ada jeda (pemisah) antara sujud pertama dan sujud kedua. Dalam duduk di antara dua sujud tersebut, disyariatkanlah doa yang sesuai, yaitu doa permintaan ampunan, rahmat, hidayah, ‘afiyah (keselamatan atau kesehatan), dan rezeki. Sehingga dalam doa ini terkandung permintaan untuk meraih semua kebaikan di dunia dan di akhirat, serta menghindarkan diri dari keburukan dunia dan akhirat.

Dengan rahmat Allah, seseorang akan mendapatkan semua bentuk kebaikan. Dengan ampunan Allah, seseorang akan terjaga dari semua bentuk keburukan. Dengan hidayah, seseorang akan mendapatkan kedua hal tersebut. Sedangkan rezeki merupakan sesuatu yang dapat menegakkan badan, baik berupa makanan dan minuman, dan juga sesuatu yang dapat menghidupkan hati dan ruh seseorang, baik berupa ilmu dan iman. Oleh karena itu, duduk di antara dua sujud merupakan tempat untuk memanjatkan doa ini, yang sebelumnya sudah didahului dengan sanjungan dan pujian untuk Allah Ta’ala, serta ketundukan kepada-Nya. Sehingga semua itu merupakan sarana dan muqaddimah (pendahuluan) untuk menyampaikan doa permintaan tersebut.

Kembali ke bagian 2: Mereka adalah Orang-Orang yang Khusyuk dalam Salat (Bag. 2)

Lanjut ke bagian 4: [Bersambung]

***

@Rumah Kasongan, 13 Muharram 1445/ 31 Juli 2023

Penulis: M. Saifudin Hakim

Artikel: Muslim.or.id

Catatan kaki:

Disarikan dari kitab Ta’zhim Ash-Shalat hal. 98-100, karya Syekh ‘Abdurrazzaq bin ‘Abdul Muhsin Al-Badr hafidzahullahu Ta’ala, cetakan pertama tahun 1434, penerbit Daar Al-Imam Muslim, Madinah KSA.

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/86834-mereka-adalah-orang-orang-yang-khusyuk-dalam-salat-bag-3.html

Mereka adalah Orang-Orang yang Khusyuk dalam Salat (Bag. 1)

Di antara petunjuk dari Allah Ta’ala adalah dengan menyebutkan hamba-hamba-Nya yang beriman, keberuntungan dan kebahagiaan mereka, dan juga sarana-sarana yang bisa mewujudkan hal tersebut. Terkandung dalam petunjuk itu adalah agar kita termotivasi untuk memiliki sifat (karakter) sebagaimana sifat yang mereka miliki. Sifat pertama dan utama dari sifat-sifat tersebut adalah khusyuk dalam salat.

Pengertian khusyuk

Khusyuk adalah menghadirkan hati ketika menghadap Allah Ta’ala dan mendekatkan diri kepada-Nya. Sehingga hati, jiwa, dan gerakan anggota badan pun menjadi tenang, tidak berpaling memikirkan hal-hal lainnya, dan menjaga adab ketika menghadap Rabb-Nya. Dia merenungi semua ucapan (zikir dan doa) dan juga gerakan dalam salat, sejak awal hingga akhir salat. Dengan sebab itu, hilanglah was-was dan pikiran-pikiran yang tidak berguna selama mendirikan salat. Inilah ruh dan inti salat, dan juga menjadi tujuan dari ibadah salat. Inilah salat yang dicatat pahala untuk orang yang mendirikannya. Salat yang tidak diiringi dengan khusyuk dan juga disertai dengan hati yang lalai itu bagaikan jasad yang tidak memiliki ruh.

Terdapat berbagai keajaiban dari nama-nama dan sifat-sifat Allah Ta’ala (yang diucapkan atau dibaca ketika salat) yang apabila direnungkan bisa mewujudkan khusyuk dalam salat. Namun hal itu tidaklah bisa terwujud, kecuali bagi orang-orang yang hatinya mengetahui makna-makna yang terkandung dalam Alquran dan hatinya tersebut juga telah merasakan manisnya keimanan. Sehingga dia pun benar-benar mengetahui bahwa setiap nama dan sifat Allah Ta’ala dalam setiap bacaan salat itu sesuai dengan tempatnya masing-masing.

Renungan ketika takbir dan membaca doa istiftah

Ketika seseorang berdiri menghadap Allah Ta’ala, dia hadirkan dalam hatinya bahwa Allah Ta’ala adalah Dzat Yang Maha berdiri sendiri (al-qayyuum). Ketika dia mengucapkan takbir (Allahu akbar), dia mempersaksikan kebesaran dan keagungan Allah Ta’ala.

