Doa Pierre Setelah Bersyahadat

Pierre mengamati tato Yesus di dadanya. Tato yang sengaja ia buat saat kembali sebagai umat Protestan yang taat. Sebagai lambang kecintaan pada Tuhannya.

Namun, ia malah bertanya-tanya ihwal alasan sebenarnya membuat tato itu. Perdebatan mulai muncul dalam benaknya.

“Kenapa bikin tato Yesus. Karena gua cinta sama dia. Yakin cinta sama dia, emang kenal sama dia. Dia Tuhan. Tahu dari mana dia Tuhan? kata Pierre mengenang perdepatan di dalam dirinya dilansir dari kanal Vertizone TV, Senin (13/2).

Pierre dihantui pertanyaan itu. Ia mencari jawaban terhadap rasa penasarannya melalui Alkitab. Sekedar ingin tahu, Yesus itu siapa? Meskipun lahir sebagai umat Protestan. Namun, Pierre menggap itu agama turunan dari keluaranya. Ia mempelajari bibel. Namun, menemukan banyak kejanggalan.

“Mohon maaf, menurut saya nggak masuk akal konsep tiga jadi satu, menurut saya nggak logis,”ujar dia.

Pertanyaan dan kejanggalan itu membuatnya kembali malas ke gereja. Padahal, saat itu ia baru saja ingin kembali ke jalan Tuhan. Tepatnya setelah mendapat perawatan selama 21 hari di rumah sakit (RS) Azra Bogor, Jawa Barat pada 2013 silam. Sakit yang disebabkan kenakalan remaja, seperti minuman keras dan obat terlarang.

Pierre tak serta merta berlabuh ke Islam. Sebenarnya, kekagumannya pada Islam sudah ada sejak lama. Ia teringat saat masih menjadi sorang Protestan, masa jahiliah Pierre menyebut itu, melihat kakek-kakek shalat Subuh di masjid.

“Awalnya saya salut sama orang Islam, Subuh-subuh, kakek-kakek bangun pagi,”ujar dia.

Keraguan Pierre terhadap Tuhannya tak pernah dibahas lagi. Hingga ia bertemu dengan seorang teman bernama Syakib. Salah satu pertanyaan yang pernah dilontarkan Syakib dalam obrolan ringan, “kenapa Pierre menyembah Yesus?”

Pertanyaan itu tak pernah ia pikirkan lagi. Syakib juga menanyakan, apakah Yesus pernah mengklaim dirinya sebagai Tuhan?

Obrolan itu menggelitik Pierre untuk mulai membaca bibel lagi. Ia meyakini, tak ada satupun tertulis di bibel menyatakan Yesus sebagai Tuhan. Ia menyebut, salah satu bukti yakni ada di Matius ayat 4 sampai 10 yang mengisahkan Yesus diganggu iblis di padang gurun. Maka berkatalah Yesus kepadanya: Enyahlah, Iblis! Sebab ada tertulis: Engkau harus menyembah Tuhan, Allahmu, dan hanya kepada Dia sajalah engkau berbakti!

“Itu baru satu, belum perjanjian lama,”ujar dia.

Sejak itu ia mulai terbayang-banyak apa Islam sebagai agama yang benar. Namun, belum ada keyakinan terhadap pemikirannya itu.

Suatu ketika, ia mengingat peristiwa saat kelas V sekolah dasar. Saat itu, waktunya menyerahkan tugas hafalan di sekolah minggu. Dari 10 anak, hanya dirinya yang salah membaca dengan tepat. Padahal pasal dan ayat yang ia baca sama dengan teman lainnya.

Penasaran, ia menanyakan pada seorang kakak di sekolah minggu. Kakak tersebut mengatakan tak ada yang salah dengan tugas Pierre. Hanya, jawaban teman-temannya berasal dari bibel yang disempurnakan. Sementara Pierre membaca bibel terbitan 1990an.

Saat itu ia tak mempermasalahkan atau memikirkan lebih dalam soal penyempurnaan kitab suci. Namun, saat dewasa, keraguan terhadap agamanya muncul, Pierre kembali memikirkan peristiwa itu.

“Kalau benar bibel itu kitab suci, kenapa banyak revisi. Menurut saya, kitab suci itu suci, nggak boleh ditambah, dikurangi. Kalau ada intervensi manusia di sana, apa bisa itu dikategorikan sebagai kitab suci, kannggak,”tutur Pierre.

Terkait kenapa pilihannya jatuh ke Islam, bagi Pierre, Islam satu-satunya agama yang bisa diterima oleh akal dan logika, agama tanpa kontradiksi, agama sempurna yang mengatur dari cara menggunting kuku hingga bernegara. Islam mengatur seluruh aspek kehidupan manusia.

Akhirnya ia memberanikan diri membaca Alquran. Ia menemukan surat Al Baqarah ayat 23-24 tentang tantangan Allah SWT. Dengan membaca basmalah, Pierre melantuntan dan mengartikan kedua ayat itu.

“Jika kamu meragukan Alquran yang kami turunkan kepada Nabi Muhammad SAW, coba datangkan satu surat yang semisal Alquran itu. (Al baqarah:23) Tantangan itu langsung diberikan jawaban oleh Allah SWT. Kamu sesungguhnya tak akan bisa, dan pasti tak akan bisa. (Al Baqarah:24). Namun, yang menjadi pegangan Pierre yakni QS Al Hijr:9, Sesungguhnya kami yang menurunkan Alquran dan kami yang akan menjaganya.”

Menurut dia, bukti surat itu yakni ada banyaknya hafidz Alquran dari dulu hingga saat ini. Sehingga, setiap kata dan huruf dalam Alquran tak pernah berubah.

Pun ia melihat kalimat politik Allah SWT ada dalam QS Al Ikhlas, Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan. Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan-Nya. Pierre menganggap itu adalah definisi Tuhan yang sebenarnya, yakni tak berwujud, tak terlihat, tetapi bisa dirasakan.

Pada 2015 ia memberanikan diri membaca kalimat syahadat. Namun, ia merasa belum menjadi Muslim yang sebenarnya lataran masih sering mabuk-mabukan dan bolong shalat lima waktu.

Ia meminta pekerjaan pada Allah SWT. Doanya langsung dijawab. Ia mendapat pekerjaan sebagai petugas depan salah satu hotel bertaraf internasional di Cikarang. Sesuatu yang sangat ia syukuri mengingat dirinya hanya lulusan sekolah dasar.

Salah satu target setelah menjadi pegawai, yakni tak mau meninggalkan shalat lima waktu. Namun, posisinya sebagai petugas depan menyulitkan melaksanakan shalat tepat waktu.

Terbesit keinginan untuk berhenti kerja. Kemudian, ia menjalankan shalat Istikharah tiga hari tiga malam, meminta petunjuk Allah SWT. Sebuah peristiwa membuatnya yakin untuk berhenti bekerja di hotel itu.

Pierre hijrah ke Yogyakarta. Awalnya ingin ziarah ke makam ayahnya. Namun, ia malah tinggal lama di rumah makdhe-nya di Kotagede.

Pierre mulai mengenal Islam lebih dalam. Ia bisa mempraktikkan keinginannnya untuk shalat lima waktu, tepat waktu, dan berjamaah. Ia sempat tinggal di masjid dan pesantren selama beberapa lama.

Pierre mendapat ketenangan yang tak pernah ia dapat sebelumnya. Ketenangan yang tak ada saat ia menjadi seorang Protestan.

