“Iis kan temannya banyak. Cukup butuh 11 orang, nanti Iis bisa berangkat umroh gratis…”
Itulah salah satu kalimat persuasif yang saya terima dari seorang famili suami yang mengasuh sebuah pondok pesantren di sebuah kecamatan di Jember. Saya diminta membawa dua tumpuk kartu nama dan sejumlah brosur yang memuat nominal biaya plus jadwal pemberangkatan umroh ke tanah suci untuk dibagi kepada kenalan-kenalan saya. Saya melirik nama perusahaan travel yang tertera di kartu nama tersebut. Mmm, rasanya nama tersebut cukup familiar. Rasanya saya pernah membaca nama tersebut…
Selisih tiga bulan, nama perusahaan tersebut kembali muncul dalam promosi seorang kenalan di jejaring Fesbuk di Lumajang. Ia mengatakan ada cara gampang bagi siapa saja yang ingin ke Tanah Suci dengan cara murah. Cukup mengumpulkan sejumlah orang tertentu yang ingin bepergian, maka kita akan dapat berangkat ke Tanah Suci dengan harga miring, bahkan gratis!!!
Tepat sepekan lalu, plang nama perusahaan travel tersebut tak sengaja saya temukan di sebuah rumah di pusat Kota Lumajang. Yup, tawaran umroh atau haji berbiaya murah dan/atau gratis dengan mencarikan jamaah sejumlah tertentu tampaknya kian marak di wilayah Jember dan Lumajang oleh perusahaan travel tersebut. Iming-iming ini pun sudah merambah pada wilayah-wilayah pelosok.
Saya mencoba mencari informasi tentang perusahaan tersebut di Google. Ya, ternyata benar, perusahaan travel tersebut pernah menjadi pemberitaan di media sekitar dua tahun lalu karena menawarkan umroh dengan sistem berjenjang atau yang lazim disebut multi level marketing (MLM). Perusahaan ini adalah salah satu dari dua perusahaan yang memperkenalkan sistem MLM umroh dan haji yang rekomendasi Dewan Pengawas Syari’ah (DPS) dan sertifikasi syari’ahnya dicabut oleh Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) pada Agustus 2012.
MLM
MLM adalah kegiatan menjual atau memasarkan langsung suatu produk, baik berupa barang ataupun jasa, kepada konsumen. Salah satu ciri MLM adalah terdapat produk yang diperjualbelikan. Hal inilah yang dinilai tidak ditemukan dalam MLM umroh dan haji yang berlangsung saat ini sehingga salah satu syarat dari rukun jual beli, yaitu adanya objek jual beli, tidak terpenuhi. Sulit untuk menentukan jenis produk apa yang sesungguhnya diperjualbelikan. Beberapa pihak bahkan menyamakan bisnis MLM umroh dan haji menjurus kepada money game.
Dalam kaidah fiqih, semua bentuk bisnis memiliki hukum asal halal, kecuali jika terdapat dalil yang melarangnya. Halal dalam konteks ini tentu saja berarti bebas dari maghrib (maysir, gharar, dan riba), tadlis, zalim, dan tidak mengandung unsur haram. Terkait dengan tawaran umroh dan haji berbasis MLM, maka pada tataran inilah muncul ruang perdebatan lantaran dalam mekanisme MLM memfasilitasi seseorang beribadah umroh dengan ‘berutang’ kepada down line dan terdapat potensi terjadinya tadlis.
Tidak hanya itu. Dalam MLM umroh dan haji, penekanannya bukan lagi pada urusan jual beli dan distribusi produk sebagaimana MLM murni, melainkan tentang bagaimana cara member get member. Dengan memperhatikan faktor ekonomi eksternal, rasanya sulit diterima logika bahwa bepergian umroh cukup dengan biaya Rp 2,5-3,5 juta dan haji dengan biaya Rp 5 juta sebagaimana yang kerap dipromosikan oleh perusahaan travel. Jelas, sistem MLM umroh dan haji yang berkembang ini memiliki potensi untuk terjadinya tadlis (penipuan) oleh oknum yang tidak bertanggung jawab.
