Di tengah kecamuk Perang Shiffin masih ada sebagian orang yang berpikir bijak. Mereka takut perang yang terus berlanjut akan membinasakan kaum muslimin. Di sisi lain, para musuh terus menyulut menuju ke sana. Mereka ingin menghancurkan sendi kekuatan Islam. Sehingga punggawa-punggawa dakwahnya terkapar. Tak lagi mampu menyebarkannya dengan maksimal. Di antara mereka yang pertama sadar adalah orang Kufah (pengikut Ali). Dia adalah al-Asy’ats bin Qais al-Kindi. Ketika perang tengah berkecamuk, ia angkat bicara di tengah kaumnya. Ia berkata, “Kaum muslimin, kalian telah menyaksikan suatu peristiwa yang tak pernah terjadi sebelumnya. Orang-orang Arab banyak meninggal. Demi Allah, seumur hidupku ini aku belum pernah sama sekali melihat kejadian seperti ini. Sampaikanlah kepada orang yang tidak mendengar ucapanku. Kalau menunggu besok kita baru berdamai, pasti orang-orang Arab musnah dan kehormatan disia-siakan. Demi Allah, aku mengatakan ini bukan karena ketakutan. Tapi aku ini adalah seorang yang telah berumur, aku khawatir dengan para wanita dan anak-anak kalau kita esok semuanya tewas. Ya Allah, sungguh Engkau tahu aku ini menyayangi kaumku dan saudara seagamaku. Dan tidak ada yang memberi taufik kecuali Allah.”
Saat ucapan al-Asy’ats ini sampai ke telinga Muawiyah, ia berkata, “Demi Rab Ka’bah, dia benar. Kalau kita berjumpa di peperangan esok, orang-orang Romawi akan membahayakan anak-anak dan istri-istri kita. Orang-orang Persia dan Irak akan melenggang masuk membahayakan istri dan anak kita. Orang yang berpandangan seperti ini adalah seseorang yang visioner. Angkatlah mushaf-mushaf di kepala tombak.”
Sha’sha’ah berkata, “Penduduk Syam (pengikut Muawiyah) menyatakan sikap. Mereka berseru di kegelapan malam, ‘Hai penduduk Irak, siapa yang akan melindungi keluarga kami kalau kalian membunuh kami. Dan siapa yang akan menjaga keluarga kalian kalau sampai kami membunuh kalian? Allah.. Allah.. yang abadi.”
Di pagi hari, penduduk Syam mengangkat Alquran di kepala tombak mereka. Lalu mereka gantungkan di kuda. Orang-orang pun bersemangat dengan seruan mereka. Mereka angkat mushaf Alquran Damaskus yang besar. Yang diangkat oleh sepuluh orang laki-laki di kepala tombak mereka. Mereka berseru, “Hai penduduk Irak, kitabullah antara kami dan kalian.” Mereka mengajak agar permasalahan ini diselesaikan dengan berhukum menurut Alquran.
Abu al-A’war as-Salmi muncul dengan kuda pembawa barang. Ia meletakkan mushaf di atas kepalanya, lalu berseru, “Hai penduduk Irak, kitabullah (yang memutuskan perkara) antara kita.”
Al-Ays’ats berkata kepada Amirul Mukminin Ali bin Abu Thalib, “Orang-orang mengajak kepada Kitabullah. Sungguh selayaknya Andalah orang yang terdepan memenuhinya dibanding mereka semua. Mereka semua ingin tinggal dan tak ingin berangkat berperang.”
Ali menjawab, “Ini perkara yang masih perlu diteliti lagi.”
Mereka menyatakan bahwa penduduk Syam masih ragu-ragu. Penduduk Syam berkata, “Hai Muawiyah, kita tidak melihat penduduk Irak menanggapi ajakan kita. Ajaklah mereka kelompok demi kelompok. Apabila engkau melakukan hal tersebut pastilah mereka akan menyepakatimu.”
Muawiyah memanggil Abdullah bin Amr bin al-Ash. Lalu memerintahkannya untuk berbicara dengan penduduk Irak. Abdullah bin Amr berangkat dan menemui mereka. Tatkala ia berada di dekat Shiffin ia berseru, “Hai penduduk Irak, aku adalah Abdullah bin Amr bin al-Ash. Sesungguhnya kita berselisih dalam permasalahan agama dan dunia. Kalau dalam permasalahan agama, Allah membuat kami dan kalian tidak pantas memutuskannya secara mandiri. Kalau dalam permasalahan dunia, Allah telah melebihkan kami dan kalian. Kami telah mengajak kalian pada sesuatu, yang kalau kalian yang menawarkannya pasti akan kami terima. Sungguh yang menyatukan kami dan kalian adalah ridha. Dan itu dari Allah. Manfaatkanlah kesempatan ini.”