Ia mendapat dua pekerjaan sekaligus, yakni pengantar katering dan penjaga pulsa. Terhadap janji Allah SWT, ia teringat suatu hadist, Barang siapa meninggalkan sesuatu karena Allah, maka Dia akan menggantikannya dengan yang lebih baik.

“Itu janji Allah. Saya resign (berhenti kerja) karena ingin shalat lima waktu, tepat waktu, dan berjamaah, kalau bisa,” tutur dia.

Disingung penerimaan keluarganya, Pierre menyesalkan salah ambil sikap mengabarkan ihwal peralihannya pada Islam. Apalagi orang tuanya adalah seorang Protestan yang taat. Ibunya bahkan pernah mewanti-wanti agar Pierre tak menjadi mualaf.

Informasi tentang hijrahnya Pierre mulai sampai ke telinga ibunda. Apalagi, ia kerap shalat di masjid.

Saat itu, ibunya mencoba mengklarifikasi kabar itu. Sambil menangis, ibunya mengatakan kekecewaanya kenapa tak membicarakannya dahulu pada keluarga saat hendak beralih ke Islam.

Tak sanggup melihat tangis ibunya, Pierre mengucap, Apa perlu saya balik, biar mama berhenti nangis. Namun, ibunya melarang. Ibunda justru meminta Pierre menetap pada pilihannya, menjalankan kewajiban sebagai Muslim.

Itu menjadi cambuk untuknya membuktikan diri sebagai Muslim, bukan sekedar beragama Islam dalam KTP. Merasa ditinggalkan kelurga besar, pernah ia rasakan. Namun, ia tak terlalu mengambil pusing. Hal itu bukan lantaran ia tak peduli dengan keluarga.

“Saya berdoa, ya Allah, ambil semua yang Allah mau dari saya, pekerjaan, keluarga, teman. Cuma satu, jangan ambil keislaman saya,”kata dia.

Sambil meneteskan air mata, Pierre mengatakan Islam sudah menyelamatkan hidupnya. Ia tak bisa membayangkan bisa hidup damai tanpa Islam, bila masih menjadi non-Muslim. Bisa saja, ia sudah meninggal karena pergaulan bebas.

Pierre berpesan pada teman mualaf, jangan malas menjalankan shalat lima waktu. Sebab, itu kewajiban Muslim, pilar agama. Ia beranggapan meninggalkan shalat artinya seseorang telah meninggalkan segalanya.

Jangan malas belajar ilmu agama, ambil baiknya buang buruknya. Nggak perlu mengotak-kotakkan ustaz, selama yang disampaikan baik dan menambah keimanan kita, terima, tutur dia.

 

REPUBLIKA

Cerita Pengusaha Mualaf Sedekah Jual Nasi Kuning

Berbuat baik tak pandang suku, agama, dan ras. Bahkan yang tak bergama pun bisa makan di sini.” Kalimat itu keluar dari mulut seorang mualaf Tionghoa yang memberikan dana pribadinya untuk membangun warung makan dengan harga luar biasa murah bagi satu porsi makanan.

Muhammad Jusuf Hamka (60) dimualafkan oleh Buya Hamka pada 1981 silam, berbagi dengan cara lain yang tak hanya memberikan uang atau barang, ia mencetuskan ide menjual makanan murah untuk membantu orang-orang yang kekurangan. Hasil penjualan nantinya akan diputar kembali untuk berbagi.

Warung Nasi Kuning Podjok Halal di Jalan Yos Sudarso Kav 28 Jakarta Utara ia buka tepat di samping kantor ia bekerja di PT Citra Marga Nusa Pala (CMNP) sebagai Penasihat Utama.

Warung seukuran 5 meter dengan beratapkan tenda setiap Senin sampai Jumat menjual nasi, sayur dan lauk pauk seharga Rp 3 RIbu untuk satu porsi berisi nasi kuning, lauk dan sayur. Disediakan pula gelas dan dispenser untuk mengambil air minum sendiri yang disediakan Jusuf.

Warung untuk dhuafa dan masyarakat tidak mampu ini dibuka sejak pukul 11 siang sampai jam satu siang. “Persiapan jam 11, dibuka sampai jam satu. Sebab kan, ini yang layani juga dari karywan PT CMNP, kita kembali kerja lagi. Jadi setiap harinya bergantian juga,” kata salah seorang Karywan PT CMNP sambil melayani pembeli.

Satu persatu berbagai macam orang datang bergantian, mulai dari pekerja pabrik, pemulung, masyarakat yang melewati kantor CMNP, sampai ojek online ingin mencicipi makanan porsi seharga Rp 3 ribu itu. Dari pantauan Republika.co.id, menu hari ini terdiri dari nasi kuning, sayur kacang, telur bulat dan telur ceplok cabe dan ikan tongkol pedas serta sambal.

Republika.co.id juga mencicipi makanan murah tersebut, dan hasilnya makanan itu terasa lezat dan pas di lidah. Setiap harinya menu bergantian, antara lain, ayam, ikan, daging syur berkuah, tumis dan lain sebagainya.

Begitupun kata Yana (52) yang bekerja sebagai kuli pengangkat alat-alat berat. Ia mengatakan, beruntung bisa makan makanan murah, higienis, dan lezat dengan harga yang benar tak menguras kantong.

“Saya tau dari temen, nih ada makanan murah di samping. Saya langsung ke sini. Alhamdulilah enak. Besok saya ke sini lagi makan siang. menghematkan dan menyehatkan,” kata Yana, Selasa (13/2).

Meskipun begitu, Jusuf tak memaksa jika ada yang benar tidak ada uang untuk makan, siapapun bisa makan di warungnya. “Andai kata orang itu dateng naik mobil, keliatan mampu. gapapa, tetep di tolong. kita kan gatau di kantongnya ada duit apa ngga,” kata Jusuf.

Sikap mulia Jusuf ia persembahkan atas rasa kebersyukurannya dan juga demi tabungan di akhirat nanti. Sebab, anugerah syukur dari Tuhan telah melimpah ruah diberikan Tuhan kepadanya, untuk itu, kata dia, mengapa tak dibagikan bagi orang yang kekurangan.

Berbuat kebaikan, kata dia, juga tidak perlu pilih-pilih orang. Siapapun, jika membutuhkan dan kekurangan harus ditolong. “Warung ini merupakan pola pertama untuk membentuk suatu sistem. Siapa tahu dari pengusaha bisa membantu sesama dengan cara ini,” ujar Jusuf.

Dari perilakunya tersebut, mengundang berbagai orang menyumbangkan uang untuk warung yang didirkannya. Ia takmemaksa, tapi seperti ia bercerita, ada seorang yang memakan membayar sebesar Rp. 50 ribu dan tidak meminta kembalian, kata orang tersebut, “saya juga mau ikut sedekah,” cerita Jusuf.

Selain itu, ada pula pengusaha yang menyumbangkan Rp 5 juta untuk sedekah di warung podjok nasi kuning halal.

Dalam seminggu, Warung Nasi Kuningg Podjok Halal memeroleh makanan dengan memberdayakan warung makan sekitar. Seperti hari ini warung makan asal Padmangan Jakarta Utara ditugaskan untuk memasak.

“Saya ngga mau ada kompetisi, saya juga ngga mau mematikan warung makan setempat, jadi saya berdayakan dengan kerja sama memberikan subsidi ke mereka untuk menyediakan makanan. Tetep harga dari mereka semisal satu porsi 10 ribu. Yang dijual 3 ribu, jadi subsidi yang saya kasih dari dana saya ya 7 ribu,” kata dia.

