Anda Seorang Pemimpin? Siapakah Penasehat Anda?

الحمد لله حمد الشاكرين ، وأثني عليه ثناء الذاكرين ، وأشهد أن لا إله إلا الله إله الأولين والآخرين ، وأشهد أنَّ محمداً عبده ورسوله سيد ولد آدم أجمعين ؛ صلى الله وسلَّم عليه وعلى آله وصحبه أجمعين ،أما بعد :

Pemimpin – dengan sekecil apapun wilayah kepemimpinannya – akan mempertanggung-jawabkannya kelak di akherat. Sudah menjadi hal yang lumrah, bahwa setiap pemimpin dalam memutuskan keputusan besar, mendengar masukan dari penasehat dan orang-orang dekatnya,agar keputusannya tepat.

Keputusan yang tepat adalah keputusan yang diridhai dan dicintai oleh Allah, sehingga jika Allah cinta maka akan menolong pemimpin tersebut sukses dunia akhirat. Sungguh seorang pemimpin sangat membutuhkan penasehat yang memberi masukan tentang keputusan yang diridhai oleh Rabbul’Alamin.

Sosok penasehat yang tidaklah berbicara kecuali dengan dasar Kitabullah dan Sunnah Nabiصلى الله عليه وسلم . Mereka adalah profil pendamping terbaik,berilmu dan beramal. Dengan penuh adab mereka bermusyawarah, dengan etika tinggi mereka mengingatkan, dengan kesabaran yang baik mereka mendampingi. Akhlak mulia menghiasi ucapan dan perbuatan mereka,terlebih lagi di zaman fitnah (kerusakan), mereka tahu bahwa di zaman fitnah :

ليس كل ما يعلم يُقال ، ولا كل ما يريد يُفعل

“Tidak setiap yang diketahui, harus diucapkan, dan tidak setiap yang diinginkan harus dilakukan”

semua dengan pertimbangan yang matang. Inilah sifat-sifat mereka!

Umar bin Khathab bermusyawarah dengan Al Qurra’

Imam Al-Bukhari rahimahullah menyebutkan dalam Shahih-nya, sebuah atsar:

وكان القراء أصحاب مشورة عمر كهولا كانوا أو شبانا، وكان وقّافا عند كتاب الله عز وجل.

Dan dahulu orang-orang yang diajak musyawarah Umar رضي الله عنه mereka adalah Al-Qurra`, baik tua maupun muda, dan mereka benar-benar berpegang teguh dengan Al-Qur`an

Dijelaskan oleh Ibnu Hajar رحمه الله bahwa makna Al-Qurra‘ adalah ulama shli Al-Qur’an dan As-Sunnah serta ahli ibadah.

وشاور علياً وأسامة فيما رمى به أهلُ الإفك عائشة

Dan Nabi صلى الله عليه وسلم bermusyawarah dengan Ali dan Usamah رضي الله عنهما dalam masalah berita dusta yang disebarkan oleh ahlul ifki tentang ‘Aisyah رضي الله عنها “

Kedua atsar ini disampaikan oleh Imam Al-Bukhari dalam Shahih-nya ketika beliau menyebutkan :

كتاب: «الاعتصام بالكتاب والسنة»

Berpegang teguh dengan Al-Qur`an dan As-Sunnah

Apa artinya ini?

Disebutkannya kedua atsar ini dalam bab tentang “Berpegang teguh dengan Al-Qur`an dan As-Sunnah”, hal ini menunjukkan bahwa bermusyawarah dengan orang-orang yang berilmu syar’i termasuk bentuk berpegang teguh dengan Al-Qur`an dan As-Sunnah. Sebab di tengah masyarakat, merekalah yang paling tahu tentang kedua wahyu tersebut. Di tengah masyarakat, merekalah yang menjelaskan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Maka dari itu bermusyawarah dengan mereka hakekatnya merupakan bentuk berpegang teguh dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah, yang merupakan solusi di dalam menghadapi fitnah.

Kemudian, marilah kita simak bersama dua buah riwayat Imam Muslim di bawah ini,

Suatu hari Amirul Mukminin (Umar bin Al Khattab) رضي الله عنه bertemu dengan نافع بن عبد الحارث  di daerah ‘Usfan (saat itu Umar tengah mempercayakan kepemimpinan Mekah kepada Nafi’).

فقال من استعملت على أهل الوادي ؟ فقال ابن أبزى قال :

 ومَنْ ابن أبزى ؟قال مولى من موالينا قال فاستخلفت عليهم مولى ؟

قال إنه قارئ لكتاب الله عـز وجل ، وإنه عالـم بالفرائض قال عمر

:أما إن نبيكم صلى الله عليه وسلم قد قال إن الله يرفع بهذا الكتاب أقواما ،

 ويضع به آخرين.

“Umar bertanya, “Siapa yang engkau tunjuk menjadi pemimpin daerah lembah?”
Nafi’ menjawab, “Ibnu Abza.”
Umar bertanya, “Siapa Ibnu Abza?”
Nafi’ menjawab, “Seorang bekas budak dari budak-budak kami yang telah dimerdekakan.”
Umar bertanya kembali, “Engkau telah memberikan kepercayaan tersebut kepada seorang bekas budak [?]“
Nafi’ mengatakan, “Sesungguhnya dia adalah seorang Ahlul-Qur’an (yang hafal, paham dan mengamalkannya) dan pakar ilmu Syari’at Islam”

Kemudian Umar berkata, “Sungguh Nabi kalian صلى الله عليه وسلم  telah bersabda: “Sesungguhnya Allah mengangkat derajat sebagian manusia dengan Al-Qur`an dan merendahkan sebagian yang lain karena sebab sikap yang salah terhadap Al-Qur`an.” (Shahih Muslim: 817).

Rasulullah صلى الله عليه وسلم bermusyawarah dengan Abu Bakar dan Umar

Adapun riwayat yang kedua yang diriwayatkan pula oleh Imam Muslim adalah sebuah kisah yang agak panjang dari Ibnu Abbas, yang ringkasnya sebagai berikut :

Ketika itu Kaum Muslimin menawan beberapa tawanan perang, kemudian Rasulullah صلى الله عليه وسلم mengajak musyawarah 2 orang sahabat yang terbaik. Terbaik dari sisi ilmunya dan terbaik dari sisi amalnya, paling berilmu dan paling bertakwa. Siapa 2 orang tersebut? Mereka adalah : Abu Bakar dan Umar رضي الله عنهما.

Maka, sungguh indah tafsiran Ibnu Abbas -yang beliau dikenal sebagai pakar tafsir di kalangan shahabat- ketika menafsirkan firman Allah Ta’ala :

وَشَاوِرْهُمْ فِي الأَمْرِ} (آل عمران: 159)

“…dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu…” (QS. Al Imran: 159)

Kata beliau: “yaitu : (Musyawarahlah dengan) Abu Bakar dan Umar رضي الله عنهما“.

Mengapa demikian? Karena kedua Sahabat tersebut adalah orang yang paling berilmu dan bertakwa di tengah Umat Rasulullah صلى الله عليه وسلم .