Kemudian dia membaca doa istiftah berikut ini,

سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ تَبَارَكَ اسْمُكَ وَتَعَالَى جَدُّكَ وَلَا إِلَهَ غَيْرُكَ

“Maha suci Engkau, ya Allah. Aku sucikan nama-Mu dengan memuji-Mu. Nama-Mu penuh berkah. Maha tinggi Engkau. Tidak ada ilah (sesembahan) yang berhak disembah selain Engkau.”

Dia mempersaksikan dengan hatinya bahwa Allah Ta’ala adalah Rabb (Tuhan) yang tersucikan dari semua aib dan tidak memiliki sifat-sifat kekurangan. Allah Ta’ala berhak dipuji dengan semua pujian yang sesuai dengan keagungan dan kebesaran-Nya. Dalam pujian untuk Allah Ta’ala terkandung sifat kesempurnaan untuk Allah Ta’ala dari semua sisi. Konsekuensinya, Allah Ta’ala itu tersucikan dari semua sifat cela (aib) dan kekurangan.

Nama-Mu penuh keberkahan; tidaklah nama Allah Ta’ala disebut untuk sesuatu yang jumlahnya sedikit, kecuali Allah Ta’ala akan memperbanyak jumlahnya. Tidaklah nama Allah Ta’ala disebut untuk kebaikan, kecuali Allah Ta’ala akan menambah dan memberikan keberkahan pada perkara tersebut. Tidaklah nama Allah Ta’ala disebut untuk suatu penyakit, kecuali Allah Ta’ala akan menghilangkannya. Tidaklah nama Allah Ta’ala disebut kecuali setan akan terusir dengan hina dina.

Maha tinggi Engkau; Allah Maha tinggi dengan keagungan dan kebesaran-Nya. Allah Maha tinggi sehingga tidak mungkin menerima sekutu dalam kerajaan-Nya, dalam rububiyyah, uluhiyyah, nama-nama, dan sifat-sifat-Nya.

Renungan ketika membaca doa taawuz

Ketika seorang hamba mengucapkan,

أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ

“Aku berlindung kepada Allah dari setan yang terkutuk”; dia memohon perlindungan dengan kekuatan Allah Ta’ala, dia bersandar dengan daya dan kekuatan Allah Ta’ala agar terhindar dari kejahatan musuh (setan) yang berusaha untuk mengganggu dan menjauhkan dirinya dari ibadah dan mendekatkan diri kepada Rabbnya.

Renungan ketika membaca surat Al-Fatihah

Ketika seorang hamba mengucapkan,

الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ

“Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam”; dia pun berdiri sejenak menunggu jawaban dari Rabbnya,

حَمِدَنِي عَبْدِي

“Hamba-Ku memujiku.”

Ketika seorang hamba mengucapkan,

الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

“Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang”; dia pun berdiri sejenak menunggu jawaban dari Rabbnya,

أَثْنَى عَلَيَّ عَبْدِي

“Hamba-Ku menyanjungku.” (Sanjungan yaitu pujian yang berulang-ulang, pent.)

Ketika seorang hamba mengucapkan,

مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ

“Yang menguasai hari pembalasan”; dia pun berdiri sejenak menunggu jawaban dari Rabbnya,

مَجَّدَنِي عَبْدِي

Allah Ta’ala berfirman, “Hamba-Ku memuliakanku.”

Betapa lezat kenikmatan yang dirasakan oleh hatinya, kesejukan (kedamaian) yang dirasakan oleh matanya, dan juga kebahagiaan yang dirasakan oleh jiwanya, dengan perkataan Rabbnya,

عَبْدِي

“Hamba-Ku”, sebanyak tiga kali (HR. Muslim no. 395).

Demi Allah, seandainya dalam hati manusia itu tidak ada kabut syahwat dan gelapnya jiwa, tentu hati tersebut akan terliputi dengan kebahagiaan dan kegembiraan ketika Rabbnya mengatakan kepadanya dengan perkataan-perkataan seperti tersebut dalam hadis di atas.

Kemudian hatinya pun berusaha untuk menghadirkan tiga nama Allah Ta’ala, yang merupakan inti dari asmaaul husnaa, yaitu nama “Allah” (الله); “Ar-Rabb” (الرب); dan nama “Ar-Rahman” (الرحمن).

Ketika menyebut nama “Allah” (الله), dia mempersaksikan bahwa Allah Ta’ala adalah Dzat yang berhak untuk diibadahi. Ibadah tersebut tidaklah layak ditujukan kepada selain Allah Ta’ala. Semua makhluk tunduk dan menyerahkan diri kepada Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman,

تُسَبِّحُ لَهُ السَّمَاوَاتُ السَّبْعُ وَالأَرْضُ وَمَن فِيهِنَّ وَإِن مِّن شَيْءٍ إِلاَّ يُسَبِّحُ بِحَمْدَهِ

Langit yang tujuh, bumi, dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tidak ada suatu pun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka(QS. Al-Isra’ [17]: 44).