Gagasan awal mendirikan warung ini, dimulai dari puasa Ramadhan setiap tahunnya. Ia kerap memberikan buka puasa geratis selama satu bulan di kantornya untuk para kaum dhuafa dan kekurangan. Kemudian, ia berpikir, untuk menolong orang yang tak hanya satu kali dala setiap tahunnya, ia berpikir mengapa tak setiap hari saja. Untuk itu, ia mencetuskan pola ini untuk berbagi

“Kalau ditanya cari untung, mana ada untungnya ini. Tapi saya mendapatkan untung buat bekal di akhirat. Uang yang kita simpan bukan uang kita, tapi uang yang kita sedehkahkan itu uang kita,” ujarnya.

Rencana ke depan, pada beberapa bulan lagi, ia akan mencoba membuka di lima titik wilayah Jakarta. Pertama Jakarta Uatara yang telah dimulai sejak (6/2). Selanjutnya Jakarta Selatan, Jakarta Timur, Jakarta Pusat dan Jakarta Barat. Ia juga berharap, pemerintah dan pengusaha dapat melihat ini sebagai jalan kebaikan menolong sesama. Sebab, di Jakarta sendiri masih banyak orang yang kekurangan menyoal perut.

Secara agama, dia tak merasa dirinya sebagai ustaz atau yang oaling baik beragama. Namun, menurutnya perlakunya itu dapat menyontohkan orang lain agar bisa bermanfaat bagi sesama manusia apalagi orang-orang yang berkebutuhan dan kekurangan.

 

REPUBLIKA

 


Kisah Mualaf lainny bisa ditemukan denganmemasukan kata Mualaf di kolom pencarian.

 

Herrington : Jika Menginginkan Kebenaran, Bergaullah dengan Muslim

“Saya menyadari cara terbaik untuk merasakan bagaimana menjadi seorang Muslim adalah dengan menjalani hidup seperti mereka,” kata Cassidy Herrington, seorang mahasiswi, non-Muslim dan wartawan di harian Kentucky Kernel, sebuah media yang dikelola oleh mahasiswa di Universitas Kentucky, AS.

Keinginannya untuk mengenal lebih dekat dan memahami kehidupan sebagai Muslim itulah yang mendorongnya untuk mencoba “menjadi seorang muslimah” dengan cara mengenakan jilbab selama satu bulan penuh.

“Selama sebulan saya mengenakan jilbab, bergulat dengan persepsi yang ditunjukkan orang asing, teman bahkan keluarga saya sendiri,” kata Herrington.

“Karena persepsi-persepsi itu, saya berjuang ketika harus menuliskannya. Pengalaman saya berjilbab sangat pribadi, tapi saya berharap dengan berbagi atas apa yang saya lihat, akan membuka ruang dialog yang lebih terbuka dan kritis,” sambungnya,

Awalnya, Herrington khawatir akan reaksi komunitas Muslim ketika melihatnya yang non-Muslim mengenakan jilbab. Untuk itu, ia merasa harus mendapatkan persetujuan dari komunitas Muslim sebelum mulai mengenakan jilbab.

Tanggal 16 September, Herrington mendatangi sebuah organisasi Muslim Student Association (MSA) dan mengenalkan dirinya. Ia mengaku sangat grogi ketika pertama kali datang ke kantor itu. Di sana ia bertemu dengan Heba Sulaeiman, mahasiswi yang menjabat sebagai Presiden MSA, yang menyambut gembira setelah mendengar rencana dan maksud kedatangan Herrington ke tempat itu.

“Ide yang mengagumkan,” kata Herrington menirukan respon Suleiman.

Herrington merasakan ketegangan dan kegelisahan yang dirasakannya mulai mencair. Ia mengucapkan “Assalamu’alaikum” saat mengenalkan dirinya di hadapan sejumlah anggota MSA dan ia mendengar belasan orang yang hadir membalasnya dengan ucapan “wa’alaikumsalam.”

Ketika akan meninggalkan kantor MSA, beberapa orang remaja muslim mendekatinya. “Saya tidak akan melupakan seorang diantara mereka mengatakan ‘ini memberi saya harapan’, sementara remaja yang lain berujar ‘saya muslim, dan saya bahkan tidak bisa melakukan hal itu’,” tutur Herrington.

Ia tidak terlalu menanggapi perkataan remaja-remaja tadi sampai kemudian ia merasakan bahwa “proyek” yang dilakukannya bukan sekedar menutupi rambutnya dengan kerudung, tapi ia akan mewakili sebuah komunitas dan sebuah agama. “Konsekuensinya, saya harus benar-benar menjaga perilaku saya saat mengenakan jilbab,” ujar Herrington.

Dua minggu setelah datang ke MSA, ia bertemu lagi dengan Heba Suleiman dan temannya, Leanna yang mengajarkannya mengenakan jilbab. “Meski ini inisiatif saya sendiri, saya merasa tidak seorang diri dan ini sangat membantu ketika saya merasa ingin melepas jilbab dan menghentikan proyek pakai jilbab ini,” kata Herrington.

“Saya menjalani kehidupan sehari-hari seperti biasanya. Saya bersepeda dan merasakan sensasi desiran angin yang menyelinap di sela-sela jilbab yang saya kenakan. Saya berjalan di depan etalase toko dan melihat sepintas refleksi wajah orang asing sampai saya terbiasa dan menyadari bahwa refleksi wajah orang asing itu adalah saya sendiri,” tutur Herrington menceritakan pengalamannya setelah mengenakan jilbab.

“Mengenakan jilbab menjadi kegiatan rutin saya tiap pagi. Suatu hari, berangkat bersepeda ke tempat kuliah, dan ketika sampai baru sadar kalau saya lupa mengenakan jilbab,” tukasnya sambilnya tersenyum.

Herrington mengakui jilbabnya kadang membuatnya tidak nyaman. Ketika berbelanja di toko grosir, ia merasa orang-orang memperhatikan dirinya. Ia tidak tahu apakah itu cuma perasaannya saja, tapi ia merasa terasing dari orang-orang yang ia kenal dekat. “Teman kuliah, para profesor dan teman-teman semasa sekolah menengah tidak mengatakan apapun tentang jilbab saya, dan itu menyakitkan. Kadang, terjadi gap setiap kali kami berbincang-bincang,” ungkap Herrington.

Suatu ketika, ia makan di sebuah restoran Timur Tengah King Tut. Pemilik restoran bernama Ashraf Yusuf memuji proyek jilbabnya dan menanyakan apakah ia akan tetap mengenakan jilbab setelah proyeknya selesai. Herrington hanya mengangguk sambil tersenyum.

“Seorang non-Muslim yang mengenakan jilbab, hanya mengenakan penutup kepala,” kata Yusuf.

Herrington pernah juga dikirimi email dari seseorang. Ketika ia membuka email berisi file audio, terdengar suara bacaan salat dari Makkah, tapi tiba-tiba terdengar suara tembakan tiga kali lalu suara lagu kebangsaan AS.

Herrington menegur orang yang mengiriminya email itu dan orang itu mengatakan bahwa ia cuma bercanda. Herrington mulai mengerti bahwa memang ada masalah fobia dan sikap tidak toleran terhadap Islam dan Muslim.

“Email itu membuktikan bahwa banyak orang yang tidak akurat memandang Islam,” imbuhnya.

