Rambu-Rambu Berkurban

Shahibul kurban adalah sebutan (istilah) bagi orang yang hendak berkurban atau melaksanakan ibadah kurban. Menjadi shahibul kurban ini sangat dianjurkan bagi orang-orang yang memiliki kelapangan harta yang cukup atau berlebih. Allah Ta’ala berfirman,

فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ

Salatlah kepada Rabbmu dan berkurbanlah.” (QS. Al-Kautsar: 2)

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda,

مَنْ وَجَدَ سَعَةً فَلَمْ يُضَحِّ فَلا يَقْرَبَنَّ مُصَلاَّنَا

Barangsiapa mendapatkan kelapangan tetapi tidak berkurban, maka janganlah dia mendekati tempat salat kami.” (HR. Ahmad dalam Musnad-nya no. 8273, hadis hasan Lihat Takhrij Musykilail-Faqr no. 102)

Dalam berkurban, shahibul kurban perlu memerhatikan rambu-rambu terkait perintah dan larangan yang telah diatur dalam syariat Islam yang indah dan kaffah ini. Aturan dan larangan yang ada tentu mengandung hikmah, baik diketahui maupun tidak. Semoga dengan melaksanakan dan mengikuti aturan Allah dan Rasul-Nya, ibadah kurban kita menjadi semakin lebih sempurna dan diterima Allah Ta’ala.

Larangan memotong kuku dan mencukur rambut

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَن كانَ لَهُ ذِبحٌ يَذبَـحُه فَإِذَا أَهَلَّ هِلاَلُ ذِى الْحِجَّةِ فَلاَ يَأْخُذَنَّ مِنْ شَعْرِهِ وَلاَ مِنْ أَظْفَارِهِ شَيْئًا حَتَّى يُضَحِّىَ

”Barangsiapa yang telah memiliki hewan yang hendak dikurbankan, apabila hilal bulan Zulhijah telah muncul (telah masuk tanggal 1 Zulhijah), maka janganlah dia memotong sedikit pun bagian dari rambut dan kukunya hingga dia selesai menyembelih.” (HR. Muslim)

Larangan dalam hadis tersebut ditujukan untuk shahibul kurban, bukan rambut dan kuku hewan kurban. Kata ganti yang digunakan dalam kalimat ‘شَعْرِهِ’ dan ‘أَظْفَارِهِ’ adalah kata ganti tunggal untuk jenis mudzakar (laki-laki), yaitu kata ganti ‘هـ’. Kata ganti tersebut kembali kepada pemilik hewan, bukan hewannya.

Larangan yang dimaksud adalah larangan baik mencukur gundul atau mencukur sebagian saja, atau sekedar mencabutinya. Baik rambut itu tumbuh di kepala, kumis, sekitar kemaluan, maupun di ketiak. (Lihat Shahih Fiqih Sunnah, 2: 376)

Perlu diperhatikan juga bahwa larangan tersebut hanya berlaku untuk kepala keluarga (shahibul kurban) dan tidak berlaku bagi seluruh anggota keluarganya. (Lihat Syarhul Mumti’, 7: 529)

Hikmah dari larangan di atas, menurut syafi’iyah adalah agar rambut dan kuku yang hendak dipotong tetap ada hingga hewan kurban disembelih. Demikian supaya semakin banyak anggota tubuh yang terbebas dari api neraka. Allahu a’lam.

Jangan menjual daging dan kulit hewan kurban

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

من باع جلد أضحيته فلا أضحية له

Barangsiapa yang menjual kulit hewan kurbannya, maka ibadah kurbannya tidak ada nilainya. (HR. Al-Hakim no. 2390 dan Al-Baihaqi. Hadis hasan)

Barter (menukar) dan menjual kulit dan kepala hewan kurban untuk ditukar dengan daging termasuk jual beli yang dilarang. Karena tukar-menukar termasuk transaksi jual beli, meskipun dengan selain uang. (Lihat Tanwirul ‘Ainain bi Ahkamil Adhohi wal ‘Idain, hal. 373)

Memperjualbelikan kulit hewan kurban yang belum dibagikan adalah transaksi yang tidak sah. Kecuali setelah dibagikan, orang yang menerima kulit dibolehkan memanfaatkan kulit sesuai keinginannya, baik dijual maupun untuk dimanfaatkan yang lain, karena ini sudah menjadi haknya. (Lihat Fiqh Syafi’i, 2: 311)

Pantangan mengupah jagal (penyembelih) dengan bagian tubuh hewan kurban

Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata,

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَهُ أَنْ يَقُومَ عَلَى بُدْنِهِ، وَأَنْ يَقْسِمَ بُدْنَهُ كُلَّهَا لُحُومَهَا وَجُلُودَهَا وَجِلَالَهَا، وَلَا يُعْطِيَ فِي جِزَارَتِهَا شَيْئًا

“Beliau pernah diperintahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk mengurusi penyembelihan untanya dan agar membagikan seluruh bagian dari sembelihan onta tersebut, baik yang berupa daging, kulit tubuh maupun pelana. Dan dia tidak boleh memberikannya kepada jagal barang sedikit pun.” (HR. Bukhari dan Muslim) dan dalam lafaz lainnya beliau berkata, “Kami mengupahnya dari uang kami pribadi.” (HR. Muslim)

Dan ini merupakan pendapat mayoritas ulama. (lihat Shahih Fiqih Sunnah, 2: 379)

Akan tetapi, jika diberikan cuma-cuma dan bukan sebagai upah, maka jagal diperbolehkan memanfaatkannya sekehendaknya, bisa dimakan, dijual atau yang lainnya. Demikian juga bila hasil kurban diserahkan kepada jagal karena ia miskin atau sebagai hadiah, maka tidaklah mengapa.