Allah Ta’ala juga berfirman,

وَلَهُ مَن فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ كُلٌّ لَّهُ قَانِتُونَ

Dan kepunyaan-Nyalah siapa saja yang ada di langit dan di bumi. Semuanya tunduk hanya kepada-Nya(QS. Ar-Ruum [30]: 26).

Ketika menyebut “Rabbul ‘alamiin” (رَبِّ الْعَالَمِينَ), dia mempersaksikan bahwa Allah adalah Dzat yang Maha berdiri sendiri, tidak membutuhkan satu pun makhluk, bahkan semua makhluk butuh kepada Allah Ta’ala. Allah Ta’ala tinggi di atas ‘arsy-Nya. Allah Ta’ala satu-satunya Dzat yang mengurusi dan memelihara makhluk-Nya. Semua urusan ada di tangan-Nya. Semua pengaturan dan pemeliharaan tersebut berasal dari Allah Ta’ala, melalui perantaraan malaikat yang bertugas untuk memberi atau mencegah (rizki), menundukkan atau memuliakan, menghidupkan atau mematikan, memberikan kekuasaan atau menimpakan kehinaan, mengangkat semua kesulitan (musibah), dan mengabulkan doa orang-orang yang membutuhkan.

Allah Ta’ala berfirman,

يَسْأَلُهُ مَن فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ كُلَّ يَوْمٍ هُوَ فِي شَأْنٍ

Semua yang ada di langit dan bumi selalu meminta kepada-Nya. Setiap waktu Dia dalam kesibukan(QS. Ar-Rahman [55]: 29).

Ketika menyebut nama “Ar-Rahman” (الرحمن), dia mempersaksikan bahwa Allah Ta’ala adalah Dzat yang telah berbuat baik kepadanya dengan memberikan berbagai macam nikmat dan kebaikan. Ilmu dan rahmat-Nya meliputi semua makhluk-Nya. Nikmat-Nya meliputi semua makhluk-Nya. Allah Ta’ala meliputi makhluk dengan segala nikmat dan keutamaan-Nya. Allah Ta’ala istiwa’ di atas ‘arsy dengan rahmat-Nya, Allah Ta’ala menciptakan makhluk dengan rahmat-Nya, menurunkan kitab-kitab dengan rahmat-Nya, mengutus rasul dengan rahmat-Nya, membuat aturan syariat dengan rahmat-Nya, menciptakan surga dan neraka juga dengan rahmat-Nya.

Renungkanlah bahwa dalam perintah, larangan, dan wasiat-Nya terdapat kasih sayang yang sempurna dan kenikmatan yang banyak. Rahmat (kasih sayang) adalah sebab yang menghubungkan Allah Ta’ala dengan hamba-Nya. Sebaliknya, ‘ubudiyyah (ibadah) adalah sebab dan sarana yang mengantarkan seorang hamba kepada Allah Ta’ala.

Dan termasuk rahmat-Nya yang bersifat khusus adalah rahmat-Nya sehingga dia bisa berdiri (salat) menghadap Rabbnya. Allah Ta’ala menjadikan dirinya sebagai hamba yang bisa mendekatkan diri dan bermunajat kepada-Nya. Allah Ta’ala memberikan nikmat tersebut kepada dirinya dan tidak kepada yang lainnya. Dia juga bisa menghadirkan hatinya untuk menghadap Allah Ta’ala dan berpaling dari selain Allah Ta’ala. Itu semua termasuk perwujudan kasih sayang Allah Ta’ala kepada dirinya.

Lalu dia pun membaca,

مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ

Yang menguasai hari pembalasan(QS. Al-Fatihah [1]: 4).

Ketika seseorang mengucapkan ayat tersebut, dia bersaksi tentang kemuliaan Allah Ta’ala sebagai Raja yang haq. Dia bersaksi bahwa Allah adalah Raja yang Maha kuasa. Makhluk benar-benar tunduk kepada-Nya dan segala macam kekuatan tunduk pula kepada keperkasaan-Nya. Dia bersaksi di dalam hatinya bahwa Allah adalah Raja yang Maha mengawasi yang ber-istiwa’ di atas ‘arsy.  Raja dan penguasa yang haq dan sempurna, pasti adalah Dzat yang maha hidup, maha berdiri sendiri, maha mendengar, maha melihat, dan maha memelihara.

Kemudian sampailah dia dengan ayat,

إِيَّاكَ نَعْبُدُ وإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ

Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan(QS. Al-Fatihah [1]: 5).