Sebulan penuh mengenakan jilbab, selama bulan Oktober kemarin, memberikan pemahaman baru bagi Herrington bahwa tak ada yang perlu ditakuti dengan eksistensi komunitas Muslim. “Faktanya, banyak tentara AS yang muslim, yang ikut membela negeri ini. Apa yang Anda lihat atau Anda dengar dari media tentang Islam, bisa saja keliru. Kalau Anda menginginkan kebenaran, bergaullah dengan muslim,” tandasnya.

Untuk saat ini, Herrington mungkin sudah melepas kembali jilbabnya, ia juga minta maaf pada orang-orang yang merasa telah tertipu dengan identintasnya. Tapi dengan pengalamannya berjilbab, semoga Allah Swt menganugerahkan hidayah dan cahaya Islam bagi Herrington. (ln/KK)

 

ERA MUSLIM

 

————————————-
Artikel keislaman di atas bisa Anda nikmati setiap hari melalui smartphone Android Anda. Download aplikasinya, di sini!

Share Aplikasi Andoid ini ke Sahabat dan keluarga Anda lainnya
agar mereka juga mendapatkan manfaat!

Meneguhkan Syahadat

Syekh Muhammad bin Sholeh Al Utsmaini mengatakan, kalimat La Ilaha Illallah bermakna seorang mengakui dengan lisan dan hatinya bahwa tidak ada sesembahan yang hak, kecuali Allah. Kalimat ini mengandung makna peniadaan dan penetapan.  Kalimat peniadaan (Laa ilaha) dan penetapan (Illallah) mengandung makna ikhlas. Artinya, memurnikan ibadah hanya untuk Allah saja dengan meniadakan ibadah selain dari-Nya.

“Bagaimana kamu mengatakan tidak ada sesembahan (ilah) kecuali Allah padahal di sana banyak ilah-ilah yang diibadahi selain Allah dan Allah Azza wa Jalla menamainya alihah (jamak dari ilah) dan penyembahnya menyebutnya alihatun,” tulis Syekh Al Utsmaini.  Tentang sesembahan ini, Allah SWT berfirman dalam QS Hud: 101.  “Karena itu tidaklah bermanfaat sedikit pun kepada mereka sesembahan yang mereka seru selain Allah di waktu azab Rabb-mu datang. ” Allah juga berfirman dalam QS al-Isra: 39, yakni “Dan janganlah kamu mengadakan sesembahan-sesembahan lain di samping Allah.

Lebih lanjut, sang syekh mengatakan, makna Muhammad utusan Allah adalah membenarkan apa-apa yang Rasulullah kabarkan, melaksanakan apa yang dia perintahkan, menjauhi apa yang dilarang dan tidak ada ibadah kepada Allah kecuali dengan cara yang disyariatkan darinya. Kalimat ini juga mengandung konsekuensi bahwa seorang Muslim tak memiliki keyakinan bahwa Rasulullah memiliki hak untuk disembah, hak mengatur alam, atau hak dalam ibadah.

Hanya, Rasulullah merupakan seorang hamba yang tidak berdusta dan tidak memiliki kemampuan sedikit pun untuk memberi manfaat dan mudarat untuk dirinya sendiri ataupun orang lain, kecuali apa yang dikehendaki Allah. Sebagaimana firman Allah dalam QS al-Anfal:50. “Katakanlah (ya Muhammad): Aku tidak mengatakan kepadamu, bahwa perbendaharaan Allah ada padaku, dan tidak (pula) aku mengetahui yang ghaib dan tidak (pula) aku mengatakan kepadamu bahwa aku seorang malakikat. Aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku..”

Karena itu, meneguhkan kembali kalimat syahadat sangat relevan pada zaman yang penuh dengan fitnah dan cobaan ini. Maraknya aliran sesat di bumi nusantara mengharuskan kita untuk menjaga diri dan keluarga lewat mempertebal akidah. Kalaulah kita jauh dari aliran sesat, mengingat lagi syahadat dapat menggerus syirik-syirik kecil yang kerap dilakukan dalam kehidupan sehari-hari.

Tanpa sadar, pengingkaran ini sering kita lakukan sehingga dapat membatalkan syahadat. Kita meninggalkan sunah-sunah Rasulullah yang seharusnya menjadi komitmen saat mengucap syahadat. Sering kali kita mengutamakan pertandingan sepakbola ketimbang panggilan azan, larut dalam rapat berjam-jam tanpa memerhatikan waktu shalat, menunda untuk membayar zakat padahal sudah memenuhi nisabnya, dan sebagainya. Maka, sebagaimana wudhu yang diperintahkan untuk diulang saat kentut atau buang air kecil, sudah semestinya kita perbaharui lagi syahadat. Kali ini dengan lebih khusyuk. Wallahu’alam.

 

REPUBLIKA

Muslim Inggris Paling Religius Ketimbang Umat Agama Lain

Muslim Inggris dinilai lebih aktif mempraktekkan kepercayaan dan mendidik anak-anak mereka sesuai dengan keyakinannya ketimbang umat agama lain. Demikian hasil kesimpulan riset Universitas Cardiff, Kamis (16/2).

Riset itu menyebutkan 77 persen dari Muslim Inggris secara aktif mempraktekkan kepercayaan mereka. Sementara penganut Kristen hanya 29 persen dan umat agama lain hanya 65 persen.

Dalam riset itu juga diketahui bahwa 98 persen dari anak-anak Muslim diberikan pendidikan agama sejak dini. Sementara hanya 62 persen anak-anak Kristen dan 89 persen dari agama lain yang melakukan hal serupa.

“Melihat dari fakta riset, semakin memperkuat teori bahwa bagi kalangan minoritas agama merupakan sumber daya penting dalam memperkuat kekhasan suatu budaya,” demikian kesimpulan lain riset tersebut.

Sebelumnya, studi ini menganalisa hasil survei kependudukan tahun 2003 silam. Sebanyak 13.988 dewasa dan 1.278 remaja berusia 11-15 tahun ambil bagian dalam riset tersebut.

Para peneliti sempat terkejut dengan meningkatnya peranan agama dalam kehidupan minoritas, termasuk Muslim Inggris. “Anak-anak Muslim cenderung menjalani kehidupan yang sibuk, menghadiri pendidikan agama di luar sekolah sebanyak tiga kali setiap minggu. Ini bentuk komitmen lain yang mereka miliki,” ungkap salah seorang peneliti, Jonathan Scourfield.

Ia mengatakan anak-anak Muslim juga terbiasa belajar membaca Alquran dalam bahasa Arab. Mereka juga belajar tentang kepercayaan yang dianut orang tua dan anggota keluarga lainnya.

“Karenanya, kami berpikir, agama memiliki peranan penting dalam masyarakat minoritas dalam menjaga keterikatan antar keluarga dari etnis yang sama,” pungkasnya.

 

REPUBLIKA

 

 

—————————————————————-
Artikel keislaman di atas bisa Anda nikmati setiap hari melalui smartphone Android Anda. Download aplikasinya, di sini!

Eric Abidal Peluk Islam dengan Keyakinan Penuh

Penggemar La Liga Spanyol pasti mengenal sosok Eric Abidal. Ia dikenal sebagai bek andal yang memperkuat FC Barcelona dan Timnas Prancis. Pada Mei  2009 lalu, Abidal sempat menjadi pusat pemberitaan, ketika klub sepak bola terkemuka asal Italia, Juventus, berniat memboyongnya dari Barcelona.

