Hukum Berjual-Beli dan Menggunakan Produk Non-Muslim

Kita telah ketahui bersama bahwa berjual-beli, sewa-menyewa, kerjasama bisnis, semua ini bagian dari perkara muamalah yang hukum asalnya mubah (boleh). Lalu, bagaimana jika kegiatan ini semua dilakukan dengan non muslim?

Hukum asal muamalah adalah mubah

Terdapat kaidah fiqhiyyah yang ditetapkan para ulama yang berbunyi,

الأصل في المعاملات الإباحة

“Hukum asal muamalah adalah mubah.”

Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,

لا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ

“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. Al Mumtahanah: 8)

Syekh As-Sa’di rahimahullah menjelaskan, “Allah Ta’ala tidak melarang perbuatan baik dan menyambung silaturahmi (kepada non muslim). Demikian juga, Allah tidak melarang membalas kebaikan dengan cara yang ma’ruf (baik), serta tidak melarang berbuat adil kepada kaum musyrikin, baik mereka adalah karib-kerabat ataupun bukan. Selama bukan dalam keadaan yang membuat non muslim tersebut wajib diperangi dan non muslim tersebut bukanlah orang-orang yang mengusir mereka dari negerinya. Maka, tidak mengapa bagi kaum muslimin untuk menyambung tali silaturahmi dengan kerabat yang non muslim. Karena menyambung tali silaturahmi adalah perbuatan yang tidak ada keharaman di sana dan tidak ada mafsadah. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman tentang orang tua yang musyrik jika anaknya seorang muslim,

وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلى أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلا تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفً

“Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik!” (QS. Luqman: 15) (Taisir Karimirrahman, hal. 856).

Maka, berjual-beli, sewa-menyewa, kerjasama bisnis, atau menggunakan produk non muslim, semua ini jika dilakukan terhadap non muslim, juga hukum asalnya mubah (boleh).

Rasulullah pun dahulu berjual beli dan berbisnis dengan non muslim

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun bermuamalah dengan orang musyrikin. Dari Aisyah radhiyallahu ’anha, beliau berkata,

واستأجَرَ رسولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم وأبو بكر رجلًا مِن بني الدِّيلِ ، هاديًا خِرِّيتًا ، وهو على دينِ كفارِ قريشٍ ، فدفعا إليه راحلتيهما ، وواعداه غارَ ثورٍ بعدَ ثلاثَ ليالٍ ، فأتاهما براحلتَيْهما صبحَ ثلاثٍ

“Rasulullah dan Abu Bakar menyewa seorang dari Bani Ad-Dail dari Bani Adi bin Adi sebagai penunjuk jalan. Padahal ketika itu, ia masih beragama dengan agama orang kafir Quraisy. Lalu, Nabi dan Abu Bakar menyerahkan unta tunggangannya kepada orang tersebut dan berjanji untuk bertemu di gua Tsaur setelah tiga hari.  Lalu, orang tersebut pun datang membawa kedua unta tadi pada hari ke tiga pagi-pagi.” (HR. Bukhari no. 2264)

Terdapat banyak dalil yang menunjukkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun melakukan muamalah-muamalah di atas dengan non muslim. Dari Aisyah radhiyallahu ’anha, beliau berkata,

أنَّ النبيَّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم اشتَرى طعامًا من يَهودِيٍّ إلى أجلٍ ، ورهَنه دِرعًا من حديدٍ

“Nabi shallallahu ’alaihi wasallam pernah membeli makanan dari orang Yahudi dengan berhutang, lalu beliau menggadaikan baju perang besinya kepada orang tersebut.” (HR. Bukhari no. 2068)

Hadis ini jelas menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ’alaihi wasallam pun berjual-beli dengan non muslim bahkan menggunakan produk non muslim. Tentu saja selama produk tersebut halal dan baik.

Nabi shallallahu ’alaihi wasallam pun melakukan kerjasama bisnis dengan non muslim. Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,

أَعْطَى رَسولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ خَيْبَرَ اليَهُودَ: أَنْ يَعْمَلُوهَا ويَزْرَعُوهَا، ولَهُمْ شَطْرُ ما يَخْرُجُ منها

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan kesempatan kepada kaum Yahudi di Khaibar, sehingga mereka dapat bekerja mengolah lahan dan menanaminya. Dan mereka mendapatkan sebagian dari hasil panennya.” (HR. Bukhari no. 2285, Muslim no. 1551).

Syekh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah menjelaskan,

لا مانع من معاملته في البيع والشراء والتأجير ونحو ذلك، فقد صح عن رسول الله عليه الصلاة والسلام أنه اشترى من الكفار عباد الأوثان، واشترى من اليهود وهذه معاملة، وقد توفي عليه الصلاة والسلام، ودرعه مرهونة عند يهودي في طعام اشتراه لأهله

“Tidak ada larangan untuk bermuamalah jual-beli, sewa-menyewa, atau muamalah lainnya (dengan non muslim). Terdapat dalam hadis sahih bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membeli barang dari orang-orang kafir penyembah berhala, juga membeli barang dari orang Yahudi, dan ini semua perkara muamalah. Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam wafat dalam keadaan baju besi beliau tergadaikan kepada orang Yahudi, ketika membeli makanan sebagai nafkah untuk keluarga beliau.” (Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, juz 6 hal. 285).

Ringkas kata, berbisnis dengan non muslim hukum asalnya boleh. Tentunya selama bisnis yang dilakukan itu halal, tidak terdapat riba, gharar, maisir, dan perkara-perkara yang diharamkan syariat.

Bolehkah melayani non muslim?

Namun, memang terdapat khilaf di antara ulama tentang muamalah berupa khidmah (pelayanan) yang dilakukan seorang muslim kepada non muslim. Jumhur (mayoritas) ulama melarangnya. Mereka berdalil dengan ayat,

وَلَن يَجْعَلَ اللَّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلًا

“Dan sama sekali Allah tidak pernah memberi jalan bagi orang kafir untuk menguasai orang beriman.” (QS. An Nisa: 141)

Dijelaskan dalam Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, “Para fuqaha sepakat bolehnya seorang kafir memberikan  khidmah (pelayanan) kepada seorang muslim. Demikian juga, para fuqaha sepakat bolehnya seorang muslim disewa untuk orang kafir dalam suatu pekerjaan yang mu’ayyan fi dzimmah (spesifik dan ada batas temponya). Seperti menjahitkan pakaian, membangun rumah, menanami lahan, dan semisalnya. Namun, para ulama khilaf tentang hukum khidmah (pelayanan) yang dilakukan seorang muslim kepada orang kafir. Baik dengan akad ijarah (sewa), akad i’arah (pinjam-meminjam), atau akad lainnya.

Mazhab Hanafiyyah berpendapat hal tersebut hukumnya dibolehkan. Karena akad-akad tersebut termasuk akad mu’awadhah (saling menguntungkan), sehingga dibolehkan sebagaimana jual-beli. Namun, dimakruhkan jika mengandung unsur khidmah (pelayanan) kepada orang kafir. Karena khidmah itu bentuk perendahan diri.

Adapun mazhab Malikiyah, disebutkan oleh Ibnu Rusyd bahwa seorang muslim disewa untuk melayani orang Nasrani atau Yahudi, ini ada empat macam. Ada yang boleh, ada yang makruh, ada yang mahzhur, dan ada yang haram.

Pertama, yang boleh adalah jika seorang muslim melakukan pekerjaan untuk orang kafir di rumah si muslim tersebut. Seperti seorang yang memproduksi suatu barang yang dikonsumsi masyarakat secara umum.

Kedua, yang makruh adalah jika orang kafir mendominasi seorang muslim dalam suatu pekerjaan atau muamalah, namun orang kafir tersebut tidak punya otoritas untuk mengaturnya. Seperti seorang muslim yang berhutang kepada orang kafir, atau orang seorang muslim bekerjasama musaqah (merawat lahan) milik orang kafir.

Ketiga, yang mahzhur (terlarang) adalah jika seorang muslim disewa untuk melakukan pekerjaan untuk orang kafir yang orang kafir ini punya otoritas untuk mengaturnya. Seperti seorang muslim menjadi pembantu di rumah orang kafir.