Umar رضي الله عنه memilih 6 sahabat Nabi untuk memilih khalifah

Sebuah riwayat yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dalam Shahih-nya, bahwa Umar رضي الله عنه ketika menyampaikan pandangan tentang siapakah yang paling berhak menjadi tim formatur pemilihan Khalifah sepeninggal beliau, beliau berkata :

ما أجد أحق بهذا الأمر من هؤلاء النفر أو الرهط الذين توفي رسول الله صلى الله عليه وسلم وهو عنهم راض فسمى علياً وعثمان والزبير وطلحة وسعداً وعبد الرحمن

Tidaklah saya dapatkan orang yang lebih berhak mengurus masalah ini daripada beberapa orang atau sekelompok orang yang Rasulullah صلى الله عليه وسلم wafat dalam keadaan ridho kepada mereka, kemudian beliau menyebut nama : Ali, ’Utsman Az-Zubair, Thalhah, Sa’ad dan Abdur Rahman رضي الله عنهم “

Dari atsar ini dapat kita ketahui bahwa bagaimana Umar menilai 6 orang ini adalah orang-orang yang paling berhak mengurus masalah besar, masalah politik negara. Yaitu memilih Khalifah sepeninggal beliau. Mereka orang-orang yang termasuk paling berilmu dan bertakwa. Mereka ini yang walaupun jumlahnya hanya 6 orang, namun dinilai sudah cukup mewakili jumlah Shahabat, yang ketika itu jumlahnya lebih dari 10 ribu orang.

Perhatikan Umar رضي الله عنه -yang merupakan orang kedua terbaik diantara seluruh para sahabat- tidaklah mengambil pendapat seluruh rakyat untuk menyelesaikan masalah besar Umat tersebut. Beliau memilih 6 orang saja yang memiliki kriteria termasuk paling berilmu dan paling bertakwa.

Demikian pentingnya permasalahan ini,hingga Imam Al-Bukhari dalam Shahihnya menyusun sebuah bab :

باب بطانة الإمام و أهل مشورته

Bab orang dekat seorang pemimpin dan orang yang diajak musyawarah olehnya”.

Penutup

Demikianlah beberapa atsar yang menggambarkan kedudukan tinggi ulama dan orang-orang yang berilmu di tengah masyarakat, yang dengan taufik Allah kemudian peran mereka, tercapailah kejayaan umat ini.

Semoga Allah merahmati Imam Malik, beliau berkata :

لن يصلح آخر هذه الأمة إلا بما صلح به أولها

Tidak akan bisa baik akhir umat ini, kecuali dengan sesuatu yang menyebabkan baik awal dari Umat ini (Salaf)

نسأل الله -عز وجل- أن يرزقنا وإياكم العلم النافع والعمل الصالح، وأن يجعلنا وإياكم هداة مهتدين، ويغفر لنا ولكم ولجميع المسلمين.

و صلى الله و سلم على نبينا محمد وآخــر دعــوانا أن الحـــمد للــه رب العالمــين.

***

[Diolah dari beberapa referensi, terutama: Madarikun Nazhor fis Siyasah dan Sittu Duror karya Syaikh Abdul Malik Ar Ramadhani serta As-Siyasah Asy-Syar’iyyah karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah]

Penulis: Ust. Sa’id Abu Ukasyah

Artikel Muslim.Or.Id

Beban Pemimpin

Kepemimpinan adalah beban yang harus diemban dengan penuh tanggung jawab.

Kepemimpinan adalah beban yang harus diemban dengan penuh tanggung jawab, sepenuh hati, amanah, dan adil. Tanggung jawab itu tidak hanya kepada orang-orang yang di pimpin, tetapi juga terlebih kepada Allah di akhirat. Nabi mengatakan, Setiap imam adalah pemimpin dan bertanggung ja wab terhadap rakyatnya. (HR al-Bukhari dan Muslim). Di hadis lain, Pemimpin suatu kaum adalah pelayan mereka. (HR Abu Nu’aim).

Mengingat beratnya beban kepemimpinan, Abu Bakar ash- Shiddiq dan Umar bin al-Khathab, misalnya, di awal pidato setelah dilantik menjadi pemimpin, menegaskan bahwa kepemimpinan sejatinya adalah sebuah beban yang berat sehingga mereka mengharapkan rakyat agar bersikap kritis dan senantiasa mengingatkan mereka ketika salah jalan atau dianggap telah melenceng dari tanggung jawab kepemimpinan. Mereka sadar, manusia bisa tergoda dan tergelincir pada halhal buruk sehingga perlu diingatkan.

Abu Bakar, misalnya, dalam pidato di awal kepemimpinannya mengatakan dirinya telah diberi kepercayaan oleh rakyatnya dan ia bersedia menanggung beban berat itu, padahal ia menegaskan dirinya bukan orang yang terbaik daripada yang lainnya. Ia menegaskan pula, bila dirinya bertindak benar, rakyat perlu mendukungnya. Sebaliknya, bila ia bertindak salah, rakyat perlu meluruskannya.

Umar bahkan memuji orang yang mengkritik keras kepemim pinannya bila melenceng dari garis yang telah ditentukan. Dikisahkan, ketika berpidato di hadapan rakyatnya, salah seorang berdiri sambil mengacungkan pedangnya dan berkata, Wahai Umar, bila Anda melenceng selama memimpin, kami akan meluruskannya dengan pedang kami! Mendengar hal itu, Umar tidak marah, malah tersenyum dan bersyukur, kemudian berkata, Segala puji bagi Allah yang telah menunjukkan seseorang untuk meluruskan kesalahan Umar dengan pedangnya.

Kesadaran bahwa kepemimpinan adalah beban berat yang harus ditanggung dengan baik telah membuat Khalifah Umar selalu memikirkan rakyatnya. Disebutkan, ia setiap malam berjalan bersama pembantunya untuk melihat langsung kondisi rakyatnya. Ia tak ingin satu orang rakyatnya kelaparan. Ketika pada suatu malam ia mendapati sebuah rumah di dalamnya ada orang yang merintih kelaparan, keesokan harinya ia sendiri yang memanggul gandum dan memberikannya kepada orang tersebut.

Ketika pembantunya memohon agar ia yang membawa gandum itu, Umar mengatakan, Apakah engkau sanggup menanggung dosa Umar karena menelantarkan rakyatnya? Umar adalah sosok pemimpin yang keras, tegas, dan bera ni, tetapi begitu mencintai dan menyayangi rakyatnya serta tidak otoriter. Ia menyadari tugas utama seorang pemimpin adalah melayani rakyatnya dengan adil.

Bila itu tidak dilakukan, selain berarti mengkhianati amanat rakyat, juga berarti mengkhianati Allah. Ia begitu menjaga pesan Rasulullah dan tak ingin melanggarnya. Beliau mengatakan, Barang siapa diserahi ke kua saan untuk mengurus manusia, lalu menghindar (meng elak) melayani kaum lemah dan orang yang membutuhkan nya maka Allah tidak akan mengindahkannya pada hari kiamat. (HR Ahmad).

Kepemimpinan bukan perkara ringan atau dianggap bukan beban. Tanggung jawabnya sangat berat karena berkaitan dengan hajat hidup orang banyak. Karena itu, selain mewanti-wan ti perihal kepemimpinan, Allah menjanjikan balasan yang besar kepada pemimpin yang berhasil mengembannya dengan baik. Nabi bersabda, Ahli surga ada tiga macam: pemimpin yang adil, orang yang mengasihi sesama, dan orang yang tidak me ngemis meskipun keluarga nya banyak. (HR Muslim). Termasuk orang yang diberi naungan pada hari kiamat yang sangat panas adalah pemim pin yang adil (HR al-Bukhari dan Muslim). Wallahu a’lam. 

Oleh: Fajar Kurnianto

KHAZANAH REPUBLIKA


Pemimpin yang Diridhai

Nabi Daud AS merupakan salah satu pemimpin yang dikisahkan dalam Alquran.

Nabi Daud AS merupakan salah satu pemimpin yang dikisahkan dalam Alquran. Allah SWT memerintahkankannya untuk memutuskan perkara secara adil dan jangan mengikuti hawa nafsu. (QS Shaad [38]: 26).

Suatu ketika, Nabi Daud AS dihadapkan pada persengketaan dua orang laki-laki yang menghadap padanya. Sebagai seorang pemimpin, Allah SWT memerintahkannya agar memutus perkara secara adil. Keadilan itu meletakkan sesuatu pada tempatnya, secara objektif, apa adanya, tidak bertentangan dengan hukum Allah; bukan karena kepentingan pribadi dan kelompoknya.

