Rohingya adalah Kita

a, di era modern ini, cukuplah jika kita merasa manusia, untuk dapat berempati pada penderitaan Rohingya.  Terlebih bagi Muslim, kepedulian pada Rohingya niscaya menjadi keharusan. Sebab mereka adalah saudara seiman.

Rohingya adalah etnis Muslim di Myanmar yang sudah berabad-abad tinggal menetap di negara bagian Arakan, Myanmar. Islam di Rohingya berkembang dengan kedatangan para juru dakwah sejak abad ke-8 Masehi.

Shah Barid Khandalam bukunya yang berjudul “Mohammad Hanifa O Khaira Pari” (yang ditulis sekitar tahun 1517-1550), mencatat, kafilah yang dipimpin putra Ali bin Abi Thalib ra yaitu Muhammad Abu Abdullah atau yang lebih dikenal sebagai Muhammad Al Hanafiah, pernah datang ke Arakan. Bahkan ia kemudian menikahi Ratu Kaiyapuri, dan tinggal di daerah Mayu Range (sekitar sungai Naf di perbatasan dengan Bangladesh).

Pribumi dan keturunan asimilasi Kafilah Muhammad Al Hanafiah itulah yang merupakan masyarakat Muslim Rohingya di Arakan. Jumlah Muslim Rohingya terus berkembang seiring dengan pesatnya dakwah di sana, terutama pada masa Kekuasaan Dinasti Mrauk-U (1430-1784).

Nama “Arakan”, menurut Ulama Rohingya, berasal dari kata“أركان “ yang merupakan bentuk jamak dari “al-rukun”, yang artinya pilar, prinsip, sendi, atau asas. Namun pada masa kekuasaan pemerintahan Myanmar (1948-sekarang), nama Arakan diganti menjadi Rakhine State. Ibukota Arakan yang semula adalah Akyab juga diganti menjadi Sittwe. Dan kini, Muslim Rohingya menjadi manusia paling teraniaya di muka bumi, menurut Tomas Ojea Quintana, Utusan Khusus PBB untuk Myanmar.

Padahal Rohingya adalah kita (Al Quran Surah Al-Hujuraat ayat 10). “Perumpamaan orang-orang mukmin dalam berkasih sayang bagaikan satu tubuh, apabila satu anggota badan merintih kesakitan, makan sekujur badan akan merasakan panas dan demam” (HR Muslim).

“Siapa yang menyelesaikan problem seorang mukmin di dunia, maka Allah SWT akan menyelesaikan problemnya di akhirat, siapa yang memudahkan orang yang kesulitan, maka Allah SWT akan memberikan kemudahan padanya di dunia dan di akhirat…  dan Allah SWT senantiasa akan menolong hamba-Nya selama ia menolong saudaranya” (HR Muslim).

PPPA Daarul Qur’an saat ini tengah mempersiapkan perizinan untuk bisa masuk ke tempat-tempat pengungsian di Bangladesh. Insya Allah akhir September tim akan bergerak dengan membawa bantuan dari Masyarakat Indonesia.

Saat ini masyarakat Rohingya masih membutuhkan bantuan dari kita di Indonesia dan masyarakat Indonesia, #KitaBersamaRohingya.Untuk donasi dapat disalurkan melalui Rekening Kemanusiaan atas nama Yayasan Daarul Quran sebagai berikut: BCA 603-030-8059, CIMB Niaga Syariah 520-01-00384-006 dan Mandiri 101-00999-19993 atau klik https://s.id/BANTUROHINGYA

 

REPUBLIKA

Kejamnya Militer Myanmar, Pasang Ranjau Darat untuk Warga Rohingya

Kekejaman militer Myanmar terhadap etnis Muslim Rohingya makin terkuat setelah muncul berita baru adanya ranjau darat yang diduga dipasang militer Myanmar di wilayahnya yang berbatasan dengan Bangladesh.

Pemerintah Bangladesh memanggil duta besar Myanmar di Dhaka untuk memprotes tindakan aparat keamanan Myanmar menanam ranjau darat di perbatasan kedua negara.

Pemanggilan dilakukan di tengah ketegangan yang meningkat terkait dengan masuknya puluhan ribu warga minoritas Muslim Rohingya dari negara bagian Rakhine, Myanmar, ke Bangladesh.

Menteri Luar Negeri Bangladesh, Shahidul Haque kepada BBCmengatakan pihaknya sudah memasukkan protes soal ranjau darat ke pemerintah Myanmar, namun ia tidak memberikan rincian lebih jauh.

Pejabat senior Bangladesh mengatakan diyakini pasukan keamanan Myanmar menanam ranjau darat untuk mencegah warga Rohingya kembali ke desa-desa mereka.

