Orang-orang miskin yang pergi Haji (2)

Pemulung Kariyati binti Halil (69) tergabung dalam Kloter 42/Probolinggo.

Janda empat anak dan 11 cucu asal Desa Pondok Wuluh, Kecamatan Leces, Kabupaten Probolinggo, Jatim itu berjuang  mewujudkan niatnya ke Tanah Suci kurang lebih 20 tahun.

Selama itu, dia berupaya menyisihkan penghasilannya dari memungut barang-barang bekas.

Nenek Karyati adalah pemulung yang setiap hari mengumpulkan gelas plastik bekas air mineral, kardus, dan kertas yang dipungutnya dari beberapa tempat sampah di Wuluh, Leces, probolinggo.

Pekerjaan itu terkadang dilakoni hampir seharian, yaitu pagi siang sore dan malam dan hasilnya pun sekitar Rp20 ribuan, meski terkadang ada orang yang berbelas kasihan dengan memberinya uang antara Rp100 ribu.

Recehan demi recehan dikumpulkan Kariyati dan ditabungkan ke bank sampai puluhan tahun hingga akhirnya terkumpul dana cukup untuk mendaftarkan dirinya guna mendapatkan porsi berangkat haji.

Sisanya, dia belikan sapi untuk persiapan pelunasan, bahkan pekerjaan sebagai pemulung masih dilakoni hingga beberapa saat menjelang keberangkatannya ke Tanah Suci.

“Selama mengikuti manasik haji, Kariyati juga masih selalu membawa peralatan sebagai pemulung, bahkan gelas bekas air mineral dan kardus bekas snack setelah manasik pun masih dipungut satu per satu,” tutur ketua rombongan 7, Hadi.

Idem dito, perjuangan yang cukup berat dan panjang juga dilakukan Kusdi Jainem beserta istrinya, Sutini, yang tergabung dalam Kloter 30 asal Magetan.

Selama kurang lebih hampir 10 tahun lalu, Kusdi dengan modal pas-pasan memulai usaha sebagai pedagang rongsokan berupa besi-besi yang tidak layak pakai atau sudah dibuang.

Sebagai pedagang rongsokan, dia menerima rongsokan itu dari para pengepul barang rongsokan dari desa ke desa, lalu barang rongsokan itu dipilah-pilah dan selanjutnya disetorkan ke pengepul besi langganannya.

Nah, hasil dari itu dikumpulkan sediki demi sedikit, lalu dia belikan hewan ternak berupa sapi yang masih kecil, kemudian dipelihara.

Setelah sapi itu besar, lalu dijual untuk dibelikan lagi sapi ukuran sedang tetapi jumlahnya dua ekor, kemudian dipelihara lagi hingga besar dan layak jual dengan harga tinggi.

Begitu seterusnya hingga akhirnya Kusdi beserta istri mampu mendaftarkan dirinya untuk berangkat haji, bahkan pelunasan biaya haji pun dipenuhi dengan terus menjalankan usaha rongsokan dan memelihara sapi itu.

Tantangan juga datang dari warga sekitar. “Kan kerjanya hanya sebagai pedagang rongsokan saja, kok bisa berangkat haji?” begitu olok-olok tetangganya.

Namun, setelah dia mampu membuktikan bisa melunasi biaya haji, Kusdi dan Sutini pun berbalik menjadi inspirasi bagi warga sekitarnya hingga ada delapan orang tetangga yang juga turut mendaftar berangkat haji.

“Saya sengaja tidak menyimpan atau menabung uang hasil usaha ke bank karena kalau disimpan di bank tidak akan mendapatkan hasil sebesar hasil dari berternak sapi sehingga saya tidak akan mungkin bisa berangkat haji sekarang (2013),” ucap Kusdi.

Loper koran
Adalah warga Dusun Juwet, Kelurahan Glagahan, Kecamatan Perak, Kabupaten Jombang, Jawa Timur, Mohammad Anwar yang bisa mewujudkan cita-citanya ke Tanah Suci berkat ketekunan dan kesungguhannya sebagai loper koran.

Bapak tiga orang anak dan empat cucu itu sehari-hari menjadi loper koran sejak 1992 dengan sekitar 60 pelanggan.

