September 1990, tepat di hari ulang tahunnya yang ke-63, suatu ‘kado’ paling berharga diterima Masagung (Pendiri gunung Agung) dari Sang Maha Pencipta. Kado itu adalah masuk Islamnya anak ketiga Masagung, Ketut Masagung. “Saya mendapatkan hadiah yang sangat besar dari Allah SWT, yaitu telah dibukakan oleh Allah hati anak saya yang ketiga untuk memeluk Islam.
Inilah suatu hadiah yang tidak ternilai besarnya,” ujar Masagung ketika itu. Dengan dibimbing tokoh Islam, Dr Imaduddin Abdurrahim, Ketut mengucapkan dua kalimat syahadat di Masjid Al A’raf, Jakarta. Namanya mendapat tambahan Abdurrahman. Jadilah Ketut Abdurrahman Masagung, satu-satunya anak Masagung yang mengikuti jejak ayahnya.
Yang lain, Oka Masagung dan Putra Masagung, masih pada agama lamanya. Berbeda dengan Oka dan Putra yang kini lebih banyak bermukim di Amerika untuk berbisnis, Ketut memfokuskan peninggalan ayahnya di bidang bisnis di dalam negeri.
Bagi Masagung, kado ultah itu tak ternilai harganya. Ia menjadi kekuatan dan spirit baru dalam perjuangannya menegakkan dan mengembangkan Islam di Indonesia. Spirit itu pula yang ia wariskan dan diharapkan dapat dilanjutkan realisasinya kepada penerusnya, Ketut Masagung. Karena itulah, usai menyaksikan pengucapan dua kalimat syahadat Ketut, sebagaimana dikutip dalam buku Syahadat Ketut Masagung, salah seorang tokoh pembauran etnis Cina ini mewasiatkan kepada anaknya dua hal berharga, Alquran dan Hadis. “Dua pusaka ini harus menjadi pegangan utama hidupmu,” kata Masagung.
Keterlibatan Haji Masagung dalam aktivitas dan pengembangan Islam di Indonesia sesungguhnya bukanlah hal baru. Setidaknya, sejak dirinya berikrar kepada Islam pada 1975, Masagung banyak terlibat dalam kegiatan keislaman. Namun demikian, keterlibatan itu diakuinya belum maksimal mengingat waktunya yang banyak disita untuk urusan bisnis.
Barulah pada 1985, ketika secara resmi estafet kepemimpinan Gunung Agung Grup ia serahkan kepada ketiga putranya, Oka, Ketut, dan Putra, Masagung menghabiskan waktunya untuk dakwah dan pengembangan Islam serta aktivitas sosial kemasyarakatan.
Soal keterlibatan ini diakui aktivis Islam, Imaduddin Abdurrahim, yang juga teman dekat Masagung. “Segala yang dilakukannya atas dasar ikhlas. Itu nilai yang selalu dia pegang,” ujar Imaduddin kepada Republika.
Bang Imad, demikian ia biasa disapa, menambahkan bahwa peranan Masagung dalam pengembangan dan dakwah Islam sangatlah nyata. Ia mencontohkan, pembangunan Masjid Raya Al A’raf di Kwitang, Jakarta (menghabiskan dana sekitar Rp 9 miliar), pembangunan lima lantai toko buku pusat Gunung Agung di Kwitang, dua lantai pertama dan kedua khusus diperuntukkan untuk masjid –lantai bawah untuk pria, dan lantai 2 untuk wanita– serta beberapa panti asuhan oleh Masagung, adalah bukti nyata itu.
“Sebelum wafat, kepada saya, Masagung juga bercerita bahwa ia ingin membangun Pusat Islam dan Informasi terpadu di Jagorawi. Di dalamnya ada masjid, pesantren, sekolah, dan perpustakaan. Lahannya sudah ada, tinggal realisasi pembangunannya. Sayang, cita-cita mulia itu tak direalisasikan oleh generasi penerusnya. Padahal ini salah satu wasiat yang ia berikan kepada anaknya,” ujar Bang Imad.
Upaya memajukan Islam dan mencerdaskan pendidikan bangsa memang menjadi agenda utama Masagung. Dua agenda besar itu dikemas Masagung dalam “Proyek Mengharumkan Islam”. Proyek itu sebagian memang telah tercapai, yakni dengan mendirikan Masjid Al A’raf dan Pusat Informasi Islam (PII) pada 27 November 1987 di bawah naungan Yayasan Masagung. Untuk membangun PII ini, menurut catatan Junus Jahja (Lauw Chuan Thao), tokoh pembauran Cina dan salah seorang penasihat MUI Pusat, Haji Masagung menghabiskan sekitar 1,5 juta dolar AS. Dalam PII terdapat perpustakaan, penerbitan berkala, penelitian dan audio visual, koleksi Alquran dan kita-kitab klasik, serta komputer. Namun demikian, sebagian gagasan besarnya belum terlaksana. Kehendak Allah ternyata mendahului cita-cita besarnya.
Betapapun saham mencerdaskan bangsa dan syiar Islam yang dikemas Masagung dalam ‘Proyek Mengharumkan Islam’ tersebut telah memberi andil besar kehidupan berbangsa dan bernegara. Seperti dituturkan Junus Jahja, bagi Masagung mencerdaskan pendidikan bangsa sangat penting. “Dia menilai, yang paling penting bagi bangsa ini setelah meraih kemerdekaannya adalah kecerdasan bangsa.
Karena itulah, sembari berbisnis, Masagung juga mencurahkan sebagian rezekinya itu untuk pendidikan bangsa, dengan buku-buku yang diterbitkannya serta yayasan sosial dan pendidikan yang ia dirikan,” jelas Junus kepada Republika.