Keempat, yang haram adalah jika seorang muslim disewa untuk melakukan pekerjaan yang diharamkan, seperti mengolah khamr, menggembala babi, dan semisalnya. Untuk jenis ini, akadnya batal sebelum ia bekerja. Jika sudah terlanjur mendapat gaji, maka wajib disedekahkan untuk orang miskin.

Mazhab Syafi’iyyah berpendapat haramnya seorang muslim memberikan pelayanan kepada orang kafir jika secara langsung ataupun tidak langsung. Secara langsung, seperti mengucurkan air cuci tangan untuk orang kafir, membawakan sandal untuk dipakai orang kafir, membersihkan kotoran pada badan dan pakaiannya, atau semisal itu. Secara tidak langsung, contohnya seperti seorang muslim diutus untuk mengurus suatu kebutuhan orang kafir (yang mubah). Dihukumi haram dalam rangka menjaga kaum muslimin dari perendahan dan penghinaan. Namun, makruh hukumnya meminjamkan dirinya atau menyewakan dirinya untuk melayani orang kafir, selama orang kafir tersebut tidak memiliki otoritas untuk mengaturnya.

Mazhab Hambali dalam riwayat yang sahih menyatakan haramnya seorang muslim disewa untuk melayani orang kafir atau meminjamkan dirinya untuk melayani orang kafir. Karena dalam kondisi ini, terdapat unsur pengekangan seorang muslim di bawah kendali orang kafir dan juga unsur perendahan diri di depan orang kafir.” (diringkas dari Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, juz 19 hal. 46).

Ringkasnya, wallahu a’lam, jika muamalah seorang muslim terhadap non muslim berupa pelayanan kepada mereka, perlu kita bagi menjadi tiga macam:

Pertama, jika itu berupa pelayanan yang spesifik, ada batas temponya, tidak ada unsur perendahan diri, serta tidak dikuasai penuh oleh orang kafir, maka ulama sepakat bolehnya.

Kedua, jika bukan termasuk pada poin 1, namun bukan dalam perkara haram, maka hukumnya makruh. Lebih utama bagi seorang muslim untuk tidak melakukannya. Namun, andaikan ia melakukannya, tidak ada dosa baginya.

Ketiga, jika pelayanan yang dilakukan dalam perkara haram, maka ulama sepakat akan haramnya.

Demikian penjelasan ringkas mengenai berjual-beli dan menggunakan produk non muslim, semoga bermanfaat. Wabillahi at-taufik was sadaad.

Penulis: Yulian Purnama

Sumber: https://muslim.or.id/69088-hukum-berjual-beli-dan-menggunakan-produk-non-muslim.html



Hukum Jual Beli ketika Shalat Jumat

Alhamdulillahi rabbil ‘alamin, ashalatu was salaamu ‘ala rasulillah sayyidil mursalin,

Pembaca yang budiman, kita ketahui bersama bahwa shalat Jum’at adalah ibadah yang agung, yang diwajibkan bagi sebagian kaum Muslimin. Oleh karena itu dalam artikel ini akan kita bahas bagaimana hukum berjual-beli ketika shalat Jum’at sedang dilangsungkan.

Orang-orang yang diwajibkan shalat Jum’at

Shalat Jum’at hukumnya fardhu ‘ain bagi setiap Muslim yang berakal, kecuali :
1. wanita
2. budak
3. anak kecil
4. orang yang sakit. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

الجمعةُ حقٌّ واجبٌ على كلِّ مسلمٍ فبجماعةٍ إلاَّ أربعةً عبدٌ مملوكٌ أوِ امرأةٌ أو صبيٌّ أو مريضٌ

“Shalat Jum’at adalah wajib bagi setiap Muslim dengan berjama’ah kecuali empat orang: hamba sahaya, wanita, anak kecil, orang sakit” (HR. Abu Daud no. 1067, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Abu Daud).

5. Musafir

Abdullah bin Umar radhiallahu’anhu mengatakan:

ليس على مسافِرٍ جمعَةٌ

Tidak ada kewajiban shalat Jum’at bagi musafir” (HR. Ad Daruquthni 2/111, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Al Jami’, no. 5404).

6. Semua orang yang memiliki kesulitan menghadiri shalat jama’ah di masjid
baik karena hujan, badai, kondisi mencekam, atau semacamnya. Berdasarkan keumuman hadits:

Dari Ibnu Umar radhiallahu’anhuma:

كَانَ يَأْمُرُ مُؤَذِّنًا يُؤَذِّنُ ، ثُمَّ يَقُولُ عَلَى إِثْرِهِ ‏‏: ” أَلَا صَلُّوا فِي ‏‏الرِّحَالِ ‏” فِي اللَّيْلَةِ الْبَارِدَةِ أَوْ الْمَطِيرَةِ فِي السَّفَرِ

“Dahulu Nabi memerintahkan muadzin adzan lalu di akhirnya ditambahkan lafadz /shalluu fii rihaalikum/ (shalatlah di rumah-rumah kalian) ketika malam sangat dingin atau hujan saat safar” (HR. Bukhari no. 616, Muslim no. 699).

Hukum jual-beli ketika shalat Jum’at

Allah Ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلاَةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ

Wahai orang-orang yang beriman! Apabila telah diseru untuk melaksanakan shalat pada hari Jum’at, maka segeralah kamu mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui” (QS. Al-Jumu’ah: 9).

Ayat ini dengan jelas melarang jual-beli ketika shalat Jum’at bagi orang yang diwajibkan shalat Jum’at. As Sa’di dalam Tafsir-nya mengatakan:

أي: اتركوا البيع، إذا نودي للصلاة، وامضوا إليها

“maksudnya tinggalkan jual-beli ketika adzan dikumandangkan, dan hendaknya pergi menuju shalat” (Taisir Karimirrahman, 825).

Ibnu Katsir dalam Tafsir-nya mengatakan:

اتفق العلماء رضي الله عنهم على تحريم البيع بعد النداء الثاني

“Para ulama radhiallahu’anhum bersepakat haramnya jual-beli setelah adzan yang kedua”

Yaitu jika berpegang pada pendapat bahwa adzan Jum’at boleh dua kali. Adapun jika adzan Jum’at hanya sekali maka ketika adzan itu sudah tidak boleh berjual-beli. Ibnu Qudamah mengatakan:

والنداء الذي كان على عهد رسول الله صلى الله عليه و سلم هو النداء عَقِيْب جلوس الإمام على المنبر ، فتعلق الحكم به دون غيره . ولا فرق بين أن يكون ذلك قبل الزوال أو بعده

“Adzan (shalat Jum’at) yang ada di zaman Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam hanyalah adzan setelah imam duduk di mimbar. Maka larangan jual-beli ini dikaitkan pada adzan tersebut bukan adzan yang lainnya. Dan tidak ada bedanya apakah itu sebelum zawal ataukah sesudah zawal” (Al-Mughni, 2/145).

Ringkasnya, ketika imam sudah naik mimbar lalu setelah itu dikumandangakan adzan maka berlakulah larangan jual-beli ketika itu.

Sahkah akad jual-belinya?

Ketika orang yang diwajibkan shalat Jum’at melakukan akad jual-beli, setelah khatib naik mimbar dan adzan, sahkah akadnya?

Ulama berbda pendapat dalam masalah ini dalam dua pendapat:

Pendapat pertama, akadnya sah. Ini pendapat Hanafiyah dan Syafi’iyyah. Karena larangan jual-beli di sini bukan pada dzat akadnya namun karena sebab lain yaitu bisa memalingkan orang dari shalat Jum’at.

Pendapat kedua, tidak sah akadnya, dengan dalil surat Al Jumu’ah ayat 9. Secara eksplisit, ayat tersebut menunjukkan tidak sahnya akad menurut mereka. Ini merupakan pendapat Malikiyyah dan Hanabilah.