Setiap bulan, dia menyisihkan penghasilannya sebesar Rp300 ribu hingga Rp500 ribu untuk ditabung. Cara itu dilakukan setelah mendapat saran dari seorang kiai di kampungnya.

“Sekitar lima tahun lalu, saya mampu membeli sepeda motor Supra Fit, tetapi Kiai Haris Munawir (pengurus MWC NU Perak) memberi saran nek awakmu pengin lungo kaji, dolen sepedamu (kalau kamu ingin berangkat haji, jual saja sepeda motormu),” ungkap Anwar.

Tentu, saran Kiai Haris Munawir itu memicu perdebatan yang cukup panjang antara dirinya dan sang kiai.

Namun, sang kiai mampu memberi motivasi hingga akhirnya dirinya merelakan motornya dijual untuk segera mendaftarkan haji ke bank.

Setelah mendapatkan nomor porsi, Anwar bersama ketiga anaknya yang semuanya menjadi guru di Jombang itu pun menabung untuk bisa melunasi biaya hajinya pada tahun 2013.

“Alhamdulillah, saya akhirnya bisa melunasinya, malah ada kelebihan sekitar satu jutaan yang bisa jadi uang saku, selain living cost dari pemerintah,” tukas anggota Kloter 12/Jombang itu.

Agaknya “orang miskin pergi haji” itu bukan fakta yang kecil sebab Panitia Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) Embarkasi/Debarkasi Surabaya mencatat mayoritas haji asal Jawa Timur dari kalangan miskin.

Sekretaris PPIH Embarkasi/Debarkasi Surabaya H.M. Asyhuri di Surabaya mengemukakan bahwa haji asal Jatim pada tahun 2013 berjumlah 28.448 orang, antara lian meliputi Selanjutnya, petani sebanyak 5.118 orang atau 17,99 persen, PNS sebanyak 4.685 orang (16,47 persen), pedagang 2.231 orang (7,84 persen), dan pelajar 519 orang (1,82 persen).

 

sumber: Antara

Orang-orang miskin yang berangkat Haji (1)

Orang-orang miskin yang berangkat ibadah haji ke Tanah Suci agaknya bukan hanya ada dalam sinetron seperti “Mak Ijah Pengen ke Mekkah” atau “Tukang Bubur Naik Haji”.

Di Jawa Timur pada musim haji 2013 ada tukang becak, juru parkir, pemulung, pedagang rongsokan, loper koran,  yang menunaikan ibadah haji.

Cara yang ditempuh orang-orang miskin untuk bisa bertandang “Rumah Allah” (Baitullah) di Masjidilharam atau ke “Rumah Nabi” di “Roudloh” (Masjid Nabawi) itulah yang menarik direnungkan.

Abdullah bin Saiful Hadi (57), bapak dua anak serta tiga cucu asal Kabupaten Jember, Jawa Timur, yang berangkat bersama Kloter 62/Surabaya pada tanggal 8 Oktober 2013.

Abdullah yang hanya lulusan SD itu bisa mewujudkan niatnya menyempurnakan Rukun Islam yang kelima dalam kurun waktu hampir 26 tahun.

Ketika masih menjadi siswa, setiap kali pulang sekolah Abdullah mencari “rupiah” dengan menjadi pengayuh becak.

Dia sejak 1987 selalu menyisihkan uangnya hasil jerih payahnya sebagai pengayuh becak dan kuli panggul di Pasar Mangli Jember untuk mewujudkan keinginannya ke Tanah Suci itu.

Setiap hari uang yang disisihkan Abdullah dalam tabungannya hanya sekitar Rp10.000 hingga Rp20.000, kecuali hari Minggu karena toko-toko yang ada libur.

Dengan kesabaran dan ketekunannya, Abdullah mendaftarkan dirinya ke bank untuk mendapatkan nomor porsi pada tahun 2009 kendati sejumlah rekannya sering mengolok-olok dirinya.

“Penghasilan sebagai tukang becak hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Namun, saya bersama almarhumah istri tetap menyisakan uang receh sisa dari belanja kebutuhan keluarga untuk ditabung,” paparnya.