Sumber Reuters di pemerintah Bangladesh  mengatakan militer Myanmar menanam ranjau-ranjau baru di sepanjang perbatasan, yang dipakai pengungsi Rohingya untuk menyelamatkan diri.

Menurut sumber yang dihubungi BBC dan Reuters Myanmar menempatkan ranjau darat di wilayah mereka di sepanjang pagar kawat berduri di antara serangkaian pilar perbatasan. Bangladesh mengetahui keberadaan ranjau darat itu terutama melalui bukti foto dan informan.

“Pasukan kami juga telah melihat tiga sampai empat kelompok yang bekerja di dekat pagar kawat berduri, memasukkan sesuatu ke dalam tanah. Kami kemudian mengonfirmasi kepada informan kami bahwa mereka menanam ranjau darat,” kata sumber tersebut dikutip Reuters.

Dia tidak menjelaskan apakah kelompok tersebut berseragam, namun yakin mereka bukan gerilyawan Rohingya.

Manzurul Hassan Khan, petugas penjaga perbatasan Bangladesh, dua ledakan terdengar pada Selasa 5 September 2017 di sisi perbatasan Myanmar setelah dua ledakan juga terjadi sehari sebelumnya yang memicu spekulasi bahwa pasukan Myanmar telah menanam ranjau darat.

Pada Selasa, seorang anak laki-laki kehilangan kaki kirinya akibat ledakan di dekat persimpangan perbatasan sebelum akhirnya ia dibawa ke Bangladesh untuk perawatan, sementara anak laki-laki lain menderita luka ringan, kata Khan.

Wartawan BBC, Sanjoy Majumder, yang berada di sisi perbatasan Bangladesh, mengatakan ada tiga insiden yang disebabkan oleh ranjau darat pekan ini.

Sumber-sumber militer Myanmar mengatakan tidak ada ranjau baru yang ditempatkan di perbatasan Myanmar-Bangladesh.

PBB mengatakan jumlah pengungsi Rohingya yang melewati perbatasan menuju Bangladesh meningkat tajam sejak 25 Agustus.

Para pejabat PBB mengatakan lebih dari 146.000 warga Rohingya meninggalkan Rakhine, dipicu oleh serangan milisi Rohingya terhadap sejumlah pos polisi di negara bagian tersebut.

Serangan ini dibalas dengan ‘operasi pembersihan teroris’ oleh militer Myanmar yang mendorong warga sipil Rohingya mengungsi untuk menghindari gelombang kekerasan.

Tentara Myanmar tak berkomentar dan hanya tutup mulut mengenai ledakan di dekat perbatasan. Zaw Htay, juru bicara pemimpin nasional Myanmar Aung San Suu Kyi, tidak segera memberikan komentar.

Myanmar, yang berada di bawah kekuasaan militer sampai saat ini dan merupakan salah satu negara yang paling banyak ditanami ranjau di dunia, adalah satu dari sedikit negara yang belum menandatangani Perjanjian Pelarangan Ranjau tahun 1997.

Pada 1990-an ditanam ranjau di perbatasan Myanmar-Bangladesh untuk mencegah orang-orang melintasi perbatasan secara ilegal.

Sementara itu, pemimpin de facto Myanmar yang juga penerima Hadiah Nobel Aung San Suu Kyi justru berpaling dan mengatakan jika ‘krisis diperparah berita palsu (hoax)’.*

Al Azhar Mesir Mengutuk ‘Kegagalan Hati Nurani Internasional’ terhadap Rohingya

Grand Syeikh Al Azhar Prof Dr Syeikh Ahmad Muhammad Ahmad al- Thayyip mengutuk tindakan kekerasan terhadap minoritas Muslim Rohingya di Myanmar dan meminta organisasi internasional, Negara-negara Arab dan Dunia Muslim campur tangan untuk mengakhirinya.

Dalam sebuah pernyataan yang ditandatangani oleh Syeikh Al Tayyib dan dipublikasikan di halaman Facebook Al-Azhar, otoritas keagamaan paling berpengaruh ini juga meminta Liga Arab, Organisasi Kerjasama Islam (OKI), Uni Eropa, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), dan para pengambil keputusan di Arab dan Negara-negara Muslim untuk mengambil semua tekanan politik dan ekonomi untuk memaksa pemerintah di Myanmar untuk menghentikan diskriminasi agama dan rasial kepada etnis Muslim Rohingya.

Al-Azhar juga meminta semua organisasi internasional dan hak asasi manusia untuk “mengambil prosedur yang diperlukan untuk menyelidiki kejahatan-kejahatan memalukan ini, menginvestigasi mereka yang telah melakukannya, dan menyeret mereka ke Mahkamah Internasional sebagai penjahat perang.”

