Tingkatan Keutamaan para Nabi dan Rasul

Sebagian Nabi lebih utama dibandingkan dengan Nabi yang lain

Terdapat dalil-dalil yang menunjukkan adanya tingkatan keutamaan di antara para Nabi dan Rasul. Allah Ta’ala berfirman,

تِلْكَ الرُّسُلُ فَضَّلْنَا بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ

“Rasul-rasul itu Kami lebihkan sebagian (dari) mereka atas sebagian yang lain.” (QS. Al-Baqarah [2]: 253)

Allah Ta’ala juga berfirman,

وَلَقَدْ فَضَّلْنَا بَعْضَ النَّبِيِّينَ عَلَى بَعْضٍ وَآتَيْنَا دَاوُودَ زَبُوراً

“Dan sesungguhnya telah Kami lebihkan sebagian nabi-nabi itu atas sebagian (yang lain). Dan Kami berikan Zabur kepada Daud.” (QS. Al-Isra’ [17]: 55)

Ibnu Katsir rahimahullah berkata,

“Tidak ada perbedaan pendapat bahwa Rasul itu lebih utama daripada para Nabi. Dan di antara para Rasul, yang lebih utama adalah Rasul ulul ‘azmi.” (Tafsir Ibnu Katsir, 5: 87)

Oleh karena itu, keutamaan para Nabi itu bertingkat-tingkat. Sebagian Nabi itu lebih utama dibandingkan Nabi yang lain.

Mengkompromikan dalil yang menunjukkan adanya larangan untuk melebihkan sebagian Nabi di atas Nabi yang lain

Terdapat beberapa hadits yang tampaknya menunjukkan larangan melebih-lebihkan sebagian Nabi di atas Nabi yang lain. Di antaranya adalah hadits-hadits berikut ini.

Dari Abu Sa’id Al-Khudriy radhiallahu ‘anhu, beliau berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang duduk bermajelis. Tiba-tiba seorang Yahudi datang seraya berkata, “Wahai Abu Al-Qasim, seorang sahabatmu telah memukul wajahku.” Lalu dia menyebutkan seseorang dari kalangan Anshar.

Maka beliau berkata, “Panggillah.” Kemudian beliau bertanya, “Apakah benar kamu memukulnya?”

Orang itu berkata, “Aku mendengar di pasar dia bersumpah, “Demi Dzat yang telah memilih Musa untuk seluruh manusia.” Aku katakan, “(Apakah kamu bermaksud untuk mengatakan) “Aku benci Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Maka kemarahanku memuncak lalu aku pukul wajahnya.”

Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ تُخَيِّرُوا بَيْنَ الأَنْبِيَاءِ، فَإِنَّ النَّاسَ يَصْعَقُونَ يَوْمَ القِيَامَةِ، فَأَكُونُ أَوَّلَ مَنْ تَنْشَقُّ عَنْهُ الأَرْضُ، فَإِذَا أَنَا بِمُوسَى آخِذٌ بِقَائِمَةٍ مِنْ قَوَائِمِ العَرْشِ، فَلاَ أَدْرِي أَكَانَ فِيمَنْ صَعِقَ، أَمْ حُوسِبَ بِصَعْقَةِ الأُولَى

“Janganlah kalian banding-bandingkan (lebihkan) sesama para Nabi. Karena nanti saat seluruh manusia dimatikan pada hari kiamat, akulah orang yang pertama kali dibangkitkan dari bumi. Namun saat itu di hadapanku telah ada Musa ‘alaihis salam yang sedang berpegangan pada salah satu tiang ‘Arsy. Dan aku tidak tahu apakah dia termasuk orang yang dibangkitkan (lebih dahulu) atau termasuk orang yang dihisab (sehingga diselamatkan) dengan hari kegoncangan yang pertama?” (HR. Bukhari no. 2412)

Demikian pula dari sahabat Abu Sa’id Al-Khudriy radhiallahu ‘anhu, beliau berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ تُخَيِّرُوا بَيْنَ الأَنْبِيَاءِ

“Janganlah kalian banding-bandingkan (lebihkan) sesama para Nabi.” (HR. Muslim no. 2374)