Wallahu a’lam, yang kami pandang lebih kuat dalam hal ini adalah pendapat kedua. Karena larangan berjual-beli dalam hal ini adalah maani’ (penghalang) untuk sempurnanya akad. Sehingga akad tidak sah dengan adanya penghalang. Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin mengatakan:

الصحيح من العقود ما ترتبت اثاره على وجوده كترتب الملك على عقد البيع مثلا . ولا يكون الشيء صحيحا إلا بتمام شروطه و انتفاء موانعه

“Akad yang sah adalah yang bisa membuat berlakunya konsekuensi dari akad tersebut. Seperti konsekuensi kepemilikan dalam akad jual-beli misalnya. Dan akad tidak disebut sah kecuali dengan terpenuhinya syarat-syarat dan hilangnya mawani’ (penghalang)” (Al Ushul min ‘Ilmil Ushul, 13).

Oleh karena itu Syaikh Ibnu Al Utsaimin dalam masalah ini mengatakan:

إن البيع بعد نداء الجمعة الثاني حرام وباطل أيضا ، وعليه فلا يترتب عليه آثار البيع ، فلا يجوز للمشتري التصرف في المبيع ؛ لأنه لم يملكه ، ولا للبائع أن يتصرف في الثمن المعين ؛ لأنه لم يملكه ، وهذه مسألة خطيرة ؛ لأن بعض الناس ربما يتبايعون بعد نداء الجمعة الثاني ثم يأخذونه على أنه ملك لهم

“Jual-beli setelah adzan jum’at yang kedua hukumnya haram dan juga batal (tidak sah). Oleh karena itu semua konsekuensi dari jual-beli tidak terjadi. Maka tidak boleh seorang yang membeli barang ketika itu menjual barangnya, karena ia belum memilikinya. Dan tidak boleh juga yang menjual ketika itu mentransaksikan uang hasil penjualannya, karena ia tidak memilikinya. Ini masalah yang urgen, karena sebagian orang saling berjual-beli setelah adzan kedua dan mereka merasa uang dan barang (hasil jual-beli tadi) adalah miliknya” (Syarhul Mumthi’, 8/52).

Bolehkah orang-orang yang tidak wajib shalat Jum’at berjual beli

Dari penjelasan di atas kita ketahui bahwasanya yang terkena larangan jual-beli adalah orang-orang yang diwajibkan shalat Jum’at. Maka mafhumnya, orang-orang yang tidak wajib shalat Jum’at tidak terlarang melakukan jual-beli. Dengan syarat, kedua pihak yang melakukan jual-beli adalah orang-orang yang tidak diwajibkan shalat Jum’at. Seperti jual beli antara sesama wanita, antara wanita dengan musafir, antara anak kecil dengan wanita, dan semisalnya. Ibnu Qudamah mengatakan:

وتحريم البيع , ووجوب السعي , يختص بالمخاطبين بالجمعة , فأما غيرهم من النساء والصبيان والمسافرين , فلا يثبت في حقه ذلك ; فإن الله تعالى إنما نهى عن البيع من أمره بالسعي , فغير المخاطب بالسعي لا يتناوله النهي , ولأن تحريم البيع معلل بما يحصل به من الاشتغال عن الجمعة , وهذا معدوم في حقهم . وإن كان أحد المتبايعين مخاطبا والآخر غير مخاطب , حرم في حق المخاطب , وكره في حق غيره ; لما فيه من الإعانة على الإثم

“Pengharaman jual-beli dan wajibnya sa’yu (pergi menuju shalat), ini khusus bagi orang-orang yang diwajibkan shalat Jum’at. Adapun yang selain mereka, baik wanita, anak kecil, musafir, maka larangan tidak berlaku. Karena yang Allah larang untuk berjual-beli adalah orang-orang yang Allah perintahkan untuk pergi menuju shalat. Adapun yang tidak diperintahkan shalat maka tidak tercakup dalam larangan. Kemudian, larangan berjual-beli juga alasannya adalah karena ia dapat menyibukkan dari shalat Jum’at. Dan alasan ini tidak ada pada orang-orang yang tidak wajib shalat Jum’at. Adapun jika salah satu pihak yang bertransaksi adalah orang yang wajib shalat Jum’at sedangkan pihak yang lain tidak wajib. Maka hukumnya haram bagi orang yang diwajibkan tersebut. Dan makruh bagi yang tidak waijb karena terdapat unsur tolong-menolong dalam dosa” (Al Mughni, 2/73).

Maka hendaknya orang-orang yang tidak diwajibkan shalat Jum’at mereka memberi nasihat kepada orang-orang yang lalai dari shalat Jum’at padahal wajib atas mereka. Dan jangan membantu mereka dalam kelalaian dengan bertransaksi jual-beli dengan mereka.

Demikian paparan singkat mengenai jual-beli ketika shalat Jum’at, semoga bermanfaat.

Wallahu waliyyut taufiq was sadaad.

***

Penulis: Yulian Purnama

MUSLIMorid

Barang yang Haram Diperjualbelikan (Hadits Jamiul Ulum wal Hikam #45)

Ada barang-barang yang haram diperjualbelikan seperti dibahas dalam hadits Jamiul Ulum wal Hikam #45 berikut ini.

الحَدِيْثُ الخَامِسُ وَالأَرْبَعُوْنَ

عَنْ جَابِرٍ بْنِ عَبْدِ اللهِ أَنَّه سَمِعَ رَسُوْلَ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – عَامَ الفَتحِ وهُوَ بِمكَّةَ يَقُولُ : (( إنَّ اللهَ ورَسُولَهُ حرَّمَ بَيعَ الخَمْرِ وَالمَيتَةِ والخِنْزِيرِ وَالأَصْنَامِ )) فَقِيْلَ : يَا رَسُوْلَ اللهِ أَرَأَيْتَ شُحُومَ المَيتَةِ ، فَإِنَّهُ يُطْلَى بِهَا السُّفُنُ ، ويُدْهَنُ بِهَا الجُلُودُ ، وَيَسْتَصَبِحَ بِهَا النَّاسُ ؟ قَالَ : (( لاَ ، هُوَ حَرامٌ )) ، ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – عِنْدَ ذَلِكَ : (( قَاتَل اللهُ اليَهُوْدَ ، إِنَّ اللهَ حَرَّمَ عَلَيْهِمُ الشُّحُوْمَ ، فَأَجْمَلُوْهُ ، ثُمَّ بَاعُوهُ ، فَأَكَلُوا ثَمَنَهُ )) خَرَّجَهُ البُخَارِيُّ وَمُسْلِمٌ

Hadits ke-45 Jamiul Ulum wal Hikam

Dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhuma, sesungguhnya ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda pada tahun Fathul Makkah, dan ia berada di Makkah, “Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya mengharamkan jual-beli khamar (minuman keras, segala sesuatu yang memabukkan), bangkai, babi, dan berhala.” Lalu dikatakan (kepada beliau), “Wahai, Rasulullah. Bagaimana menurutmu tentang lemak bangkai? Karena sesungguhnya lemak bangkai (dapat digunakan) untuk melapisi (mengecat) perahu, menyamak kulit, dan digunakan orang-orang untuk lampu-lampu pelita?” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak, (jual beli) itu adalah haram.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda ketika itu, “Semoga Allah membinasakan orang Yahudi. Sesungguhnya Allah, tatkala mengharamkan atas mereka lemak bangkai, mereka mencairkannya, kemudian menjualnya, lalu memakan upahnya (hasil jual belinya).” (HR. Bukhari dan Muslim)