Junus Jahja, yang juga anggota Dewan Penasihat ICMI Pusat ini, dalam buku terbarunya Peranakan Idealis: Dari Lie Eng Hok sampai Teguh Karya (Gramedia, Desember, 2002) menulis, bahwa pendirian toko buku Wali Songo yang juga difungsikan sebagai Islamic Centre sekaligus pengelola Masjid Al A’raf, juga dalam rangka proyek tersebut.
Proyek raksasa di Citeureup, Bogor, yang belum sempat diwujudkan, kata Junus, juga bagian dari ‘Mengharumkan Agama Islam’. Dedikasinya yang besar terhadap agama Islam dan kecerdasan bangsa Indonesia inilah yang membuat Gerhard Mayer Siagian menilai Masagung sebagai seorang reklamator buku-buku Islam dalam rangka arts keislaman, serta promotor dan dokumentator dalam perkembangan Islam modern.
Sebagai dai, Masagung juga kerap turun ke lapangan berdakwah bahkan sampai di daerah-daerah terpencil sekalipun.
Misalnya ketika ia ceramah di kawasan Cibeureum, Cisarua, ia begitu bersemangat menyambut anak-anak kecil dan penduduk setempat yang menjemputnya.
“Assalaamu’alaikum,” sapa Masagung kepada para penjemputnya tersebut. Seorang dai, bagi Masagung, juga tak berarti melupakan nasionalisme. Kiprahnya dalam dunia perbukuan dan mencerdaskan bangsa, tak peduli dari mana asal suku dan agamanya, adalah bukti.
Ia bukan pejuang kemerdekaan, tetapi ia mencurahkan tenaga, dana, dan pikiran untuk pelestarian nilai-nilai perjuangan itu melalui perbukuan dan dokumentasi,” ujar AH Nasution dalam buku Haji Masagung, Telah Tiada Tapi Roh Jihadnya Hidup Sepanjang Masa.
Sebagai seorang Muslim keturunan, Masagung tak berarti pula ‘menjauh’ dari warga keturunan Cina sejak diri
nya masuk Islam. Pergaulan baik, sebagaimana ditegaskan Junus Jahja, tetap ia pelihara. Bila di kalangan keturunan, ia hanya berdakwah terhadap mereka yang beragama Islam. “Misalnya melalui wadah Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI).
nya masuk Islam. Pergaulan baik, sebagaimana ditegaskan Junus Jahja, tetap ia pelihara. Bila di kalangan keturunan, ia hanya berdakwah terhadap mereka yang beragama Islam. “Misalnya melalui wadah Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI).
Tapi di luar itu, Masagung tidak melakukan dakwah,” kata Junus. Begitu pun ia tidak berpihak terhadap satu golongan. Ini diwujudkannya dengan tidak masuknya Masagung dalam salah satu ormas keagamaan, semisal NU atau Muhammadiyah. Ia merasa dengan posisi bebas, tak bergolongan, lebih leluasa dalam menyampaikan dakwah.
Namun demikian, satu hal menarik dari sisi pemikiran keislaman, bahwa dilihat dari segi sikap dan kiprahnya, banyak sifat dan sikap keberagamaan pemikir Islam klasik, Ibnu ‘Arabi, pencetus konsep Wahdatul wujudnya itu terefleksikan dalam diri Masagung sebagaimana lazimnya kehidupan kaum mistis.
Misalnya, keinginan Masagung melaksanakan haji tidak hanya sekali. Hal ini dapat diinterpretasikan bahwa dia merasakan simbol spiritual Mekkah sebagai markaz al ruhi wa al fikr (pusat spiritualitas dan pemikiran) yang dimaksudkan Ibnu ‘Arabi. Ketenangan hati dan kenikmatan batin yang diperolehnya sebagaimana diceritakannya dalam pengalaman haji, menjangkau futuhat yang dimaksud Ibnu ‘Arabi.
Di sisi lain, keinginannya untuk selalu dekat dengan orang-orang yang bertakwa dan beramal shaleh dianggap sebagai salah satu upaya kebersamaan menuju insaan kaamil (manusia sempurna). Haji Masagung menghimpun orang-orang seperti ini dalam satu kata yang dianggapnya sedang menuju atau telah memperoleh ma’rifah.
Dalam konteks ini pula, ada kemungkinan masjid yang didirikan dan dikelolanya didasarkan pada pandangan ini, dan disebutnya sebagai Al A’raf, jamak dari al a’rif, orang yang memperoleh kearifan.
Sementara itu, rasa kerinduannya pada keagungan dan pusat spiritual Masjidil Haram di Mekkah, disublimasikan dengan Masjid Agung Al A’raf di pusat ibukota, namun tidak mengurangi kesan keramahan dan kejernihan hati dari lokasi induk (Makkiyyah) yang dimaksudkan Ibnu ‘Arabi.
Penguasaan Masagung pada makna nama-nama Allah, dan yang sering mengucapkan semua milik Allah, selalu hadir dalam percakapannya setiap hari. Disadari atau tidak, Masagung telah larut dalam salah satu ajaran Ibnu ‘Arabi untuk tidak layak menyebut: Untukku, Padaku, Hartaku, tetapi: Untuk Allah, Pada Allah, dan Harta Allah.
Kata-kata Allah hampir bergaung dalam sederetan percakapannya, yang mengingatkan kita pada konsep One is all, All is one dari paham Wahdatul Wujud-nya ‘Arabi.
Dan kini, Haji Masagung yang wafat pada September 1990 dan peraih beberapa penghargaan internasional berkaitan kiprahnya terhadap Islam, Insya Allah, akan menjemput semua itu. Semua yang telah ia perbuat.