Allah SWT juga melarang Nabi Daud AS mengikuti hawa nafsu dalam menjalankan kepemimpinannya. Memimpin dengan hawa nafsu akan melahirkan kebijakan yang hanya berorientasi pada duniawi, mengedepankan materi, memilih kenikmatan sesaat, mementingkan diri dan golongan, cenderung menghalalkan segala cara; hukum direkayasa, korupsi menjadi budaya, agama hanya pemanis kata.

M Quraish Shihab dalam Tafsir al-Mishbah menafsirkan kata al-hawa sebagai “kecenderungan hati kepada sesuatu tanpa perhitungan akal sehat”. Memperturutkan hawa naf su menyebabkan seseorang kehilangan kesadaran. Dengan demikian, ia akan kehilangan kontrol pribadi sehingga ia tersesat dari jalan yang diridhai Allah. Apabila kesesatan itu telah menyelubungi hati seseorang, ia lupa akan keyakinan yang melekat dalam hatinya bahwa di atas kekuasaannya masih ada yang lebih berkuasa.

Lalu, bagaimanakah caranya agar kita sebagai umat Islam tampil sebagai umat terdepan dengan hadirnya para pemimpin yang diridhai Allah SWT? Dalam surah an-Nur [24] ayat 55 Allah SWT berjanji akan memberikan kekuasa an kepada orang-orang yang beriman dan meneguhkan agama yang telah diridhai-Nya kepada mereka. Paling tidak ada empat syarat yang harus dipenuhi, yaitu: Pertama, teguhkan iman kepada Allah SWT. Seorang pemimpin yang beriman, tidak akan berani korupsi, melakukan kejahatan dan kezaliman, karena ia yakin Allah senantiasa mengawasinya. Menjadi pemimpin itubanyak godaan. Maka, iman menjadi benteng dan perisai untuk menolak godaan negatif itu.

Kedua, gemar beramal saleh. Orang yang beramal saleh adalah orang yang tidak berbuat kerusakan baik bagi dirinya maupun lingkungannya. Pemimpin yang diridhai adalah pemimpin yang melayani rakyat dengan prinsip amal saleh. Ketiga, giat beribadah kepada Allah SWT. Ibadah itu tidak saja yang wajib, tetapi juga ibadah-ibadah sunah. Setiap ibadah yang dilakukan seorang pemimpin, akan menjadi terapi baginya untuk tetap istiqamah menjalankan kepemimpinannya dengan adil dan benar. Karena itu, ibadah ritual yang dilakukan akan membuat seseorang menjadi lebih berkualitas dalam kehidupannya.

Keempat, jangan menyekutukan Allah, tidak saja me nyem bah selain Allah, tetapi juga termasuk menggan tung kan harapan kepada selain-Nya. Jika hidup hanya berorientasi pada jabatan dan/atau harta, jabatan dan harta itu bisa menjadi Tuhan seseorang. Namun, jika ia yakin bahwa ridha Allah sebagai tujuan hidup, tak ada celah bagi seorang pemimpin untuk berbuat zalim.

Jika keempat hal itu bisa dilakukan, Allah SWT akan mengangkat umat ini menjadi penguasa yang mampu mela ku kan perubahan dari keterbelakangan menuju negeri yang berkeadaban, dari bangsa yang dicekam kecemasan dan ketakutan menjadi bangsa yang aman dan tenteram dalam ridha-Nya. (QS an-Nur: 55). Wallahu a’lam.¦

Oleh: Muhammad Kosim

KHAZANAH REPUBLIKA

Kaum Yahudi Berharap Nabi Terakhir Diutus Dari Kalangan Mereka

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, amma ba’du,

Al-Quran telah memberitakan, bahwa masyarakat ahli kitab telah mengetahui akan ada nabi terakhir yang mempimpin dunia dan mengalahkan berbagai macam suku dan golongan yang tidak mengetahui agamanya.

وَإِذْ قَالَ عِيسَى ابْنُ مَرْيَمَ يَا بَنِي إِسْرَائِيلَ إِنِّي رَسُولُ اللَّهِ إِلَيْكُمْ مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيَّ مِنَ التَّوْرَاةِ وَمُبَشِّرًا بِرَسُولٍ يَأْتِي مِنْ بَعْدِي اسْمُهُ أَحْمَدُ فَلَمَّا جَاءَهُمْ بِالْبَيِّنَاتِ قَالُوا هَذَا سِحْرٌ مُبِينٌ

Ingatlah ketika Isa Ibnu Maryam berkata: “Hai Bani Israil, Sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu, membenarkan kitab sebelumku, yaitu Taurat, dan memberi khabar gembira dengan datangnya seorang Rasul yang akan datang sesudahku, yang namanya Ahmad (Muhammad).” Maka tatkala Rasul itu datang kepada mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata, mereka berkata: “Ini adalah sihir yang nyata.” (QS. As-Shaf: 6).

Di ayat lain, Allah berfirman,

الَّذِينَ يَتَّبِعُونَ الرَّسُولَ النَّبِيَّ الْأُمِّيَّ الَّذِي يَجِدُونَهُ مَكْتُوبًا عِنْدَهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَالْإِنْجِيلِ يَأْمُرُهُمْ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَاهُمْ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ وَيَضَعُ عَنْهُمْ إِصْرَهُمْ وَالْأَغْلَالَ الَّتِي كَانَتْ عَلَيْهِمْ

(yaitu) orang-orang yang mengikut Rasul, Nabi yang Ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada pada mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma’ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang beriman kepadanya. memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al Quran), mereka Itulah orang-orang yang beruntung” (QS. Al-A’raf: 157).

Mereka juga memahami bahwa nabi terakhir ini akan tinggal di daerah yang memiliki banyak kebun kurma.

Karena alasan inilah, masyarakat yahudi eksodus dari daerah asalnya di Syam, menuju Yatsrib (nama asal kota Madinah), untuk menyambut kehadiran nabi terakhir yang tinggal. Dalam ar-Rahiq al-Makhtum diterangkan tentang asal yahudi di Madinah,

وكانوا في الحقيقة عبرانيين، ولكن بعد الانسحاب إلى الحجاز اصطبغوا بالصبغة العربية في الزى واللغة والحضارة، حتى صارت أسماؤهم وأسماء قبائلهم عربية، وحتى قامت بينهم وبين العرب علاقة الزواج والصهر، إلا أنهم احتفظوا بعصبيتهم الجنسية، ولم يندمجوا في العرب قطعًا، بل كانوا يفتخرون بجنسيتهم الإسرائيلية

“Aslinya mereka adalah ibrani, namun setelah mereka pindah ke daerah Hijaz (wilayah Madinah – Mekah), mereka melebur dengan kultur arab, mulai dari cara berpakaian, bahasa, sampai tradisi dan kebudayaan. Hingga nama mereka dan nama kabilah mereka kearab-araban. Sampai terjadi hubungan pernikahan antara yahudi dengan masyarakat arab. Hanya saja, mereka masih menjaga fanatisme kebangsaan, dan tidak berasimilasi penuh dengan masyarakat arab. Bahkan mereka membanggakan diri mereka sebagai keturunan Israil” (ar-Rahiq al-Makhtum, 139).

Perang Dingin Yahudi & Masyarakat Madinah

Sikap fanatisme masyarakat yahudi di Madinah, mendorong mereka untuk berusaha merebut kota madinah dari tangan penduduk arab. Untuk mewujudkan tujuan ini, mereka berusaha mengadu domba antar-suku masyarakat Madinah, yang ketika itu terdiri dari 2 suku besar: Aus dan Khazraj. Hingga terjadi perang besar antara dua suku ini, yang dikenal dengan perang Bu’ats.