Keterangan hadits

  • Perang Fathul Makkah terjadi pada bulan Ramadhan tahun kedelapan Hijriyah.
  • Khamar adalah sesuatu yang menutupi akal, berasal dari perasan atau sesuatu yang direndam dalam air, baik dari anggur, kurma, gandum, dan selainnnya; bisa jadi dimasak ataukah tidak. Intinya, khamar itu sesuatu yang memabukkan dan menutupi akal.
  • Bangkai adalah setiap hewan yang mati tanpa lewat jalan penyembelihan. Yang disembelih orang yang murtad disebut juga sebagai maytah (bangkai) secara hukum.
  • Babi itu hewan yang najis secara ‘ain.
  • Ashnam adalah bentuk jamak dari shanam (berhala) yang dipahat dalam bentuk manusia, atau bentuk lainnya. Ada istilah watsan yaitu segala sesuatu yang disembah selain Allah, bisa jadi kuburan dan selainnya. Perbedaannya, shanam itu punya wujud tertentu, sedangkan watsan itu sesuatu tanpa bentuk rupa. Ada juga yang menyamakan antara shanam dan watsan seperti Al-Jauhari.
  • Syuhum al-maytah yang dibahas adalah hukum jual beli lemak bangkai karena ada manfaat dari jual beli tersebut.
  • Perahu itu diminyaki dengan lemak setelah dicairkan, tujuannya agar air tidak menyerap ke kayu, berarti sama fungsinya saat ini dengan cat.
  • Dahulu kulit bisa diminyaki dengan lemak bangkai setelah kulit itu disamak.
  • Dulu juga lemak bangkai yang sudah dicairkan bisa dijadikan bahan untuk penerangan pada lampu.
  • Dalam hadits, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan tidak halal jual beli lemak bangkai, tidak boleh jual belinya, dan tidak boleh memanfaatkannya. Jual belinya itu diharamkan karena dhamir (kata ganti) yang disebut kembali pada jual beli. Inilah yang ditafsirkan oleh Imam Syafii. Ibnul Qayyim dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah juga berpendapat yang sama. Karena si penanya dalam hadits menanyakan tentang jual beli. Walaupun ada ulama yang menyatakan bahwa dhamir (kata ganti) kembali pada pemanfaatan, berarti yang dilarang adalah pemanfaatannya. Pendapat yang menyatakan yang dilarang adalah jual belinya, itulah yang lebih tepat.
  • Dalam hadits ini, orang Yahudi didoakan binasa. Bisa juga maknanya, Allah melaknat mereka dan mereka dijauhkan dari rahmat-Nya.
  • Yang dilakukan oleh orang Yahudi adalah mencairkan syuhumul maytah hingga menjadi lemak, sampai tidak lagi disebut syuhum, mereka ingin mengakali agar tidak terjerumus dalam yang haram. Karena syuhum diharamkan pada orang-orang Yahudi. Namun, mereka tetap menjual dan memakan hasil jual belinya. Orang Arab tidak lagi menyebut lemak yang sudah dicairkan itu dengan syuhum, tetap mereka menamakannya dengan wadak.

Faedah hadits

Pertama: Islam mengharamkan jual beli khamar, juga memproduksinya, hingga meminumnya. Alasannya, khamar benar-benar membawa dampak jelek dan merusak pikiran. Menurut jumhur ulama, khamar itu dihukumi najis.

Dalam hadits lain disebutkan mengenai terlaknatnya setiap orang yang mendukung dalam tersebarnya miras atau khamar. Dari Ibnu ‘Umar, dari ayahnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَعَنَ اللَّهُ الْخَمْرَ وَشَارِبَهَا وَسَاقِيَهَا وَبَائِعَهَا وَمُبْتَاعَهَا وَعَاصِرَهَا وَمُعْتَصِرَهَا وَحَامِلَهَا وَالْمَحْمُولَةَ إِلَيْهِ

Allah melaknat khamar, orang yang meminumnya, orang yang menuangkannya, penjualnya, pembelinya, orang yang memerasnya, orang yang mengambil hasil perasannya, orang yang mengantarnya, dan orang yang meminta diantarkan.” (HR. Ahmad, 2:97; Abu Daud, no. 3674; Ibnu Majah, no. 3380. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth mengatakan bahwa hadits ini shahih karena ada berbagai penguatnya).

Yang dimaksud adalah Allah melaknat zat khamar agar setiap orang menjauhinya. Bisa pula yang dimaksudkan dengan “Allah melaknat khamar” adalah melaknat memakan hasil upah dari penjualan khamar. (Lihat ‘Aun Al-Ma’bud, 8:174, Mawqi’ Al Islam). Ini menunjukkan penjualan miras itu haram.

Kedua: Islam mengharamkan jual beli babi, daging babi, lemak babi, kulit babi, serta semua bagian dari tubuh babi karena babi itu najis ‘ain.

Ketiga: Islam mengharamkan jual beli bangkai dan bagian-bagiannya. Yang dikecualikan dalam hal ini adalah bangkai ikan dan belalang. Para ulama juga menilai rambut dan bulu bangkai yang tidak dianggap hidup, maka tidak dianggap khabits (najis) dan tidak dimasukkan dalam istilah bangkai (maytah). Inilah pendapat jumhur ulama. Yang berbeda pendapat dalam hal ini hanyalah ulama madzhab Syafii.

Adapun kulit bangkai bisa jadi suci dengan disamak. Namun, kulit hewan buas (seperti kulit harimau, ular, buaya) tetap tidak boleh diperjualbelikan walau sudah disamak dikarenakan ada larangan penggunaannya dari hadits Al-Miqdam bin Ma’dikarib. Al-Miqdam pernah mendatangi Mu’awiyah lantas berkata padanya,

أَنْشَدُكَ بِاللهِ: هَلْ تَعْلَمُ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ ﷺ نَهَى عَنْ لُبُوْسِ جُلُوْدِ السِّبَاعِ وَالرُّكُوْبِ عَلَيْهَا؟ قَالَ: نَعَمْ

Aku bersumpah dengan nama Allah bukankah engkau tahu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari mengenakan kulit hewan buas dan menunggangi (menaiki) di atasnya?” Mu’awiyah menjawab, “Iya.” (HR. Abu Daud, 4131; An-Nasai, 7:176. Hadits ini sahih memiliki syawahid atau banyak penguat yang saling menguatkan. Lihat catatan kaki dalam Minhah Al-‘Allam fii Syarh Bulugh Al-Maram, 1:93. Syaikh Al-Albani dalam As-Silsilah Ash-Shahihah, no. 1011 menyatakan bahwa sanad hadits ini jayyid, perawinya tsiqqah–terpercaya–. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan dalam catatan Sunan Abu Daud, hadits ini hasan).

Keempat: Ada perbedaan pendapat mengenai penggunaan lemak bangkai karena masalah larangan dalam hadits itu kembali pada larangan jual beli ataukah larangan pemanfaatan lemak bangkai. Pendapat terkuat dalam hal ini adalah boleh memanfaatkan lemak bangkai. Sedangkan yang terlarang hanyalah jual belinya. Ibnul Qayyim mengistilahkan dengan “babul intifaa’ awsa’ minal bai’”, dalam hal penggunaan lebih banyak dibolehkan dibandingkan dalam hal jual beli. Artinya, segala jual beli yang diharamkan belum tentu dilarang penggunaannya. Antara jual beli dan penggunaan tidak saling terkait. Jadi, kalau disebutkan dalam hadits diharamkan jual beli, bukan berarti penggunaannya tidak boleh.

Kelima: Islam mengharamkan jual beli ashnam (patung berhala). Berhala ini menghancurkan Islam itu sendiri, dampaknya pada rusaknya agama dan menjerumuskan pada dosa syirik. Namun, jika berhala itu dihancurkan, sebagian ulama membolehkan untuk jual belinya.

Keenam: Kita dilarang akal-akalan (melakukan tipu daya) dalam melegalkan jual beli yang sudah diharamkan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam jelas sekali melarangnya dalam kasus lemak bangkai. Pelakunya pun kena kutukan.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ تَرْتَكِبُوا مَا ارْتَكَبَتِ اليَهُوْدُ، فَتَسْتَحِلُّوا مَحَارِمَ اللَّهِ بِأَدْنَى الحِيَلِ

Janganlah kalian melakukan apa yang pernah diperbuat oleh orang-orang Yahudi, sehingga kalian melanggar hal-hal yang diharamkan Allah dengan melakukan sedikit pengelabuan (akal-akalan).” (HR. Ibnu Batthoh dalam Al-Hiyal, 112. Ibnu Taimiyyah mengatakan bahwa sanad hadits ini jayyid).

Ketujuh: Jika Allah mengharamkan sesuatu, pasti Allah haramkan jual belinya, dan hasil jual belinya juga haram.

Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى إِذَا حَرَّمَ شَيْئًا حَرَّمَ ثَمَنَهُ

Sesungguhnya jika Allah Ta’ala mengharamkan sesuatu, maka Allah mengharamkan upah (hasil jual belinya).” (HR. Ad Daruquthni, 3:7; Ibnu Hibban, 11:312. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini sahih).