“Dunia telah menyaksikan selama beberapa hari terakhir laporan yang beredar di media dan media social, gambar mengerikan dan tindakan pembunuhan, pemindahan, pembakaran, genosida, dan pembantaian brutal yang telah menyebabkan pembunuhan ratusan perempuan, anak-anak, pemuda, dan orang tua, yang telah dikepung di Negara Bagian Rakhine di Myanmar, ” demikian bunyi pernyataan tersebut dikutip Ahram Online, Jumat (08/09/2017).

Al-Azhar telah mengutuk kekerasan terhadap minoritas Muslim Rohingnya di Myanmar dan menyerukan organisasi internasional dan negara-negara Arab dan Muslim untuk campur tangan untuk mengakhirinya.

Al-Azhar juga menyebut dunia internasional dan organisasi hak asasi manusia untuk “mengambil prosedur yang diperlukan untuk menyelidiki kejahatan memalukan ini dan melakukan investigasi, selanjutnya menyeret mereka ke Mahkamah Internasional sebagai penjahat perang.”

Dalam dua minggu terakhir sendirian 270.000 kebanyakan warga sipil Rohingya telah melarikan diri ke Bangladesh, menuju kamp-kamp pengungsi yang sudah penuh sesak, kutip PBB kepada AFP.

Banyak orang telah meninggal setelah berusaha melarikan diri, para saksi mengatakan seluruh desa mereka telah dibakar, pasca gerilyawan ARSA meluncurkan serangkaian serangan terkoordinasi pada 25 Agustus 2017, yang kemudian mendorong militer Myanmar melakukan ‘operasi pembersihan’.

Lebih dari 1000 orang mungkin sudah dibunuh di Myanmar, sebagian besar minoritas Muslim Rohingya, kata PBB kepada AFP hari Jumat.

Adegan yang tidak manusiawi dan barbar ini tidak akan terjadi jika”hati nurani global tidak mati,” menurut pernyataan Al-Azhar.

Pernyataan keras Al Azhar terbaru ini menekankan bahwa tuntutan organisasi-organisasi internasional tidaklah cukup.

Ia menambahkan, sikap dunia internasional akan berbeda jika korban genosida ini adalah “Yahudi, Kristen, Buddha, atau agama lain selain Muslim” dimana organisasi-organisasi ini akan bereaksi jauh lebih cepat dan tegas.

Pernyataan disebut Al-Azhar upaya dalam memecahkan konflik di Rakhine dengan membawa berbagai pihak untuk perundingan damai di Kairo awal tahun ini.*

 

HIDAYATULLAH

Berjuang dan Melawan! Pilihan Terakhir Pria Rohingya

Sambungan berita PERTAMA

Pernyataan remaja itu seperti menampar pernyataan mantan tokoh Myanmar Aung San Suu Kyi. Dia menuding ARSA yang sebelumnya dicap “teroris” dan menggunakan anak-anak sebagai tentara.

Bagi banyak remaja Rohingya, perlawanan sudah menjadi pilihan terakhir.

“Remaja-remaja kami sudah muak. Mereka tumbuh menyaksikan penistaan dan penyiksaan. Kini mereka memiliki konsensus jika tidak melawan, mereka tidak akan memberikan hak kami,” ujar seorang aktivis Rohingya di Bangladesh yang tak mau disebut namanya.

Di luar sebuah kamp di Cox’s Bazar, dua orang pemuda Rohingya sangat ingin bergabung dengan para “pejuang kebebasan” di Rakhine walau kini berada di Bangladesh.

“Kami tidak memiliki pilihan, Kawan kami ada di Rakhine, bahkan para remaja di desa kami telah bergabung dalam pertarungan tersebut,” salah satu pria tersebut mengatakan kepada AFP dan bersumpah “untuk menyeberangi perbatasan ketika ada kesempatan”.

Sementara itu, Hafeza Khatun yang ketiga anaknya telah berjuang menuturkan bahwa dirinya siap untuk mengorbankan putra-putranya untuk Arakan.

“Siapa yang akan membunuh kita lagi tanpa perlawanan? Saya mengirim anak-anak saya untuk memperjuangkan kemerdekaan, saya mengorbankan mereka untuk Arakan,” pungkasnya.

Sementara itu, warga Rohingya yang melarikan diri ke Bangladesh menghadapi risiko penyakit dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah meminta pemerintah negara tersebut untuk tidak mengantarkan mereka kembali ke Myanmar.

Bangladesh, yang sekarang menampung lebih dari 400.000 orang Rohingya yang melarikan diri dari Rakhine sejak tahun 1990, telah mengumumkan bahwa negara ini tidak akan lagi menerima masuknya penduduk Mynmar.

Menurut penjaga perbatasan Bangladesh, mereka mengusir 550 pengungsi Rohingya  melalui Sungai Naf yang memisahkan kedua negara.