Baca juga: Hukum Memberi Hadiah Daging Kurban kepada Tukang Jagal

Menggagalkan hewan kurban yang telah ditentukan

Jika sudah berniat (diucapkan dengan lisan atau ditunjukkan suatu perbuatan) dan bahkan sudah membeli hewan yang memang dikukuhkan untuk berkurban, maka tidak boleh digagalkan dan baiknya tetap konsisten untuk berkurban. Namun, jika ingin menukarkan hewan kurban dengan hewan yang lebih baik, maka diperbolehkan. (Lihat Ahkamul Udhiyati, hal. 17-18)

Anjuran siapa saja yang menerima hewan kurban

Allah Ta’ala telah menerangkan kepada siapa saja daging kurban tersebut diberikan dalam firman-Nya,

وَالْبُدْنَ جَعَلْنَاهَا لَكُمْ مِنْ شَعَائِرِ اللَّهِ لَكُمْ فِيهَا خَيْرٌ فَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهَا صَوَافَّ فَإِذَا وَجَبَتْ جُنُوبُهَا فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْقَانِعَ وَالْمُعْتَرَّ

Telah Kami jadikan untuk kamu unta-unta itu sebahagian dari syiar Allah. Kamu memperoleh kebaikan yang banyak padanya, maka sebutlah olehmu nama Allah ketika kamu menyembelihnya dalam keadaan berdiri (dan telah terikat). Kemudian apabila telah mati, maka makanlah sebagiannya dan beri daging itu untuk orang (miskin) yang tidak meminta-minta dan orang yang meminta. (QS. Al-Hajj: 36)

Dari ayat di atas, Allah berikan tiga pilihan terkait pendistribusian hewan kurban:

Pertama: Dimakan sendiri dan keluarga atau kerabat (ini yang disunahkan).

Kedua: Diberikan kepada orang yang tidak mampu sebagai sedekah (ini yang diwajibkan).

Ketiga: Diberikan kepada orang yang mampu sebagai hadiah (ini yang mubah). (Lihat Ahkamul Udhiyati, hal. 24)

Hal yang sama juga disabdakan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

كُلُوا وَأَطْعِمُوا وَادَّخِرُوا

“Makanlah, berikan kepada orang lain, dan silakan simpan.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Al-Lajnah Ad-Da-imah (Komisi Fatwa Saudi Arabia) mengatakan, “Hasil sembelihan kurban dianjurkan: (1) Dimakan oleh shahibul kurban. (2) Sebagian lainnya diberikan kepada fakir miskin untuk memenuhi kebutuhan mereka pada hari itu. (3) Sebagian lagi diberikan kepada kerabat agar lebih mempererat tali silaturahmi. (4) Sebagian lagi diberikan pada tetangga dalam rangka berbuat baik. (5) Juga sebagian lagi diberikan (sebagai hadiah) pada saudara muslim lainnya agar semakin memperkuat ukhuwah.” (Fatwa no. 5612, 11: 423-424)

***

Penulis: Arif Muhammad Nurwijaya, S.Pd.

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/85539-rambu-rambu-berkurban.html

Pembagian Daging Kurban Menurut Imam Syafii

Selain memperhatikan syarat dan juga waktu penyembelihan, Islam juga menjelaskan tentang tata cara pembagian daging kurban yang tepat sesuai syariat.

Imam Syafii dalam kitab Fikih Manhaji menjelaskan, apabila hewan kurban yang disembelih itu merupakan sembelihan wajib (berupa nazar sembelihan tertentu), maka orang yang berkurban beserta orang yang wajib ia nafkahi tidak diperbolehkan untuk mencicipinya. Apabila salah seorang dari mereka ada yang mencicipinya, ia wajib membayar denda atau nilai yang sama dengan yang ia makan. 

Sementara itu, jika hewan tersebut merupakan sembelihan sunnah, orang yang berkurban boleh mencicipinya sedikit agar dapat merasakan keberkahannya. Adapun sisanya harus disedekahkan. Ia bahkan boleh makan sepertiga, menyedekahkan sepertiga, dan sepertiga sisanya untuk orang-orang yang papa. Sepertiga yang ia sedekahkan dapat ia berikan kepada para sahabat dan tetangganya walaupun kaya. 

Namun, daging yang diberikan kepada yang kaya itu hanya untuk dimakan dan tidak boleh dijual. Sebaliknya, daging yang diberikan kepada orang miskin merupakan hak milik sehingga boleh dikonsumsi atau diapakan saja. 

Dasarnya adalah firman Allah dalam Alquran Surah Al-Hajj ayat 36, “Dan unta-unta itu Kami jadikan untukmu bagian dari syiar agama Allah, kamu banyak memperoleh kebaikan kepadanya. Maka sebutlah nama Allah dalam keadaan berdiri. Kemudian apabila telah rebah (mati), maka makanlah sebagiannya dan berilah makan orang yang merasa cukup dengan apa yang ada padanya dan orang yang meminta,”. 

Di samping itu, orang yang berkurban dibolehkan untuk menyumbangkan kulit hewan atau menggunakannya sendiri. Akan tetapi tidak boleh baginya menjual atau memberikan kulit kurban pada penyembelih sebagai upah karena itu merupakan pengurangan kurban yang merusaknya.

Hal ini didasarkan pada hadis riwayat Baihaqi bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda, “Orang yang menjual kulit hewan kurbannya tidak ada kurban baginya,”. 

IHRAM

Hukum Qurban Bergilir Antar Anggota Keluarga

Kebiasaan qurban bergilir ini marak di masyarakat kita. Yaitu misalnya satu keluarga terdiri dari suami, istri dan dua anak. Maka tahun ini yang berqurban suami, tahun depan istri, tahun setelahnya anak pertama, tahun setelahnya lagi anak kedua, dan seterusnya. Ini menjadi hal yang unik, karena kami belum mendapatkan hal seperti ini di kitab-kitab fikih.

Dan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam selalu berqurban setiap tahun. Namun tidak dinukil riwayat bahwasanya beliau mempergilirkan qurban, kepada istri-istrinya dan anak-anaknya. Bahkan beliau menganggap qurban beliau sudah mencukupi seluruh keluarganya. Dari Anas bin Malik radhiallahu’anhu, beliau berkata:

ضحَّى رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ بكبشَيْنِ أقرنيْنِ أملحيْنِ أحدِهما عنهُ وعن أهلِ بيتِه والآخرِ عنهُ وعمَّن لم يُضَحِّ من أمَّتِه

“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam berqurban dengan dua domba gemuk yang bertanduk salah satunya untuk diri beliau dan keluarganya dan yang lain untuk orang-orang yang tidak berqurban dari umatnya” (HR. Ibnu Majah no.3122, dihasankan oleh Al Albani dalam Irwaul Ghalil [4/353]).

Demikian juga para sahabat Nabi, yang berkurban di antara mereka adalah para kepala keluarga, dan mereka juga tidak mempergilirkan qurban pada anak dan istri mereka. Dari Abu Ayyub Al Anshari radhiallahu’anhu, ia berkata:

كانَ الرَّجلُ في عَهدِ النَّبيِّ صلَّى اللَّهُ عليهِ وسلَّمَ يُضحِّي بالشَّاةِ عنهُ وعن أَهلِ بيتِهِ فيأْكلونَ ويَطعَمونَ ثمَّ تباهى النَّاسُ فصارَ كما ترى

“Dahulu di masa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, SEORANG LELAKI berqurban dengan satu kambing yang disembelih untuk dirinya dan keluarganya. Mereka makan dan sembelihan tersebut dan memberi makan orang lain.