Abidal adalah salah satu pesepak bola dunia yang beragama Islam. Sejatinya, dia adalah seorang mualaf. Sang bintang memeluk agama Islam baru enam tahun terakhir. Terlahir di Lyon, Prancis, pada 11 September 1979, Abidal berasal dari keluarga imigran asal Afrika. Sebelumnya, Abidal merupakan seorang pemeluk agama Katolik.

Pertemuan dengan wanita yang kini menjadi istrinya telah mengantarkannya pada agama Allah SWT. Setelah menikah dengan Hayet Abidal, seorang perempuan asal Aljazair, Abidal memeluk agama Islam. Setelah mengucap dua kalimah syahadat, ia berganti nama menjadi Eric Bilal Abidal.

Kepada majalah Match yang terbit di Paris, Abidal mengatakan, agama Islam telah mendorongnya untuk bekerja keras untuk memperkuat timnya. ”Saya memeluk Islam dengan keyakinan penuh,” ujar ayah dua anak itu. Sejak masuk Islam, Abidal berusaha menjadi Muslim yang taat.

Ia tak pernah melupakan shalat. Terlebih lagi, di markas FC Barcelona, Camp Nou, masih ada dua pemain lainnya yang beragama Islam, yakni Seydou Keita dan Yaya Toure. Ketatnya jadwal pertandingan yang harus dilakoni, membuat Abidal sedikit terkendala saat menjalankan ibadah puasa secara penuh pada bulan Ramadhan.

Ramadhan lalu, Abidal memutuskan tak berpuasa ketika membela Barca. Menurutnya, hal itu terpaksa dilakukan, sebagai komitmen terhadap profesionalitasnya sebagai pemain. Hal serupa sebenarnya juga dilakukan dua rekannya di El Barca, Seydou Keita dan Yaya Toure. Meski begitu, ketiganya mengganti puasa di lain hari, setelah Ramadhan berakhir.

Abidal memulai karier profesionalnya bersama klub sepak bola Prancis, AS Monaco, pada 16 September 2000. Ia sempat 22 kali menyandang ban kapten bersama Monaco. Setelah itu, dia pindah ke Lille OSC. Di klub inilah, dia bereuni dengan mantan pelatihnya, Claude Puel, dan 62 kali membela Lille.

Di akhir 2004, dia kembali ke kota kelahirannya dan bergabung dengan Lyonnais. Ia berhasil mengantarkan timnya meraih dua gelar di Ligue 1 berturut-turut selama dua musim. Selama kariernya di Prancis, dia dikenal sebagai salah satu bek terbaik di Ligue 1. Di Lyon, dia bermain bersama kiper Gregory Coupet, Francois Clerc, dan Anthony Reveillere serta dua pemain Brasil, Cris dan Cacapa.

Pada 30 Juni 2007, Abidal hengkang ke Barcelona dengan nilai transfer 15 juta euro. Di Camp Nou dia memakai nomor punggung 22. Sejak itu, Abidal menjadi pemain pilar Barca. Nilai kontrak Abidal mencapai 90 juta euro dengan klausal pelepasannya, dan Lyon akan menuai bonus sebesar 500 ribu euro jika Barca meraih gelar Liga Champions untuk empat tahun ke depan. Dan, itu terjadi setelah Barca berhasil mengalahkan Manchester United di Roma.

Istri adalah motivator utama bagi suami. Hal itu sangat dirasakan betul oleh bek kiri tim nasional Prancis dan FC Barcelona, Eric Abidal. Kesuksesannya merumput di lapangan hijau tak lepas dari peran sang istri. Motivasi dan dukungan penuh yang dipompa sang istri, Hayet Abidal, telah membuat peformanya saat memainkan si kulit bundar bertambah maksimal.

”Bagiku, dia (Hayet) adalah sebuah permata. Dia juga pemegang kemudi yang sangat menakjubkan. Saya beruntung mendapat perempuan seperti dia, yang sanggup memberikan arahan dan pendapat yang logis sebelum aku memutuskan hal krusial, termasuk dalam memilih karier,” ungkap Abidal seperti ditulis France Football.

Abidal mengakui, kepindahannya ke Barcelona tak terjadi begitu saja. Saran ‘magis’ sang istrilah yang mampu menggerakkan hatinya untuk mencoba peruntungan di negeri Matador. Betapa tidak, tanpa harus pindah ke Barcelona pun, Abidal telah memiliki segalanya di Prancis. Tetapi, di mata sang istri, semua itu belum sempurna. Satu-satunya cara, menurut sang istri, Abidal harus berkarier di klub luar negeri.

Hayet mendorongnya untuk bergabung bersama Barcelona. ”Aku ingin suamiku tak hanya terpaku bermain di klub sepak bola Prancis. Penting bagi kami untuk menyiapkan masa depan, terutama setelah ia pensiun nanti. Jadi, berkenalan dengan banyak orang di mancanegara memberi banyak keuntungan. Nantinya, kami bisa menjalin relasi bisnis ataupun kerja sama apa yang saling menguntungkan,” ujar Hayet, yang memang terkenal memiliki insting bisnis tinggi itu.

Besarnya peran Hayet dalam kehidupan pribadi Abidal sudah dibuktikan sejak mereka menikah. Usai menikah, Abidal memilih memeluk Islam setelah mendapat bimbingan intensif dari sang istri yang asli Aljazair. ”Semua berlangsung alami. Pilihan memeluk agama Islam bukan karena faktor istriku, tapi sebuah hadiah yang tiba-tiba saja muncul. Itu benar-benar terjadi apa adanya. Mengalir begitu saja dan membuatku merasa bahagia,” ungkap Abidal.

Meski dikenal sebagai seorang Muslim yang taat, Hayet juga sangat dekat dengan dunia entertainment. Bedanya, dia sangat pandai membagi peran dan penampilan. Ia tahu saat harus mengenakan busana sopan dan kapan harus mengenakan gaun indah. ”Saya seperti istri pesepak bola lain. Bedanya, saya tak suka berfoya-foya atau larut di dunia malam. Lebih indah jalan-jalan bareng Abidal dan belanja bersama,” tutur Hayet.

Pertemuan Abidal dengan sang istri terjadi ketika ia masih remaja. Kedua sejoli ini kemudian memutuskan untuk menikah pada Juli 2003 silam. Dari pernikahan tersebut, keduanya dikaruniai dua orang putri, yakni Meliana yang lahir pada 2004 dan Canelia lahir tahun 2006.

 

 

REPUBLIKA

Penciptaan Adam Mengantar Jeffrey Lang Menjadi Muslim

Prof Dr Jeffrey Lang, nama lengkapnya. Sehari-hari dia bekerja sebagai dosen dan peneliti bidang matematika di Universitas Kansas, salah satu universitas terkemuka di Amerika Serikat. Gelar master dan doktor matematika diraihnya dari Purdue University pada tahun 1981. Ia dilahirkan dalam sebuah keluarga penganut paham Katolik Roma di Bridgeport, Connecticut, pada 30 Januari 1954.

Pendidikan dasar hingga menengah ia jalani di sekolah berlatar Katolik Roma selama hampir 18 tahun lamanya. Selama itu pula, menurut Lang–sebagaimana ditulis dalam catatan hariannya tentang perjalanannya mencari Islam–menyisakan banyak pertanyaan tak berjawab dalam dirinya tentang Tuhan dan filosofi ajaran Kristen yang dianutnya selama ini.