Sedikitnya 5.000 orang Rohingya telah bisa memasuki Bangladesh dalam beberapa hari terakhir, terutama di malam hari melalui jalan darat di Kampung Gumdhum sementara 6.000 pengungsi masih terjebak di perbatasan.

Pekerja bantuan tersebut mengatakan bahwa sebagian besar pengungsi yang sakit telah berhasil menyusup ke perbatasan karena perempuan dan anak-anak menolak berobat akibat takut ditangkap dan dideportasi.

Sementara itu, pejabat tinggi menteri luar negeri Bangladesh dalam sebuah pertemuan dengan wakil diplomat Myanmar di Dhaka melakukan pertemuan guna menggelar operasi militer bersama melawan ARSA.*

 

HIDAYATULAH

 

foto: Tentara Penyelamat Rakyat Rohingya (Arakan Rohingya Salvation Army/ARSA) atau juga dikenal Harakah al-Yaqin

Berjuang dan Melawan! Pilihan Terakhir Pria Rohingya

Orang-orang Rohingya, terutama para pria, telah mulai mengangkat senjata dengan bergabung dengan kelompok pejuang untuk melawan militer Myanmar yang kejam.

Situasi ini telah menjadi perubahan dramatis sejak Oktober lalu ketika umat Islam yang sebelumnya menjadi korban penyiksaan terpaksa melarikan diri ke perbatasan Bangladesh.

Pada hari Jumat, para gerilyawan dari Arakan Rohingya Security Force/ARSA atau dikenal  dengan Harakah al-Yaqin , menyerang sekitar 30 pos polisi untuk mengorbankan setidaknya 12 petugas keamanan dengan hanya berbekal pisau dan bom rakitan.

Seorang pengungsi perempuan Rohingya yang berhasil memasuki Bangladesh, mengakui bahwa suaminya telah bergabung dalam gerakan tersebut untuk melawan tentara Myanmar.

Ayesha Begum (25 tahun) mengatakan dia tidak menyesal jika suaminya tidak dapat melihat kelahiran anak keenamnya saat mereka berjuang bersama ARSA di Rakhine, Myanmar.

“Suami saya membawa kami ke sungai dan menyeberangkan kami,” tutur Begum di Kamp Kutupalong, menggambarkan perjuangannya menyeberangi Sungai Naf bersama anak-anaknya yang masih kecil.

Begum,  bersama ribuan warga muslim Rohingya lainnya, kebanyakan perempuan dan anak-anak, mengungsi ke Bangladesh sejak militer Myanmar menggelar operasi besar-besaran pada Jumat (25/08/2017).

“Dia mengucap selamat tinggal. Katanya, jika kita tidak bisa bertemu lagi di Arakan (Negara Bagian Rakhine), kita akan bertemu di surga,” sambungnya.

Begum tanpa didampingi suaminya, kini sedang menanti kelahiran anak keenam mereka di kamp pengungsian di Bangladesh.

Setelah bertahun-tahun menjadi korban pembantaian militer Myanmar, muslim Rohingya kini menjawab panggilan untuk melawan.

Ajakan ARSA untuk melakukan perlawanan disambut pria-pria Rohingya yang berada di pengungsian atau perbatasan Bangladesh.

Seorang tetua adat Rohingya, Shah Alam, yang ditemui di perbatasan Myanmar-Bangladesh, mengakui bahwa 30 pria dari tiga desa di distriknya telah bergabung dengan ARSA.

“Apakah mereka punya pilihan lain? Mereka lebih memilih berjuang atau mati daripada dibantai seperti domba,” tuturnya.

Meski hanya bersenjata seadanya dan tidak yakin bisa mengalahkan militer Myanmar yang bersenjata lengkap, kondisi itu tidak menyurutkan tekad mereka melakukan perlawanan.

“Ada ratusan saudara kami bersembunyi di bukit-bukit. Kami telah bersumpah akan menyelamatkan Arakan meski hanya dengan tongkat dan pisau,” tegas seorang remaja Rohingya yang bergabung dengan kelompok militan tersebut.

Banyak dari orang-orang Rohingya yang mengungsi akibat kekerasan tersebut mengatakan bahwa mereka nyaris tidak dapat melarikan diri dengan kehidupan mereka.

Mereka menggambarkan massa Budha dan pasukan keamanan yang menembak warga sipil yang tidak bersenjata dan membakar rumah-rumah, sebuah pelecehan yang berulang kali didokumentasikan di Rakhine sejak kemajuan konflik.** >> klik BERSAMBUNG

 

HIDAYATULLAH

Penderitaan Rohingya Ujian Iman Bagi Umat Islam

Pengurus Wilaya Badan Koordinasi Mubaligh Indonesia (PW Bakomubin) Provinsi  Aceh menyerukan masyarakat Aceh untuk mendoakan umat Islam etnis RohingyaMyanmar. Baik doa-doa  secara pribadi maupun doa-doa dan Qunut Nazilah secara berjamah di Masjid-masjid, meunasah-meunasah, sekolah-sekolah, dayah-dayah dan lembaga pendidikan lainnya, organisasi dan komunitas.