Kemudian setelah itu orang-orang mulai berbangga-bangga (dengan banyaknya hewan qurban) sebagaimana engkau lihat” (HR. Tirmidzi no.1505, Ibnu Majah no. 3147, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Ibnu Majah).

Syaikh Ibnu Al Utsaimin ditanya: “apakah setiap anggota keluarga dituntut untuk berqurban atas diri mereka masing-masing?”. Beliau menjawab: لا.السنة أن يضحي رب البيت

عمن في البيت، لا أن كل واحد من أهل البيت يضحي، ودليل ذلك أن رسول الله صلى الله عليه وسلم ضحى بشاة واحدة عنه وعن أهل بيته، وقال أبو أيوب الأنصاري رضي الله عنه: ( كان الرجل على عهد النبي صلى الله عليه وسلم يضحي بالشاة عنه وعن أهل بيته ) ولو كان مشروعاً لكل واحد من أهل البيت أن يضحي لكان ذلك ثابتاً في السنة، ومعلوم أن زوجات الرسول عليه الصلاة والسلام لم تقم واحدة منهن تضحي اكتفاء بأضحية النبي صلى الله عليه وسلم

“Tidak. Yang sesuai sunnah, kepala rumah tangga lah yang berkurban. Bukan setiap anggota keluarga. Dalilnya, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam berqurban dengan satu kambing untuk dirinya dan keluarganya.

Dan Abu Ayyub Al Anshari berkata: “Dahulu di masa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, SEORANG LELAKI berqurban dengan satu kambing yang disembelih untuk dirinya dan keluarganya”.

Andaikan disyariatkan setiap anggota keluarga untuk berkurban atas dirinya masing-masing tentu sudah ada dalilnya dari sunnah Nabi. Dan kita ketahui bersama, bahwa para istri Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam tidak ada yang berqurban, karena sudah mecukupkan diri dengan qurban Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam“. Beliau juga mengatakan:

فإن قال قائل: لعل ذلك لفقرهم؟ فالجواب: إن هذا احتمال وارد لكنه غير

متعين، بل إنه جاءت الآثار بأن من أزواج الرسول عليه الصلاة والسلام من كانت غنية

“Jika ada orang yang berkata: mungkin itu karena Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam sangat miskin? Maka kita jawab: memang kemungkinan tersebut ada, namun tidak bisa kita pastikan. Bahkan terdapat banyak atsar yang menunjukkan bahwa para istri-istri Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam adalah orang-orang kaya“ (Durus Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, 8/5) [Versi online simak di islamport.com].

Dan perlu diperhatikan bahwa ibadah qurban ini wajib ikhlas hanya untuk meraih wajah Allah Ta’ala. Hendaknya jauhkan perasaan ingin dilihat, ingin dikenal pernah berqurban, ingin nampak namanya atau semisalnya yang merupakan riya dan bisa menghanguskan pahala amalan.

Karena terkadang alasan orang berqurban atas nama istrinya atau anaknya karena anak dan istrinya belum pernah nampak namanya dalam list shahibul qurban. Allahul musta’an. Oleh karena itulah dalam hadits Abu Ayyub di atas disebutkan:

ثمَّ تباهى النَّاسُ فصارَ كما ترى

“Kemudian setelah itu orang-orang mulai berbangga-bangga sebagaimana engkau lihat” Yaitu menjadikan ibadah qurban sebagai ajang berbangga di hadapan orang banyak. Di sisi lain, ulama Malikiyah dan sebagian ulama Syafi’iyyah mensyaratkan yang berqurban haruslah yang memberikan nafkah, barulah mencukupi untuk satu keluarga. Dalam kitab Al Muntaqa karya Al Baji disebutkan: والأصل في ذلك حديث أبي أيوب كنا

نضحي بالشاة الواحدة يذبحها الرجل عنه وعن أهل بيته زاد ابن المواز عن مالك وولديه الفقيرين قال ابن حبيب: وله أن يدخل في أضحيته من بلغ من ولده وإن كان غنيا إذا كان في نفقته وبيته

“Landasan dari hal ini adalah hadits Abu Ayyub: ‘dahulu kami biasa berqurban dengan satu kambing yang disembelih SEORANG LELAKI untuk dirinya dan keluarganya’. Dalam riwayat Ibnu Mawaz dari Malik adal tambahan: ‘dan orang tuanya dan orang fakir yang ia santuni’. Ibnu Habib mengatakan:

‘Maka boleh meniatkan qurban untuk orang lain yang bukan keluarganya, dan ia orang yang kaya, jika memang orang lain tersebut biasa ia nafkahi dan tinggal di rumahnya’” Sehingga dengan pendapat ini, jika yang berqurban adalah istri atau anak, maka qurban tidak mencukupi seluruh keluarga. Walhasil, kami bertanya kepada beberapa ulama dalam masalah ini, dengan teks pertanyaan,

“wahai Syaikh, terkait qurban. Diantara kebiasaan di negeri kami, seorang lelaki misalnya tahun ini berqurban, namun tahun depan dia tidak berqurban melainkan istrinya yang berqurban. Tahun depannya lagi anak pertamanya, dan terus demikian secara bergiliran. Apakah ini baik?”.

Syaikh Walid Saifun Nashr menjawab:

لا أعلم له أصلا “Saya tidak mengetahui ada landasan dari perbuatan ini” [Kami tanyakan melalui Whatsapp Messenger] Syaikh Dr. Aziz Farhan Al Anazi menjawab: الأصل أن على ان أهل كل بيت أضحية والذي يتولى ذلك الوالد لانه هو

المكلف بالإنفاق على زوجته واولاده

“Asalnya tuntutan untuk berqurban itu pada setiap keluarga, dan yang bertanggung-jawab untuk menunaikannya adalah suami karena dia yang wajib memberikan nafkah kepada istri-istri dan anak-anaknya” [Simak di status twitter].

Adapun mengenai keabsahan qurban jika yang berqurban bukan kepala keluarga namun salah seorang dari anggota keluarga, maka tetap sah jika syarat dan rukun qurban terpenuhi. Semisal jika istrinya yang berqurban atau anaknya, maka boleh dan tetap sah. Namun kurang utama, karena menyelisihi sunnah Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dan para sahabatnya.