Ancaman Yahudi kepada Penduduk Madinah

Karena telah memiliki taurat, dalam masalah keyakinan, masyarakat yahudi merasa diri mereka lebih berperadaban dibandingkan penduduk arab asli. Abul Aliyah menyebutkan bahwa diantara doa orang yahudi itu,

اللهم ابعث هذا النبي الذي نجده مكتوبًا عندنا حتى نعذب المشركين ونقتلهم

”Ya Allah, utuslah nabi yang telah disebutkan kisahnya dalam taurat ini, sehingga kami bisa menghukum orang-orang musyrik itu, dan membantai mereka.” (Tafsir Ibnu Katsir, 1/326)

Allah ceritakan hal ini dalam al-Quran,

وَلَمَّا جَاءَهُمْ كِتَابٌ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ مُصَدِّقٌ لِمَا مَعَهُمْ وَكَانُوا مِنْ قَبْلُ يَسْتَفْتِحُونَ عَلَى الَّذِينَ كَفَرُوا

Dan setelah datang kepada mereka Al-Quran dari Allah yang membenarkan apa yang ada pada mereka, padahal sebelumnya mereka biasa memohon (kedatangan Nabi) untuk mendapat kemenangan atas orang-orang kafir” (QS. Al-Baqarah: 89).

Akan tetapi harapan mereka meleset. Para yahudi itu berharap agar nabi terakhir diutus di kalangan mereka, namun ternyata Allah utus dari kalangan orang arab, suku Quraisy. Lebih dari itu, nabi terakhir ini tidak berpihak atas nama fanatisme keturunan Israil. Pupus sudah harapan besar mereka, hingga timbul hasad dan dengki kepada masyarakat arab. Tidak ada pilihan lain bagi mereka, selain kufur terhadap nabi terakhir itu.

Di lanjutan ayat di atas, Allah berfirman,

فَلَمَّا جَاءَهُمْ مَا عَرَفُوا كَفَرُوا بِهِ فَلَعْنَةُ اللَّهِ عَلَى الْكَافِرِينَ ( ) بِئْسَمَا اشْتَرَوْا بِهِ أَنْفُسَهُمْ أَنْ يَكْفُرُوا بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ بَغْيًا أَنْ يُنَزِّلَ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ عَلَى مَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ

Ketika telah datang kepada mereka apa yang telah mereka ketahui, mereka lalu ingkar kepadanya. La’nat Allah-lah atas orang-orang yang ingkar itu. Alangkah buruknya (hasil perbuatan) mereka yang menjual dirinya sendiri dengan kekafiran kepada apa yang telah diturunkan Allah, karena dengki bahwa Allah menurunkan karunia-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya diantara hamba-hamba-Nya” (QS. Al-Baqarah: 89 – 90).

Ibnu Abbas radhiallahu’anhuma menceritakan,

أن يَهود كانوا يستفتحون على الأوس والخزرج برسول الله صلى الله عليه وسلم قبل مبعثه. فلما بعثه الله من العرب كفروا به، وجحدوا ما كانوا يقولون فيه. فقال لهم معاذ بن جبل، وبشر بن البراء بن مَعْرُور، أخو بني سلمة: يا معشر يهود، اتقوا الله وأسلموا، فقد كنتم تستفتحون علينا بمحمد صلى الله عليه وسلم ونحن أهل شرك، وتخبروننا بأنه مبعوث، وتصفُونه لنا بصفته

“Sebelum diutusnya nabi, orang yahudi berharap akan mengalahkan kaum Aus dan Khazraj dengan kehadiran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika Allah mengutus beliau dari suku arab, mereka kufur kepadanya, dan mengingkari ucapan yang dulu pernah mereka sampaikan. Hingga Muadz bin Jabal dan Bisyr bin Barra dari Bani Salamah menyampaikan kepada orang yahudi: “Wahai orang yahudi, bertaqwalah kepada Allah dan masuklah ke dalam islam. Dulu kalian ingin menghabisi kami dengan kehadiran Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, ketika kami masih musyrik. Kalian sampaikan kepada kami bahwa beliau akan diutus dan kalian juga menceritakan sifat beliau kepada kami.”

Namun pernyataan dua sahabat ini dibantah oleh yahudi, melalui lidah Salam bin Misykam dari Bani Nadhir,

ما جاءنا بشيء نعرفه، وما هو بالذي كنا نذكر لكم

”Belum datang kepada kami nabi yang kami kenal, sama sekali. Dia (Muhammad) bukanlah orang yang pernah kami ceritakan kepada kalian”

Dengan sebab ini, Allah turunkan surat al-Baqarah ayat 89 dan 90 di atas.

Ahli Kitab Merasa Iri dan Dengki

Pelajaran penting yang juga perlu kita garis bawahi, sebab terbesar orang yahudi itu kufur kepada ajaran Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah karena mereka iri dengan kita. Mereka dengki dengan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat. Allah sampaikan dalam al-Quran,

فَلَمَّا جَاءَهُمْ مَا عَرَفُوا كَفَرُوا بِهِ فَلَعْنَةُ اللَّهِ عَلَى الْكَافِرِينَ ( ) بِئْسَمَا اشْتَرَوْا بِهِ أَنْفُسَهُمْ أَنْ يَكْفُرُوا بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ بَغْيًا أَنْ يُنَزِّلَ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ عَلَى مَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ

Ketika telah datang kepada mereka apa yang telah mereka ketahui, mereka lalu ingkar kepadanya. La’nat Allah-lah atas orang-orang yang ingkar itu. Alangkah buruknya (hasil perbuatan) mereka yang menjual dirinya sendiri dengan kekafiran kepada apa yang telah diturunkan Allah, karena dengki mengapa Allah menurunkan karunia-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya diantara hamba-hamba-Nya” (QS. Al-Baqarah: 89 – 90).

Makna: ”Allah menurunkan karunia-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya diantara hamba-hamba-Nya” adalah bahwa Allah menurunkan kenabian terakhir kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Karena desakan sifat ’iri’ itu, mereka wujudkan dalam usaha memurtadkan kaum muslimin. Allah menceritakan,

وَدَّ كَثِيرٌ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ لَوْ يَرُدُّونَكُمْ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِكُمْ كُفَّارًا حَسَدًا مِنْ عِنْدِ أَنْفُسِهِمْ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمُ الْحَقُّ

Sebahagian besar ahli kitab menginginkan agar mereka dapat menjadikan kalian kembali kafir setelah kamu beriman, karena dengki yang (timbul) dari diri mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran” (QS. Al-Baqarah: 109).

Anda bisa perhatikan, mereka iri dengan agama kita. Itu artinya ajaran agama kita jauh lebih sempurna dan lebih baik dari pada agama mereka, dan bahkan tidak bisa dibandingkan, karena ajaran agama mereka telah disimpangkan.
Jika Si A iri kepada si B, mana yang lebih baik? Jelas jawabannya si B lebih baik. Karena jika si A lebih baik dari pada si B, untuk apa dia iri kepada si B.

Yahudi dan Nasrani, iri kepada Islam. Sekali lagi, karena ajaran Islam lebih baik dari pada ajaran mereka. Jika Islam jauh lebih baik dari pada Nasrani dan Yahudi, lantas dengan alasan apa umat islam mengucapkan ’selamat natal’ atau selamat tahun baru, yang itu semua perayaan agama usang yang seharusnya sudah ditinggalkan.

Namun sangat disayangkan, kehadiran generasi ’muslim liberal’ mewakili kelompok kaum muslimin yang rendah diri [bukan rendah hati], merasa hina di depan agama usang dan diselewengkan.

Allahu a’lam

Penulis: Ust. Ammi Nur Baits, ST., BA.