”Seperti kebanyakan anak-anak lain di kisaran tahun 1960-an hingga awal 1970-an, saya melewati masa kecil yang penuh keceriaan. Bedanya, pada masa itu, saya sudah mulai banyak bertanya tentang nilai-nilai kehidupan, baik itu secara politik, sosial, maupun keagamaan. Saya bahkan sering bertengkar dengan banyak kalangan, termasuk para pemuka gereja Katolik,” papar dia.

Menginjak usia 18 tahun, Lang remaja memutuskan menjadi seorang atheis.

”Jika Tuhan itu ada dan Dia punya belas kasih dan sayang, lalu mengapa ada begitu banyak penderitaan di atas bumi ini? Mengapa Dia tidak masukkan saja kita semua ke dalam surga? Mengapa juga dia menciptakan orang-orang di atas bumi ini dengan berbagai penderitaan?” kisah Lang tentang kegelisahan hatinya kala itu. Selama bertahun-tahun, pertanyaan-pertanyaan seperti itu terus menggelayuti pikirannya.

Akhirnya, Lang baru mendapat jawaban atas berbagai pertanyaan tersebut ketika ia bekerja sebagai salah seorang asisten dosen di Jurusan Matematika, Universitas San Francisco. Di sanalah, ia menemukan petunjuk bahwa Tuhan itu ada dan nyata dalam kehidupan ini. Petunjuk itu ia dapatkan dari beberapa mahasiswanya yang beragama Islam.

Saat pertama kali memberi kuliah di Universitas San Francisco, Lang bertemu dengan seorang mahasiswa Muslim yang mengambil mata kuliah matematika. Ia pun langsung akrab dengan mahasiswa tersebut. Mahmoud Qandeel, nama mahasiswa tersebut. Dia berasal dari Arab Saudi.

Mahmoud, kata Lang, telah memberi banyak masukan kepadanya mengenai Islam. Menariknya, semua diskusi mereka menyangkut dengan sains dan teknologi.

Salah satu yang pernah didiskusikan Lang dan Qandeel adalah riset kedokteran. Lang dibuat terpana oleh jawaban Qandeel, yang di negaranya adalah seorang mayor polisi. Qandeel menjawab semua pertanyaan dengan sempurna sekali dan dengan menggunakan bahasa Inggris yang bagus.

Ketika pihak kampus mengadakan acara perpisahan di luar kampus yang dihadiri oleh semua dosen dan mahasiswa, Qandeel menghadiahi asisten dosennya ini sebuah Alquran dan beberapa buku mengenai Islam.

Atas inisiatifnya sendiri, Lang pun mempelajari isi Alquran itu. Bahkan, buku-buku Islam tersebut dibacanya hingga tuntas. Dia mengaku kagum dengan Alquran. Dua juz pertama dari Alquran yang dipelajarinya telah membuat dia takjub dan bagai terhipnotis.

”Tiap malam muncul beraneka macam pertanyaan dalam diri saya. Tapi, entah mengapa, jawabannya segera saya temukan esok harinya. Seakan ada yang membaca pikiran saya dan menuliskannya di setiap baris Alquran. Saya seakan menemukan diri saya di tiap halaman Alquran,” ungkap Lang.

Sebagai seorang pakar dalam bidang matematika dan dikenal sebagai seorang peneliti, penjelasan yang didapatkannya tidak langsung ia percayai begitu saja. Ia meneliti dan menelaah secara lebih mendalam ayat-ayat Alquran.

Beberapa ayat yang membuatnya kagum dan telah membandingkannya dengan ajarannya yang lama adalah ayat 30-39 surah Albaqarah tentang penciptaan Adam. 

Dalam bukunya Losing My Religion: A Call for Help, Jeffrey Lang secara lengkap menjelaskan pergulatannya dalam memahami ayat 30-39 surah Albaqarah tersebut.

”Saya membaca ayat tersebut beberapa kali, tak tak kunjung sanggup menangkap apa maksud Alquran,” ujarnya.

”Bagi saya, Alquran sepertinya sedang menyampaikan sesuatu yang sangat mendasar atau mungkin keliru. Lalu, saya membacanya lagi secara perlahan dan saksama, baris demi baris, untuk memastikan pesan yang disampaikan,” lanjutnya.

Ketika membaca ayat ke-30 surah Albaqarah, ”Dan, ingatlah ketika Tuhanmu berkata kepada Malaikat, ‘Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.’ Malaikat berkata, ‘Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi, mereka adalah orang-orang yang akan membuat kerusakan dan menumpahkan darah. Padahal, kami senantiasa bertasbih dengan memuji dan menyucikan Engkau?’ Allah berfirman, ‘Sesungguhnya, Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui’.”

Menurut Lang, ayat ini sangat mengganggunya. ”Saya merasa sangat kesepian. Seakan-akan penulis kitab suci ini telah menarik diri saya ke dalam ruang hampa dan sunyi untuk berbicara langsung dengan saya,” ujarnya.

”Saya berpikir, keterangan ayat tersebut ada sesuatu yang keliru. Saya protes. Lalu, saya baca lagi. Saya amati dengan saksama. Sebab, menurut ajaran yang pernah  saya dapatkan, diturunkannya Adam ke bumi bukan menjadi khalifah, tetapi sebagai hukuman lantaran dosa Adam. Namun, dalam Alquran, tidak ada satu kata pun yang menjelaskan sebab-sebab diturunkan Adam karena perbuatan dosa,” jelasnya.

Menurut Lang, pertanyaan yang diutarakannya sama dengan pertanyaan malaikat yang menyatakan bahwa manusia itu berbuat kerusakan.

”Tapi, saya merasa ada sesuatu yang lain dari keterangan ayat selanjutnya. Allah hanya menjawab, ‘Sesungguhnya, Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.’ Jawaban ini terkesan sederhana dan enteng, namun mengandung makna yang dalam,” ungkapnya.

Lang menjelaskan, dalam Alkitab, jawaban Tuhan atas pertanyaan malaikat disampaikan tentang hukuman yang diberikan karena berbuat dosa. ”Penjelasan ini berbeda dengan Alquran. Alquran menjawab pertanyaan para malaikat dengan memperlihatkan kemampuan manusia, pilihan moral, dan bimbingan Ilahi. Allah mengajarkan manusia (Adam) nama-nama benda.”

”Ayat tersebut menunjukkan kemuliaan dan kemampuan manusia yang tidak diberikan kepada malaikat,” ujarnya.

Bahkan, pada ayat ke-39 diterangkan, ”Adapun orang-orang yang tidak beriman dan mendustakan ayat-ayat Kami, mereka adalah penghuni neraka dan mereka kekal di dalamnya.” 

”Saya merasa ayat ini makin kuat menyerang saya. Namun, saya semakin percaya akan kebenaran Alquran dan meyakini agama Islam yang dibawa oleh Muhammad SAW,” jelasnya.

Sekitar tahun 1980-an, belum banyak pelajar Muslim yang menuntut ilmu di Universitas San Francisco. Sehingga, kalau bertemu dengan mahasiswa Muslim di area kampus, menurut Lang, itu merupakan hal yang sangat langka.

Ada cerita menarik tatkala Lang sedang menelusuri kampus. Secara tak terduga, ia menemukan sebuah ruangan kecil di lantai bawah sebuah gereja. Ruang tersebut rupanya dipakai oleh beberapa mahasiswa Islam untuk menunaikan shalat lima waktu.