Wallahu a’lam. ***

Penulis: Yulian Purnama


Sumber: https://muslim.or.id/50577-hukum-qurban-bergilir-antara-anggota-keluarga.html

Komisi Fatwa MUI: Hewan yang Terkena Penyakit Mulu dan Kuku Tidak Sah Dijadika Kurban

Hewan yang terkena Foot and Mouth Disease atau Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) dan gejala klinis kategori berat tidak sah untuk dijadikan hewan kurban, Ketua MUI Bidang Fatwa, KH Asrorun Niam Sholeh. Demikian disampaikan Komisi Fatwa MUI Pusat saat memberikan paparan dalam konferensi pers Fatwa Nomor 32 Tahun 2022 tentang Hukum dan Panduan Pelaksanaan Ibadah Kurban saat Kondisi Wabah PMK, Selasa (31/05) di Gedung MUI Pusat, Jakarta.

“Hewan yang terkena PMK dengan gejala klinis kategori berat seperti lepuh pada kuku hingga terlepas dan/atau menyebabkan pincang atau tidak bisa berjalan serta menyebabkan sangat kurus, hukumnya tidak sah dijadikan hewan kurban, ” ungkap Asrorun Niam Sholeh.

Menurut Komisi Fatwa MUI, hewan baru sah dikorbankan bila sudah sembuh dari PMK pada hari-hari berkurban yaitu 10, 11, 12, dan 13 Dzulhijjah. Bila hewan sembuh dari PMK setelah tanggal tersebut, maka penyembelihan hewan tersebut terhitung sebagai sedekah.

“Hewan yang terkena PMK dengan gejala klinis kategori berat dan sembuh PMK dalam waktu yang diperbolehkan kurban (tanggal 10 sampai 13 Dzulhijjah), maka hewan tersebut sah dijadikan hewan kurban, ” ungkapnya.

Niam menyampaikan, ketentuan-ketentuan khusus ini hanya pada hewan PMK kategori berat. Sementara pada PMK kategori ringan, ditandai dengan lepuh ringan pada celah kuku, kondisi lesu, tidak nafsu makan, dan keluar air liur lebih dari biasanya, hukumnya sah dijadikan hewan kurban.

Dia juga menambahkan, pelubangan pada telinga hewan dengan ear tag atau pemberian cap pada tubuh hewan tetap membuat hewan tersebut sah dikorbankan. “Pelubangan pada telinga hewan dengan ear tag atau pemberian cap pada tubuhnya sebagai tanda hewan sudah divaksin atau sebagai identitasnya, tidak menghalangi keabsahan hewan kurban, “ ungkapnya.

Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) atau dikenal dengan Foot and Mouth Disease adalah penyakit hewan yang disebabkan oleh virus yang sangat menular dan menyerang hewan berkuku genap/belah seperti sapi, kerbau, dan PMK dengan gejala klinis kategori berat adalah penyakit mulut dan kuku pada hewan yang antara lain ditandai dengan lepuh pada kuku hingga terlepas dan/atau menyebabkan pincang/tidak bisa berjalan, dan menyebabkan kurus permanen, serta proses penyembuhannya butuh waktu lama atau bahkan mungkin tidak dapat disembuhkan.

PMK dengan gejala klinis kategori ringan adalah penyakit mulut dan kuku pada hewan yang antara lain ditandai dengan lesu, tidak nafsu makan, demam, lepuh pada sekitar dan dalam mulut (lidah, gusi), mengeluarkan air liur berlebihan dari mulut namun tidak sampai menyebabkan pincang, tidak kurus, dan dapat disembuhkan dengan pengobatan luka agar tidak terjadi infeksi sekunder, dan pemberian vitamin dan mineral atau herbal untuk menjaga daya tahan tubuh dalam waktu sekitar 4-7 hari.*

HIDAYATULLAH

Hukum Minta Didoakan Setelah Memberi Daging Kurban

Di antara kebiasaan masyarakat ketika memberi sedekah adalah minta untuk didoakan, termasuk ketika memberi daging kurban. Ketika seseorang berkurban dan memberikan daging kurban, ia meminta kepada penerima daging kurban agar dirinya didoakan. Doa yang diminta biasanya agar dirinya sehat, rizekinya dilancarkan dan beragam permintaan doa lainnya. Sebenarnya, bagaimana hukum minta didoakan setelah memberi daging kurban, apakah boleh?

Dalam Islam, meminta didoakan kepada orang lain, terutama setelah memberi daging kurban dan sedekah lainnya, hukumnya adalah boleh. Tidak masalah bagi seseorang meminta didoakan kepada penerima daging kurban dan penerima sedekah agar dikaruniakan kesembuhan dari penyakit, terkabulnya hajat dan lain sebagainya.

Ini sebagaimana disebutkan dalam Darul Ifta’ Al-Mishriyah berikut;

السؤال: إذا تصدق شخص على فقير، سواء كان يعرفه أو لا، وطلب منه أن يدعو له بحاجة معينة، فهل يجوز ذلك؟

الجواب: لا حرج في طلب المسلم الدعاء من غيره، فقد قال النبي عليه الصلاة والسلام: دَعْوَةُ الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ لِأَخِيهِ بِظَهْرِ الْغَيْبِ مُسْتَجَابَةٌ، عِنْدَ رَأْسِهِ مَلَكٌ مُوَكَّلٌ كُلَّمَا دَعَا لِأَخِيهِ بِخَيْرٍ، قَالَ الْمَلَكُ الْمُوَكَّلُ بِهِ: آمِينَ وَلَكَ بِمِثْلٍ

Pertanyaan: Jika seseorang bersedekah kepada orang fakir, baik dia mengetahuinya atau tidak, dan dia meminta kepada orang fakir tersebut agar dirinya didoakan untuk terkabulnya hajat tertentu, apakah hal itu boleh?

Jawaban: Tidak masalah seorang muslim meminta didoakan kepada orang lain. Nabi Saw bersabda; Doa seorang muslim kepada saudaranya ketika saudaranya tidak mengetahuinya adalah doa yang mustajab (terkabulkan). Di sisinya ada malaikat setiap kali dia berdoa kepada saudaranya dengan kebaikan. Malaikat tersebut berkataAmin, engkau akan mendapatkan yang sama dengannya.

Selain itu, meski tidak diminta oleh pemberi daging kurban, penerima daging kurban memang dianjurkan untuk mendoakannya. Dalam Islam, ketika seseorang menerima sedekah dari orang lain, maka dia dianjurkan untuk mendoakan pemberi sedekah, baik diminta atau tidak.

