Selain memperhatikan syarat dan juga waktu penyembelihan, Islam juga menjelaskan tentang tata cara pembagian daging kurban yang tepat sesuai syariat.
Imam Syafii dalam kitab Fikih Manhaji menjelaskan, apabila hewan kurban yang disembelih itu merupakan sembelihan wajib (berupa nazar sembelihan tertentu), maka orang yang berkurban beserta orang yang wajib ia nafkahi tidak diperbolehkan untuk mencicipinya. Apabila salah seorang dari mereka ada yang mencicipinya, ia wajib membayar denda atau nilai yang sama dengan yang ia makan.
Sementara itu, jika hewan tersebut merupakan sembelihan sunnah, orang yang berkurban boleh mencicipinya sedikit agar dapat merasakan keberkahannya. Adapun sisanya harus disedekahkan. Ia bahkan boleh makan sepertiga, menyedekahkan sepertiga, dan sepertiga sisanya untuk orang-orang yang papa. Sepertiga yang ia sedekahkan dapat ia berikan kepada para sahabat dan tetangganya walaupun kaya.
Namun, daging yang diberikan kepada yang kaya itu hanya untuk dimakan dan tidak boleh dijual. Sebaliknya, daging yang diberikan kepada orang miskin merupakan hak milik sehingga boleh dikonsumsi atau diapakan saja.
Dasarnya adalah firman Allah dalam Alquran Surah Al-Hajj ayat 36, “Dan unta-unta itu Kami jadikan untukmu bagian dari syiar agama Allah, kamu banyak memperoleh kebaikan kepadanya. Maka sebutlah nama Allah dalam keadaan berdiri. Kemudian apabila telah rebah (mati), maka makanlah sebagiannya dan berilah makan orang yang merasa cukup dengan apa yang ada padanya dan orang yang meminta,”.
Di samping itu, orang yang berkurban dibolehkan untuk menyumbangkan kulit hewan atau menggunakannya sendiri. Akan tetapi tidak boleh baginya menjual atau memberikan kulit kurban pada penyembelih sebagai upah karena itu merupakan pengurangan kurban yang merusaknya.
Hal ini didasarkan pada hadis riwayat Baihaqi bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda, “Orang yang menjual kulit hewan kurbannya tidak ada kurban baginya,”.