Dalam lafazh musnad Imam Ahmad disebutkan,

وَإِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ إِذَا حَرَّمَ أَكْلَ شَيْءٍ ، حَرَّمَ ثَمَنَهُ

Sesungguhnya jika Allah ‘azza wa jalla mengharamkan memakan sesuatu, maka Allah pun melarang upah (hasil penjualannya).” (HR. Ahmad, 1:293. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini sahih).

Semoga bermanfaat.


Referensi:

  1. Jaami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam. Cetakan kesepuluh, Tahun 1432 H. Penerbit Muassasah Ar-Risalah.
  2. Fath Al-Qawi Al-Matin fii Syarh Al-Arba’in wa Tatimmah Al-Khamsiin li An-Nawawi wa Ibnu Rajab rahimahumallah. Cetakan kedua, Tahun 1436 H. Syaikh ‘Abdul Muhsin bin Muhammad Al-‘Abbad Al-Badr.
  3. Minhah Al-‘Allam fii Syarh Bulugh Al-Maram. Cetakan keempat, Tahun 1433 H. Syaikh ‘Abdullah bin Shalih Al-Fauzan. Penerbit Dar Ibnul Jauzi.

Selesai disusun Malam Senin, 15 Dzulqa’dah 1441 H, 5 Juli 2020

Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

Akhi, ukhti, yuk baca tulisan lengkapnya di Rumaysho:
https://rumaysho.com/25222-barang-yang-haram-diperjualbelikan-hadits-jamiul-ulum-wal-hikam-45.html

Apakah Berdosa Mengambil Keuntungan Hingga 1000%?

Adakah batasan keuntungan saat berdagang? Bisakah keuntungan hingga 10 kali lipat dari modal (1000%)?

Pertanyaan:

“Ustadz mau tanya. Kalau saya jual barang dan ambil keuntungan lebih dari 200% untuk barang-barang tertentu dan untuk parts yang toko lain tidak punya. Bagaimana hukumnya?

Misal saya beli baut harga 750 dan saya jual 4.500.

Atau saya jual karburator 2.750.000, tetapi beberapa tahun yang lalu saya beli cuma 750.000 karena pas ada campaign.

Masalahnya saya takut dosa kalau ambil untung kebanyakan, meski pelanggan tidak protes karena mereka yakin di tempat saya semua jaminan asli.”

Jawaban:

Pertanyaan di atas akan dijawab dalam dua poin berikut.

PERTAMA: BATASAN KEUNTUNGAN DALAM BERDAGANG

Islam membolehkan seseorang penjual mengambil keuntungan sekalipun mencapai 100% dari modal atau bahkan lebih dengan syarat tidak ada ghisyy (penipuan harga maupun barang).

Berikut adalah dalil-dalil yang menunjukkan bahwa keuntungan itu tidak dibatasi.

Dalil pertama:

Dalam jual beli yang penting saling rida. Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ ۚ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu.” (QS. An-Nisaa’: 29)

Pada dasarnya kaidah-kaidah agama tidak mengikat para pedagang dalam kewenangan jual beli harta mereka selagi sesuai dengan ketentuan-ketentuan umum dalam syariat.

Dalil kedua:

عَنْ عُرْوَةَ – يَعْنِى ابْنَ أَبِى الْجَعْدِ الْبَارِقِىِّ – قَالَ أَعْطَاهُ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- دِينَارًا يَشْتَرِى بِهِ أُضْحِيَةً أَوْ شَاةً فَاشْتَرَى شَاتَيْنِ فَبَاعَ إِحْدَاهُمَا بِدِينَارٍ فَأَتَاهُ بِشَاةٍ وَدِينَارٍ فَدَعَا لَهُ بِالْبَرَكَةِ فِى بَيْعِهِ فَكَانَ لَوِ اشْتَرَى تُرَابًا لَرَبِحَ فِيهِ

Dari ‘Urwah, yaitu Ibnu Abil Ja’di Al-Bariqiy, ia berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberinya satu dinar untuk membeli satu hewan qurban (udhiyah) atau membeli satu kambing. Lantas ia pun membeli dua kambing. Di antara keduanya, ia jual lagi dan mendapatkan satu dinar. Kemudian ia pun mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan membawa satu kambing dan satu dinar. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendoakannya dengan keberkahan dalam jualannya, yaitu seandainya ia membeli debu (yang asalnya tidak berharga sekali pun, -pen), maka ia pun bisa mendapatkan keuntungan di dalamnya. (HR. Abu Daud, no. 3384 dan Tirmidzi, no. 1258. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan).

Dalil ketiga:

Diriwayatkan oleh Al-Bukhari bahwa Zubair bin Awwam radhiyallahu ‘anhu semasa hidupnya membeli sebidang tanah di pinggiran kota Madinah seharga 170.000 keping uang emas. Setelah ia wafat, tanah itu dijual oleh anaknya, yaitu Abdullah seharga 1.600.000 dinar. Keuntungan yang diambil oleh Abdullah dalam penjualan ini hampir mencapai 1000%.

Kesimpulannya:

  1. Tidak ada batasan maksimal persentase laba dari penjualan yang harus ditaati oleh para pedagang. Persentase laba diserahkan kepada kondisi perniagaan, pedagang, dan barang dengan tidak melupakan adab Islami, seperti: qanaah (merasa cukup), belas kasihan, dan tidak tamak.
  2. Sangat banyak dalil-dalil yang mewajibkan sebuah transaksi terbebas dari ghisysy (penipuan), rekayasa barang, rekayasa harga, dan rekayasa laba, serta terbebas dari menimbun barang yang menzalimi kepentingan umum maupun khusus.

KEDUA: MENYIMPAN BARANG UNTUK DIJUAL PADA SAAT HARGA NAIK, APAKAH TERMASUK IHTIKAR (MENIMBUN)?

Para ulama sepakat bahwa ihtikar itu dilarang karena merugikan khalayak ramai. Itulah yang dimaksudkan dalam hadits berikut.

Dari Ma’mar bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,


لاَ يَحْتَكِرُ إِلاَّ خَاطِئٌ

Tidak boleh menimbun barang, jika tidak, maka ia termasuk orang yang berdosa.” (HR. Muslim, no. 1605).

Namun, jika seorang pedagang membeli barang pada saat murah, lalu disimpan hingga harga naik dan dijual pada saat itu sesuai dengan harga pasar, aksi ini tidak termasuk ihtikar dengan catatan: (1) tidak merugikan orang banyak, (2) tidak merusak harga pasar, (3) barang masih dijual pedagang lain.

Dalam Takmilat Al-Majmu’ dijelaskan, “Ihtikar yang diharamkan, yaitu: membeli barang pada saat harga naik dan ditimbun agar harganya lebih tinggi lagi. Adapun jika membeli barang pada saat harga murah (musim panen) lalu ditahan hingga harga naik dan dijual saat itu, tidaklah diharamkan.”

Mengenai harga jual yang lebih tinggi daripada harga saat dibeli adalah logis karena ada biaya operasional penyimpanan barang hingga saat barang dijual. Ini juga merupakan salah satu siasat dagang yang dibolehkan.

Kesimpulannya, menjual dengan keuntungan 10 kali lipat (1000%) dibolehkan. Saat membeli dengan harga murah lalu dijual dengan harga berlipat-lipat juga dibolehkan.

Referensi:

Harta Haram Muamalat Kontemporer. Cetakan ke-22, Juli 2019. Dr. Erwandi Tarmizi, M.A. Penerbit P.T. Berkat Mulia Insani. Hlm. 173-174 dan 195-196.


Oleh: Al-Faqir Ilallah, Muhammad Abduh Tuasikal

Akhi, ukhti, yuk baca tulisan lengkapnya di Rumaysho:
https://rumaysho.com/24702-apakah-berdosa-mengambil-keuntungan-hingga-1000.html

Boleh Nggak sih Jual Beli Barang KW atau Bajakan dalam Islam?