Nabi Saw ketika menerima sedekah dari orang lain, maka beliau langsung mendoakan orang tersebut tanpa diminta terlebih dulu. Ini sebagaimana disebutkan dalam hadis riwayat Imam Al-Bukhari dari Abdullah bin Abi Aufa, dia berkata;

أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا أُتِيَ بِصَدَقَةٍ قَالَ: اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَيْهِمْ. وَإِنَّ أَبِي أَتَاهُ بِصَدَقَتِهِ فَقَالَ: اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى آلِ أَبِي أَوْفَى

Jika sedekah dibawa ke hadapan Nabi Saw, beliau pun berdoa; Ya Allah, limpahkanlah rahmat kepada mereka. Ayahku pernah membawa sedekahnya kepada Nabi Saw, maka beliau pun berdoa; Ya Allah, limpahkanlah rahmat kepada keluarga Abu Aufa.

BINCANG SYARIAH

Kurban Berbagi Kebahagiaan

Pekurban telah memberikan kebahagiaan dan kegembiraan kepada orang lain melalui daging kurban yang diberikan.

Wabah Covid-19 telah memukul sisi-sisi kehidupan kita. Banyak usaha gulung tikar, para pekerja dirumahkan, dan sulit sekali mencari lapangan pekerjaan dalam situasi seperti saat ini.

Banyak orang yang bersedih, merana, dan kehidupan ekonomi keluarga begitu berat. Dalam situasi ini, kita kembali kedatangan hari raya Idul Adha atau Idul Qurban. Hari orang beriman dianjurkan untuk berkurban, menyembelih sapi, kambing, atau domba, kemudian dibagi-bagikan ke lingkungan sekitar.

Di antara hikmah penting Idul Adha adalah memberikan kebahagiaan kepada orang lain. Idul Adha tidak sekadar upaya pendekatan diri kepada Allah atau meneladan sunah Nabi Ibrahim terhadap putranya, Nabi Ismail, yang kemudian dikukuhkan menjadi syariat Islam oleh Rasulullah.

Jadi, pahala orang yang berkurban bukan karena semata-mata mengikuti perintah Allah, tapi juga karena pelakunya telah memberikan kebahagiaan dan kegembiraan kepada orang lain melalui daging kurban yang diberikan.

Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya amal yang paling dicintai Allah setelah amal wajib adalah memberikan kebahagiaan kepada sesama Muslim.” (HR ath-Thabrani). Beliau menegaskan bahwa memberikan kebahagiaan kepada orang lain, apalagi orang itu adalah saudaranya sesama Muslim, termasuk amal yang paling Allah cintai.

Pertama, hal tersebut merupakan perwujudan rasa cinta kepada saudaranya sesama Muslim. Kecintaan inilah yang oleh Rasulullah sebut sebagai salah satu sarana untuk mendapatkan lezatnya iman.

“Tiga hal yang jika dilakukan oleh seseorang, niscaya ia akan mendapatkan lezatnya iman; pertama, mencintai Allah dan Rasul-Nya lebih dari cintanya kepada selain keduanya. Kedua, mencintai saudaranya karena Allah. Ketiga, benci kembali kepada kekufuran setelah Allah mengentaskannya dari sana sebagaimana ia benci dicampakkan ke dalam api neraka.” (HR al-Bukhari).

Kedua, bentuk kepedulian dan empati sosial. Kepedulian inilah yang oleh Allah sebut sebagai sikap saling menolong di antara sesama dalam hal kebaikan. Allah berfirman, “Dan, tolong-menolonglah kalian dalam kebaikan dan ketakwaan; jangan kalian tolong-menolong dalam dosa dan permusuhan.” (QS al-Ma’idah [5]: 2).

Idul Adha dengan demikian mencakup dua ibadah sekaligus: ibadah mahdhah, pengabdian dan pendekatan diri kepada Allah, dan ibadah sosial atau ghair mahdhah, yaitu kepedulian sosial. Peduli kepada sesama manusia dan peduli kepada sesama saudara Muslim.

Kepedulian yang membangkitkan kesadaran untuk mencintai sesama dan memberikan kebahagiaan. Melalui pemberian daging kurban, di situ ada momen kebersamaan dan persaudaraan yang dijalin dan tak putus, meski jarak sosial pada masa pandemi ini agak direnggangkan.

Jarak sosial memang harus direnggangkan di situasi wabah saat ini. Namun, ikatan sosial dan persaudaraan di antara sesama tidak boleh terputus. Dengan protokol kesehatan, kita bisa menjalani Idul Adha dengan gembira, berbagi kebahagiaan dengan sesama. Kita berdoa kepada Allah, semoga pada Idul Adha berikutnya, situasi kembali normal dan wabah berakhir.

Wallahu a’lam.

OLEH NUR FARIDAH 

REPUBLIKA ID

Jika Ragu Akan Kehalalan Sembelihan, Apa Hukumnya?

Halal atau Haram?

Apakah hukum asal sembelihan yang meragukan, halal atau haram?

Maksud pertanyaan di atas adalah jika kita meragukan status suatu sembelihan, apakah telah disembelih sesuai ketentuan agama atau tidak, maka apa status sembelihan itu, halal atau haram?

Status sembelihan yang meragukan = haram!

Ketentuan yang termaktub dalam hadits shahih adalah kaidah yang berbunyi “hukum asal sembelihan adalah haram” (الأصل في الذبائح التحريم), sehingga apabila status suatu sembelihan diragukan, apakah telah memenuhi syarat sembelihan yang benar atau tidak, maka haram mengonsumsinya.

Adanya kesepakatan akan hal tersebut disampaikan oleh an-Nawawi rahimahullah,

فيه بيان قاعدة مهمة وهي أنه إذا حصل الشك في الذكاة المبيحة للحيوان : لم يحل؛ لأن الأصل تحريمه، وهذا لا خلاف فيه

“Ada penjelasan terhadap kaidah penting yang termuat dalam hadits di atas, yaitu apabila muncul keraguan terhadap keabsahan proses penyembelihan, maka status sembelihan tidaklah halal karena hukum asal sembelihan adalah haram. Tidak ada yang menyelisihi ketentuan ini.” [Syarh Shahih Muslim, 13/116].