Hal itu disampaikan Sekjen PW Bakomubin Provinsi Aceh kepada sejumlah media di Banda Aceh, Kamis (9/7). “Ketertindasan Rohingyaakibat kekejaman militer Myanmar merupakan ujian keimanan bagi umat Islam, termasuk bagi kita masyarakat Aceh. Apakah kita peduli dengan penderitaan mereka? Apakah kita turut merasakan rasa sakit yang mereka alami?” kata Zulkhairi dalam rilis yang diterima Republika.co.id, Kamis (9/7).

Kalau iya, kata Zulkhairi, berarti umat Islam telah dipersatukan oleh bangunan besar ukhuwah Islamiyah. “Kalau belum, mari kita introspeksi diri barangkali ada yang kurang dalam keberislaman kita.  Perumpamaan orang-orang mukmin yang digambarkan oleh Rasulullah adalah adalah saling mencintai, mengasihi dan solidaritas seperti tubuh yang satu yang akan merasa sakit saat bagian tubuh lain merasa sakit,” ujar Zulkhairi.

Apalagi, tambah Zulkhairi, sebagai wilayah yang pernah didera konflik yang berkepanjangan, warga Aceh  paham betul bagaimana perihnya hidup di wilayah konflik. Namun, apa yang dialami Rohingya di Myanmar hari ini lebih mengerikan lagi karena mereka ditindas secara sistematis oleh kekuatan negara yang tidak memihak umat Islam.

“Sebagai bentuk pertanggungjawaban keimanan dan keislaman kita, khususnya dalam merespon penderitaan saudara-saudara kita Muslim Rohingya, kami menyeru masyarakat Aceh untuk melakukan aksi damai dan doa untuk Rohingya. Hal itu penting supaya pemerintah Indonesia memahami aspirasi masyarakat Aceh bahwa kita mendukung Rohingya dan mengutuk kekejaman militer Myanmar kepada umat Islam Rohingya. Juga membantu dalam bentuk harta benda dengan menyalurkannya untuk Rohingya via lembaga-lembaga kemanusiaan. Kita berharap Allah Swt memasukkan kita dalam golongan hamba-hamba-Nya yang Mukmin, yang saling peduli antarsesama,” paparnya.

Bakomubin juga juga berharap Pemerintah  Daerah Aceh mendesak Presiden Joko Widodo agar mengutuk Pemerintah Myanmar dan bekerja lebih keras lagi membantu Muslim Rohingya. “Lebih dari itu, harapan kita semoga negara-negara Islam bersatu membela Rohingya. Kalau kita tidak peduli atas penderitaan Muslim yang menderita, maka tidak tertutup kemungkinan suatu saat Allah akan memberi kita ujian yang serupa yang lebih berat lagi,“ ujar Zulkhairi.

 

REPUBLIKA

Wahdah Islamiyah: Rohingya, Etnis Muslim yang Istiqamah

Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Wahdah Islamiyah Muhamad Zaitun Rasmin menyatakan, etnis Muslim Rohingya adalah etnis Muslim yang kuat dan istiqamah dengan iman dan Islamnya. Terbukti dengan kezaliman yang mereka derita berabad-abad hingga hari ini tidak menggoyahkan Iman dan Islamnya.

“Yang paling anyar adalah apa yang terjadi pekan ini berupa tindakan represif militer Myanmar dengan dalih memberantas militan Rohingya di wilayah Rakhine yang justru berwujud pembunuhan paling brutal pada abad ini,” kata dia dalam siaran pers yang diterima, Selasa (5/9).

Wahdah Islamiyah, ungkap Zaitun, mengutuk keras atas segala tindakan kezaliman terhadap etnis Muslim Rohingya. Juga, menyerukan jihad kemanusiaan kepada seluruh kaum muslimin agar memberikan apapun yang dimilikinya untuk mengangkat kezaliman ini.

“Kemudian menuntut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk menunjukkan eksistensinya dengan menghentikan genosida ini, atau umat Islam akan mengambil jalannya sendiri,” kata dia.

Selain itu, Wahdah Islamiyah menuntut Pemerintah Indonesia menggunakan pengaruhnya untuk menghentikan kezaliman yang tidak sesuai dengan peri kemanusian dan peri keadilan. Pemerintah Bangladesh pun harus membuka perbatasannya bagi pengungsi Rohingya, atas nama Islam dan kemanusiaan.