Polemik penyelenggaraan umroh dan haji berbasis MLM memang dipicu oleh sertifikat yang diterbitkan DSN-MUI. Seiring laporan dari masyarakat, juga semakin menguaknya pro dan kontra dari berbagai pihak terkait penerbitan sertifikat tersebut, maka mekanisme ibadah umroh dan haji dengan sistem berantai itu dibahas dalam ijtima’ ulama nasional di tahun 2012.
Hasil ijtima’ ulama akhirnya berbuah larangan resmi penyelenggaraan MLM umroh dan haji melalui surat edaran dari Kementerian Agama (Kemenag) Nomor Dj.VII/Hj.09/10839/2012 tanggal 26 Desember 2012. MUI pun memfatwakan agar umat Islam menghindari MLM umroh dan haji karena lebih banyak mudharat ketimbang manfaat. Namun demikian, meski larangan telah diterbitkan, nyatanya tawaran umroh dan haji berbiaya murah ala MLM terus bergulir dan merambah ke daerah-daerah.
Waspada
Seperti halnya mewaspadai tawaran investasi bodong, maka masyarakat perlu pula memiliki literasi tentang tawaran umroh atau haji berbasis MLM yang dapat merugikan. Untuk mengenalinya, terdapat beberapa hal yang perlu diketahui. Pertama, perusahaan penyelenggara umroh dan haji harus memperoleh izin dari Kemenag. Belakangan kian marak biro travel umroh dan haji yang tidak memiliki izin, tetapi tetap memberangkatkan jamaah dan berujung pada akibat yang fatal. Kedua, perusahaan yang menggunakan sistem MLM harus memiliki surat izin usaha penjualan langsung (SIUPL) dari Direktorat Jenderal (Dirjen) Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan (Kemendag). Ketiga, dalam jenjang up line dan down line, maka masing-masing harus memiliki kesempatan sama untuk berhasil. Keempat, insentif yang diterima up line tidak boleh berasal dari pengurangan hak down line. Kelima, biro travel mampu memberangkatkan dan tidak memberi masa tunggu yang panjang kepada jamaah.
Dalam sebuah kesempatan berdiskusi dengan Pimpinan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Jember terkait dengan keberadaan MLM umroh dan haji yang mulai marak ditemukan di wilayah tapal kuda, masyarakat yang merasa dirugikan dapat menyampaikan kepada Satuan Tugas (Satgas) Waspada Investasi. Meski kegiatan bisnis tersebut tidak berhubungan langsung dengan sektor keuangan, namun laporan yang masuk kepada Satgas dapat ditindaklanjuti oleh OJK yang memiliki nota kesepahaman kerjasama dengan kepolisian, kejaksaan, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), dan lembaga lainnya untuk penindakan.
Terkait dengan MLM umroh dan haji, masyarakat juga dapat mencari informasi atau menyampaikan keluhan kepada Kantor Kemenag Kabupaten/Kota. Ya, tawaran beribadah umroh dan/atau haji dengan biaya murah memang menggiurkan. Namun, sistem yang digunakan tersebut cenderung menimbulkan bahaya. Dengan uang muka yang sangat rendah, calon jamaah direkrut tanpa melihat apakah yang bersangkutan termasuk dalam kategori mampu atau tidak mampu secara finansial.
Terlebih terkait dengan pelaksanaan ibadah haji, maka mekansime MLM ini tidak sesuai dengan Undang-Undang (UU) Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji. UU tersebut mengatur haji sebagai kewajiban sekali seumur hidup dan hanya diperuntukkan bagi mereka yang mampu. Mampu dalam konteks ini dapat ditafsirkan mampu secara fisik, finansial maupun kuota. Wallahu a’lam bish showab.
*Artikel ini sudah dimuat di Harian Jawa Pos Radar Jember, Kolom Perspektif, 2 Mei 2014.