Mengenal Pasar pada Masa Awal Islam Sebagai Pusat Perekonomian

Terpotret sejarah bahwa agama Islam turun di daerah yang terbilang maju dalam sektor perekenomiannya. Dalam sektor ekonomi, penduduk tanah Arab kebanyakan aktivitasnya adalah perniagaan ataupun bisnis. Pada musim-musim tertentu, orang-orang Arab melakukan ekspor dengan pergi ke luar kota untuk menjual komoditinya, mulai dari daerah Syam hingga kota Yaman. Tidak hanya itu, mereka juga mengimpor barang saat melakukan perjalanan dagang dengan membeli barang-banrang dari luar kota yang kemudian dijual di tanah Arab. Bagaimanakah pasar pada masa awal Islam berperan dalam sektor perekonomian?

Ada beberapa tempat yang dijadikan pusat perdagangan atau pasar untuk melakukan aktivitas bisnis di musim-musim tertentu. Imam Bukhari dalam kitab Shahih-nya [3/53] menyebutkan tiga pasar yang dijadikan pusat perdagangan di era Jahiliyah hingga era Islam. Antaranya, pasar Ukkazd, pasar Dul Majaz dan pasar Majannah. Sedangankan dalam kitab Umdatul Al-Qari Syarhi Shahih Al-Bukhari [103/10] menyebutkan satu pasar lagi yaitu pasar Habasyah. Tiga pasar yang disebutkan oleh Imam Bukhari di atas dilakukan perdagangan saat musim-musim haji.

Pasar Ukkazd terletak di ujung daerah Najd dekat dengan Arafah atau Thaif. Pasar ini juga menjadi perkumpulan orang-orang Arab untuk melakukan aktivitas ekonomi dan juga kegiatan seni berupa syair-syair yang dulu pernah dijadikan komoditi.

Pasar Dul Majaz, pasar yang terletak di daerah yang berdekatan dengan Arafah dan menurut Al-Kalbiy, pasar ini termasuk pasar dari kaum Hudail yang berjarak sekitar satu farsakh dengan Arafah. Pasar ini disenggelarakan pada tanggal 1-7 zdul Hijjah.

Pasar Majannah, pasar yang terletak beberapa mil dari kota Mekkah dan bersebelahan dengan kota Al-Dhahran. Pasar ini kepunyaan Bani Kinanah dan Syamah dan Thufail. Dinamanakan Majannah karena pukulan dari orang-orang gila berada di dasana.

Pasar Hubasyah terletak antara kota Mekkah dan Yaman sejarak sekitar enam Marhalah. Pasar ini digelar tidak pada musim haji melainkan pada bulan Rajab. Oleh karena itu, pasar ini tidak disebutkan dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari. Menurut Al-Rayathi, pasar ini termasuk pasar yang terbesar yang dimiliki oleh Bani Tihamah sebagai pusat perdaganagan dan aktivitas ekonomi di era tersebut. Rasulullah juga sempat melakukan transaksi di pasar ini.

Pasar-pasar lainnya, sebagaimana disebutkan dalam buku Prinsip Dasar Ekonomi Islam Prespektif Maqhasid Al-Syariah [198], disana disebutkan beberapa tempat yang dijadikan pusat aktivitas ekonomi pada masa Rasulullah, diantaranya pasar Fumatul Janal (ujung utara Hijaz dekat dengan perbatasan syiria), Mushaqqar (di pasar ini perdagangan diselenggarakan selama satu bulan penuh).

Pasar suhar (salah satu kota yang dijadikan pusat perdaganagan di daerah Oman), pasar Dabba (biasanya orang-orang yang melakukan bisnis daerah ini antara lain Cina, India dan lain sebagainya), Shihr (waktu untuk melakukan bisnis di daerah ini yaitu wal pecan hingga pertengahan bulan Sya’ban).

pasar Aden ( terletak di daerah Yaman dan diselengarakan pada tanggal satu sampai sepuluh Ramadan), pasar Sana, pasar Rabiyah, pasar mina, Nazat, Hijr dan pasar Busyra (kota di Syiria, di luar semenanjung Arab dan termasuk pasar yang sering dikunjungi Nabi Muhammad).