Dari sahabat Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَا يَنْبَغِي لِعَبْدٍ أَنْ يَقُولَ أَنَا خَيْرٌ مِنْ يُونُسَ بْنِ مَتَّى

“Tidak sepatutnya seorang hamba berkata, aku lebih baik dari Yunus bin Matta.” (HR. Bukhari no. 3395)

Terdapat beberapa penjelasan dari para ulama dalam mengkompromikan hadits-hadits di atas dengan dalil-dalil yang menunjukkan bahwa sebagian Nabi atau Rasul itu lebih utama dibandingkan dengan Nabi atau Rasul yang lain. Di antara penjelasan yang paling bagus adalah,

Pertama, larangan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk tidak melebihkan sebagian Nabi di atas Nabi yang lain adalah apabila hal itu kemudian menyebabkan seseorang merendahkan atau melecehkan kedudukan sebagian Nabi tersebut.

Kedua, larangan tersebut lebih karena sisi ketawadhu’an dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Dari sini jelaslah bahwa sebagian Nabi atau Rasul memang Allah Ta’ala berikan keutamaan lebih dibandingkan dengan Nabi atau Rasul yang lain.

Jadi, kita meyakini bahwa Nabi yang paling utama dan mulia adalah Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian para Rasul yang termasuk dalam ulul ‘azmi, yaitu yang disebutkan dalam firman Allah Ta’ala,

وَإِذْ أَخَذْنَا مِنَ النَّبِيِّينَ مِيثَاقَهُمْ وَمِنكَ وَمِن نُّوحٍ وَإِبْرَاهِيمَ وَمُوسَى وَعِيسَى ابْنِ مَرْيَمَ وَأَخَذْنَا مِنْهُم مِّيثَاقاً غَلِيظاً

“Dan (ingatlah) ketika Kami mengambil perjanjian dari nabi-nabi dan dari kamu (sendiri), dari Nuh, Ibrahim, Musa, dan Isa putra Maryam. Dan Kami telah mengambil dari mereka perjanjian yang teguh.” (QS. Al-Ahzab [33]: 7)

شَرَعَ لَكُم مِّنَ الدِّينِ مَا وَصَّى بِهِ نُوحاً وَالَّذِي أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ وَمَا وَصَّيْنَا بِهِ إِبْرَاهِيمَ وَمُوسَى وَعِيسَى

“Dia telah mensyariatkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh, dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa, dan Isa.” (QS. Asy-Syuura [42]: 13)

[Selesai]

***

@Rumah Kasongan, 27 Jumadil Ula 1442/11 Januari 2021

Penulis: dr. M. Saifudin Hakim, MSc., PhD

Artikel: Muslim.or.id

Jumlah Para Nabi dan Rasul

Iman kepada para Nabi dan Rasul merupakan salah satu landasan keimanan. Oleh karena itu Allah Ta’ala berfirman:

قُلْ آمَنَّا بِاللَّهِ وَمَا أُنْزِلَ عَلَيْنَا وَمَا أُنْزِلَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ وَالْأَسْبَاطِ وَمَا أُوتِيَ مُوسَى وَعِيسَى وَالنَّبِيُّونَ مِنْ رَبِّهِمْ لَا نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِنْهُمْ وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ

“Katakanlah: “Kami beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishaq, Ya’qub, dan anak-anaknya, dan apa yang diberikan kepada Musa, Isa dan para nabi dari Tuhan mereka. Kami tidak membeda-bedakan seorangpun di antara mereka dan hanya kepada-Nya-lah kami menyerahkan diri”” (QS. Al Imran: 84).

Orang yang tidak mengimani para Nabi dan Rasul, maka ia tersesat sangat jauh dari jalan yang lurus. Allah Ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا آمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَالْكِتَابِ الَّذِي نَزَّلَ عَلَى رَسُولِهِ وَالْكِتَابِ الَّذِي أَنْزَلَ مِنْ قَبْلُ وَمَنْ يَكْفُرْ بِاللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا بَعِيدًا

“Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya. Barangsiapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya” (QS. An Nisa: 136).