Ustad Muqsith yang terhormat,

Terus terang saya suka nonton film terutama film India. Karena kesenangan saya itu saya sering membeli VCD di lapak-lapak pinggir jalan kalau saya sedang bepergian. Gampang dapatnya, di mana-mana ada, juga murah harganya. Kualitasnya juga tidak beda jauh dengan VCD aslinya, meski kadang gambarnya tidak jelas atau terpotong-potong. Cuma saya agak ragu dengan kebolehan membeli VCD itu yang seluruhnya merupakan bajakan. Mungkin pak Ustaz bisa menjelaskan kepada saya bagaimana sebetulnya hukum membeli barang bajakan?

Nur Hasanah Pemalang Jawa Tengah    

Memang benar apa yang dikatakan mbak, perdagangan barang-barang bajakan di Indonesia akhir-akhir ini memang semakin banyak, menyebar ke mana-mana sampai kampung-kampung terpencil.

Dari sudut etik-moral, praktek pembajakan tentu tidak dapat dibenarkan. Ia bertentangan dengan prinsip-prinsip etik-moral. Dalam tindak pembajakan, terdapat pihak yang dirugikan dan terzalimi, yaitu si pemilik hak cipta barang tersebut. Al-Quran dengan tegas mengatakan agar setiap orang tidak boleh berbuat zalim atau terzalimi (la tadhlimun wa la tudhlamun). Para pembajak adalah pihak yang zalim, sementara yang dibajak adalah pihak yang terzalimi.

Terkait dengan soal pembajakan tersebut, ada sebuah ayat dalam al-Quran yang memerintahkan agar kita tidak memakan harta orang lain secara batil. “Hai orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka (kerelaan) di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. Dan barang siapa berbuat demikian dengan melanggar hak dan aniaya, maka kami kelak akan akan memasukkannya ke dalam neraka”. [QS, al-Nisa` (4): 29].

Dalam mengomentari ayat tersebut, al-Fakhr al-Razi dalam kitab tafsirnya, Mafatihul Ghaib [Lihat Juz V, hlm. 72] menyatakan bahkan pengertian “makan” tidak hanya melulu merujuk pada makna yang lazim dan hakiki, melainkan juga pada maknanya yang ghair lazim, majazi atau kiasan. Dalam definisi ini, maka pembajakan jelas masuk dalam kategori “memakan” harta orang lain dengan cara yang batil. Pembajakan adalah tindakan batil yang benderang. Di dalam pembajakan tidak akan dijumpai suatu kerelaan dari si pemilik hak cipta. Nabi Muhammad SAW bersabda “Tidak halal harta milik seorang Muslim kecuali dengan kerelaan hatinya”.

Sementara itu, dari sudut fikih pembajakan tidak bisa diberikan toleransi sedikitpun. Dalam kerangka itu ada dua perkara yang perlu mendapat perhatian. Pertama, pembajakan dapat dimasukkan ke dalam perbuatan ghasab. Syeikh Nawawi al-Banteni dalam Nihayah al-Zain mendefinsikan ghasab sebagai perampasan hak orang lain secara zalim. Dalam pokok soal ini, jelas bahwa pembajak telah menggashab hak orang lain.

Sebagai konsekuensinya, pembajak dituntut untuk membawa barang bajakannya itu ke hadapan sang pemilik untuk dimintakan tanggapannya. Kalau si pemilik rela, maka ia bebas. Sebaliknya, jika si pemilik meminta ganti rugi yang layak dan rasional, maka si pembajak harus memenuhinya. Dalam konteks Indonesia, UU No. 6/1982 mengenai hak cipta yang disempurnakan dalam UU No. 7/1987 mestinya menjadi acuan dan ketentuan yang mengikat bagi seluruh warga bangsa.

Akan tetapi, pada hemat saya, tetap saja harus dibedakan antara pembajakan yang bersifat konsumtif (istihlaki), dipakai untuk diri sendiri dan yang bersifat produktif (intaji), diperbanyak dan dijualbelikan kepada orang lain. Kedua pembajakan tersebut dari sudut fikih Islam jelas berbeda. Pembajakan yang dilakukan hanya untuk konsumsi pribadi, tidaklah sama belaka hukumnya dengan pembajakan produktif yang sedari awal memang sengaja dirancang untuk mengeruk keuntungan material-ekonomi sebanyak-banyaknya.

Kalau pembajakan konsumtif biasanya terjadi untuk kepentingan individu semata, maka pembajakan produktif justru berlangsung dalam skala yang besar. Dengan demikian, jika pembajakan produktif tidak bisa diragukan lagi derajat keharamannya, maka pembajakan konsumtif, menurut saya, adalah hanya setingkat dengan hukum makruh. Hanya seseorang yang memiliki kesadaran tinggi yang enggan dan menjauh dari perkara ke-makruh-an itu.

Kedua, telah dijelaskan di dalam fikih bahwa persyaratan orang yang hendak menjual sesuatu barang (ba`i’) adalah agar yang bersangkutan berada dalam kepemilikan yang sempurna atas barangnya itu (al-milk al-tamm). Dengan demikian, barang bajakan tidak bisa menjadi milik dari si pembajak, kecuali ada pemindahan hak milik secara sah dan legal. Artinya, kepemilikan para pembajak terhadap barang bajakannya itu tidak diakui dan dipandang semu oleh fikih Islam. Oleh karena itu, maka pembajak tidak boleh menjual dalam bentuk apapun atas barang bajakannya itu pada orang lain.

Memang, kalau pembajakan dilarang akan mematikan ekonomi banyak keluarga. Cuma, menurut saya, pembajakan akan dapat melumpuhkan kreativitas seseorang untuk berkarya. Dunia kepenciptaan akan terganggu. Betapa seseorang yang berjerih payah berkarya secara tiba-tiba mesti dibajak tanpa sepengetahuan dan seizin si empunya.

Akan lebih baik kalau kita lebih kreatif menciptakan sesuatu yang baru sehingga membuka lapangan kerja yang baru pula. Karena bukan tidak mungkin, VCD bajakan misalnya, itu diproduksi oleh orang-orang yang punya modal besar dan penjual-penjual di lapak-lapak di pinggir jalan hanya dimanfaatkan oleh orang-orang itu. Dan terbukti, berulang kali yang ditangkap dan dirazia hanya mereka sedangkan pemodalnya tidak. Ini kan masalah.

Akhirnya, praktek pembajakan di negeri ini hanya bisa berhenti jika kita tidak ikut menyuburkannya dengan membeli barang-barang bajakan. Maka, berniagalah dengan barang-barang yang sah, bukan bajakan. Dan belilah barang yang tidak “bersampul” bajakan.[]

Oleh Dr. Abdul Moqsith Ghazali

ISLAMI.CO

Niaga Menjadi Ibadah

ALHAMDULILLAH! Tak ada satupun perkataan dan bisikan kecuali pasti Allah Swt mendengarnya. Tak ada satupun perbuatan dan rahasia kecuali pasti Allah Swt menyaksikannya. Tak ada satupun peristiwa sekecil apapun kecuali pasti Allah Swt mengetahuinya. SubhaanAllah! Sholawat dan salam semoga selalu terlimpah kepada baginda Nabi Muhammad Saw.

Saudaraku, bagi kita sebagai muslim, setiap aktifitas haruslah menjadi ibadah. Termasuk urusan jual beli. Karena waktu adalah bekal pulang kita, dan jual beli pastilah menggunakan waktu.

Sesuatu menjadi ibadah syaratnya minimal ada dua. Pertama, niatnya lurus lillaahi taala. Kedua, caranya baik dan benar sesuai yang diridhoi oleh Allah Swt dan dicontohkan oleh Rasulullah Saw.

Seseorang yang memiliki keyakinan bahwa hanya Allah Swt. yang kuasa memberi rezeki, ini akan membuatnya berbeda dengan orang yang sekadar bisnis biasa. Bagi pecinta akhirat, bisnis adalah ibadah. Sedangkan bagi pecinta dunia, akan berpikir bahwa rezeki itu datang dari makhluk.