Itulah pasar-pasar yang dijadikan tempat untuk kegioatan eknomi umat di masa sebelum datangnya Islam hingga Islam datang sebagai Agama untuk menuntun umatnya termasuk dalam tindak-tanduk perekonomian. Dimana banyak ditemukan praktik-praktik yang bertentangan dengan nilai keislaman dan kemanusiaan semisal penimbunan dan lain sebagainya.

BINCANG SYARIAH

Barang yang Haram Diperjualbelikan (Hadits Jamiul Ulum wal Hikam #45)

Ada barang-barang yang haram diperjualbelikan seperti dibahas dalam hadits Jamiul Ulum wal Hikam #45 berikut ini.

الحَدِيْثُ الخَامِسُ وَالأَرْبَعُوْنَ

عَنْ جَابِرٍ بْنِ عَبْدِ اللهِ أَنَّه سَمِعَ رَسُوْلَ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – عَامَ الفَتحِ وهُوَ بِمكَّةَ يَقُولُ : (( إنَّ اللهَ ورَسُولَهُ حرَّمَ بَيعَ الخَمْرِ وَالمَيتَةِ والخِنْزِيرِ وَالأَصْنَامِ )) فَقِيْلَ : يَا رَسُوْلَ اللهِ أَرَأَيْتَ شُحُومَ المَيتَةِ ، فَإِنَّهُ يُطْلَى بِهَا السُّفُنُ ، ويُدْهَنُ بِهَا الجُلُودُ ، وَيَسْتَصَبِحَ بِهَا النَّاسُ ؟ قَالَ : (( لاَ ، هُوَ حَرامٌ )) ، ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – عِنْدَ ذَلِكَ : (( قَاتَل اللهُ اليَهُوْدَ ، إِنَّ اللهَ حَرَّمَ عَلَيْهِمُ الشُّحُوْمَ ، فَأَجْمَلُوْهُ ، ثُمَّ بَاعُوهُ ، فَأَكَلُوا ثَمَنَهُ )) خَرَّجَهُ البُخَارِيُّ وَمُسْلِمٌ

Hadits ke-45 Jamiul Ulum wal Hikam

Dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhuma, sesungguhnya ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda pada tahun Fathul Makkah, dan ia berada di Makkah, “Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya mengharamkan jual-beli khamar (minuman keras, segala sesuatu yang memabukkan), bangkai, babi, dan berhala.” Lalu dikatakan (kepada beliau), “Wahai, Rasulullah. Bagaimana menurutmu tentang lemak bangkai? Karena sesungguhnya lemak bangkai (dapat digunakan) untuk melapisi (mengecat) perahu, menyamak kulit, dan digunakan orang-orang untuk lampu-lampu pelita?” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak, (jual beli) itu adalah haram.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda ketika itu, “Semoga Allah membinasakan orang Yahudi. Sesungguhnya Allah, tatkala mengharamkan atas mereka lemak bangkai, mereka mencairkannya, kemudian menjualnya, lalu memakan upahnya (hasil jual belinya).” (HR. Bukhari dan Muslim)