Perbedaan Nabi dan Rasul

Nabi berasal dari kata an naba’ (النبأ) yang artinya: kabar. Secara istilah, Nabi artinya orang yang diberi wahyu oleh Allah. Sebagaimana kata an naba’ ini digunakan oleh Nabi untuk menyebutkan wahyu dari Allah, disebutkan dalam Al Qur’an :

فَلَمَّا نَبَّأَهَا بِهِ قَالَتْ مَنْ أَنْبَأَكَ هَذَا قَالَ نَبَّأَنِيَ الْعَلِيمُ

“Maka tatkala (Muhammad) memberitahukan pembicaraan (antara Hafsah dan Aisyah) lalu (Hafsah) bertanya: “Siapakah yang telah memberitahukan hal ini kepadamu?” Nabi menjawab: “Telah diberitahukan kepadaku oleh Allah yang Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”” (QS. At Tahrim: 3).

Sedangkan Rasul berasal dari kata al irsal

(الإرسال) yang artinya pengutusan seseorang untuk suatu tujuan. Secara istilah, Rasul adalah orang yang diutus oleh Allah dengan membawa risalah (pesan) tertentu, dan diperintahkan untuk menyampaikannya kepada manusia dan manusia diperintahkan untuk mengikuti dia.

Sebagian ulama berpendapat bahwa istilah Nabi dan Rasul tidak ada bedanya, namun ini adalah pendapat yang lemah. Karena banyak dalil dan fakta yang menunjukkan bahwa ada perbedaan antara Nabi dan Rasul. Dan setiap Rasul adalah Nabi, namun tidak setiap Nabi itu Rasul.

Sebagian ulama juga berpendapat bahwa perbedaan antara Nabi dan Rasul adalah bahwa Nabi diberi wahyu namun tidak diperintahkan untuk menyampaikannya. Sedangkan Rasul  diperintahkan untuk menyampaikannya. Ini juga pendapat yang kurang tepat, karena beberapa poin:

Pertama, dalam surat Al Hajj ayat 52, Allah Ta’ala berfirman:

وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ وَلَا نَبِيٍّ

“Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang rasulpun dan tidak (pula) seorang nabi…”

Di sini Allah menggandengkan pengutusan Rasul dan Nabi dalam masalah al irsal. Menunjukkan bahwa Nabi juga diperintahkan untuk menyampaikan.

Kedua: tidak menyampaikan wahyu merupakan bentuk menyembunyikan ilmu. Allah tidak menurunkan wahyu agar menjadi petunjuk bagi manusia, bukan untuk disembunyikan.

Ketiga: disebutkan dalam hadits yang shahih bahwa ada Nabi yang memiliki satu pengikut, ada yang memiliki dua pengikut, ada yang memiliki belasan pengikut dan ada yang tidak memiliki pengikut. Ini menunjukkan mereka menyampaikan wahyu kepada kaumnya, sehingga terlihat ada perbedaan jumlah pengikut. Andai mereka tidak menyampaikan, tentunya keumuman mereka tidak punya pengikut.

Maka Nabi dan Rasul keduanya diberi wahyu dan diperintahkan untuk menyampaikan dan berdakwah kepada kaumnya.

Oleh karena itu, perbedaan antara Nabi dan Rasul yang tepat adalah bahwa Rasul diutus oleh Allah dengan membawa syari’at yang baru, sedangkan Nabi diutus oleh namun tidak membawa syari’at yang baru melainkan menjalan dan mendakwah syariat yang dibawa Rasul sebelumnya (Diringkas dari Al Madkhal ila Dirasatil Aqidah Al Islamiyah, karya Syaikh Umar Sulaiman Al Asyqar, hal 92-64).

