NIAT itu membedakan amal yang satu dan amal yang lain, serta membedakan antara orang yang satu dan orang yang lain. Syekh Ibn Taymiyah telah meyakinkan kita berapa niat itu sangat menentukan nilai amal dan diri kita.
Tapi, niat sejati itu dalam hati. Lantas, apa makna ikhlas? Imam al Nawawi, di awal kitab al-Adzkar, menyajikan banyak keterangan para syekh tentang makna-makna ikhlas.
Allah swt berfirman, “Mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan (mengikhlaskan) ketaatan kepada-Nya dalam agama yang lurus.” (al-Bayinah : 5)
Allah swt juga berfirman, “Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidaklah dapat mencapai Allah, melainkan ketakwaan dari kamulah yang mencapai-Nya.” (al-Hajj :37)
Ibn Abbas mengatakan, ketakwaan di sini maksudnya adalah niat (tulus).
Dari Umar ibn al-Khaththab diriwayatkan bahwa Nabi saw bersabda, “Perbuatan itu bergantung pada niat. Bagi setiap orang apa yang ia niatkan. Siapa berhijrah karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya. Sedang siapa yang berhijrah karena dunia yang ingin ia kuasai atau perempuan yang ingin ia kawini, maka hijrahnya karena hal itu pula.”
Hadis ini sahih, dan termasuk salah satu hadis yang menjadi poros ajaran Islam. Kaum salaf senang sekali mengawali kitab-kitab mereka dengan hadis ini, demi memperingatkan para penelaah agar mempunyai dan memerhatikan niat yang lurus.
Ibn Abbas berkata, orang itu dihormati sepadan dengan niatnya. Yang lain berkata, manusia itu dihargai sebanding dengan niatnya.
Al-Fudhayl ibn Iyadh berkata, meninggalkan amal karena manusia itu ria, melakukan amal karena manusia itu syirik, dan ikhlaslah yang menyembuhkan keduanya.
Banyak perbuatan biasa menjadi bernilai karena terbungkus dalam niat yang begus, sebagaimana banyak kewajiban menjadi tak bermakna lantaran niatnya yang tak lurus. Ketulusan membuat hidup semua tindakan. [Chairunnisa Dhiee]