Al-Asytar (pembunuh Utsman) tidak berpikir untuk berperang. Ia hanya diam dalam ketakutan. Orang-orang menuding, “Engkau telah menyebabkan kami berperang. Engkau (menyebabkan) membunuh banyak orang. Dan sekarang sekelompok orang menyerukan perdamaian.” (al-Maqrizi: Waqa’atu Shiffin, Hal, 481-484). Orang-orang yang terlibat dalam pembunuhan Utsman merasa ketakutan. Mereka merasa nyawa mereka tengah di ujung pedang vonis hukuman mati. Dan mereka mulai menyalahkan al-Asytar yang menyebabkan mereka terlibat.
Dari sini kita bisa mengetahui, baik di Perang Jamal sampai Perang Shiffin ini, para sahabat sama sekali tidak menginginkan peperangan. Di Perang Jamal mereka disusupi oleh kelompok pembunuh Utsman. Lalu terjadilah peperangan. Dan di Shiffin, ahlul fitnah inipun belum berhenti. Mereka tak tinggal diam dan menyerah begitu saja untuk diadili.
Peristiwa ini juga menunjukkan kebohongan orang-orang yang menuduh penduduk Syam. Menurut mereka penduduk Syam yang dalam hal ini di-inisiasi oleh Amr bin al-Ash radhiallahu ‘anhu atas arahan Muawiyah radhiallahu ‘anhu membuat tipu daya. Amr dan penduduk Syam menginginkan perang tapi mereka menutup-nutupinya seolah ingin berdamai. Lalu menyerang dari belakang. Ini adalah tuduhan dusta terhadap dua orang sahabat yang mulia ini.
Tindakan mengangkat mush-haf ini adalah perbuatan mulia. Dilakukan oleh orang-orang bijak dari kedua kelompok. Kemudian hal ini juga disepakati oleh Ali bin Abu Thalib yang mengatakan, “Iya. Antara kami dan kalian, Kitabullah. Dan aku adalah orang yang selayaknya terdepan menerima hal ini dari kalian semua (Mushannaf Ibnu Abi Syaibah 8/376).
Orang-orang Syiah membuat banyak riwayat dusta. Tujuan mereka adalah melemparkan tuduhan buruk pada para sahabat. Menanamkan keraguan pada agama ini. Mereka membuat Riwayat-riwayat tentang panasnya peperangan. Besarnya kebencian antar dua kelompok. Lalu mereka besar-besarkan jumlah pasukan yang wafat di Shiffin dan Jamal. Mereka menyebutkan jumlahnya ribuan bahkan sampai puluhan ribu. Darimana kita bisa membenarkan hal ini. Padahal kedua kelompok tidak menginginkan perang.
Akhirnya, disepakatilah tahkim. Muawiyah mengutus Amr bin al-Ash radhiallahu ‘anhu. Dan ali memilih Abu Musa al-Asy’ari radhiallahu ‘anhu. Perjanjian ini ditulis pada 13 Shafar 37 H.
Riwayat Dusta Tentang Peristiwa Tahkim
Karena tak ingin terus terjadi pertumpahan darah, Ali bin Abu Thalib bersama penduduk Irak dan Syiahnya Ali (simpatisannya) juga Muawiyah bin Abu Sufyan, penduduk Syam, dan Syiahnya Muawiyah (simpatisannya) sepakat untuk berhukum dengan Kitabullah. Apa yang terdapat dalam Alquran akan mereka taati. Karena semua yang ada di dalam Alquran dan sunnah pasti adil. Keduanya menjamin keamanan harta, jiwa, serta keluarga mereka. Itikad baik keduanya ini mendapat dukungan dari kaum muslimin.
Dalam perjanjian ini tidak disebutkan pembahasan tentang kekhilafahan. Mereka tidak berselisih tentang permasalahan khilafah. Muawiyah tidak menyebut dirinya sebagai khalifah. Dan ia tak ingin mencari-cari jalan untuk menjabatnya. Yang menjadi titik sengketa dua kelompok ini adalah Ali menuntut agar Muawiyah dan penduduk Syam berbaiat. Sementara Muawiyah menuntut Ali untuk mengqisas pembunuh Utsman. Inilah letak perselisihannya. Tidak ada pembicaraan tentang kekhilafahan.
Perlu diketahui banyak sekali riwayat-riwayat palsu tentang peristiwa Shiffin ini. Riwayat-riwayat tersebut dibuat-buat oleh orang-orang Syiah. Mereka ingin merusak citra keteladanan yang ada pada sahabat Amr bin al-Ash dan Abu Musa al-Asy’ari. Mereka menuduh Amr sebagai pembuat makar dan penipu. Muawiyah menginginkan dunia (kekuasaan). Abu Musa seorang yang tak cakap dan lalai. Tuduhan-tuduhan ini sungguh tak pantas dilabelkan kepada para sahabat besar seperti mereka.