Kepalanya dipenuhi tanda tanya dan rasa ingin tahu. Dia pun memutuskan masuk ke tempat shalat tersebut. Waktu itu, bertepatan dengan masuknya waktu shalat Zuhur. Oleh para mahasiswanya, dia pun diajak untuk ikut shalat. Dia berdiri persis di belakang salah seorang mahasiswa dan mengikuti setiap gerakannya.

Dengan para mahasiswa Muslim ini, Lang berdiksusi tentang masalah agama, termasuk semua pertanyaan yang selama ini tersimpan dalam kepalanya. ”Sungguh luar biasa, saya benar-benar terkejut sekali dengan cara mereka menjelaskan. Masuk akal dan mudah dicerna. Ternyata, jawabannya ada dalam ajaran Islam,” tuturnya.

Sejak saat itu, Lang pun memutuskan masuk Islam dan mengucapkan dua kalimah syahadat. Dia menjadi seorang mualaf pada awal 1980. Ia mengaku bahwa dengan menjadi seorang Muslim, banyak sekali kepuasan batin yang didapatkannya.

Itulah kisah perjalanan spiritual sang profesor yang juga meraih karier bagus di bidang matematika. Dia mengaku sangat terinspirasi dengan matematika yang menurutnya logis dan berisi fakta-fakta berupa data riil untuk mendapatkan jawaban konkret.

”Dengan cara seperti itulah, saya bekerja. Adakalanya, saya frustrasi ketika ingin mencari sesuatu, tapi tidak mendapat jawaban yang konkret. Namun, dengan Islam, semuanya rasional, masuk akal, dan mudah dicerna,” tukasnya.

Prof Lang saat ini ditunjuk oleh fakultasnya sebagai pembina organisasi Asosiasi Mahasiswa Islam guna menjembatani para pelajar Muslim dengan pihak universitas. Tak hanya itu, dia bahkan ditunjuk untuk memberikan mata kuliah agama Islam oleh pihak rektorat.

Ia menikah dengan seorang perempuan Arab Saudi bernama Raika pada tahun 1994. Mereka dikaruniai tiga anak, yakni Jameelah, Sarah, dan Fattin. Selain ratusan artikel ilmiah bidang matematika, dia juga telah menulis beberapa buku Islam yang menjadi rujukan komunitas Muslim Amerika. Even Angels ask: A Journey to Islam in America adalah salah satu buku best seller-nya. Dalam buku itu, dia menulis kisah perjalanan spiritualnya hingga memeluk Islam.

Beberapa tahun belakangan ini, Lang aktif pada banyak kegiatan Islami dan dia merupakan pembicara inspirasional yang paling terkenal di sebuah organisasi pendidikan bernama Mecca Centric. Di sana, dia melayani konsultasi segala sesuatu tentang Islam ataupun kegiatan kepemudaan.

 

sumber:RepublikaOnline

 

———————————————————————————————————–
Umrah resmi, Hemat, Bergaransi
(no MLM, no Money Game, no Waiting 1-2 years)
Kunjungi www.umrohumat.com  atau hubungi handphone/WA 08119303297

Centro Islamico Saksi Warga Hispanik Bersyahadat

Berdiri di depan tempat shalat, Alfonso Flores, muslim Hispanik berusia 29 tahun, berpelukan dan berjabat tangan dengan muslim lain di Centro Islamico, Houston. Centro Islamico merupakan pusat komunitas muslim Hispanik pertama di Cinco de Mayo.

Flores baru saja mengucapkan dua kalimah syahadat pada Sabtu (9/5) di masjid Centro Islamico. Masjid yang berada di Cinco de Mayo ini memang merupakan temat berkumpul muslim keturunan Amerika Latin.

Sebagian besar mereka berasal dari keturunan Kolombia, Puerto Rico, Meksiko dan Kuba, yang memilih menjadi seorang muslim di Amerika Serikat. “Kami seperti keluarga di sini,” kata Ana Ortiz, Muslim asal New Jersey yang juga keturunan Puerto Rico dilansir dari TheGuardian, Senin (9/5).

Sejak dibuka pada 30 Januari 2016 lalu, 18 muslim Hispanik telah melakukan syahadat di masjid ini. Saat ini ada lebih dari 55 juta warga keturunan Hispanik di AS, dan beberapa diantara mereka merupakan bagian dari lebih dari tiga juta muslim yang saat ini ada di AS.

Diperkirakan jumlah muslim keturunan Amerika latin di AS akan terus bertambah dari 30 ribuan menjadi 300ribuan dalam satu dekade terakhir. Ini terlihat dari semakin banyaknya masjid berdiri dari komunitas muslim Hispanik.

Centro Islamico Houston adalah satu diantara beberapa masjid pertama dari kalangan Hispanik, setelah sebelumnya berdiri New Yosk Islamica pada pertengahan 1990an, yang kemudian ditutup pada 2005.

“Kami sebelumnya berkumpul di masjid yang berbeda. Tapi kemudian kami memutuskan untuk mengumpulkan orang orang Hispanik dan belajar tentang Islam di Centro Islamico,” kata Magidel Morris.

Bagi muslim Hispanik lain seperti Jalil Navarro, kehadiran Centro Islamico ini adalah tempat belajar tentang Islam bagi mereka yang sangat awam. “(Latin) ingin belajar tentang Islam dengan bahasa Spanyol, tapi terkadang di beberapa masjid tidak ada muslim yang melayani mereka jika hanya menggunakan bahasa Inggris,” kata dia.

Ken Chitwood seorang mahasiswa doktoral dari Universitas Florida dalam risetnya menuliskan, di Centro Islamico mereka benar-benar bisa menjadi wadah para mualaf keturunan latin mengintegrasikan dirinya dalam Islam.

Dalam penelitan Chitwood menemukan bahwa kebayanakan muslim latin berasal dari Amerika Tengah dan Selatan dengan prinsip agama Katolik yang kuat. “Ada semacam pengembaraan spiritual yang terjadi pada mereka,” kata dia. Beberapa mereka mengalami ketidakpuasan spiritual dari keyakinan sebelumnya dan mencari nilai ketuhanan baru.

“Kami memiliki akar seorang muslim, yang akhirnya Islam mengubah hidup saya,” kata Navarro yang telah tiga tahun memeluk Islam.

 

sumber: Republika Online

Ada Alasan Kaarem Abdul Jabbar Memilih Islam

Meski sudah 40 tahun memeluk Islam, hingga saat ini masih banyak pihak yang menanyakan alasan mengapa pria berdarah Afrika ini memilih agama Muhammad SAW ini sebagai jalan hidupnya.
Ia memutuskan menjadi mualaf pada 1971.

Keputusan pemilik nama Islam Kareem Abdul Jabbar menganut Islam bukan perkara ringan. Ia tengah berada dalam puncak karier di dunia perbasketan. Ia termasuk tim basket perguruan tinggi terbaik di Amerika, yakni UCLA.

Ia begitu terkenal dan selalu menjadi sorotan media. Namun, meski berada di puncak popularitas mantan pemain terbaik National Basketball Association (NBA) ini menemukan ketidaknyamanan.

Terinspirasi Malcom X

Pria 68 tahun ini tidak mengetahui alasan yang menyebabkan perasaan itu berkecamuk dalam dirinya. Kegundahan itu membuncah dalam hatinya, terutama setelah membaca The Autobiography of Malcolm X.

