Orang-orang Rohingya, terutama para pria, telah mulai mengangkat senjata dengan bergabung dengan kelompok pejuang untuk melawan militer Myanmar yang kejam.
Situasi ini telah menjadi perubahan dramatis sejak Oktober lalu ketika umat Islam yang sebelumnya menjadi korban penyiksaan terpaksa melarikan diri ke perbatasan Bangladesh.
Pada hari Jumat, para gerilyawan dari Arakan Rohingya Security Force/ARSA atau dikenal dengan Harakah al-Yaqin , menyerang sekitar 30 pos polisi untuk mengorbankan setidaknya 12 petugas keamanan dengan hanya berbekal pisau dan bom rakitan.
Seorang pengungsi perempuan Rohingya yang berhasil memasuki Bangladesh, mengakui bahwa suaminya telah bergabung dalam gerakan tersebut untuk melawan tentara Myanmar.
Ayesha Begum (25 tahun) mengatakan dia tidak menyesal jika suaminya tidak dapat melihat kelahiran anak keenamnya saat mereka berjuang bersama ARSA di Rakhine, Myanmar.
“Suami saya membawa kami ke sungai dan menyeberangkan kami,” tutur Begum di Kamp Kutupalong, menggambarkan perjuangannya menyeberangi Sungai Naf bersama anak-anaknya yang masih kecil.
Begum, bersama ribuan warga muslim Rohingya lainnya, kebanyakan perempuan dan anak-anak, mengungsi ke Bangladesh sejak militer Myanmar menggelar operasi besar-besaran pada Jumat (25/08/2017).
“Dia mengucap selamat tinggal. Katanya, jika kita tidak bisa bertemu lagi di Arakan (Negara Bagian Rakhine), kita akan bertemu di surga,” sambungnya.
Begum tanpa didampingi suaminya, kini sedang menanti kelahiran anak keenam mereka di kamp pengungsian di Bangladesh.
Setelah bertahun-tahun menjadi korban pembantaian militer Myanmar, muslim Rohingya kini menjawab panggilan untuk melawan.
Ajakan ARSA untuk melakukan perlawanan disambut pria-pria Rohingya yang berada di pengungsian atau perbatasan Bangladesh.
Seorang tetua adat Rohingya, Shah Alam, yang ditemui di perbatasan Myanmar-Bangladesh, mengakui bahwa 30 pria dari tiga desa di distriknya telah bergabung dengan ARSA.
“Apakah mereka punya pilihan lain? Mereka lebih memilih berjuang atau mati daripada dibantai seperti domba,” tuturnya.
Meski hanya bersenjata seadanya dan tidak yakin bisa mengalahkan militer Myanmar yang bersenjata lengkap, kondisi itu tidak menyurutkan tekad mereka melakukan perlawanan.
“Ada ratusan saudara kami bersembunyi di bukit-bukit. Kami telah bersumpah akan menyelamatkan Arakan meski hanya dengan tongkat dan pisau,” tegas seorang remaja Rohingya yang bergabung dengan kelompok militan tersebut.
Banyak dari orang-orang Rohingya yang mengungsi akibat kekerasan tersebut mengatakan bahwa mereka nyaris tidak dapat melarikan diri dengan kehidupan mereka.
Mereka menggambarkan massa Budha dan pasukan keamanan yang menembak warga sipil yang tidak bersenjata dan membakar rumah-rumah, sebuah pelecehan yang berulang kali didokumentasikan di Rakhine sejak kemajuan konflik.** >> klik BERSAMBUNG