Sayangnya, justru Riwayat-riwayat palsu inilah yang masyhur tentang peristiwa tahkim. Bahkan dijadikan kurikulum ajar dalam pelajaran sejarah Islam di negeri-negeri Islam. Akibatnya, kaum muslimin pun merasa benci dengan sebagian sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di antara Riwayat dusta itu adalah:
Abu Mikhnaf berkata, “Abu Jannab al-Kalbi menyampaikan padaku bahwa saat Amr dan Abu Musa bertemu di Daumatul Jandal, Amr sengaja lebih dulu bicara dibanding Abu Musa. Ia berkata, ‘Engkau adalah sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan engkau lebih tua dariku. Engkau berbicara kemudian baru aku berbicara. Amr membuat strategi agar Abu Musa selalu berbicara terlebih dahulu. Amr pun mulai berbicara tentang pemakzulan Ali. Amr mengajukan Muawiyah sebagai khalifah. Namun ditolak oleh Abu Musa tidak menyepakatinya. Lalu ia menyebut nama anaknya, Abdullah bin Amr. Abu Musa juga tidak sepakat. Lalu Abu Musa menyebut nama Amr sendiri. Amr berkata, ‘Pendapatku tergantung bagaimana pendapatmu’. Abu Musa berkata, ‘Menurutku, kita makzulkan saja dua orang ini (Ali dan Muawiyah). Lalu kita serahkan kepada kaum muslimin agar mereka memilih sendiri orang yang mereka sukai’. Amr berkata, ‘Pendapatku tergantung bagaimana pendapatmu’. Kemudian keduanya menemui orang-orang. Masyarakat pun berkumpul.
Amr berkata, “Hai Abu Musa, sampaikan pada mereka bahwa pendapat kita adalah pendapat yang sama’. Abu Musa berbicara, ‘Sesungguhnya aku dan Amr telah sepakat dalam satu putusan. Kami berharap dengan hal itu Allah memperbaiki kondisi umat ini’. Amr berkata, ‘Benar dan baik sekali. Hai Abu Musa, maju dan bicaralah’. Abu Musa pun maju untuk berbicara. Lalu Abdullah bin Abbas menanggapi, ‘Celaka kamu! Demi Allah aku yakin Amr telah membuat tipu daya pada dirimu. Dst.. kisah ini diriwayatkan oleh ath-Thabari dalam al-Umam wa al-Muluk, 3/311.
Riwayat ini tentu tidak sesuai dengan karakter para sahabat. Dan ath-Thabari meriwayatkan kisah-kisah beserta sanadnya. Agar orang-orang bisa melihat kualitas dari berita tersebut. Artinya, Riwayat-riwayat ath-Thabari dalam kitabnya ini bukanlah konsumsi orang awam yang tidak mengerti ilmu sanad. Namun kabar ini dimanfaatkan oleh orang-orang buruk yang ingin merusak citra para sahabat.
Hasil Dari Tahkim
Setelah peristiwa Shiffin, Ali memerangi para pemberontak Khawarij. Dan setelah peristiwa tahkim, Ali bin Abu Thalib radhiallahu ‘anhu mencopot Gubernur Mesir, Qais bin Saad bin Ubadah. Para pemberontak memfitnah Qais bahwa ia menjalin hubungan dengan Muawiyah. Lalu Ali menunjuk Muhammad bin Abu Bakar sebagai penggantinya. Namun Muhammad bin Abu Bakar dianggap sebagai orang yang terlibat dalam terbunuhnya Utsman. Penduduk Mesir pun meminta bantuan Muawiyah untuk menggulingkan Muhammad bin Abu Bakar. Akhirnya, Muhammad terbunuh dalam peperangan. Dan Amr bin al-Ash menjabat sebagai gubernur Mesir. Negeri Nabi Musa ini pun menjadi di bawah kekuasaan Syam.
Pada tahun 40 H, perselisihan antara Ali dan Muawiyah belum juga mengalami titik temu. Muawiyah menulis surat kepada Ali, “Kalau kau mau, untukmu Irak dan untukku Syam. Sehingga pedang-pedang pun berhenti di tengah umat ini. Jangan kau tumpahkan darah kaum muslimin.” Ali pun menyepakati hal tersebut. Dengan demikian Muawiyah dan pasukannya menguasai Syam dan sekitarnya. Sementara Ali menetap di Irak dan menguasainya bersama pasukannya (ath-Thabari: Tarikh ath-Thabari 6/60).
Oleh Nurfitri Hadi (IG: @nfhadi07)