Bagi orang yang yakin kepada Allah Swt, dia akan ajeg tak mudah goyah meyakini bahwa rezeki hanyalah datang dari Allah Swt. Kita diciptakan oleh Allah Swt secara lengkap dengan rezekinya. Allah Swt berfirman, Tidak ada satupun makhluk melata di bumi ini melainkan dicukupi rezekinya oleh Allah. (QS. Huud [11] : 6)

Artinya, Allah Swt tidaklah menyuruh kita untuk mencari rezeki, melainkan Allah menyuruh kita untuk menjemput rezeki. Ada perbedaan antara mencari dan menjemput. Kalau mencari itu antara ada dan tiada, sedangkan menjemput itu pasti ada, hanya saja apakah kita terampil untuk mendapatkannya ataukah tidak. Gambarannya seperti kita menjemput anak yang sedang berada di Blok M, tapi kita malah menjemput ke Blok C, tentu tidak akan bertemu.

Allah Swt telah menebarkan rezeki-Nya di alam raya ini, bahkan tidak jauh dari tempat kita berada. Hanya saja apakah cara kita mendapatkannya baik dan benar sesuai dengan tuntunan-Nya, maka itu akan mempengaruhi keberkahan rezeki kita.

Perniagaan atau bisnis kita adalah ladang amal sholeh bagi kita, cara kita menjemput rezeki yang telah Allah janjikan bagi kita. Maka, menjemputnya mestilah dengan langkah-langkah yang ada dalam ridho Allah Swt. Sehingga perniagaan kita tidak hanya mendatangkan kemanfaatan di dunia semata, melainkan juga menjadi investasi jangka panjang bagi kita di akhirat kelak. Mari, menjadikan perniagaan kita sebagai amal sholeh kita. [smstauhiid]

KH Abdullah Gymnastiar

INILAH MOZAIK

Perintah Menyempurnakan Takaran dan Timbangan

ISLAM adalah agama yang sempurna. Islam disamping sebuah aqidah, Islam pula sebagai syariah. Pada Islam, bertumpu segala urusan dan hukumnya. Inilah kemuliaan dan keluhuran Islam. Islam memerintahkan kita mentauhidkan Allah dan memurnikan tauhid hanya untuk Allah. Islam pula memerintahkan kita adil dan ridha dalam bermuamalah sesama manusia.

Bentuk muamalah sesama manusia yang Islam tidak berlepas dalam pengaturannya adalah muamalah berkenaan jual beli, sewa menyewa, hutang piutang, dan yang sejenisnya. Di antaranya adalah ketentuan menyempurnakan takaran dan timbangan.

Hal ini sebagaimana Allah Azza Wa Jalla perintahkan dalam QS Ar Rahman ayat 9, “Dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca itu“. Juga perintah Allah dalam surat Al Anam ayat 152, “Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Kami tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekadar kesanggupannya“.

Ini adalah ayat-ayat Allah yang memerintahkan kita untuk menyempurnakan takaran dan timbangan. Kecuali bila kita tidak sengaja, maka Allah tidak memikulkan beban/dosa kepada orang yang tidak sengaja melakukannya. Hal ini sebagaimana penjelasan Syaikh asy-Syinqithi rahimahullah, “Melalui ayat ini, Allah Azza wa Jalla memerintahkan penyempurnaan (isi) takaran dan timbangan dengan adil. Dan menyatakan bahwa siapa saja yang tanpa kesengajaan terjadi kekurangan pada takaran dan timbangannya, tidak mengapa karena tidak disengaja”.

Dalam ayat lain, Allah Azza wa Jalla menyebutkan bahwa memenuhi takaran dan timbangan lebih utama dan lebih baik manfaat. Allah Azza wa Jalla berfirman, “Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar, dan timbanglah dengan neraca yang benar. Itulah yang lebih utama bagimu dan lebih baik akibatnya” (Al-Isra:35).

Dalam ayat lain, perintah menyempurnakan takaran mengiringi perintah beribadah kepada Allah Azza wa Jalla. Sebab, pelaksanaan dua hal tersebut berarti memberikan hak kepada pemiliknya yang tepat, tanpa ada pengurangan.

Maka bertakwalah kepada Allah dengan melaksanakan perintahNya ini. Sebagai pembeli hendaknya tidak memaksa dan membebani penjual untuk melebihkan atau menambah takaran atau timbangan dengan bermacam dalih. Pun sebagai penjual, janganlah mengurangi hak pembeli dengan cara curang; dengan mengurangi takaran dan timbangan dengan berbagai macam muslihat hanya untuk mengambil keuntungan yang berlebih. Orang yang menyalahi ketentuan yang adil ini berarti telah menjerumuskan dirinya sendiri dalam ancaman kebinasaan. [*]

 

 

Sportivitas Berdagang: Hindari Kebohongan

Dalam buku Ensiklopedi Adab Islam diuraikan, sikap mutlak yang penting ditekankan seorang pedagang ialah tidak berbohong dengan kondisi barang dagangannya. Termasuk keharusan para penjual ialah memberikan informasi valid dan akurat perihal jualannya tersebut kepada pembeli.

Rasulullah pernah bersabda kepada pedagang yang menyembunyikan makanan yang basah. Konon, tindakan tersebut dilakukan sebagian oknum pedagang sebagai modus penipuan, terutama memperberat timbangan.

Riwayat yang dinukil Bukhari Muslim dari Abu Hurairah menyebutkan Rasulullah bersabda, “Mengapa engkau tidak meletakkan di bagian atas agar orang orang dapat melihatnya. Barang siapa yang melakukan penipuan, ia tidak termasuk golonganku.” Bila dengan sengaja melakukannya, ia berkewajiban memberikan ganti rugi atas tindakannya tersebut.

Sikap sportif pedagang juga harus dibuktikan dengan tidak memanipulasi berat timbangan. Tak diperbolehkan mengurangi seberat apapun barang yang tengah ditimbang. Biasanya, tindakan tidak sportif oleh oknum pedagang berupa pengurangan berat timbangan sehingga barang yang diserahkan ke konsumen akan berkurang, tetapi harganya tidak berubah.

Modus seperti ini atau serupa sangat dikecam oleh Allah Swt. Dalam surah al-Muthaffifin ayat 1-3, Allah menegaskan, “Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang. (Yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi.”

Oleh karena itu, agar terhindar dari sikap ketidaksportifan itu, Rasulullah memberikan alternatif cara, yaitu melebihkan timbangan. “Timbanglah dan lebihkanlah,” demikianlh sabda Rasulullah dalam hadis riwayat Ahmad dan Abu Dawud dari Suwaid bin Qais.

Bukti sportivitas juga bisa berupa tidak bersumpah tentang kualitas barang dagangan agar bisa laris manis. Rasulullah Saw melarang menjual barang dagangan yang disertai dengan sumpah, apalagi sumpah palsu karena termasuk salah satu dosa besar.

Dalam hadis yang diriwayatkan Muslim dari Abu Qatadah, Rasulullah bersabda, “Janganlah kalian banyak bersumpah ketika berdagang, sebab cara seperti itu melariskan dagangan lalu menghilangkan keberkahannya.”

Hak memilih

Konsumen adalah raja, berhak memutuskan transaksi perdagangan diteruskan atau tidaknya. Bagi pedagang, ia harus tetap sportif memberikan hak tersebut dan tidak memaksakan transaksi harus diteruskan.

Hak yang sama, di satu sisi juga dimiliki oleh pedagang, membatalkan atau melanjutkan transaksi. De ngan catatan, selama kedua belah pihak masih berada di lokasi transaksi. Dengan demikian, bila keduanya sepakat untuk barang tertentu, lalu berpisah maka barang yang telah berpindah tangan itu tak boleh dikembalikan.

Diriwayatkan Bukhari Muslim dari Hakim bin Hizam, Rasulullah bersabda, “Jual beli masih diberi pilihan (untuk meneruskan atau membatalkan) selama mereka belum berpisah. Apa bila mereka berdua jujur dan memperjelas jual belinya, jual beli mereka akan diberkahi. Namun, apabila mereka berdua menyembunyikan sesuatu dalam jual belinya dan berbohong, keberkahan tersebut dihapuskan.”