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/22213-kaum-yahudi-berharap-nabi-terakhir-diutus-dari-kalangan-mereka.html

Etika Terhadap Pemimpin

Etika Terhadap Pemimpin

Suatu masyarakat haruslah ada pemimpinnya, baik itu seorang yang pantas maupun tidak pantas untuk memimpin, hal itu karena adanya pemimpin akan sangat berpengaruh kepada keamanan rakyat dan stabilitas negara. Jika bangsa aman, maka rakyat akan dapat beribadah dengan tenang. Oleh karenanya, para salaf mengatakan, “Tujuh puluh tahun berada dibawah pemimpin yang zalim lebih baik daripada satu malam tanpa pemimpin.”

Namun sering kali jika yang memimpin tidak sesuai dengan kehendak, kemudia terasa berat untuk mentaatinya, sekalipun dalam hal yang ma’ruf. Maka sikap ini tidaklah sesuai dengan etika islam. Karena itu hendaknya setiap muslim mengetahui adab terhadap pemimpin agar menjadi rakyat yang diridhai Allah Subhanahu wa Ta’ala. Diantara adab tersebut adalah:

  1. Mendoakan pemimpin

Imam Al-Barahari berkata, “ Jika engkau melihat seseorang mendoakan kejelekan bagi penguasa maka ia adalah pengikut hawa nafsu, dan bila engkau melihat seseorang mendoakan kebaikan bagi penguasa, maka ketahuilah bahwa ia adalah pengikut sunnah.” (Syarhus Sunnah, hal. 328)

Imam Ahmad mengatakan, “Saya selalu mendoakan penguasa siang dan malam agar diberikan kelurusan dan taufik, karena saya menganggap itu suatu kewajiban.” (As-Sunna Al-Khallal, hal 82-83)

  1. Menghormati dan memuliakannya

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Penguasa adalah naungan Allah di bumi. Barangsiapa yang memuliakannya maka Allah akan memuliakan orang itu, dan barangsiapa yang menghinakannya, maka Allah akan menghinakan orang tersebut.” (HR. Ahmad 5/42, At-Tirmidzi: 2225, As-Shahihah 5/376)

Sahl bin Abdullah At-Tusturi berkata, “ Senantiasa manusia dalam kebaikan selama mereka memuliakan penguasa dan ulama, karena jika dua orang ini dimuliakan maka akan baik dunia dan akhirat mereka, dan jika keduanya diremehkan maka akan rusak dunia dan akhirat mereka.” (Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, Al-Qurthubi 5/260)

Thawus mengatakan, “Termasuk sunnah, memuliakan empat orang: orang alim, orang yang sudah tua, penguasa dan kedua orang tua.” (Syarhus sunnah, Al-Baghawi 13/41)

  1. Mendengar dan taat

Perintah untuk menaati pemimpin sangat banyak, sekalipun pemimpin tersebut sewenang-wenang, Diantaranya hadis Abdullah bin Ummar, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “”Wajib bagi seorang muslim untuk mendengar dan taat tatkala senang maupun benci. Jika disuruh kepada maksiat, maka tidak boleh mendengar dan taat.” (Muttafaq ‘Alaih)

Umar bin Khattab mengatakan, “Tidak ada Islam kecuali dengan jamaah, tidak ada jamaah kecuali dengan pemimpin, dan tidak ada pemimpin kecuali harus ditaati.” (Jami’ Bayanil Ilmi, Ibnu Abdil Barr 1/62)

  1. Menasehati dan meluruskan pemimpin dengan rahasia

Etika ini hendaknya diperhatikan bagi yang ingin menasehati pemimpin, sebagaimana Rasulullah bersabda, “Barangsiapa yang ingin menasejati pemimpin maka janganlah ia memulai dengan terang-terangan, namun hendaknya ia ambil tangannya, kemudia bicara empat mata. Jika diterima maka itulah (yang diharapkan), jika tidak maka ia telah melaksanakan kewajibannya.” (HR. Ahmad 3/303. Ath-Thabrani 17/367, dishahihkan oleh Al-Albani)

Imam Malik mengatakan, “ Merupakan kewajiban bagi seorang muslim yang telah diberikan Ilmu oleh Allah dan pemahaman untuk menemui penguasa, menyuruh mereka dengan kebaikan, mencegahnya dari kemungkaran, dan menasehatinya. Sebab, seorang alim menemui penguasa hany untuk menasehatinya, dan jika itu telah dilakukan maka termasuk keutamaan di atas keutamaan.” (Al-Adab asy-Syar’iyyah fi Bayani Haqqi ar-Ra’i war Ra’iyyah, hal. 66)

Tapi janganlah ia menceritakan kepada khalayak bahwa ia telah menasehati pemimpin, karena itu termasuk ciri-ciri riya’ dan lemahnya iman. (A-Riyadhun Nadhirah 49-50)

  1. Membantunya

Rakyat wajib membantu pemimpinnnya dalam kebaikan, sekalipun haknya dikurangi. Karena menolongnya akan membuat agama dan kaum muslimin menjadi kuat, lebih-lebih kalau ada sebagian rakyat yang ingin meneror dan memberontak kepadanya. Rasulullah bersabda, “Barangsiapa yang mendatangi kalian, ingin mematahkan kekuatan kalian atau memecah belah kalian, sedangkan kalian mempunyai pemimpin, maka bunuhlah.” (HR. Muslim: 1852)

  1. Banyak beristighfar tatkala diberikan pemimpin tidak baik

Ketahuilah, bahwa urusan kekuasaan, kedudukan, dan kerajaan adalah milik Allah. (QS. Ali Imran: 26) Allah juga menyebutkan, bahwa keadaan rakyat itulah yang menentukan siapa pemimpin mereka. Dia Subhanahu wa Ta’ala berfirman yang artinya,

“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang shalih, bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa.” (QS. An-Nur: 55)

Rahasia dari semua itu, bahwa baik atau tidaknya pemimpin, tergantung sejauh mana rakyatnya berpegang kepada syariat Islam. Muhammad Haqqi menjelaskan dalam tafsirnya,  “Jika kalian adalah ahli ketaatan, maka kalian akan dipimpin oleh orang yang penuh rahmat. Jika kalian adalah ahli maksiat, kalian akan dipimpin oleh orang yang suka menindas.”

Kondisi rakyat yang rusak agama dan akhlaknya sangat berpengaruh kepada keadaan penguasanya. Ubadah bin Shamit radhiallahu ‘anhu berkata, Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar untuk memberitahukan orang-orang tentang Lailatul Qadar, kemudian ada dua muslim bertengkar. Nabi bersabda, “’Saya keluar untuk memberitahukan tentang Lailatul Qadar, kemudian si fulan dan fulan bertengkar. Dan ilmu tentang itu sudah diangkat, dan bisa jadi itu baik bagi kalian.” (HR. Al-Bukhori: 1919)

Dari seseorang yang pernah ikut shalat Shubuh bersama Rasulullah, lalu beliau ragu-ragu pada suatu ayat. Setelah salam beliau bersabda, “Sesunguhnya telah dirancukan kepadaku Al-Quran,  karena da beberapa orang di antara kalian yang ikut shalat bersama kita tidak menyempurnakan wudhunya.” (HR. Ahmad: 15914, dihasankan oleh Al-Albani dalam shahih At-Targhib: 222)

Perhatikanlah, bagaimana Nabi dilupakan oleh Allah subhanahu wa ta’ala suatu ilmu yang sangat agung, yaitu tentang Lailatul Qadar gara-gara ada sahabat yang bertengkar, beliaupun kacau bacaannya sebab makmumnya ada yang tidak menyempurnakan wudhu!

Bagiamana lagi jika rakyat akidahnya rusak, ibadahnya jauh dari sunnah, kemudian rakyat ingin pemimpin yang shalih?! Bukankah bani Israil diubah menjadi kera ketika dipimpin oleh manusia terbaik (Nabi Musa) dan belum dikutuk tatkala dipimpin oleh Fir’aun?!