“Seharusnya Pemerintah Bangladesh dapat mengikuti langkah Pemerintah Indonesia dan Malaysia yang membuka lebar pintu bagi para pengungsi Rohingya,” kata dia.

Kaum Muslimin, para pemerhati, dan peduli kemanusiaan sedunia juga harus membentuk konsorsium  Internasional yang menangani masalah Rohingya secara menyeluruh. “Kami juga menyerukan kaum Muslimin untuk melakukan qunut nazilah, bersungguh-sungguh berdoa dan berkontribusi bagi pembebasan Muslim Rohingya dari kezaliman,” ujar dia.

 

REPUBLIKA

Melacak Asal Usul Etnis Rohingya

Derita nestapa seakan tiada henti melanda etnis Muslim Rohingya. Berbagai ujian dan cobaan berat kini harus mereka hadapi. Mulai dari penganiayaan, pembantaian, hingga terusir dari tanah kelahiran mereka sendiri yang sekarang disebut Negara Bagian Rakhine, Myanmar.

Pemerintah Myanmar saat ini menganggap masyarakat Rohingya sebagai “pendatang haram” yang tidak jelas asal-usulnya. Sebagai dampaknya, etnis Muslim itu kini harus berjuang keras menghadapi penindasan yang dilakukan etnis mayoritas Burma. Nyawa mereka pun menjadi taruhannya.

Benarkah orang-orang Rohingya adalah kaum pendatang di Rakhine? Pemimpin Rohingya yang juga politikus Partai Pembangunan Uni Nasional di Myanmar, Abu Tahay, memaparkan sejarah keberadaan kelompok etnis tersebut dalam karya tulisnya, “Rohingya Belong to Arakan and Then Burma and So Do Participate.”

Di situ disebutkan, sejarah etnis Rohingya bermula ketika masyarakat kuno keturunan Indo-Arya yang menetap di Arakan (Rakhine sekarang–Red) memutuskan untuk memeluk Islam pada abad ke-8. Pada masa-masa selanjutnya, generasi baru mereka kemudian juga mewarisi darah campuran Arab (berlangsung pada 788-801), Persia (700- 1500), Bengali (1400-1736), dan ditambah Mughal (pada abad ke-16).

Catatan sejarah mengungkapkan, syiar Islam mencapai Arakan sebelum 788 Masehi. Dalam dinamika selanjutnya, agama ini mampu menarik hati masyarakat lokal Arakan dan mendorong mereka untuk memeluk Islam secara massal.

Sejak itu, Islam memainkan peranan penting bagi kemajuan peradaban di Arakan. Umat Islam, Buddha, dan Hindu hidup berdampingan selama berabad-abad dalam suasana rukun dan penuh per sahabatan. “Tak hanya itu, mereka (ke lompok Muslim, Buddha, dan Hindu) juga memerintah negeri Arakan ber sama- sama,” imbuh Abu Tahay.

Dijelas kannya, Pemerintah Arakan pada masa itu pernah mengeluarkan koin dan medali bertu liskan kalimat syahadat dalam bahasa Arab dan aksara Persia. Bahasa Persia ketika itu memang menjadi bahasa kalangan istana sehingga lumrah bagi raja-raja Arakan untuk mengadopsi nama-nama Islam.

Letnan Kolonel Win Maung, yang pernah bekerja di Direktorat Transmigrasi Kementerian Pertahanan Myanmar, pernah menerbitkan buku berjudul The Light of Sasana (Cahaya dari Sasana) pada 1997 lalu. Pada halaman 65 buku itu disebutkan, agama Islam sudah diperkenalkan ke Myanmar sejak 1.000-1.200 tahun silam.

Bukan produk politik
Pada zaman kuno, Negara Bagian Rakhine dikenal dengan nama Rohang. Sementara, orang- orang yang menghuni negeri itu dipanggil dengan sebutan “Rooinga” atau “Rohingya”. Dengan demikian, Rohingya adalah kelompok etnik yang muncul melalui peristiwa sejarah yang panjang. Mereka bukanlah pro duk politik yang tiba-tiba muncul ketika Inggris menancapkan kekuasaan nya di Arakan dan Burma antara 1824-1948.

Peneliti asal Skotlandia, Francis Buchanan, mengungkapkan, kaum Mohammedan (yang secara harfiah berarti `pengikut Muhammad’ atau Muslim) telah lama menetap di Arakan.
“Orang-orang itu menyebut diri mereka sebagai Rooinga yang berarti masyarakat pribumi asli Arakan,” tulis Buchanan dalam laporannya, “Asiatic Research 5”, yang diterbitkan pada 1799.