Ibnu al-Qayyim rahimahullah menuturkan,

لمَّا كان الأصل في الذبائح : التحريم ، وشك : هل وجد الشرط المبيح أم لا ؟ بقي الصيد على أصله في التحريم

“Mengingat hukum asal sembelihan adalah haram, dan diragukan apakah sembelihan telah memenuhi syarat ataukah tidak, maka status binatang buruan tetap pada hukum asalnya, yaitu haram.” [I’lam al-Muwaqqi’in, 1/340]

Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan,

وما أصله الحظر، كالأبضاع ولحوم الحيوان: فلا يحل إلا بيقين حله من التذكية والعقد، فإن تردد في شيء من ذلك لظهور سبب آخر: رجع إلى الأصل، فبنى عليه

“Segala sesuatu yang asalnya haram dikonsumsi seperti anggota tubuh dan daging hewan, maka tidaklah halal dikonsumsi kecuali telah kehalalannya telah diyakini dengan penyembelihan dan akad yang tepat. Apabila diragukan karena adanya sebab yang lain, maka statusnya kembali pada hukum asal dan itulah yang berlaku.” [Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam hlm. 93]

Ini Dalilnya!

Dalil ketentuan di atas adalah sebagai berikut:

  • Perihal hewan buruan yang terkena anak panah dalam hadits ‘Adi bin Hatim radhiyallahu ‘anhu, sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

وَإِنْ وَجَدْتَ مَعَ كَلْبِكَ كَلْبًا غَيْرَهُ وَقَدْ قَتَلَ فَلَا تَأْكُلْ فَإِنَّكَ لَا تَدْرِي أَيُّهُمَا قَتَلَهُ

“Apabila ada anjing lain yang menyertai anjingmu, lalu hewan buruan tersebut kamu temukan dalam keadaan terbunuh, maka janganlah kamu memakannya. Karena kamu tidak tahu apakah anjingmu atau ataukah anjing lain tersebut yang membunuhnya.” [HR. al-Bukhari: 5484 dan Muslim: 1929].

dalam riwayat yang lain tercantum redaksi,

إذا أرسلتَ كلبَكَ فوجدتَ معهُ غيرَهُ فلا تأكُلْ، فإنكَ إنما سمَّيتَ على كلبِكَ ولم تُسمِّ على غيرِهِ

“Apabila engkau melepas anjing pemburumu, kemudian ternyata engkau menjumpai anjing lain bersama anjingmu di samping hewan buruan, maka janganlah kamu memakannya. Karena engkau hanya menyebutkan nama Allah pada anjing buruanmu dan bukan pada anjing lain.” [Shahih Sunan an-Nasaai : 4283]

  • Dalam hadits yang sama, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَإِنْ رَمَيْتَ سَهْمَكَ فَاذْكُرْ اسْمَ اللَّهِ فَإِنْ غَابَ عَنْكَ يَوْمًا فَلَمْ تَجِدْ فِيهِ إِلَّا أَثَرَ سَهْمِكَ فَكُلْ إِنْ شِئْتَ وَإِنْ وَجَدْتَهُ غَرِيقًا فِي الْمَاءِ فَلَا تَأْكُلْ

“Apabila kamu membidikkan panah, maka sebutlah nama Allah. Jika hewan yang telah kamu panah tersebut baru kamu temukan setelah satu hari sedangkan di tubuhnnya tidak ada luka lain kecuali luka akibat anak panahmu, maka makanlah. Apabila kamu menemukan tenggelam di dalam air, maka jangan kamu makan.” [HR. al-Bukhari : 5484 dan Muslim : 1929]

Hadits-hadits di atas secara tegas menyatakan bahwa jika kita meragukan apakah syarat penyembelihan telah terpenuhi atau tidak pada hewan, maka status hewan itu tidak halal dikonsumsi.

Impor sembelihan dari negara non-muslim

Berdasarkan uraian di atas maka ketetapan yang telah disepakati di atas menunjukkan bahwa daging sembelihan yang diimpor dari negara non-muslim tidaklah halal karena proses penyembelihannya diragukan. Itu alasan minimalnya, apatah lagi jika sebagian orang yakin bahwa sembelihan dari negara non-muslim tersebut memang tidak disembelih dengan proses yang benar berdasarkan fakta. Ketentuan yang bisa disimpulkan dari uraian sebelumnya adalah jika kita meragukan keberadaan syarat penyembelihan yang benar pada suatu sembelihan, maka sembelihan itu tidak boleh dikonsumsi.

Bagaimana dengan sembelihan ahli kitab, bukankah dihalalkan?

Hal ini dijawab oleh Ibnu al-Qayyim rahimahullah,

إن باب الذبائح على التحريم، إلا ما أباحه الله ورسوله، فلو قدر تعارض دليلي الحظر والإباحة، لكان العمل بدليل الحظر أولى لثلاثة أوجه:

أحدها: تأييده الأصل الحاظر.

الثاني: أنه أحوط.

الثالث: أن الدليلين إذا تعارضا تساقطا ورجعا إلى أصل التحريم” انتهى من أحكام أهل الذمة

“Bab sembelihan terbangun di atas hukum asal haram kecuali yang diperbolehkan Allah dan rasul-Nya. apabila ternyata terdapat dua dalil bertentangan, antara yang melarang dan yang membolehkan, maka yang menjadi pilihan adalah mengamalkan dalil yang melarang karena tiga alasan berikut:

Pertama, dalil yang melarang menguatkan hukum asal yang mengharamkan.

Kedua, mengamalkan dalil yang melarang termasuk tindakan yang lebih hati-hati.

Ketiga, apabila terdapat dua dalil yang bertentangan dan tidak bisa dikompromikan, maka keduanya dikembalikan pada hukum asal, yaitu haram.” [Ahkam Ahli adz-Dzimmah 1/538, 539]

Ucapan Ibnu al-Qayyim di atas terdapat dalam uraian beliau yang menetapkan hukum asal sembelihan adalah haram hingga terbukti halal.

Hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anha

Aisyah radhiallahu ‘anha menyampaikan,

أَنَّ قَوْمًا قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ قَوْمًا يَأْتُونَنَا بِاللَّحْمِ لا نَدْرِي أَذَكَرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهِ أَمْ لا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَمُّوا اللَّهَ عَلَيْهِ وَكُلُوهُ

“Wahai Rasulullah, ada suatu kaum yang mendatangi kami dengan daging yang kami tidak tahu apakah mereka menyebutkan nama Allah ketika menyembelihnya atau tidak”. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sebutlah nama Allah, lalu makanlah”.” [HR. al-Bukhari : 2057]

Bagaimana dengan hadits ‘Aisyah ini?