Jumlah Pra Nabi dan Rasul

Terdapat beberapa hadits yang menyebutkan jumlah Nabi dan Rasul. Dari Abu Dzar radhiallahu ‘anhu, ia berkata:

قلتُ : يا رسولَ اللهِ ! أيُّ الأنبياءِ كان أولُ ؟ ! قال : آدمُ، قلتُ : يا رسولَ اللهِ ! ونبيٌّ كان ؟ ! قال : نعم نبيٌّ مُكلَّمٌ، قلتُ : يا رسولَ اللهِ : كم المرسلونَ ؟ ! قال : ثلاثُ مئةٍ وبضعةَ عشرَ ؛ جمًّا غفيرًا

“Aku bertanya: wahai Rasulullah, siapa Nabi pertama? Rasulullah menjawab: Adam. Aku bertanya: wahai Rasulullah, apakah beliau (Adam) seorang Nabi? Rasulullah menjawab: benar, ia seorang Nabi yang diajak bicara oleh Allah. Aku bertanya: wahai Rasulullah, ada berapa jumlah para Rasul? Rasulullah menjawab: 300 sekian belas, mereka sangat banyak” (HR. Ahmad no.21586, Al Hakim [2/652], Al Baihaqi no.18166. Dishahihkan Ahmad Syakir dalam Umdatut Tafsir [1/309] dan Al Albani dalam Takhrij Al Misykah no.5669. Dan sebagian ulama mendhaifkan hadits ini).

Dalam riwayat lain dari Abu Dzar juga:

قلت : يَا رَسُولَ اللَّهِ كَمِ الْأَنْبِيَاءُ ؟ قَالَ: ( مِائَةُ أَلْفٍ وَعِشْرُونَ أَلْفًا)، قُلْتُ :يَا رَسُولَ اللَّهِ كَمِ الرُّسُلُ مِنْ ذَلِكَ؟ قَالَ : (ثَلَاثُ مِائَةٍ وَثَلَاثَةَ عَشَرَ جَمًّا غَفِيرًا)

“Aku berkata: wahai Rasulullah, ada berapa jumlah Nabi? Rasulullah menjawab: Nabi ada 120.000 orang. Aku berkata: wahai Rasulullah, ada berapa jumlah Rasul? Rasulullah menjawab: Rasul ada 313 orang, mereka sangat banyak” (HR. Ibnu Hibban no.361, didhaifkan Syaikh Syu’aib Al Arnauth dalam Tahqiq Shahih Ibnu Hibban [2/79]).

Dalam riwayat lain dari Abu Umamah radhiallahu ‘anhu,

قُلتُ: يا رسولَ اللهِ، كم وَفَّى عِدَّةُ الأنبياءِ؟ قال: مِئةُ ألْفٍ وأربعةٌ وعشرونَ ألْفًا، الرُّسُلُ مِن ذلك ثلاثُ مِئةٍ وخَمسةَ عَشَرَ جَمًّا غَفيرًا

“Aku berkata: wahai Rasulullah, ada berapa jumlah Nabi? Rasulullah menjawab: Nabi ada 124.000 orang dan di antara mereka ada para Rasul sebanyak 315 orang, mereka sangat banyak” (HR. Ahmad no.22342, didhaifkan Ibnu Katsir dalam Al Bidayah wan Nihayah [2/140]).

Dan ada hadits-hadits lainnya yang tidak lepas dari kelemahan.

Andaikan hadits Abu Dzar dalam Musnad Ahmad di atas shahih – sebagaimana dishahihkan oleh sebagian ulama- maka dapat menguatkan hadits Abu Umamah.

Dan menurut sebagian ulama, tidak ada hadits shahih sama sekali mengenai jumlah para Nabi dan Rasul. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan:

وهذا الذي ذكره أحمد ، وذكره محمد بن نصر ، وغيرهما ، يبين أنهم لم يعلموا عدد الكتب والرسل ، وأن حديث أبي ذر في ذلك لم يثبت عندهم

“Ini pendapat yang disebutkan Imam Ahmad, Muhammad bin Nashr dan ulama lainnya. Mereka menjelaskan bahwa tidak diketahui berapa berapa jumlah kitab dan berapa jumlah Rasul. Dan hadits Abu Dzar dalam hal ini tidak shahih menurut mereka” (Majmu’ Al Fatawa, 7/409).

Al Lajnah Ad Daimah ketika ditanya tentang jumlah Nabi dan Rasul, mereka mengatakan:

لا يعلم عددهم إلا الله

“Tidak ada yang mengetahui jumlah mereka kecuali Allah” (Fatawa al Lajnah, 3/256).