Keterangan hadits

  • Perang Fathul Makkah terjadi pada bulan Ramadhan tahun kedelapan Hijriyah.
  • Khamar adalah sesuatu yang menutupi akal, berasal dari perasan atau sesuatu yang direndam dalam air, baik dari anggur, kurma, gandum, dan selainnnya; bisa jadi dimasak ataukah tidak. Intinya, khamar itu sesuatu yang memabukkan dan menutupi akal.
  • Bangkai adalah setiap hewan yang mati tanpa lewat jalan penyembelihan. Yang disembelih orang yang murtad disebut juga sebagai maytah (bangkai) secara hukum.
  • Babi itu hewan yang najis secara ‘ain.
  • Ashnam adalah bentuk jamak dari shanam (berhala) yang dipahat dalam bentuk manusia, atau bentuk lainnya. Ada istilah watsan yaitu segala sesuatu yang disembah selain Allah, bisa jadi kuburan dan selainnya. Perbedaannya, shanam itu punya wujud tertentu, sedangkan watsan itu sesuatu tanpa bentuk rupa. Ada juga yang menyamakan antara shanam dan watsan seperti Al-Jauhari.
  • Syuhum al-maytah yang dibahas adalah hukum jual beli lemak bangkai karena ada manfaat dari jual beli tersebut.
  • Perahu itu diminyaki dengan lemak setelah dicairkan, tujuannya agar air tidak menyerap ke kayu, berarti sama fungsinya saat ini dengan cat.
  • Dahulu kulit bisa diminyaki dengan lemak bangkai setelah kulit itu disamak.
  • Dulu juga lemak bangkai yang sudah dicairkan bisa dijadikan bahan untuk penerangan pada lampu.
  • Dalam hadits, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan tidak halal jual beli lemak bangkai, tidak boleh jual belinya, dan tidak boleh memanfaatkannya. Jual belinya itu diharamkan karena dhamir (kata ganti) yang disebut kembali pada jual beli. Inilah yang ditafsirkan oleh Imam Syafii. Ibnul Qayyim dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah juga berpendapat yang sama. Karena si penanya dalam hadits menanyakan tentang jual beli. Walaupun ada ulama yang menyatakan bahwa dhamir (kata ganti) kembali pada pemanfaatan, berarti yang dilarang adalah pemanfaatannya. Pendapat yang menyatakan yang dilarang adalah jual belinya, itulah yang lebih tepat.
  • Dalam hadits ini, orang Yahudi didoakan binasa. Bisa juga maknanya, Allah melaknat mereka dan mereka dijauhkan dari rahmat-Nya.
  • Yang dilakukan oleh orang Yahudi adalah mencairkan syuhumul maytah hingga menjadi lemak, sampai tidak lagi disebut syuhum, mereka ingin mengakali agar tidak terjerumus dalam yang haram. Karena syuhum diharamkan pada orang-orang Yahudi. Namun, mereka tetap menjual dan memakan hasil jual belinya. Orang Arab tidak lagi menyebut lemak yang sudah dicairkan itu dengan syuhum, tetap mereka menamakannya dengan wadak.

Faedah hadits

Pertama: Islam mengharamkan jual beli khamar, juga memproduksinya, hingga meminumnya. Alasannya, khamar benar-benar membawa dampak jelek dan merusak pikiran. Menurut jumhur ulama, khamar itu dihukumi najis.

Dalam hadits lain disebutkan mengenai terlaknatnya setiap orang yang mendukung dalam tersebarnya miras atau khamar. Dari Ibnu ‘Umar, dari ayahnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَعَنَ اللَّهُ الْخَمْرَ وَشَارِبَهَا وَسَاقِيَهَا وَبَائِعَهَا وَمُبْتَاعَهَا وَعَاصِرَهَا وَمُعْتَصِرَهَا وَحَامِلَهَا وَالْمَحْمُولَةَ إِلَيْهِ

Allah melaknat khamar, orang yang meminumnya, orang yang menuangkannya, penjualnya, pembelinya, orang yang memerasnya, orang yang mengambil hasil perasannya, orang yang mengantarnya, dan orang yang meminta diantarkan.” (HR. Ahmad, 2:97; Abu Daud, no. 3674; Ibnu Majah, no. 3380. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth mengatakan bahwa hadits ini shahih karena ada berbagai penguatnya).

Yang dimaksud adalah Allah melaknat zat khamar agar setiap orang menjauhinya. Bisa pula yang dimaksudkan dengan “Allah melaknat khamar” adalah melaknat memakan hasil upah dari penjualan khamar. (Lihat ‘Aun Al-Ma’bud, 8:174, Mawqi’ Al Islam). Ini menunjukkan penjualan miras itu haram.

Kedua: Islam mengharamkan jual beli babi, daging babi, lemak babi, kulit babi, serta semua bagian dari tubuh babi karena babi itu najis ‘ain.

