Metode Rukyat Atau Hisab yang Didahulukan dalam Menetapkan Puasa Ramadhan

Untuk mengetahui pergantian bulan, dari satu bulan ke bulan lainnya,  Kaum Muslimin mengenal 2 metode dalam mengetahuinya, yaitu metode Rukyat (melihat bulan) dan Hisab (perhitungan). Terlebih dalam konteks bulan Ramadhan, sebab ini terkait puasa. Rasulullah SAW sendiri sebenarnya sudah memberikan panduan dalam mengetahuinya, beliau SAW bersabda; 

عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ ذَكَرَ رَمَضَانَ فَقَالَ: «لَا تَصُومُوا حَتَّى تَرَوُا الْهِلَالَ، وَلَا تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ، فَإِنْ أُغْمِيَ عَلَيْكُمْ فَاقْدِرُوا لَهُ»

“Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar bahwasanya Rasulullah SAW bersabda “janganlah kalian berpuasa, kecuali kalian telah melihat hilal (bulan). Dan janganlah kalian berbuka, hingga kalian juga melihatnya. Namun jika hilalnya tertutupi, maka kira-kirakanlah”. (Sahih Muslim  II/759)

Secara leksikal, Rasulullah memerintahkan kita menggunakan pendekatan Ru’yat, bukan Hisab. Namun Imam Al-Nawawi, selaku komentator hadis ini, menjelaskan bahwasanya ada berbagai redaksi yang beredar, yang mana berimplikasi pada interpretasinya. Di antaranya adalah sebagai berikut;

“Dalam riwayat lain ada tambahan Faqdiru Lahu Tsalatsina (maka kira-kira kaulah sampai tanggal 30, yakni Istikmal), kemudian dalam riwayat lain menggunakan redaksi fain ghamma alaikum fasumu tsalatsina yauman (jika hilal tertutupi mendung, maka puasalah kalian sampai hari ke 30), dan masih banyak lagi riwayat lain. 

Hanya saja ulama’ berbeda pendapat mengenai makna dari Faqdiru lahu, ada yang berpendapat bahwa yang dimaksudkan adalah dipersempit dan dikira-kirakan sesuai kondisi awan. Ini adalah pendapatnya Imam Ahmad bin Hambal dan ulama lainnya yang memperbolehkan puasa di malam yang mendung di bulan Ramadhan. 

Sedangkan menurut Ibnu Suraij, Mutharrif bin Abdillah, Ibnu Quthaibah dan lainnya, makna Faqdiru adalah dikira-kirakan dengan menggunakan metode Hisab. Adapun Imam Malik, Imam Syafii, dan mayoritas ulama’ berpendapat bahwa yang dimaksudkan adalah dikira-kirakan dengan menyempurnakan puasa sampai tanggal 30. 

Dan menurut Imam Al-Marizi, Sabda Nabi Saw yang berbunyi Faqdiru lahu itu dimaksudkan pada penyempurnaan puasa sampai tanggal 30, yang demikian adalah interpretasi dari mayoritas ahli fikih. Dan mereka beranggapan bahwa sabda Nabi SAW tersebut tidak bisa dimaksudkan dengan perkiraannya ahli hisab.” (Al-Minhaj Syarh Sahih Muslim ,VII/189)

Jadi terdapat perbedaan di kalangan ulama’ mengenai pendekatan apa yang digunakan dalam penentuan masuknya bulan puasa, dalam literatur fikih juga disebutkan mengenai hal demikian. Dijelaskan:

وفي مغني الخطيب ما نصه: (فرع) لو شهد برؤية الهلال واحد أو اثنان واقتضى الحساب عدم إمكان رؤيته. قال السبكي: لا تقبل هذه الشهادة، لأن الحساب قطعي والشهادة ظنية، والظن لا يعارض القطع. وأطال في بيان رد هذه الشهادة، والمعتمد قبولها، إذ لا عبرة بقول الحساب.

Dalam kitab Mughni Al-Muhtaj karya Syekh Khatib Al-Syirbini terdapat sebuah pembahasan “ketika ada 1 atau 2 orang yang melihat hilal, sedangkan menurut pendekatan Hisab, hilal itu tidak mungkin dilihat, maka menurut Imam Al-Subki, persaksian orang tadi tidak bisa diterima. 

Sebab pendekatan Hisab itu sifatnya qat’i (pasti), sedang sifat dari Ru’yat itu dzanni (praduga), dan perkara yang dzanni itu tidak bisa mengalahkan yang qat’i. Syekh Khatib Al-Syirbini membahas penolakan persaksian orang tadi dengan panjang lebar dalam kitabnya, namun menurut pendapat yang mu’tamad, persaksian orang tadi bisa diterima, sebab perkataannya ahli hisab itu tidak dianggap. (I’anah al-Thalibin, II/243)

Dalam kitab lain dijelaskan bahwasanya “Menurut Ibnu Rif’ah dalam kitab Al-kifayah, informasi dari Ahli hisab atau nujum itu dianggap cukup sebagai pertanda masuknya bulan puasa. 

Pendapat ini diafirmasi oleh Imam Al-zarkasyi dan Imam Al-Subki, dan Syekh Muzajjad dalam kitabnya yang berjudul Al-I’ab, berpedoman pada pendapat ini. Hanya saja, ketika hasil dari Hisab dan Ru’yat bertentangan, maka yang diamalkan adalah hasil dari rukyat, yang demikian adalah pendapat semua ulama’ fikih”. (Bughyat Al-Mustarsyidin, h. 227)

 Bahkan Syekh Ibrahim Al-Baijuri berpendapat bahwasanya tidak wajib puasa, ketika yang mengabarkannya adalah ahli hisab atau nujum. (Hasyiyah Al-Baijuri,II/402)

Jadi demikianlah silang pendapat yang terjadi dalam kalangan ahli fikih. Menggunakan metode rukyat lebih didahulukan oleh Mayoritas ahli fikih, dengan bertendensi pada Hadis di atas.

Adapun dalam konteks Indonesia, maka cukup bagi kita untuk mengikuti sidang isbat dari Kementrian Agama. Apapun hasilnya, kita boleh mengikutinya. Sekian, penjelasan terkait metode rukyat dan hisab. semoga bermanfaat. Allahumma Barik lana Fi Rajaba Wa Sya’bana Wa Ballighna Ramadhana, Amin Ya Rabb.

BINCANG SYARIAH