Sementara, sensus yang dilakukan pemerintah kolonial Inggris di Burma pada 1826, 1872, 1911, dan 1941 juga menyebutkan, masyarakat Rohingya yang diidentifikasi sebagai Muslim Arakan adalah salah satu ras asli di Burma.

Menurut hasil dokumentasi SIL Internasional (sebuah lembaga bahasa dunia yang memiliki status konsultatif khusus dengan PBB), bahasa Rohingya Myanmar masuk dalam rumpun dialek Indo-Arya. Bahasa ini terdaftar dengan kode “rhg” dalam tabel ISO 639-3.

Meski dialek yang dipertuturkan orang-orang Rohingya berbeda dengan yang diucapkan penduduk Burma di Rakhine sekarang, fakta sejarah mem buktikan bahasa Rohingya mempunyai kesamaan dengan bahasa yang digunakan masyarakat Vesali kuno (antara 327-818).

Di samping itu, hasil kajian Universitas Oxford sepanjang 1935-1942 menyimpulkan, kebudayaan Rohingya sama tuanya dengan usia Monumen Batu Ananda Sandra yang didirikan di Arakan pada abad kedelapan silam.

Semua catatan di atas dapat menjadi gambaran bahwa etnik Muslim Rohingya memiliki akar sejarah yang kuat sebagai salah satu ras pribumi asli di Rakhine– yang sekarang menjadi bagian dari wilayah Myanmar. Oleh karena itu, tidak ada pembenaran untuk mencap etnik Rohingya sebagai ras asing hanya karena mereka menganut ajaran Islam dan menggunakan nama-nama Muslim.

 

Oleh Ahmad Islamy Jamil ed: Nashih Nashrullah

REPUBLIKA

Indonesia Dinilai Punya Modal Kuat untuk Bantu Rohingya

Anggota Komisi I DPR RI, Sukamta, berpendapat pemerintah Indonesia memiliki modal kuat untuk membantu menyelesaikan konflik di Negara Bagian Rakhine, Myanmar. Apalagi, selama ini lembaga swadaya masyarakat (LSM) dari Indonesia, menurutnya, sangat diterima dengan baik di Myanmar.

“Di lapangan, pemerintah bisa bersama-sama NGO (non-governmental organization) bekerja membantu korban. Ini penting karena selama ini NGO dari Indonesia diterima baik kedua belah pihak,” kata Sukamta saat dihubungi Republika.co.id, Kamis (31/8).

Sementara di tataran politik, pemerintah Indonesia bisa mendorong pertemuan darurat antar negara-negara ASEAN. Dengan begitu, negara-negara tersebut memandang permasalahan ini sebagai sesuatu yang serius dan mendorong pemerintah Myanmar mencari solusi jangka panjang. “Di tataran politik, mestinya pemerintah bisa mendorong pertemuan darurat ASEAN agar menjadikan masalah pembantaian ini persoalan serius dan Myanmar bersedia menghentikan dan mencari solusi jangka panjang,” kata Sukamta.

Seperti diberitakan sebelumnya, bentrokan antara umat Islam etnis Rohingya dan aparat keamanan Myanmar kembali terjadi. Kekerasan ini dilaporkan telah menewaskan ratusan Muslim Rohingya dan membuat ribuan lainnya mengungsi.

 

REPUBLIKA

Muslim Rohingya: Apa yang akan Kami Makan

Ketika Nwe Nwe Oo meninggalkan Propinsi Rakhine menuju pusat ekonomi dan ibukota, Yangon, bermodalkan uang 590 dolar AS (Rp7,8 juta), wanita tersebut berharap terhindar dari perburuan terhadap Muslim serta bisa mengawali kehidupan baru.

Sebelum meninggalkan Rakhine, Nwe Nwe dan keluarga tinggal di pengungsian untuk keluarga terpisah akibat kekerasan pada 2012. Selama dua bulan di kota berjarak 500km dari Rakhine tersebut, janda berusia 50 tahun itu sudah menghabiskan lebih dari separuh uangnya untuk menyewa kamar berukuran delapan meter persegi.

Sambil mencari kerja dengan biaya hidup tinggi di Yangon, ia harus bisa bertahan hidup demi dua putrinya.
“Apa yang akan kami makan jika semua uang sudah habis? Kami semua sangat cemas. Saya tidak bisa menemukan pekerjaan disini,” kata Nwe Nwe Oo. Keluarga tersebut sangat tergantung kepada anak tertua dengan gaji 88 dolar AS (Rp1,1 juta) sebulan di sebuah fabrik teh.

Pemerintah Myanmar yang berdasarkan rekomendasi dari mantan Sekjen PBB Kofi Annan, sejak April lalu telah menutup kamp pengungsi yang didiami Nwe Nwe di kota Ramree.  Dalam waktu lima tahun ke depan, seluruh kamp pengungsi yang ada di Propinsi Rakhine tersebut sudah harus ditutup.