Ketiga: Islam mengharamkan jual beli bangkai dan bagian-bagiannya. Yang dikecualikan dalam hal ini adalah bangkai ikan dan belalang. Para ulama juga menilai rambut dan bulu bangkai yang tidak dianggap hidup, maka tidak dianggap khabits (najis) dan tidak dimasukkan dalam istilah bangkai (maytah). Inilah pendapat jumhur ulama. Yang berbeda pendapat dalam hal ini hanyalah ulama madzhab Syafii.

Adapun kulit bangkai bisa jadi suci dengan disamak. Namun, kulit hewan buas (seperti kulit harimau, ular, buaya) tetap tidak boleh diperjualbelikan walau sudah disamak dikarenakan ada larangan penggunaannya dari hadits Al-Miqdam bin Ma’dikarib. Al-Miqdam pernah mendatangi Mu’awiyah lantas berkata padanya,

أَنْشَدُكَ بِاللهِ: هَلْ تَعْلَمُ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ ﷺ نَهَى عَنْ لُبُوْسِ جُلُوْدِ السِّبَاعِ وَالرُّكُوْبِ عَلَيْهَا؟ قَالَ: نَعَمْ

Aku bersumpah dengan nama Allah bukankah engkau tahu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari mengenakan kulit hewan buas dan menunggangi (menaiki) di atasnya?” Mu’awiyah menjawab, “Iya.” (HR. Abu Daud, 4131; An-Nasai, 7:176. Hadits ini sahih memiliki syawahid atau banyak penguat yang saling menguatkan. Lihat catatan kaki dalam Minhah Al-‘Allam fii Syarh Bulugh Al-Maram, 1:93. Syaikh Al-Albani dalam As-Silsilah Ash-Shahihah, no. 1011 menyatakan bahwa sanad hadits ini jayyid, perawinya tsiqqah–terpercaya–. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan dalam catatan Sunan Abu Daud, hadits ini hasan).

Keempat: Ada perbedaan pendapat mengenai penggunaan lemak bangkai karena masalah larangan dalam hadits itu kembali pada larangan jual beli ataukah larangan pemanfaatan lemak bangkai. Pendapat terkuat dalam hal ini adalah boleh memanfaatkan lemak bangkai. Sedangkan yang terlarang hanyalah jual belinya. Ibnul Qayyim mengistilahkan dengan “babul intifaa’ awsa’ minal bai’”, dalam hal penggunaan lebih banyak dibolehkan dibandingkan dalam hal jual beli. Artinya, segala jual beli yang diharamkan belum tentu dilarang penggunaannya. Antara jual beli dan penggunaan tidak saling terkait. Jadi, kalau disebutkan dalam hadits diharamkan jual beli, bukan berarti penggunaannya tidak boleh.

Kelima: Islam mengharamkan jual beli ashnam (patung berhala). Berhala ini menghancurkan Islam itu sendiri, dampaknya pada rusaknya agama dan menjerumuskan pada dosa syirik. Namun, jika berhala itu dihancurkan, sebagian ulama membolehkan untuk jual belinya.

Keenam: Kita dilarang akal-akalan (melakukan tipu daya) dalam melegalkan jual beli yang sudah diharamkan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam jelas sekali melarangnya dalam kasus lemak bangkai. Pelakunya pun kena kutukan.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ تَرْتَكِبُوا مَا ارْتَكَبَتِ اليَهُوْدُ، فَتَسْتَحِلُّوا مَحَارِمَ اللَّهِ بِأَدْنَى الحِيَلِ

Janganlah kalian melakukan apa yang pernah diperbuat oleh orang-orang Yahudi, sehingga kalian melanggar hal-hal yang diharamkan Allah dengan melakukan sedikit pengelabuan (akal-akalan).” (HR. Ibnu Batthoh dalam Al-Hiyal, 112. Ibnu Taimiyyah mengatakan bahwa sanad hadits ini jayyid).

Ketujuh: Jika Allah mengharamkan sesuatu, pasti Allah haramkan jual belinya, dan hasil jual belinya juga haram.

Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى إِذَا حَرَّمَ شَيْئًا حَرَّمَ ثَمَنَهُ

Sesungguhnya jika Allah Ta’ala mengharamkan sesuatu, maka Allah mengharamkan upah (hasil jual belinya).” (HR. Ad Daruquthni, 3:7; Ibnu Hibban, 11:312. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini sahih).