Berdagang dengan Allah

Rasulullah SAW terbiasa mengajarkan kepada sahabat-sahabatnya untuk senantiasa bersabar atas segala sesuatu yang menimpa mereka. Termasuk dalam masalah lapar sekalipun. Mereka senantiasa mengencangkan ikat pinggang. Bila tidak ada sama sekali yang dimakan, maka mereka pun akan berpuasa. Itulah yang dicontohkan Rasul SAW kepada sahabat-sahabatnya.

Suatu hari, seusai mendengarkan nasihat-nasihat yang disampaikan oleh Rasulullah SAW kepada para sahabatnya di Masjid Nabawi Madinah, maka pulanglah Ali bin Abi Thalib ke rumahnya. Sesampai di rumahnya, ia menemui istrinya, Fatimah, putri Rasulullah SAW, yang sedang duduk memintal benang.

“Wahai perempuan yang mulia, adakah suatu makanan yang dapat dimakan oleh suamimu ini? tanya Ali.

Fatimah pun menjawab, “Demi Allah, aku tidak mempunyai sesuatu pun. Tetapi, aku punya uang enam dirham yang akan kugunakan untuk membeli makanan buat Hasan dan Husein.”

“Tolong, berikanlah uang tersebut kepadaku,” ujar Ali. Kemudian Fatimah memberikan uang itu kepada Ali bin Abi Thalib.

Setelah itu, Ali pun segera keluar membawa uang enam dirham itu untuk membeli makanan buat Hasan dan Husein. Dalam perjalanan, Ali melihat seorang laki-laki yang sedang berdiri di dekat pohon kurma, dengan pakaian yang sangat kumal. Rupanya ia seorang pengemis. Melihat ada yang mendekat, pengemis itu pun meminta kepada Ali.

“Wahai tuan, siapakah yang hendak mengutangi Allah dengan piutang yang baik? ujar laki-laki tersebut seraya mengutip ayat Alquran surah Al-Baqarah [2] ayat 245.

“Siapakah yang mau memberikan pinjaman kepada Allah dengan pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan melipatgandakan pembayaran kepadanya dengan kelipatan yang lebih banyak. Dan Allah akan menyempitkan dan melapangkan (rezeki), dan kepada-Nyalah kamu dikembalikan.”

Maka secara spontan Ali pun memberikan semua yang dimilikinya itu tanpa sisa. Setelah itu, ia pun segera kembali ke rumahnya dengan hati yang sangat lapang dan penuh kepuasan.

Namun, ketika Fatimah menyaksikan suaminya yang pulang tanpa membawa apa pun, maka menangislah putri Rasulullah SAW ini. Menyaksikan hal itu, Ali pun bertanya, “Wahai perempuan yang mulia, mengapa engkau menangis?

Fatimah menjawab, “Wahai putra paman Rasulullah SAW, kulihat engkau tidak membawa apa-apa dari uang yang aku berikan tadi. Mengapa bisa demikian? Bagaimana makanan Hasan dan Husein?

Ali pun kemudian menyampaikan kejadian yang sesungguhnya. “Wahai perempuan yang mulia, sesungguhnya uang itu telah aku pinjamkan kepada Allah,” jelas Ali.

Mendengar hal itu, maka Fatimah pun tersenyum seraya berkata, Engkau benar wahai suamiku. Maka selesailah untuk sementara persoalan yang mereka hadapi. Namun, bagaimana dengan hari esok?

Ali pun kemudian berpamitan pada Fatimah. Ia bermaksud menemui Rasulullah SAW. Di tengah perjalanan, ia berjumpa dengan seorang Arab dusun yang sedang menuntun seekor unta betina.

Orang Arab dusun tersebut berkata kepada Ali. “Hai Bapak Hasan, belilah unta ini dariku.” Ali menjawab,”Aku tidak memiliki uang.”

Gampang saja. Beli saja unta ini, dan nanti engkau bisa membayarnya setelah laku, kata Arab dusun itu. “Berapa engkau akan menjual unta ini? tanya Ali.

“Seratus dirham,” jawabnya.

“Baiklah. Kalau begitu aku membelinya,”kata Ali.

 

Setelah semuanya disepakati, berpisahlah Ali dengan orang Arab dusun tersebut. Ali lalu membawa unta betina itu untuk dijual. Saat menuntun unta tersebut, tiba-tiba datanglah orang Arab dusun lainnya. Ia bertanya kepada Ali. “Wahai bapak Hasan, apakah engkau akan menjual unta ini.” Ali pun mengiyakannya.

Berapa engkau akan menjualnya? tanya Arab dusun itu.

Seratus enam puluh dirham, kata Ali. (Dalam riwayat lain disebutkan, jumlahnya hingga tiga ratus dirham).

Baiklah, aku beli unta itu, jawab Arab dusun tersebut. Maka ia pun membayar harga unta itu kepada Ali bin Abi Thalib.

Setelah itu, Ali kemudian mencari Arab dusun yang pertama. Dan saat bertemu, ia serahkan harga unta yang dibelinya itu dengan harga seratus dirham.

Selanjutnya, Ali pun pulang dan bertemu dengan istri tercinta, Sayyidah Fatimah az-Zahra. Ali kemudian memberikan semua uang yang didapatkannya hari itu kepada Fatimah. Istrinya heran melihat dirham yang demikian banyak itu. Ia pun bertanya kepada Ali dari mana sumber dana yang didapatkan itu.

Inilah hasil kita berdagang dengan Allah, kata Ali. Maka tersenyumlah Fatimah. Ali kemudian menceritakan peristiwa yang dialaminya hari itu kepada Fatimah. Mereka bertanya-tanya, siapakah gerangan kedua orang Arab dusun itu? Ali kemudian mendatangi Rasulullah SAW dan menceritakan hal itu.

Rasul menjelaskan bahwa orang yang menjual unta itu adalah malaikat Jibril, dan yang membelinya adalah malaikat Mikail. Sedangkan unta itu adalah tunggangan Fatimah di hari kiamat.

 

Disarikan dari buku Permata Kisah Teladan Umat,

REPUBLIKA

Nikmatnya Berdagang, Ini “Seni”nya…

Dagang itu bukan perkara laku sedikit atau banyak..

Dagang itu bicara tentang mental..
Mental bahwa dagang :
tak selalu laku,
tak selalu mulus..
kadang sepi pembeli..
kadang untung dikit..
Seringkali juga rugi banyak..

Tapiii….
Seni berdagang tetaplah indah…

Saat laku…
Rejeki itu derasnya sederas air hujan yang paling deraas…☺

Tapiii…
saat sepi…
sepinya seperti kemarau yang kering, sekering kerontang…
Juga hening…

Dan inilah yang mesti dijalani, bagaimana pun Allah menentukan takdir-Nya

Dan yang harus terus diyakini adalah:

Inilah jalan nafkah,
yang terkandung berlimpah di dalamnya banyak berkah…

Inilah jalan nafkah,
yang bisa memperbanyak teman & menambah kawan juga menjalin tali siraturrohim yang erat agar sehati..

Inilah jalan nafkah,
Yang Rasul dan para Sahabat melakukannya…

Inilah jalan nafkah,
Yang 9 pintunya terbuka..
Untuk mereka yang mau bersusah payah tanpa keluh kesah…

Dan juga yang mesti diingat..
Harta hasil dagang, bukanlah kekayaan apa yang bisa kita belanjakan…

Tapi…
Sebesar apa dari harta itu bisa bermanfaat untuk membahagiakan keluarga juga orang lain..

Karena kebahagiaan hakikatnya adalah…
saat kita mampu membahagiakan keluarga juga orang lain…

Semakin banyak uang yang kita kumpulkan, semakin banyak orang yang bisa kita bahagiakan…

Jadi…
Teruslah berdagang
Teruslah memburu omzet juga profit tentu juga sedekah yang banyak…

Sedikit banyak hasil yang di dapat tetap indah, karena itu adalah seni berdagang…

Sepinya hasil dagangan, memberikan kita pahala bersabar.
Larisnya dagangan, memberikan kita ladang pahala bersyukur

*SELAMAT MENJADI PEDAGANG YG SEHAT & PROFESIONAL & TETAP SEMANGAT…*

_Selamat Hari Jualan_

ERA MUSLIM