Para pengiat kemanusiaan mendukung keputusan penutupan tersebut, tapi mengecam cara pemerintah menangani penutupan tersebut karena dianggap bisa memberikan preseden mengkhawatirkan saat menangani kamp yang lebih besar di Rakhine dengan jumlah puluhan ribu pengungsi.

Mark Cutts, kepala Badan PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusian (OCHA) di Myanmar, jika tidak ada usaha untuk membawa perdamaian dan stabilitas di Rakhine, penutupan kamp tersebut hanya akan memindahkan masalah ke tempat lain.

Nwe Nwe memang tidak punya banyak pilihan selain pindah ke Yangoon karena menurut pemerintah, kamp pengungsi di Ramree, kota di selatan Propinsi Rakhine, tidak aman bagi 128 pengungsi Muslim yang ada di sana.

“Kami tidak punya cukup polisi untuk mencegah jika kerusuhan terjadi lagi,” kata Ming Aung, juru bicara Negara Bagian Rakhine.

“Itulah sebabnya kami mengizinkan mereka pindah ke tempat lain yang mereka inginkan,” katanya.

Keluarga Nwe Nwe Oo berasal dari minoritas Muslim Kaman yang tidak seperti kebanyakan Muslim Rohingya dari utara Rakhine, berkewarga-negaraan Myanmar dan secara resmi diakui sebagai kelompok suku.

Rumah-rumah kaum Muslim Kaman di wilayah Ramree, dibakar saat terjadi kerusuhan antara kelompok Islam dan Budha Rakhine pada 2012 yang menelan korban hampir 200 orang dan membuat ribuan lain kehilangan tempat tinggal.

“Pemerintah yang baru membantu kami pindah ke Yangoon, tapi apa yang diharapkan adalah kembali ke tanah kelahiran kami. Saya tidak tahu apakah itu bisa terjadi,” kata Nwe Nwe.

Nwe Nwe adalah salah satu diantara hampir 100 Kaman Muslim dari kamp pengungsi yang sejak April lalu diberi tiket bus, pesawat udara dan serta bantuan keuangan jika mereka bersedia meninggalkan arena yang mayoritas Budha.
Menurut Mark Cutts dari OCHA, kelompok Kaman Muslim mengatakan kepada petugas PBB bahwa mereka tidak dibolehkan kembali ke tanah asal mereka dan tidak diberi pilihan lain selain pergi.

Namun berbeda dengan kelompok Kaman Muslim, pemerintah pada April lalu menempatkan kembali sekitar 300 suku Rakhine, yang beragama Buddha, ke 65 rumah di kawasan Kyauk Pyu.  Setiap keluarga diberi santunan sebesar 294 dolar AS (Rp3,9 juta) untuk menempati rumah baru yang dilengkapi dengan air bersih, listrik dan sistem drainase.

Menurut kelompok hak azasi manusia, jika kaum Kaman tidak diizinkan kembali ke daerah asal mereka, maka hanya ada sedikit solusi yang bisa dicapai bagi 120.000 kelompok Muslim Rohingya yang sampai sekarang masih tidak diakui sebagai warga negara Myanmar, meski mereka sudah turun temurun tinggal di Rakhine.

“Jika pemerintah tidak memfasilitasi kembalinya etnis Muslim Kaman, sebuah kelompok yang secara resmi diakui sebagai warga negara, harapan apa yang bisa diperoleh warga Rohingya?” kata Lara Haigh, peneliti dari Amnesti Internasional.

Warga Kaman mengatakan, kondisi yang seperti pemerintahan apartheid di Ramree, karena pengemudi bus tidak mau membawa kaum Muslim, tidak diberi peluang sama untuk mendapatkan pekerjaan yang layak serta pendidikan bagi anak-anak.

“Saya benar-benar mencintai tanah kelahiran saya, tapi saya akan menghadapi banyak masalah jika tetap tinggal disana,” kata Tin Hla, seorang ayah empat anak berusia 55 tahun.

Beberapa mantan penghuni kamp pengungsi tetap berharap dan yakin bahwa penutupan kamp tersebut bisa meningkatkan taraf hidup mereka sehari-hari.

Kembali ke daerah pinggiran Yanggon, Kyaw Soe Moe, asal etnis Kaman Muslim berusia 28 tahun, sudah tidak sabar menunggu hasil wawancara untuk mendapakan pekerjaan di sebuah perusahaan pembangunan.

Meski hidup di Yangon, kota terbesar di Myanmar, tersebut akan lebih sulit, namun Kyaw Soe Moe tetap yakin kondisi tersebut akan lebih baik bila dibandingkan dengan kampung pengungsi Ramree.

 

 

“Setidak-tidaknya ada kebebasan di sini,” katanya.