SAAT televisi menjadi semacam tuhan baru, tak terelakkan jika budaya yang muncul adalah budaya massa, budaya pop.
Dalam kendali budaya pop, tak ayal media massa turut mengemas dakwah dan mubalighnya. Dalam budaya pop yang instan, kualifikasi mubaligh bukan pada keluasan ilmu, melainkan selera pasar. Bukan kefaqihan, tapi justru rating.
Karena itu jangan heran bila para mubaligh pun tak lagi memancarkan aura sakral. Yang ada hanya sinar lampu sorot, dan kilat kamera. Bukan min asyari sujud, melainkan polesan make up juru rias.
Pada saat seperti ini, kian terasa kita perlu para mubaligh yang istiqamah, para pewaris Nabi yang tekun menjalani jalan sunyi. Mereka yang senantiasa mengadukan setiap derita umatnya kepada Tuhan, dalam sepi dini hari. Dalam hening yang khusu’, jauh dari tepuk tangan dan sorot lampu.