Pesan Mufti Lithuania
Pria tinggi berkulit putih berwajah ramah dan enak dipandang itu bukan bintang film. Bukan juga orang Melayu, walau hari itu ia memakai peci khas Indonesia. Sebaliknya, jabatan-nya sangar : Mufti negara Lithuania, alias Pemimpin Muslim No. 1 di negeri Lithuania, negeri ex-okupasi Uni Soviet yang bercerai pada tahun 1991. Namanya Romas Jakubauskas.
“Nama belakang saya berasal dari nama “Yakub”, nama Muslim tentu saja,” ujarnya dalam bahasa Inggris yang amat lancar.
Ditemui di Desa 40 Tatars, 20 km di barat daya Vilnius, Mufti Romas berkisah banyak tentang umat-nya.
“Jumlah kaum Muslimin di Lithuania tidak banyak, hanya 5000 saja.Maka jangan bandingkan dengan Indonesia.Saya pernah ke Indonesia, Malaysia dan Thailand Selatan. Saya bisa merasakan kondisi di sana amat jauh berbeda dengan di sini, “ tukas Mufti Romas santai.
“Problem kita di dunia Islam adalah kita tidak saling mengenal. Tidak banyak orang Lithuania tahu tentang Indonesia, dan saya yakin juga sebaliknya. Sama halnya, banyak Muslim Lithuania Tatar yang tidak paham dengan dunia Islam di luar sana. Apalagi dunia Islam di Indonesia. Dan saya yakin juga sebaliknya,” papar Mufti Romas.
Romas mengaku bersyukur pernah sekolah di Libanon selama 7 tahun, berkenalan dengan Muslim dari banyak negara, termasuk dari Asia Tenggara. Tapi ia khawatir tak punya penerus lagi yang menyebabkan komunitas Muslim yang sudah sedikit ini akan punah.
“Maka, jika Anda atau negara ada atau organisasi Anda bisa memberikan scholarship(beasiswa) untuk anak-anak kami untuk belajar di Indonesia, untuk ilmu apapun, saya akan bahagia sekali,” ujar Mufti Romas lugas.
Ketika ditanyakan kesan-nya tentang Indonesia beliau menjawab. “I like Indonesia, I like the people, completely different with Lithuania. Saya datang sebagai tamu undangan NU bersama-sama dengan Mufti-Mufti dari negara lain. Saya mengunjungi Masjid Istiqlal dan juga berfoto di Monumen Nasional (Monas). Saya suka dengan keterbukaan orang Indonesia, ketika saya di Monas, banyak orang yang berteriak ‘bule’ , ‘bule’ dan meminta berfoto bersama saya. Padahal kita tidak saling mengenal dan saya bukan celebrity. Juga, ketika di sana tak jarang orang Indonesia bertanya kepada saya: “Apakah Anda sudah menikah?” berapa jumlah anak Anda?” yang tentunya jarang ditanyakan di Eropa ini. Tapi saya OK saja, pertama-tama saya kaget, tapi lama-lama saya mulai terbiasa, saya malah lebih dahulu membuka percakapan tentang status pernikahan dan jumlah anak saya, ha ha ha…”
Khatimah
Melakukan safari Ramadhan ke negeri muslim minoritas seperti Lithuania dimana Islam dan Muslim dianggap asing, bahkan tak sedikit yang phobia (Islamophobia) dengan Muslim adalah suatu kenikmatan sekaligus tantangan tersendiri.
Berita dari mipia.lt (February 2018) menyebutkan bahwa lebih dari setengah penduduk Lithuania tidak nyaman apabila harus bertetangga dengan kaum Muslimin. Mayoritas penduduk Lithuania juga tidak familiar dengan Islam dan Kaum Muslimin. Parahnya, hal yang sama terjadi dengan Muslim Tatar sendiri. Berabad-abad tinggal di Lithuania, mereka sudah kehilangan bahasa asli mereka sendiri dan mulai tercerabut identitas keislamanannya.Sehingga, mereka sendiri tak akrab dengan identitas keislamannya.
Maka, himbauan dari Mufti Romas tentang kesempatan ataupun beasiswa untk studi maupun mengenal negeri Muslim lain bagi pemuda/ pemudi Lithuanian Tatars sudah sepatutnya menjadi kepedulian kaum Muslimin sedunia, termasuk Indonesia, yang merupakan negeri Muslim terbesar di dunia.
Biarlah walaupun sedikit, mereka menjadi minoritas yang mengigit, bukan malah tercerabut dari akar budaya dan identias keislaman-nya.Wallahua’lam.*/kiriman Heru Susetyo. Oleh-oleh Perjalanan Ramadhan tujuh hari di Lithuania (20 – 27 Mei 2018) di sela-sela tugas sebagai visiting fellow FHUI di Mykolas Romeris University, Vilnius-Lithuania