Namun andai kita kompromikan pendapat-pendapat yang ada maka insyaAllah bisa kita katakan jumlah Rasul ada sekitar 300 sekian orang tanpa memastikan berapa, dan jumlah Nabi ada sekitar 120.000 orang tanpa memastikan berapa.

Yang jelas, jumlah mereka sangat banyak. Sebagaimana Syaikh Abdul Aziz bin Baz mengatakan:

فلا يعلم عددهم إلا الله سبحانه وتعالى ، لكنهم جم غفير ، قص الله علينا أخبار بعضهم ولم يقص علينا أخبار البعض الآخر ، لحكمته البالغة جل وعلا

“Tidak diketahui berapa jumlah mereka kecuali oleh Allah subhanahu ta ta’ala. Namun jumlah mereka sangat banyak. Ada sebagian mereka yang Allah kisahkan kepada kita kabarnya, dan ada yang tidak dikisahkan kepada kita. Karena suatu hikmah yang besar dari Allah jalla wa ‘ala” (Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, 2/66-67).

Sedangkan 25 Nabi yang kita ketahui, itulah nama-nama Nabi yang disebutkan di dalam Al Qur’an. Bukan jumlah seluruh Nabi. Adapun jumlah seluruh Nabi itu banyak sekali, sekitar 120.000 orang.

Dan yang luar biasanya, seluruh Nabi dan Rasul yang banyak tersebut, semuanya mendakwahkan tauhid dan tauhid adalah inti dakwahnya. Allah Ta’ala berfirman:

وَمَا أَرْسَلْنَا مِن قَبْلِكَ مِن رَّسُولٍ إِلاَّ نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنَا فَاعْبُدُونِ

“Dan Kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya bahwa tidak ada Ilah (yang haq) melainkan Aku, maka sembahlah Aku olehmu sekalian” (QS. Al-Anbiya: 25).

Allah Ta’ala juga berfirman:

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولاً أَنِ اعْبُدُوا اللهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ

“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): ‘Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah thaghut’” (QS. An-Nahl: 36).

Wallahu a’lam, semoga yang sedikit ini bisa memberikan banyak faedah. Allahu waliyyut taufiq was sadaad.

___

Penulis: Yulian Purnama

Artikel: Muslim.or.id

Perbedaan antara Nabi dan Rasul

BERIKUT kami sampaikan penjelasan Syaikh Shalih Alu Syaikh hafizhahullah yang kami terjemahkan dengan bebas dari kitab Syarah Tsalatsatul Ushul:

Terdapat perbedaan antara seorang nabi dan rasul, karena tidak semua nabi adalah rasul, namun setiap rasul adalah nabi. Perbedaannya adalah, Rasul adalah utusan Allah yang mendapatkan wahyu/risalah atau kitab suci dan diperintahkan untuk menyampaikannya kepada kaum yang menentang dan mengingkari risalah yang diembannya.

Sedangkan nabi adalah seorang yang mendapatkan wahyu untuk menjalankan syariat bagi dirinya sendiri atau untuk disampaikan kepada suatu kaum yang tidak mengingkarinya, atau dengan kata lain kaum tersebut telah menjalankan syariat yang bersesuaian dengan risalahnya. Hal ini sebagaimana yang terjadi pada nabi-nabi Bani Israil, ketika para nabi tersebut wafat maka mereka digantikan oleh seorang nabi yang menyampaikan risalah kepada kaum Bani Israil yang telah menjalankan syariat nabi sebelumnya sehingga nabi yang datang kemudian hanya meneruskan syariat yang lalu atau melengkapi syariat nabi sebelumnya.

Namun terkadang risalah yang diwahyukan kepada seorang nabi hanya diperuntukkan bagi dirinya sendiri, berdasarkan hal ini para ulama menjelaskan di antara sebab seorang nabi tidak memiliki pengikut sebagaimana yang ditunjukkan hadits Nabi shallallahu alaihi wa sallam, “Dan akan datang seorang nabi pada hari kiamat kelak tanpa seorang pun yang mengikutinya.”