Di satu sisi, itulah hukuman bagi mereka. Sedangkan bagi rakyat yang shalih itu termasuk dalam firman Allah subhanahu wa ta’ala yang artinya,

Dan peliharalah dirimu dar sikwaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya. (QS. Al-Anfal: 25)

Jika mereka bersabar maka itu akan menghapus dosa yang telah lalu. Al-Baji (Al-Muntaqa Syarh Al-Muwaththa: 615) mengatakan, “Terkadang sekelompok orang melakukan perbuatan dosa yang hukumannya akan merembes di dunia kepada orang lain yang tidak melakukan dosa tersebut. Adapun di akhirat, seseorang tidak akan menanggung dosa orang lain.”

Wallahul musta’an

Sumber: Ustadz Abu Bakar dalam Majalah Al-Mawaddah, Vol. 79, Muharram 1436 H

Read more https://konsultasisyariah.com/23790-etika-terhadap-pemimpin.html

Pemimpin yang Bijaksana

Soliditas bangsa itu antara lain terbentuk dari sifat pemaaf para pemimpin.

Islam agama yang sempurna. Tidak ada satu pun sisi kehidupan kecuali Islam telah memberikan panduan secara lengkap, termasuk dalam kehidupan sosial. Manusia tinggal menjalankannya. Dalam kehidupan sosial, dibutuhkan sosok pemimpin yang memiliki kemampuan dalam mengatur, mengelola, mengendalikan, dan mengarahkan kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara.

Berkaitan dengan sosok pemimpin, Nabi SAW bersabda, “Jika Allah menghendaki kebaikan suatu kaum, dijadikan pemimpin-pemimpin mereka orang yang bijaksana dan dijadikan ulama-ulama mereka menangani hukum dan peradilan. Allah jadikan harta benda di tangan orang-orang yang dermawan.

Namun, jika Allah menghendaki keburukan bagi suatu kaum, Dia menjadikan pemimpin-pemimpin mereka orang yang berakhlak rendah. Dijadikan-Nya orang-orang dungu yang menangani hukum dan peradilan, dan harta berada di tangan orang-orang kikir.” (HR ad-Dailami).

Abu Ridha dalam bukunya ‘Politik Tegak Lurus PKS’ mengatakan, untuk memastikan apakah seorang pemimpin itu bijaksana dalam memimpin atau tidak, bisa dilihat dari sifat-sifat yang melekat dalam diri seorang pemimpin tersebut. Pertama, amanah. Menurut Ahmad al-Maraghi, amanah adalah sesuatu yang dipelihara dan dijaga agar sampai kepada yang berhak memilikinya. Amanah menjadi salah satu syarat menjadi pemimpin dalam Islam.

Dalam hal ini, Allah SWT berfirman, “Karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.” (QS al-Qashash [28]: 26). Kedua, cerdas. Kecerdasan seorang pemimpin yang dibutuhkan bukan hanya kualitas kecerdasan intelektual, melainkan juga kecerdasan dalam emosional dan spiritual. Dalam hal ini, Nabi SAW bersabda, “Orang yang cerdas adalah orang yang merendahkan dirinya dan beramal untuk persiapan sesudah mati.” (HR Tirmidzi).

Ketiga, tegas. Muhammad al-Amin al-Syinqithi dalam Adhwa’ul-Bayan menjelaskan, pemimpin harus seorang yang mampu menjadi qadhi (hakim) bagi rakyatnya dan menjadi seorang alim mujtahid yang tidak perlu lagi meminta fatwa kepada orang lain dalam memecahkan kasus-kasus yang berkembang di tengah masyarakat.

Dalam menghadapi kasus tertentu, Nabi tidak hanya diperintahkan bersikap tegas, tetapi juga bersikap keras. Allah SWT berfirman, “Hai Nabi, berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik itu, dan bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat mereka ialah Jahannam. Dan, itu adalah tempat kembali yang seburuk-buruknya.” (QS at-Taubah [9]: 73).

Keempat, kuat. Dalam sebuah hadis disebutkan, Abu Dzar berkata, “Wahai Rasulullah, tidakkah engkau menjadikanku (seorang pemimpin)?” Lalu, Rasul memukulkan tangannya di bahuku, dan bersabda, “Wahai Abu Dzar, sesungguhnya engkau lemah, dan sesungguhnya hal ini adalah amanah, ia merupakan kehinaan dan penyesalan pada hari kiamat, kecuali orang yang mengambilnya dengan haknya, dan menunaikannya (dengan sebaik-baiknya).” (HR Muslim).

Kelima, pemaaf. Pemaaf dan tidak menyakiti perasaan orang lain sebagai sifat mulia dan terpuji. Soliditas bangsa itu antara lain terbentuk dari sifat pemaaf para pemimpin. Sifat pemaaf ini dikategorikan sebagai sifat orang baik yang dicintai Allah. “(Yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (QS Ali Imran [3]: 134). Semoga Allah menganugerahkan kepada bangsa ini pemimpin yang bijaksana yang dapat mengantarkan kepada baldatun thayyibatun warabbun ghafur. Amin

Oleh: Imam Nur Suharno

Lima Sikap Seorang Pemimpin

Dari Ibnu Umar RA, dia berkata, “Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, ‘Kalian semua adalah pemimpin dan akan di mintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.'” (HR Bukhari dan Muslim).

Hadis tersebut menegaskan bahwa kepemimpinan memiliki tanggung jawab yang berat. Tidak hanya kepada sesama orang yang dipimpin, ma nusia, tapi juga kepada Allah Yang Ma hakuasa. Begitu besar pahala jika mampu menjadi seorang pemimpin yang diridhai Allah SWT. Hanya saja, dalam praktiknya, tidak semua orang mampu menja lankan peran kepemimpinan dengan baik.

Ada lima sikap yang harus ditanamkan dalam diri seorang pemimpin. Pertama, ikhlas menjalankan amanah kepemimpinan, hanya mengharap keridhaan Allah SWT semata. “Dan siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia pun mengerjakan kebaikan?” (QS an-Nisa: 125).

Seseorang yang menyerahkan dirinya kepada Allah Yang Mahakuasa, artinya memurnikan tujuan dan amal karena Allah SWT serta mengikuti Rasulullah SAW dan sunahnya. Kedua, sabar saat ikhlas sudah tertanam dalam hati. “Dan Kami jadi kan di antara mereka itu pemimpinpemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar, dan mereka meyakini ayat-ayat Kami.” (QS as-Sajdah: 24).

Ketiga, istiqamah berkaitan dengan perkataan, perbuatan, keadaan, dan niat. Umar bin Khatab berkata, “Istiqamah artinya engkau teguh hati pada perintah dan larangan serta tidak menyimpang seperti jalannya rubah.” Sementara, Utsman bin Affan berkata, “Istiqamah artinya amal yang ikhlas karena Allah.”

Keempat, ikhtiar yang maksimal. Berusaha sekuat tenaga memberikan pelayanan dan pengabdian terbaik dengan cara-cara yang diridhai Allah SWT. Yakinilah bahwa sekecil apa pun ikhtiar kita, jika dimaksudkan untuk kemaslahatan, Allah akan hadirkan pertolongan-Nya.

Kelima, tawakal secara total. Bertawakal kepada Allah SWT adalah cara terbaik menghadirkan ketenangan dan kasih sayang-Nya. Allah SWT berfirman, “Kemudian, apabila kamu telah membulatkan tekad maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya.” (QS Ali Imran: 159)

Demikianlah lima modal penting dalam proses kepemimpinan. Semua upaya itu adalah ikhtiar terbaik dengan kesadaran bahwa tiada daya dan kekuatan melainkan semuanya berasal dari kemahakuasaan Allah SWT. Oleh karena itu, sudah sepatut nya seorang pemimpin memiliki lima sikap tadi sebagai bekal menjalankan amanah. Wallahu a’lam.