Ia mengaku terpukau dengan kisah Malcolm yang menyadari bahwa ia adalah korban rasisme institusional. “Itulah bagaimana saya merasa dipenjara oleh diri saya seharusnya,”  ujar Kareem Abdul Jabbar seperti dilansir aljazeera.com. Kisah Malcolm X begitu menginspirasinya.

Transformasi Malcolm X dari pidana menjadi pemimpin politik mengilhami dirinya untuk melihat lebih dekat tentang identitas diri sendiri.  Islam membantu Abdul Jabbar, begitu akrab disapa, menemukan jati dirinya dan memberinya kekuatan untuk menjalani kehidupan.

Salah satunya untuk menghadapi permusuhan antara kulit hitam dan putih dan juga memperjuangkan keadilan sosial.  Perlahan, akhirnya ia mantap beralih ke Islam saat ia berusia 24 tahun. Menurutnya, tidak mudah menjadi Muslim di Amerika Serikat.

 

Transformasi Spiritual

Namun, baginya, proses yang ia lalui merupakan bagian dari transformasi spiritual.
Hal pertama yang dilakukan pria kelahiran Lew Alcindor, New York, ini adalah keluar dari agama Baptis orang tuanya, yakni Katolik, lalu belajar Islam.

Baginya, Kristen adalah dasar bagi budaya kulit putih untuk memperbudak orang kulit hitam dan mendukung rasisme yang meresap masyarakat. Konsekuensi Akibat keputusan yang fenomenal itu, Abdul Jabbar harus menanggung konsekuensi yang tak ringan.

Ia sadar betul pilihannya itu dapat membuat ia jauh dari keluarga, teman, dan lingkungan sosial. Apalagi, ia terlahir dari keluarga yang taat dan menghormati aturan.  Khususnya, aturan dari orang tua, guru, pengkhotbah, dan pelatih.

Orang tuanya tidak setuju dengan jalan hidupnya itu meski keduanya bukanlah Katolik yang taat. Mereka berdua kecewa. Orang tuanya menginginkan Abdul Jabbar menjadi penginjil.

 

Pertanyaan

Banyak pertanyaan yang muncul mengapa ia beralih Muslim dan mengubah namanya. Bagi orang terdekatnya, nama tersebut sulit diucapkan oleh warga Amerika. Beberapa penggemar bertanya langsung seolah-olah ia adalah pelaku pengeboman tempat ibadah yang tidak memiliki rasa nasionalis.

Puncak ketidaksetujuan publik atas keislaman mantan pebasket profesional ini mengkristal ketika keluarganya diserang oleh Kristen semburan Ku Klux Klan dan rumahnya dibakar oleh kelompok sempalan KKK Black Legion.
Kendati begitu, banyak halangan yang dihadapi Abdul Jabbar, tetapi ia tidak pernah goyah atau menyesali keputusannya.

Bahkan, jika waktu bisa diputar, ia berharap bisa menjadi mualaf dengan cara yang lebih pribadi, tanpa ada publisitas dan komentar dari banyak orang. Dengan demikian, tidak akan ada pihak yang mencela keputusannya dan mengaitkannya dengan ras ataupun kelompok tertentu.

Menurut pria yang bermain di 20 musim liga basket ini, kebanyakan orang terlahir dengan agama yang telah dianut oleh orang tuanya.  Mereka menganggap agama adalah warisan dan kenyamanan. Keyakinan hanya didasarkan pada iman, bukan karena pemahaman akan ajaran agama. Sehingga, agama diterima dari keluarga dan sebagai bagian dari budaya.

Namun, baginya, agama merupakan masalah keyakinan yang begitu dalam. Keyakinan yang ia rasakan didasari pada kombinasi iman dan logika karena perlu alasan kuat untuk meninggalkan tradisi keluarga dan masyarakat. Untuk itu, menjadi mualaf dapat mengakibatkan kehi lang an keluarga, teman, dan dukungan masyarakat.

 

Berguru

Perjalanan Abdul Jabbar untuk belajar Islam berlika-liku. Pemilik nama asli Ferdinand Lewis Alcindor ini sempat belajar ke Abdul Khalis dari Hammas. Dari sang guru itulah, ia memperoleh nama Islamnya yang berarti orang yang mulia hamba dari Sang Mahakuasa.

Dalam proses belajar tentang Islam, Abdul Jabbar setuju untuk dinikahi dengan seorang wanita yang disarankan oleh guru spiritualnya tersebut meski ia mengaku memiliki pujaan hati yang lain.

Ia juga mengikuti nasihat sang guru untuk tidak mengundang orang tuanya menghadiri resepsi pernikahannya. Ia menyadari ini merupakan kesalahan sehingga ia memer lukan waktu selama satu dekade untuk memperbaiki silaturahim dengan orang tuanya.

Tidak puas untuk menerima semua pengetahuan agama hanya dari satu orang, ia memutuskan untuk belajar sendiri. Dalam proses tersebut, pemain terbaik National Basketball Association (NBA) ini menemukan kenyataan bahwa ada hal yang tidak dapat ia ikuti terkait dengan beberapa ajaran Abdul Khalis tentang Alquran. ehidupannya.

 

Baca Alquran

Abdul Jabbar memutuskan berpisah dari ajaran sang guru. Dan, pada 1973, ia berangkat ke Libya dan Arab Saudi untuk belajar bahasa Arab agar dapat mempelajari Alquran langsung.

Sebenarnya, ia menolak agama yang asing bagi budaya Amerika. Ia sempat dituduh bergabung dengan Nation of Islam, se buah gerakan Islam Amerika yang didirikan di Detroit pada 1930. Meskipun ia sangat terinsipirasi oleh Malcolm X, pemimpin Nation of Islam, ia memilih untuk tidak bergabung dengan organisasi tersebut karena ingin lebih fokus pada spiritual daripada aspek politik.

Menurutnya, beberapa fan masih memanggilnya dengan nama masa kecilnya, yakni Lew. Ia mengaku kesal ketika masih ada orang yang memanggilnya dengan nama tersebut. Ia menganggap mereka tidak menghargai keyakinan yang ia anut saat ini.

Baginya, penggemar yang masih memperlakukannya demikian hanya melihat ia sebagai mainan action figure untuk menghiasi dunia mereka seperti yang mereka mau. Dan, bukan menilai ia sebagai individu dengan kehidupannya.

Profesor Okuda: Ilmuwan Muslim Jepang dan pendidik

Prof. Dr. Atsushi Kamal Okuda, Profesor sistem Politik di Universitas Keio. Ilmuwan muslim Jepang dan pendidik.

Dr Kamal Okuda telah lama berjuang mencari agama, sampai ia memeluk Islam. Dia menjelaskan hidupnya sebelum memeluk Islam: “Sebelum memeluk Islam hidup saya adalah barbar .. Sangat barbar! Jahil.. tidak tahu yang sebenarnya!”

Dr. Okuda adalah contoh yang sangat baik bagi umat Islam di Jepang. Dia mengambil minat dalam perundang-undangan Islam, ia pindah ke Aleppo-Syria untuk melanjutkan studi dan belajar bahasa Arab. Dia mengatakan: “Pada saat itu saya masuk Islam .. Saya percaya bahwa ini adalah hadiah terbesar dari Allah dalam hidup saya!”.

Hari ini, Dr Okuda bekerja keras dengan rekan-rekannya dan para mahasiswa di Jepang untuk menyebarkan Islam di sana, dan untuk menyelamatkan bangsa mereka. Semoga Allah memberi mereka berkat dan pahala mereka baik.

sumber: Islam in Japan 日本でのイスラム