Hadist ‘Aisyah di atas berlaku apabila seorang tidak mengetahui apakah penyembelih mengucapkan nama Allah atau tidak ketika menyembelih. Maka dalam kasus tersebut sembelihannya diperbolehkan untuk dikonsumsi karena hukum asal sembelihan muslim dan ahli kitab adalah sah dan halal. Dengan demikian tidak perlu memastikan apakah syarat penyembelihan telah dilakukan dengan benar atau tidak. Hal ini berbeda dengan kasus yang ditunjukkan dalam hadits-hadits di atas, dimana muncul keraguan karena adanya sebab. Itulah maksud dari perkataan Ibnu Rajab rahimahullah,

فإن تردد في شيء من ذلك لظهور سبب آخر: رجع إلى الأصل، فبنى عليه

“Apabila diragukan karena adanya sebab yang lain, maka statusnya kembali pada hukum asal dan itulah yang berlaku.” [Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam hlm. 93]

Terkait hadits hewan buruan yang statusnya diragukan, Ibnu al-Qayyim mengomentari,

وأما تحريم أكل الصيد إذا شك صاحبه: هل مات بالجرح أو بالماء؟ وتحريم أكله إذا خالط كلابه كلبا من غيره، فهو الذى أمر به رسول الله صلى الله تعالى عليه وآله وسلم، لأنه قد شك فى سبب الحل، والأصل فى الحيوان التحريم. فلا يستباح بالشك فى شرط حله، بخلاف ما إذا كان الأصل فيه الحل. فإنه لا يحرم بالشك فى سبب تحريمه كما لو اشترى ماء أو طعاماً، أو ثوباً لا يعلم حاله، جاز شربه وأكله ولبسه

“Apabila pemburu meragukan status hewan buruannya, apakah ia mati karena luka gigitan anjing buruannya atau tenggelam dalam air. Atau apakah ia mati karena gigitan anjing buruannya atau gigitan anjing yang lain, maka haram mengonsumsi daging hewan buruan itu. Itulah yang diperintahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam karena pemilik anjing buruan tidak bisa memastikan (ragu) terhadap sebab kehalalan hewan buruan. Hukum asal hewan sembelihan adalah haram dikonsumsi, adanya keraguan terhadap sebab kehalalan hewan buruan tidak lantas membolehkannya untuk dikonsumsi. Berbeda halnya dengan sesuatu yang hukum asalnya halal, adanya keraguan terhadap sebab pengharamannya tidak lantas menjadikannya haram. Hal ini seperti orang yang membeli air, makanan, atau pakaian yang tidak diketahui kehalalannya, dalam hal ini ia boleh meminum, memakan, dan memakainya.” [Ighatsah al-Lahafan 1/180]

Perhatikan pembedaan yang dilakukan beliau antara keraguan terhadap sesuatu yang hukum asalnya haram dan keraguan terhadap sesuatu yang hukum asalnya halal.

Kesimpulan

Uraian di atas memberikan kesimpulan berikut:

  1. Apabila muslim tidak mengetahui pasti proses penyembelihan hewan dengan sempurna, maka ia tidak berkewajiban memastikan dan mencari tahu kehalalan proses penyembelihan hewan tersebut, karena hukum asalnya sembelihan itu halal dikonsumsi.
  2. Apabila muslim mengetahui syarat penyembelihan pada hewan tidak terpenuhi atau ia ragu yang didasari fakta, maka hukum asalnya adalah syarat penyembelihan pada hewan itu tidak terpenuhi sehingga haram dikonsumsi.

Demikianlah yang bisa disampaikan. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.

***

Penulis: Muhammad Nur Ichwan Muslim, ST.

Artikel: Muslim.or.id

Hikmah Larangan Potong Kuku dan Rambut Awal Dzulhijjah

Menurut Ustadz Pantun, jika mengikut larangan itu akan mendapatkan pahala besar.

Ustadz Taufiqurrahman atau yang lebih dikenal dengan ustaz pantun mengatakan ada beberapa yang dilarang untuk dilakukan kaum Muslimin selama bulan Dzulhijjah. Yang pertama bagi seseorang yang berniat berkurban dilarang memotong rambut dan kuku hingga hewan kurbannya disembelih.

“Ini larangan yang sifatnya kalau dilakukan sangat bagus sekali. Jadi sebelum kita memotong hewan kurban yang kita kurbankan dianjurkan untuk tidak memotong kuku dan rambut yang ada pada kepala kita,” ujarnya.

Ustadz Taufiq menjelaskan dalam Surah An-Nur ayat 51 yang secara singkat diartikan jika seorang Muslim mengerjakan atau menjauhi larangan tersebut masuk ke dalam orang-orang yang beruntung. Kedua menurut pendapat para ulama, kata dia, hikmah dari larangan tersebut adalah agar anggota tubuh orang yang berkurban tetap lengkap hingga bisa dibebaskan dari api neraka.

“Ke Pondok Gede naik mobil bis, pahalanya gede abis,” kata Ustadz Taufiq berpantun.

Ustadz Taufiq mengatakan dalam setahun ada empat bulan haram yakni Dzulqa’da, Dzulhijjah, Rajab, dan Muharram. Ia mengungkapkan, beramal soleh di 10 hari pertama bulan Dzulhijjah sangat dicintai Allah.

“Merujuk pada Surah At-Taubah ayat 36 yang menyebut dalam setahun ada empat bulan harom, yaitu Dzulqa’da, Dzulhijjah, Rajab, dan Muharram. Keutamaan (bulan Dzulhijjah) seperti yang disebutkan sebuah hadits bahwa Nabi (Muhammad shallahu alahi wassalam) menyebut dengan beramal soleh di sepuluh hari pertama zulhijjah, sangat dicintai Allah,” ujarnya.

Nabi Muhammad, kata Ustadz Taufiq, pernah berkata kepada para sahabat, “Tidak ada hari-hari yang beramal soleh dari pada hari-hari itu, yang lebih dicintai oleh Allah yang dilakukan pada 10 hari pertama Dzulhijjah.”

Sahabat bertanya, “Apakah lebih dari Jihad?” Rasulullah menjawab, “lebih dari itu.”

KHAZANAH REPUBLIKA

Kurban dengan Kambing Betina

Pertanyaan, ‘Assalamu alaikum, maaf mau tanya, apakah hewan kurban harus jantan? Boleh tidak berkurban dengan kambing betina?