Oleh: Mahmud

KHAZANAH REPUBLIKA

Satu Kebijakan Pemimpin yang Salah ialah Kezaliman

DARI Ma’qil bin Yasir Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda:

“Tidaklah seorang hamba yang Allah memberikan kesempatan kepadanya untuk mengatur rakyat (bawahan), tatkala (hari dimana) dia meninggal dunia, sementara ia dalam kondisi berbuat Ghisy kepada rakyatnya, kecuali Allah akan mengharamkan baginya surga.” (HR Bukhari nomor 6617, versi Fathul Bari nomor 7150 dan Muslim nomor 3509, versi Syarh Muslim nomor 142)

Telah kita sebutkan bahwasanya pemimpin yang adil akan dinaungi oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala pada hari kiamat di padang Masyhar tatkala matahari diturunkan kira-kira 1 mil. Sebaliknya, kalau ada seorang pemimpin yang tidak adil maka dia telah melakukan dosa yang sangat berbahaya.

Kenapa? Karena ketidakadilannya. Karena kezhalimannya. Karena perbuatan ghisy nya berkaitan dengan banyak orang. Berbuat zalim kepada satu orang dengan dua orang berbeda, apa lagi berbuat zalim dengan seribu orang atau bahkan satu juta orang, berbahaya!

Bayangkan! Misalnya ada seorang gubernur mengeluarkan satu peraturan yang ternyata gubernur tersebut zalim dalam peraturannya tersebut. Misalnya gubernur itu membuat aturan demi kemaslahatan dirinya dan peraturan tersebut memberi kemudharatan kepada rakyat banyak, maka betapa banyak dosa yang akan dia tanggung. Betapa banyak orang akan menuntut dia pada hari kiamat dalam persidangan di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Maka, seorang pemimpin (penguasa) hendaknya memikirkan hal ini, terutama kepada saudara-saudara kita yang bekerja di pemerintahan sebagai pegawai negeri.

Telah kita sebutkan bahwa hadis ini mencakup pemimpin yang paling utama (raja), gubernur, kemudian juga pemimpin-pemimpin kecil baik menteri maupun pemimpin-pemimpin lain seperti lurah, kepala bagian yang dia memiliki anak buah, maka dia harus melakukan yang terbaik bagi anak buahnya.

Ingat! Pemimpin itu bukanlah bekerja untuk dirinya, pemimpin adalah wakil yang ditugaskan bekerja untuk kemaslahatan rakyat. Pemimpin bekerja bukan untuk kemaslahatan dirinya tetapi untuk rakyat.

Oleh karenanya Imam Syafi’i berkata, “Kedudukan seorang pemimpin terhadap rakyatnya seperti kedudukan seorang wali terhadap yatim.”

Kita tahu anak yatim, apabila orang tuanya meninggal dunia maka ada walinya, misalnya Om nya atau kakaknya. Wali tersebut harus mengurus harta anak yatim tersebut dengan baik.

Bagaimana dia mengurus yang terbaik buat anak yatim? Dalam syariat dalam mengurus anak yatim dibolehkan seorang wali makan dari hasil anak yatim itu, namun dia tidak boleh membohongi anak yatim tersebut, misalnya mengambil banyak harta anak yatim tersebut sehingga anak yatim tersebut terlantar.

Apabila ini terjadi maka dia telah melakukan ghisy. Sama seperti pemimpin, pemimpin tatkala bersikap dengan rakyat seakan-akan dia bersikap di hadapan anak yatim. Bagaimana sikap dia?

Dia harus berusaha yang terbaik baik bagi anak yatim (rakyat) tersebut. Apabila seorang pemimpin melakukan amalan demi kemaslahatan dirinya kemudian dia mengorbankan kemaslahatan rakyat, maka dia terancam dengan neraka Jahannam dan akan diharmkan surga baginya.

Oleh karenanya sebagian ulam mengatakan, “Pemimpin yang zalim (pemimpin yang melakukan ghisy, tidak melakukan yang terbaik bagi rakyatnya atau bawahannya) adalah yang berusaha meraih kebahagiaan pribadi dengan mengorbankan kebahagiaan banyak orang.”

Kebahagiaan rakyat dikorbankan. Kebahagiaan masyarakat dia korbankan. Demi untuk kepentingan pribadi (kemaslahatan pribadi). Sebagaimana dalam kaidah, “Balasan sesuai dengan perbuatan.”

Maka pada hari kiamat kelak Allah Subhanahu wa Ta’ala akan mengambil kebahagian dia (pemimpin tersebut) karena selama di dunia dia telah mengambil kebahagiaan masyarakat. Maka Allah akan masukan dia ke dalam neraka Jahannam dan Allah akan haramkan baginya surga.

Ini ancaman yang sangat besar. Oleh karenanya, seorang pemimpin hendaknya benar-benar bertaqwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala sehingga dia bisa melakukan yang terbaik bagi rakyatnya dan dia akan memperoleh pahala yang sangat banyak.

Menjadi pemimpin yang adil yang akan dinaungi oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala pada hari kiamat kelak. Dan perlu saya ingatkan kepada para pemimpin atau yang memiliki kedudukan (jabatan) yang memiliki bawahan, bahwa seorang pemimpin harus berusaha melakukan perbaikan (nahi mungkar).

Dan dalam melakukan perbaikan tidak mesti harus terjadi perbaikan secara total. Oleh karenanya para ulama mengatakan bahwa nahi mungkar ada 2 (dua) tingkatan (martabat) yaitu:

1. Tingkatan yang pertama, ini yang terbaik, adalah merubah segala kemungkaran menjadi kebaikan (terjadi perubahan total 100 persen). Ini yang diharapkan, tapi tidak semua orang bisa melakukannya, tidak semua kondisi mendukungnya.

2. Tingkatan yang kedua, mengurangi kemungkaran. Kita mungkin memiliki jabatan dan masuk ke dalam sistem, kemudian sistem itu rusak (misalnya) ada praktek korupsi. Banyak praktek-praktek yang harm sehingga mengorbankan masyarakat dan yang lainnya.

Apabila kita tidak bisa merubah secara total hendaknya kita melakukan perbaikan. Tatkala kita melakukan proses perbaikan, sesungguhnya kita sedang bernahi mungkar dan kitapun dapat pahala dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kenapa? Karena ada perbaikan yang kita usahakan.

Oleh karenanya ini yang bisa dilakukan oleh para pegawai negeri: melakukan sesuai prosedur, melakukan perubahan demi perbaikan. Jangan sampai sebaliknya: menyalahi prosedur, melakukan kecurangan, menerima harta haram, mengorbankan masyarakat, menarik uang sebanyak mungkin dari masyarakat.

Ingat! Apabila dia melakukan seperti ini maka dia akan binasa kelak pada hari kiamat. [Ustadz Firanda Andirja, MA]

INILAH MOZAIK

Sosok Pemimpin Amanah

Umar bin Abdul Aziz berdiri di atas mimbar di hari Jumat. Ia kemudian menangis. Ia telah dibaiat umat Islam sebagai pemimpin. Di sekelilingnya terdapat para pemimpin, menteri, ulama, penyair dan panglima pasukan.

Ia berkata, ”Cabutlah pembaiatan kalian!” Mereka menjawab, ”Kami tidak menginginkan selain Anda!” Ia kemudian memangku jabatan itu, sedang ia sendiri membencinya.

Tidak sampai satu minggu kemudian, kondisi tubuhnya sangat lemah dan air mukanya telah berubah. Bahkan ia tidak mempunyai baju kecuali hanya satu. Orang-orang bertanya kepada istrinya tentang apa yang terjadi pada khalifah.