Dalam lafazh musnad Imam Ahmad disebutkan,

وَإِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ إِذَا حَرَّمَ أَكْلَ شَيْءٍ ، حَرَّمَ ثَمَنَهُ

Sesungguhnya jika Allah ‘azza wa jalla mengharamkan memakan sesuatu, maka Allah pun melarang upah (hasil penjualannya).” (HR. Ahmad, 1:293. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini sahih).

Semoga bermanfaat.


Referensi:

  1. Jaami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam. Cetakan kesepuluh, Tahun 1432 H. Penerbit Muassasah Ar-Risalah.
  2. Fath Al-Qawi Al-Matin fii Syarh Al-Arba’in wa Tatimmah Al-Khamsiin li An-Nawawi wa Ibnu Rajab rahimahumallah. Cetakan kedua, Tahun 1436 H. Syaikh ‘Abdul Muhsin bin Muhammad Al-‘Abbad Al-Badr.
  3. Minhah Al-‘Allam fii Syarh Bulugh Al-Maram. Cetakan keempat, Tahun 1433 H. Syaikh ‘Abdullah bin Shalih Al-Fauzan. Penerbit Dar Ibnul Jauzi.

Selesai disusun Malam Senin, 15 Dzulqa’dah 1441 H, 5 Juli 2020

Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

Akhi, ukhti, yuk baca tulisan lengkapnya di Rumaysho:
https://rumaysho.com/25222-barang-yang-haram-diperjualbelikan-hadits-jamiul-ulum-wal-hikam-45.html

Sabda Rasulullah tentang Pedagang yang Amanah

HUDZAIFAH ibnul Yaman radhiyallaahu anhuma mengatakan, Rasulullah pernah menyampaikan dua hadits kepada kami. Aku telah menyaksikan kebenaran hadits pertama, dan sedang menanti yang kedua. Beliau mengabarkan bahwa “Amanah pertama kali turun pada jantung hati manusia. Kemudian turunlah Al-Quran dan mereka pun belajar tentang amanah darinya, dan belajar pula dari Sunnah Rasulullah”. Kemudian, beliau mengabarkan bahwa sifat ini akan dicabut. Kata beliau, “Ketika seseorang terlelap dalam tidurnya, dicabutlah amanah dari hatinya hingga tersisa sedikit saja. Kemudian ia terlelap lagi, dan dicabutlah amanah yang tersisa hingga tinggal bekasnya. Seperti ketika engkau menendang bara api dengan kakimu, lalu ia melepuh dan membengkak, namun tak ada apa-apa padanya. Orang-orang pun lalu berjual beli seperti biasa, namun hampir tak seorang pun yang bersikap amanah. Sampai-sampai dikatakan bahwa di kabilah fulan ada satu orang yang amanah. Dan sampai-sampai ada orang yang berkata, “Alangkah cemerlang akal si fulan, dan alangkah baik dan uletnya dia” padahal tak ada sedikitpun iman yang tersisa di hatinya”. Hudzaifah lantas berkata, “Sungguh, aku pernah mengalami suatu masa di mana aku tak memedulikan siapa yang kuajak berjual beli. Kalau dia seorang muslim, maka Islam-lah yang mencegahnya (dari sikap khianat). Namun jika ia seorang Yahudi atau Nasrani, maka penguasa-lah yang akan membelaku. Adapun sekarang, maka aku takkan berjual beli kecuali dengan si fulan dan si fulan”, lanjut Hudzaifah. (Muttafaq alaih)

Benarlah apa yang disabdakan Nabi shallallaahu alaihi wasallam. Mendapatkan orang yang amanah lebih sulit dari pada intan. Sampai-sampai jika ada seorang yang amanah, dia segera menjadi buah bibir. “Di kabilah fulan ada seorang yang amanah!” kata mereka. Artinya, dari ratusan atau bahkan ribuan anggota kabilah tersebut, hanya ada satu yang amanah!! Sungguh mengerikan dan ironis memang.

