Makkah dan Madinah sebagai dua kota Rasulullah SAW tentu menarik perhatian umat Islam di seluruh penjuru dunia untuk dikunjungi. Keberadaan Masjidil Haram di Makkah dan Masjid Nabawi di Madinah adalah keistimewaan tersendiri.
Bersama dengan Masjid Al Aqsa di Palestina, dua masjid tersebut adalah masjid yang dikhususkan sebagai tujuan ziarah. Rasulullah SAW bersabda, “Tidaklah pelana itu diikat—untuk melakukan perjalanan—kecuali ketiga masjid, Masjidil Haram, Masjid Rasul (Nabawi) dan Masjid Al Aqsa.” (HR Bukhari Muslim).
Makkah juga menjadi tempat tujuan ibadah haji dan umrah. Begitu juga Madinah, tempat Rasulullah SAW dimakamkan. Jutaan umat Islam dunia berkunjung di dua kota suci itu setiap tahunnya. Sampai-sampai ada yang menetapkan diri untuk tinggal lebih lama di kota itu.
Para pendatang yang bermukim di Makkah dan Madinah pun berasal dari seluruh penjuru dunia, termasuk Indonesia. Warga Indonesia yang tinggal dan beraktivitas di Makkah dan Madinah pun memiliki julukan tersendiri, yakni mukimin jawi.
Menurut Ensiklopedia Islam, mukimin jawi bukan hanya ditujukan bagi pendatang dari Indonesia, namun juga secara umum dari wilayah Asia Tenggara, seperti Malaysia, Thailand, Brunei dan Mindanau. Mereka adalah orang Islam yang tinggal dalam kurun waktu beberapa lama di Makkah dan Madinah. Mereka berbaur dan memiliki aktivitas ekonomi dengan penduduk lokal.
Menurut catatan Lodovico de Varthema, seorang pengembara asal Bologna Italia, mukimin jawi sudah masuk ke Makkah sejak abad ke-16. Saat itu, ia menyamar sebagai Muslim agar bisa masuk Makkah. Dalam catatannya, mukimin jawi sudah masuk pada 1502.
Saat itu, kedatangan orang Melayu ke Makkah selain untuk beribadah haji juga untuk berdagang. Jumlah mukimin jawi meningkat setelah lancarnya transportasi dari Asia Tenggara ke Timur Tengah setelah digunakannya kapal api pada abad ke-18.
Para mukimin jawi di Makkah dan Madinah bisa dilihat dari ujung nama mereka yang bernuansa etnik nusantara. Gelar seperti as-Singkil (Singkil), al-Asi (Aceh), al-Minangkabawi (Minangkabau), al-Padani (Padang), al-Mandili (Mandailing), al-Palimbani (Palembang), al-Bantani (Banten) hingga al-Maqassari (Makassar).
Para mukimin jawi ini berkumpul sesuai dengan etnik kelompoknya. Pada abad ke-19, komposisi terbesar dari mukimin jawi adalah etnik Jawa. Banyak pesantren di Jawa Tengah dan Jawa Timur memiliki hubungan dengan ulama Jawi yang memperoleh pendidikan di Makkah dan Madinah.
Selain berdagang dan haji, banyak pemuda nusantara yang tinggal di Makkah benar-benar untuk menimba ilmu. Mereka mengikuti halaqah di Masjidil Haram. Tak sedikit dari mereka yang kembali ke Tanah Air menjadi ulama besar, seperti KH Hasyim Asy’ari dan KH Ahmad Dahlan.
Secara ekonomi, para mukimin jawi ini termasuk yang cukup mapan. Mereka mendapat kiriman rutin dari keluarga di Tanah Air selama menuntut ilmu. Selain itu, saat musim haji, mereka juga bekerja membantu para jamaah haji asal nusantara. Beberapa dari mereka juga melakukan badal haji dengan imbalan tertentu. Dari kerja saat musim haji ini mereka bisa menghidupi diri untuk setahun ke depan.
Ketika gerakan pan-Islamisme berkembang pada akhir abad ke-19, dampaknya turut memengaruhi para mukimin jawi. Pemerintah kolonial Belanda khawatir para mukimin jawi terkena paham Pan-Islamisme saat kembali mengobarkan perlawanan. Belanda mulai mengetatkan perizinan bagi mereka yang akan pergi ke Makkah dan Madinah. Kedatangan para santri dari Makkah dan Madinah pun diperketat. Jamaah haji pun dibatasi.
Menginjak abad ke-20, motivasi orang-orang Indonesia datang ke Makkah dan Madinah pun mulai bergeser. Kemajuan ekonomi Arab Saudi membuat keberangkatan orang Melayu hanya untuk mencari nafkah. Para santri yang ingin menjadi ulama dan menimba ilmu di Makkah dan Madinah mulai berkurang. Pada saat yang bersamaan, Pemerintah Arab Saudi juga memperketat visa belajar. Hanya yang ingin belajar di perguruan tinggi saja yang diberikan izin. Itu pun bagi yang mendapat beasiswa dari pemerintah.
Perluasan kompleks Masjidil Haram dari tahun ke tahun pun juga membuat permukiman para pendatang dari Melayu tergeser. Permukiman Jabal Abu Qubais yang terkenal sebagai tempat tinggal orang Indonesia digusur dan menjadi bagian dari istana raja Arab Saudi. Para mukimin jawi yang tersisa pun tinggal berpencar-pencar.