Adalah karena tidak ada seorang pun dari kaumnya yang menerima seruannya atau karena risalah yang dia terima hanya diperuntukkan bagi dirinya sendiri. [Ust. Said (Pengajar Pondok Jamilurrahman, Bantul)]

 

INILAH MOZAIK

Ini Satu-satunya Sahabat Nabi yang Namanya Diabadikan Al-Qur’an

Ayat-ayat al-Qur’an biasanya diturunkan untuk menjawab berbagai soalan yang memerlukan ketetapan hukum, selain yang sifatnya informatif tentang kehidupan di masa lalu dan masa mendatang.

Namun, meskipun banyak ayat yang menjawab tanyaan sahabat maupun yang turun untuk memuji kualitas keimanan seseorang, al-Quran tak pernah menyebut nama mereka. Oleh sebab itu, jika kita membaca al-Quran dari awal hingga akhir, tak akan kita temui nama-nama seperti Umar, Aisyah maupun Ali. Padahal, banyak ayat turun terkait tiga sahabat tersebut.

Satu-satunya nama sahabat Nabi yang disebut dalam al-Quran hanya Zaid. Siapakah dia dan disebut di surah apa?

Dia adalah Zaid bin Haritsah (578-629). Al-Quran mengabadikan namanya dalam surah al-Ahzab [37] ayat 37. “… Maka ketika Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (bercerai), Kami nikahkan engkau dengannya (janda Zaid/Zainab) agar tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (menikahi) istri dari anak angkat mereka. …”

Zaid bin Haritsah adalah anak angkat Nabi Muhammad saw. Sebelumnya, ketika masih kanak-kanak dia dibawa ibunya bepergian. Perampok menculiknya, lalu menjualnya di pasar budak.

Hakam bin Hazam membelinya dan dihadiahkan ke bibinya, Khadijah binti Khuwailid. Setelah Khadijah menikah dengan Rasul, Zaid turut hidup bersama keluarga Nabi. Nabi tak pernah menganggap Zaid sebagai budak, melainkan diasuh laiknya anak sendiri.

Di kemudian hari, ayah Zaid, Abdul Uzza bin Imri’ Al-Qais, mendapat kabar bahwa anaknya dijual sebagai budak di Mekah. Ayah Zaid segera berangkat ke Mekah dan menemui Nabi. Dia bermaksud menebusnya. Akan tetapi, Nabi menolak tawaran uang dari ayah Zaid.

Nabi mengatakan bahwa semuanya terserah Zaid. Jika ingin pulang ke kampung halaman bersama ayahnya, Nabi mempersilakan tanpa tebusan apapun. Jika ingin bersamanya, Zaid tak akan pernah diperlakukan sebagai budak.

Zaid akhirnya memutuskan tinggal bersama Nabi Muhammad. Ayahnya pun tak keberatan dengan keputusan anaknya ini. Dia pulang dengan lega karena anaknya mendapat pengasuhan yang jauh lebih baik.

Seiring perjalanan waktu, Zaid tumbuh menjadi pemuda saleh yang cerdas dan luas pemahamannya. Sebagai prajurit, dia dikenal sebagai pemanah ulung. Dalam setiap pertempuran yang diikutinya, Zaid selalu menjadi komandan.

Pertempuran terakhir Zaid adalah pada bulan September 629. Sebanyak 3000  pasukan yang dipimpin Zaid bergerak menuju Basrah (Suriah). Tentara Bizantium yang terdiri dari 100.000 tentara asal Yunani didukung oleh 100.000 tentara kabilah-kabilah Arab, seperti Lakhm, Judham, Al-Qayn, Bahra dan Bali menyergap pasukan Zaid di Mu’tah.

Zaid dan tentaranya menyulitkan pasukan Bizantium yang mengepung dari segala penjuru, sampai akhirnya sebuah tombak lontar menancap di tubuhnya. Zaid mengalami perdarahan hebat, nyawanya tak tertolong.

Mendengar kabar kesyahidan Zaid, Nabi Muhammad menemui keluarganya. Anak Zaid menangis di hadapan Nabi. Nabi Muhammad juga turut menangis sampai terisak. Saad bin Ubadah berkata, “Rasul, apakah ini?” Nabi menjawab, “Ini adalah duka seorang kekasih untuk yang dicintainya.”

Zaid tercatat sebagai prajurit yang pertama kali syahid di negeri asing.

 

RIMANEWS