Saat itu, hanya tersisa sekitar Rp17 juta karena sering diambil untuk kebutuhan yang mendadak, termasuk menikahkan anaknya.

Untuk bisa mendapat porsi haji pada tahun itu harus tersedia dana Rp20 juta, maka akhirnya ditambahi tabungan milik istrinya Rp3 juta sehingga mencukupi.

Guna memenuhi kekurangan biaya haji diikhtiarkan dengan mengikuti arisan di kampungnya, yaitu Dusun Klanceng, Kecamatan Ajung, Jember.

“Saya sangat bersyukur akhirnya bisa berangkat haji. Di depan Kakbah, saya doakan almarhumah istri yang telah meninggal dunia pada tahun 2011, serta memohon rezeki lancar dan barokah serta haji yang mabrur,” tuturnya.

Menabung Sejak 2008
Cerita yang tak jauh berbeda juga dialami Djumain, seorang juru parkir motor di pertokoan Kepanjen, Kabupaten Malang, Jawa Timur, yang tergabung dalam Kloter 44 yang berangkat ke Tanah Suci pada tanggal 2 Oktober 2013.

Dengan meneteskan air mata seolah tak percaya, dia menceritakan tentang bagaimana mewujudkan niatnya untuk bisa menunaikan Rukun Islam yang kelima.

Keseharian dirinya sebagai seorang juru parkir motor tentu sangatlah sulit dibayangkan bisa berangkat haji walaupun dibantu istrinya, Sulismani, yang menerima pesanan kue-kue.

“Akan tetapi, Allah berkehendak lain, tiba-tiba saya tergerak untuk selalu menyisihkan penghasilan saya yang sekitar Rp700 ribu setiap bulan untuk sebagian dimasukkan tabungan haji sejak 2008,” ucap penderita polio sejak kecil itu.

Selang setahun, dengan bantuan saudara-saudaranya, dia pun langsung mendaftarkan diri untuk bisa mendapatkan nomor porsi berangkat haji, sampai pada saat pelunasan pun mampu terpenuhi walaupun cukup bersusah payah untuk semua itu.

Padahal, pada tahun 2011, Djumain yang bapak dari empat anak itu mengalami kecelakaan saat mengendarai motor akibat tertabrak mobil. Dia pun tidak sadarkan diri dan siuman saat sudah berada di RSSA Malang.

“Kaki dan tangan saya patah dan kaki kanan saya harus dipen serta tangan kiri dengan perawatan selama 20 hari. Alhamdulillah, saya tetap bisa berangkat bersama istri walaupun harus menggunakan tongkat penyangga untuk berjalan,” tukasnya.

Di Mekah, dia berdoa untuk rumah tangga yang sakinah mawadah wa rohmah,rezekinya lancar dan barokah, dan pendidikan anak yang masih kuliah lancar serta ilmunya bermanfaat bagi keluarga dan negara.

Ikhtiar yang tidak jauh berbeda juga dilakukan seorang waria asal Jember, Jawa Timur, Sutika bin Marwapi (42), yang berangkat menunaikan ibadah haji pada tahun 2012.

Waria asal Desa Cangkring Baru, Kecamatan Jenggawah, Jember yang berprofesi sebagai pedagang di Pasar Jenggawah itu mengaku dirinya berasal dari keluarga miskin, lalu dirinya merantau ke Bali untuk bekerja.

“Di Bali, pikiran saya terbuka untuk berdagang dan saya mengumpulkan uang untuk menunaikan ibadah haji agar saya tidak malu di hadapan keluarga, lalu saya mendaftarkan haji pada tahun 2008 dan akhirnya ditakdirkan berangkat pada hari Senin (15/10/2012),” ujarnya.

Takdir yang membanggakan dirinya itu membuatnya untuk bersemangat mengingatkan kaumnya (waria) untuk tetap menjalankan ibadah secara maksimal, termasuk beribadah haji.

“Saya mengajak teman-teman waria yang belum punya uang untuk umroh,” papar waria yang sempat kesulitan mendaftar haji sebagai wanita sesuai perasaan hatinya hingga akhirnya ke Tanah Suci dengan identitas sebagai laki-laki.

(bersambung)

 

 

sumber: Antara