Agaknya memang seperti itulah kenyataannya. Amanah dan kejujuran telah demikian mahal nilainya. Kalaulah di zaman sahabat amanah telah sedemikian langka hingga Hudzaifah tak lagi mau berjual-beli dengan siapa saja, maka bagaimana pula di zaman kita?

Kendatipun demikian, kita tidak boleh berputus asa karenanya. Bahkan sebaliknya, hadits di atas bukan sekedar memberitakan, namun juga menjadi ancaman. Jangan sampai kita menjadi orang yang dinilai pandai, baik, dan ulet di mata orang; akan tetapi tak ada keimanan yang tersisa dalam dada. Artinya, siapa tidak memiliki sifat amanah sama sekali, berarti bukanlah orang beriman yang sejati. Sebab sifat amanah sangat erat kaitannya dengan iman. Karenanya, dalam hadits lainnya disebutkan, “Tidak ada iman bagi yang tidak punya sifat amanah”.

Hadits di atas juga menyiratkan betapa mahalnya sifat amanah tadi. Sebab makin langka sesuatu, otomatis semakin mahal harganya. Karenanya, Nabi shallaallaahu alaihi wa sallam bersabda:

“Pedagang yang amanah, jujur, dan muslim, akan bersama para syuhada di hari kiamat.”

Hebat kan? Itulah Amanah. Sebuah kalimat indah yang mudah diucapkan, namun amat sulit ditemukan.

 

[Ustadz Sufyan Baswedan, MA]

Pasar dan Pengajian

SAYA hanya bisa geleng kepala, kagum dan terkesima, membaca cerita Syekh Habib al-Abid tentang semangat dan seriusnya masyarakat Bashrah zaman dulu dalam mengaji. Lalu saya badingkan dengan masyarakat zaman kini di manapun termasuk di lingkungan kita sendiri. Sangat kontradiksi. Sangat berbeda.

Beliau berkata: “Suatu hari saya berkunjung ke Bashrah dan saya langsung datang ke pasar. Ternyata hari itu pasar sedang tutup. Saya bertanya kepada penjaga pasar ada apa kok pasar ditutup, apakah ada hari raya atau perayaan tertentu di Bashrah yang saya tidak tahu? Orang itu menjawab bahwa tidak ada hari raya atau perayaan apapun, hanya saja hari ini Syekh Hasan Bashri sedang memberikan ceramah pengajian.”

Ternyata, saat ada pengajian, pasar pun di Bashrah ditutup demi mengagungkan agama Allah. SubhanALLAH, luar biasa. Bandingkan dengan di lingkungan kita, pasar pun pindah ke sekitar pengajian, membuka lapak baru di dalam pengajian. Melihat potensi pasar katanya. Ketika urusan agama terkalahkan, mungkinkah keberkahan diturunkan untuk kita?

Tenang. Jangan tersinggung dan tersindir. Tulisan ini sejatinya sebagai renungan untuk saya dan kita semua untuk lebih peduli pada urusan agama. Pengajian-pengajian yang mencerahkan, menyejukkan dan mendamaikan sungguh sangat dibutuhkan olen masyarakat modern yang rawan gempa ini. Gempa hati, yang saya maksudkan.

 

Oleh : KH Ahmad Imam Mawardi

INILAH MOZAIK

Ulama Menjadikan Pasar sebagai Sumber Pahala

PASAR– tempat mencari uang, bagi para sahabat dan ulama tabiin, bisa menjadi sumber pahala. Bukan karena mereka menjadikan pasar sebagai tempat ibadah, namun mereka memanfaatkan kelalaian manusia di pasar, di tempat kerja, untuk mengajak mereka dan mengingatkan mereka agar mengingat Allah.

Dari situ mereka berharap bisa mendapat pahala besar, karena mengingatkan manusia untuk taat kepada Allah, di saat mereka semua lupa Allah. Atau setidaknya, mereka menjadi manusia yang dekat dengan Allah, di saat semua orang lupa Allah.

Kita akan simak, bagaimana aktivitas orang-orang saleh itu, ketika di pasar. Pertama, keterangan Ibnu Umar radhiyallahu anhuma. Beliau mengatakan,

“Sungguh aku berangkat ke pasar bukan karena butuh apapun, selain agar aku bisa menyampaikan salam dan diberi salam. (HR. Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf, 26260).