Dalam ayat ini, terkandung tujuan yang paling utama dan juga sarana yang paling agung untuk meraih tujuan paling mulia tersebut. Tujuan paling utama dalam hidup ini adalah untuk menegakkan ‘ubudiyyah kepada Allah Ta’ala. Sedangkan sarana terbesar untuk bisa menegakkan ‘ubudiyyah tersebut adalah adanya pertolongan dari Allah Ta’ala. Tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah Ta’ala semata. Tidak ada yang memberikan pertolongan untuk beribadah kepada-Nya kecuali Allah Ta’ala saja.

Kalimat ini mengandung dua macam tauhid, yaitu tauhid rububiyyah dan tauhid uluhiyyah. ‘Ubudiyyah tersebut dikandung oleh nama Allah Ta’alaAr-Rabb” dan “Allah”. Allah Ta’ala diibadahi karena memiliki hak uluhiyyah, dan Allah Ta’ala dimintai pertolongan karena sifat rububiyyah-Nya. Allah Ta’ala memberikan hidayah (petunjuk) ke jalan yang lurus dengan sebab rahmat-Nya. Oleh karena itu, di awal surat disebutkan nama “Allah”, “Ar-Rabb”, dan “Ar-Rahman” yang ini bersesuaian dengan permintaan untuk bisa beribadah kepada-Nya, meminta pertolongan kepada-Nya, dan meminta hidayah kepada-Nya.

Dia-lah satu-satunya Dzat yang memiliki kekuasaan untuk memberikan itu semuanya. Tidak ada yang bisa membantunya untuk beribadah kepada Allah kecuali Allah Ta’ala, dan tidak ada yang bisa memberikan hidayah kecuali Allah Ta’ala saja.

Kemudian seseorang mengucapkan,

اهدِنَــــا الصِّرَاطَ المُستَقِيمَ

Tunjukilah kami jalan yang lurus(QS. Al-Fatihah [1]: 6).

Hatinya hadir dan menunjukkan bahwa dia sangat butuh dan urgen (mendesak) untuk meminta hidayah tersebut. Seakan-akan tidak ada perkara lain yang lebih dia butuhkan melebihi permintaan hidayah tersebut. Hidayah itu dibutuhkan oleh setiap jiwa dalam setiap kesempatan. Apa yang kita minta dalam doa tersebut tidaklah terwujud kecuali kita mendapatkan hidayah untuk bisa meniti jalan yang lurus menuju Allah Ta’ala. Kita mendapatkan taufik untuk mewujudkan hidayah tersebut sesuai dengan yang dicintai dan diridhai oleh Allah Ta’ala, dan juga menjaganya dari hal-hal yang bisa merusaknya.

Kemudian jelaslah bahwa orang-orang yang mendapatkan hidayah tersebut adalah orang-orang yang memang mendapatkan nikmat dan karunia dari Allah Ta’ala. Bukan orang-orang yang dimurkai (غَيرِ المَغضُوبِ عَلَيهِمْ), yaitu orang-orang yang mengetahui kebenaran (al-haq) namun tidak mau mengikuti kebenaran tersebut. Bukan pula orang-orang yang sesat (وَلاَ الضَّالِّينَ), yaitu orang-orang yang beribadah kepada Allah Ta’ala tanpa dasar ilmu. Dua kelompok tersebut sama-sama berserikat dalam hal berkata tentang Allah, tentang ciptaan, perintah, nama, dan sifat-Nya namun tanpa ilmu. Adapun jalan orang-orang yang mendapatkan nikmat tersebut berbeda dengan dua kelompok tersebut, baik dari sisi ilmu dan amal.

Ketika dia selesai dari pujian, doa, dan juga tauhid yang terkandung dalam surat Al-Fatihah, disyariatkan baginya untuk mengucapkan “aamiin”, sebagai penutup dan juga diiringi oleh malaikat yang ada di langit. Ucapan “aamiin” ini merupakan perhiasan salat, sebagaimana mengangkat dua tangan juga merupakan perhiasan salat, dan juga bentuk mengikuti sunah, mengagungkan perintah Allah, dan juga sebagai syiar berpindah dari satu rukun ke rukun yang lain.

***

Penulis: dr. M. Saifudin Hakim, MSc., PhD

Artikel: Muslim.or.id

Catatan kaki:

Disarikan dari kitab Ta’zhiim Ash-Shalaat hal. 89-94, karya Syekh  ‘Abdurrazzaq bin ‘Abdul Muhsin Al-Badr hafidzahullahu Ta’ala, cetakan pertama tahun 1434, penerbit Daar Al-Imam Muslim, Madinah KSA.

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/60553-mereka-adalah-orang-orang-yang-khusyuk-dalam-salat-bag-1.html