Jazaakumullah khairan

Tri jogja (trXXXXX@yahoo.com)

Kurban dengan Kambing Betina

Wa alaikumus salam…

Tidak ada ketentuan jenis kelamin hewan kurban. Sehingga boleh berkurban dengan hewan jantan maupun betina. Dalilnya, hadis dari Umu Kurzin radliallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

عن الغلام شاتان وعن الجارية شاة لا يضركم ذكرانا كن أو إناثا

“Akikah untuk anak laki-laki dua kambing dan anak perempuan satu kambing. Tidak jadi masalah jantan maupun betina.” (H.r. Ahmad 27900 dan An Nasa’i 4218 dan dishahihkan Syaikh Al Albani).

Berdasarkan hadis ini, As Sayrazi As Syafi’i mengatakan,  “Jika dibolehkan menggunakan hewan betina ketika akikah berdasarkan hadis ini, menunjukkan bahwa hal ini juga boleh untuk berkurban.” (Al Muhadzab 1/74).

Hanya saja, bagi Anda yang mampu membeli hewan jantan, sebaiknya tidak berkurban dengan betina. Mengingat hewan jantan umumnya lebih mahal dan lebih bagus dari pada betina. Sementara kita disyariatkan agar memilih hewan sebaik mungkin untuk kurban. Sehingga pahalanya lebih besar. Allah berfirman:

وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ

“Siapa yang mengagungkan syiar Allah maka itu menunjukkan ketakwaan hati.” (Q.s. Al-Haj: 32)

Ibn Abbas mengatakan, “Mengagungkan syiar Allah (dalam berkurban) adalah dengan mencari yang paling gemuk dan paling bagus.” (Tafsir Ibn Katsir, 5/421)

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasi Syariah)

KonsultasiSyariah

Raih Al-Kautsar dengan Mendirikan Sholat dan Berqurban

Sebagai surat ke-108, Al Kautsar merupakan surat yang diturunkan di Makkah dan menjadi surat terpendek dalam Al-Quran. Namun demikian, Al-Kautsar nyatanya memiliki arti yang berlimpah atas nikmat.

Mengutip buku Tafsir Juz Amma karangan Syaikh Yusuf Al-Qaradhawi, Al Kautsar memang merupakan nikmat yang berlimpah. Utamanya yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya.

Diriwayatkan oleh Imam Ahmad, ia berkata, ‘’Muhammad bin Fudhail meriwayatkan kepada kami dari Al Mukhtar bin Fulful, dari Anas bin Malik, ia berkata ‘Rasulullah tidur sebentar lalu beliau mengangkat kepalanya sambil tersenyum, baik beliau bersabda kepada orang-orang, ataupun mereka berkata pada beliau, ‘’Kenapa engkau tertawa?’’ Rasulullah menjawab, ‘Baru saja diturunkan satu surat kepadaku.’’

Selanjutnya beliau membaca, ‘’Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. ‘Sungguh, kami telah memberimu (Muhammad) nikmat yang banyak.’’ Sampai selesai. Beliau kembali bertanya, ‘’Tahukah kalian apakah al-Kautsar itu?’’, ‘’Itulah sungai yang Tuhanku ‘Azza wa Jalla berikan kepadaku di surga. Di dalamnya banyak kebaikan. Umatku datang ke sana pada hari Kiamat.

Imam Ahmad juga berkata, ‘’Muhammad bin Abi Adi bercerita kepada kami dari Humaid, dari Anas, ia berkata, ‘’Rasulullah bersabda, ‘’Aku masuk surga. Ternyata aku sudah berada di sungai. Di kedua tepinya perkemahan mutiara. Lantas aku menemukan tanganku ke tempat yang mengalir, ternyata itu minyak kesturi adzfar. Aku bertanya, ‘Apa ini wahai Jibril?, ‘Ia menjawab, ‘Inilah Al-Kautsar yang telah Allah ‘Azza wa Jalla berikan kepadamu. (HR. Ahmad, 12008).

Lebih lanjut, meski ada tiga ayat yang keseluruhannya menjelaskan nikmat, ada syarat sholat dan kurban yang harus dilakukan.

Secara spesifik, hal tersebut ada di ayat ke-2 Al-Kautsar.

فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَٱنْحَرْ

(Fa ṣalli lirabbika wan-ḥar)

Artinya: Maka dirikanlah sholat karena Tuhanmu; dan berkorbanlah.

Mengutip buku Tafsir Fi Zhilalil Qur’an jilid 24, disebutkan makna dalam ayat tersebut. Yaitu, setelah diberi penegasan terkait nikmat yang berlimpah, maka Rasulullah diarahkan untuk mensyukuri nikmat dan memurnikan ibadah hanya kepada Allah, dengan menunaikan sholat dan menyembelih hewan qurban dengan ikhlas karena-Nya.

Hal itu, dinilai perlu dilakukan untuk menghiraukan kemusyrikan orang musyrik.

Tak hanya itu, dalam buku Tafsir Al-Fatihah dan Juz Amma karangan Muhammad Chirzin, juga menyebutkan hal serupa. Ayat itu menyerukan sholat dengan ikhlas, dan perintah menyembelih hewan qurban pada hari raya Idul Adha karena Allah.

Lebih lanjut, Tafsir Al Mukhtashar yang berada di bawah pengawasan Imam Masjidil Haram, Syaikh Dr. Shalih bin Abdullah bin Humaid menyebutkan, ayat itu mengandung perintah, ‘Maka ikhlaskanlah sholatmu seluruhnya hanya untuk Tuhanmu,dan sembelih lah binatang sembelihanmu untuk Nya dan hanya dengan nama Nya semata.’

Lebih jauh, dalam Tafsir Min Fathil Qadir tulisan Syaikh Dr. Muhammad Sulaiman menambahkan, dalam ayat tersebut menyebutkan, qurban pada hari tasyriq, lebih baik dari pada zakat yang dibayarkan pada hari fitri. Oleh sebab itu, Allah memerintahkan kepada Rasul-Nya untuk mensyukuri Al-Kautsar pemberiannya dengan mendirikan sholat dan berqurban.

Dijelaskan juga, Allah menyebutkan ayat tersebut, dikarenakan dua perintah di dalamnya memiliki kandungan yang sebaik-baiknya amal ibadah seseorang. Selain, menjadi cara terbaik untuk mendekatkan diri kepada Allah.

Sholat yang ditegaskan, juga bisa diartikan sebagai ketundukan hati dan jiwa hamba kepada Allah. Sedangkan, berqurban dalam perintah selanjutnya, merupakan langkah mendekatkan diri kepada Allah dengan hewan qurban terbaik, dan untuk mengeluarkan harta yang menjadi fitrah bagi setiap orang.

IHRAM