Kedua, praktik Ibnu Sirin. Ulama tabiin, Muhammad bin Sirin, berguru kepada Abu Hurairah dan Anas bin Malik radhiyallahu anhuma. Salah satu kebiasaan Ibnu Sirin, beliau ke pasar di siang hari, untuk memperbanyak takbir, tasbih, dan mengingat Allah. Hingga ada orang berkomentar,”Hai Ibnu Sirin, jam segini di pasar anda rajin berdzikir?”

Jawab Ibnu Sirin, “Ini waktu banyak orang lalai (dari mengingat Allah).” (Hilyah al-Auliya, 2/272).

Ketiga, mereka ingat siksaan akhirat ketika di pasar. Ibnu Masud radhiyallahu anhu, setiap masuk pasar, lalu beliau melihat pandai besi menyalakan apinya yang menyembur, maka beliau menangis.

Seperti itu pula yang dilakukan Thawus. Setiap beliau di pasar melihat ada tukang sate yang membakar kepala kambing, malam harinya beliau tidak bisa tidur.Mereka ingat neraka ketika di pasar.

Keempat, mereka sedih, melihat kelalaian manusia ketika di pasar.Amr bin Qais, seorang ulama tabiin, muridnya Numan bin Basyir dan Abdullah bin Amr bin Ash.Ketika beliau melihat orang-orang sibuk di pasar, beliau menangis. Ia berkata, “Betapa mereka telah lalai dari apa yang dijanjikan untuk mereka.” (Hilyah al-Auliya, 5/102).

Inilah rahasia, mengapa shalat di waktu dhuha memiliki keutamaan khusus. Senilai 360 sedekah, sebagaimana disebutkan dalam hadis riwayat muslim dari Abu Dzar radhiyallahu anhu. Karena shalat di waktu dhuha, tantangannya adalah kesibukan kita dalam bekerja.

Kelima, mereka rajin berdzikir di pasar. Abdullah bin Abi Hudzail. Pernah berguru kepada Ali bin Abi Thalib, Ibnu Masud, Abu Hurairah dan beberapa sahabat lainnya. Beliau mengatakan,

“Allah mencintai ketika seseorang berdzikir di pasar. Karena ketika itu manusia sedang lalai. Sungguh aku datang ke pasar, tidak ada kebutuhan apapun selain untuk banyak berdzikir kepada Allah.”

Ada juga Humaid bin Hilal. Salah satu ulama tabiin. Beliau menasehatkan,

“Perumpamaan orang yang berzikir di pasar, seperti sebatang pohon hijau di tengah pepohonan yang mati.”

Hasan bin Soleh pernah masuk pasar. Beliau melihat berbagai aktivitas manusia, ada yang menjahit, ada yang buat roti, ada pandai besi. Lalu beliau menangis dan berkomentar,

“Perhatikan mereka. Semua sibuk sampai datang kematian. (Hilyah al-Auliya, 7/329).

Kisah Menakjubkan

Inilah arti penting kawan yang baik. Kawan yang mengingatkan anda untuk akhirat.Abu Qilabah ulama tabiin, muridnya Anas bin Malik dan Samurah bi Jundub. Beliau pernah bercerita,

Ada dua orang bertemu di pasar. Tiba-tiba, salah satu mengajak temannya,

“Kawan, mari kita berdoa kepada Allah, memohon ampun kepada-Nya, di tengah manusia yang sedang lalai. Semoga Allah mengampuni dosa kita.”

Lalu merekapun banyak berdoa dan memohon ampun kepada Allah.Hingga salah satu meninggal.Keesokan harinya, orang yang masih hidup ini bermimpi. Dalam mimpinya dia bertemu dengan temannya di pasar itu,

“Kawan, aku merasa, Allah telah mengampuni dosaku di hari ketika kita ketemu di pasar.” (HR. Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf, 36842).

 

 

Sumber : Artikel Ustadz Ammi Nur Baits di Konsultasisyariah