Istrinya menjawab, ”Demi Allah, ia tidak tidur semalaman. Demi Allah, ia beranjak ke tempat tidurnya, membolak-balik tubuhnya seolah tidur di atas bara api, Ia mengatakan, ”Ah, ah, aku memangku urusan umat Muhammad SAW, sedang pada hari Kiamat aku akan dimintai tanggungjawab oleh fakir dan miskin, anak-anak dan para janda.”

Itulah sosok pemimpin yang amat memegang amanah serta tanggung jawab, melebihi apapun. Khalifah Umar justru tidak melihat kesempatan untuk memperkaya diri atau memanfaatkan jabatannya itu, melainkan beban berat yang dipikulnya di hari Kiamat kelak.

Oleh karenanya, sejarah mencatat, selama kepemimpinan nya, sang Khalifah benar-benar bertindak dengan mendahulukan kepentingan umat. Dan hal tersebut juga ditanamkan kepada segenap anggota keluarganya.

 

MOZAIK REPUBLIKA

Menjadi Pemimpin Pengubah Sepanjang Masa

Siapa yang tak kenal sosok Nabi Muhammad SAW. Namanya sering disebut dan disanjung, baik dalam shalat, berdoa maupun ketika bershalawat. Dialah panutan agung yang menjadi teladan utama dalam kehidupan. Dia telah berhasil membebaskan manusia dari kungkungan peradaban kegelapan jahiliyah menuju peradaban yang tercerahkan dengan cahaya Islam. Inilah misi besar yang diemban oleh Nabi Muhammad SAW ketika diangkat menjadi Nabi dan Rasul terakhir yang diutus di muka bumi. Maka, misi ini, dapat dijalankan dengan baik dan sukses oleh Nabi Muhammad SAW dalam rentang waktu relatif singkat, yakni 23 tahun. Karenanya, Beliau dinobatkan sebagai manusia yang paling suskes dan tokoh perubahan yang paling berpengaruh di dunia sepanjang masa.

Dalam Alquran diungkapkan: Artinya: “Alif, laam raa. (Ini adalah) Kitab yang Kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang dengan izin Tuhan mereka, (yaitu) menuju jalan Tuhan yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji” (QS. Ibrahim [14]:1).

Kehadiran Baginda Nabi Muhammad SAW di dunia ini adalah anugerah terbesar bagi kehidupan manusia. Karena tidak dapat dibayangkan, bagaimana gelap dan kelamnya kehidupan apabila tidak ada cahaya petunjuk dari risalah yang dibawa oleh Beliau. Maka, kehadiran Beliau bagaikan cahaya rembulan yang menerangi kegelapan malam, ataupun ibarat sinar mentari yang menyinari bumi yang memberi energi dan spirit bagi denyut nadi kehidupan.

Ini ditegaskan dalam Alquran: Artinya: “Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus di antara mereka seorang Rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al-Kitab dan Al-Hikmah. Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata” (QS. Ali-‘Imran [3]:164).

Nabi Muhammad SAW adalah manusia biasa seperti pada umumnya dalam hal naluri, fungsi fisik, dan kebutuhannya. Namun, bukan dalam sifat-sifat dan keagungannya, karena Beliau mendapat bimbingan Allah dan kedudukan istimewai di sisi-Nya. Quraish Shihab (2007:70) melukiskan, “Seperti halnya permata adalah jenis batu yang sama jenisnya dengan batu yang di jalan, tetapi ia memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki oleh batu-batu lain. Dalam bahasa Alquran, yang sama dengan manusia lain adalah basyariyah (unsur jasadiyahnya), bukan pada insaniyah (unsur rohaniyahnya)”.

Dalam Alquran diungkapkan: Artinya: “Katakanlah: ‘Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: ‘Bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan Yang Esa’. Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shaleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya” (QS. Al-Kahfi [18]:110).

Pada pribadi Nabi Muhammad SAW terhimpun keagungan sifat-sifat manusia. Beliau memiliki segala sifat terpuji yang dapat dimiliki oleh manusia. Karena itu, sosok Rasulullah SAW menjadi suri teladan ideal bagi siapapun manusia dalam tingkatan dan lapisan masyarakat. Apakah dia sebagai individu maupun anggota masyarakat misalnya sebagai kepala keluarga, kepala lembaga, pemimpin bangsa, komandan perang di medan laga, maupun rakyat jelata. Maka, setiap Muslim akan kagum dan bangga melihat sosok Rasulullah SAW, baik menurut kaca mata ilmu dan kemanusiaan maupun kaca mata iman dan agama.

Dalam Alquran diungkapkan: Artinya: “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah” (QS. Al-Ahzab [33]:21).

Al-uswah secara bahasa maknanya al-qudwah, yakni teladan yang harus diikuti. Kata Muhammad Ali Ash-Shabuni (1980:520), bahwa “Dalam pribadi Rasul yang agung ini terdapat teladan terbaik yang harus diikuti dalam keikhlasannya, perjuangannya, kesabarannya, dialah contoh utama yang harus ditiru dalam segala ucapannya, perbuatannya dan sifat-sifatnya, karena dia tidak berkata dan berbuat menurut hawa nafsunya, tetapi berdasarkan wahyu yang diturunkan, karena itu wajib bagi kamu mengikuti jalannya.”

Keteladanan Rasulullah SAW yang sangat fenomenal adalah keberhasilannya membangun komunitas masyarakat yang maju dan mandiri. Seperti dituturkan dengan tinta emas dalam tarikh (sejarah) Islam, bahwa setelah Rasulullah SAW dan para sahabatnya hijrah ke Yatsrib, maka mereka menemukan momentum dan lahan yang kondusif untuk menyemai benih-benih peradaban Islam.

Karena itu dalam manifesto perjuangannya, Beliau mengubah nama Yatsrib dengan Madinah. Perubahan nama ini mengindikasikan cita-cita Nabi Muhammad SAW yang hendak mewujudkan masyarakat ideal (madani) yang berperadaban tinggi. Maka, selama tinggal di Madinah, Rasulullah SAW berhasil membangun model masyarakat baru yang egaliter dan demokratis, yang lebih populer disebut masyarakat madani (civil society).

Nurcholish Madjid (1999:164) memberikan apresiasi yang mendalam mengenai perubahan nama Yatsrib menjadi Madinah, karena membawa implikasi sosiologis dan politis terhadap perubahan masyarakat ke depan. Dia menjelaskan, “Secara konvensional perkataan ‘madinah’ memang diartikan sebagai kota. Tetapi secara ilmu kebahasaan perkataan itu mengandung makna peradaban. Dalam bahasa Arab memang ‘peradaban’ dinyatakan dalam kata-kata madaniyah atau tamaddun, selain juga dalam kata hadharah. Karena itu tindakan Nabi SAW mengubah nama Yatsrib menjadi Madinah pada hakikatnya adalah sebuah pernyataan niat, atau proklamasi, bahwa Beliau bersama para pendukungnya yang terdiri dari kaum Muhajirin dan Anshar hendak mendirikan dan membangun masyarakat beradab”.

Dalam rentang waktu yang sangat singkat, sekitar 10 tahun tinggal di Madinah, Rasulullah SAW berhasil membangun tipe masyarakat ideal untuk ukuran zamannya. Sehingga, Madinah kemudian dikenal sebagai Madinatun Nabi (Kota Nabi). Al-Farabi filsuf Muslim Abab Pertengahan seperti diungkapkan Dawam Rahardjo (1993:495), menamakan masyarakat dengan ciri-ciri kosmopolitan itu sebagai Al-Madinah Al-Fadlilah (Masyarakat Utama). Maka tak berlebihan, bila sejarawan barat yang beragama Kristen, Michael Hart, dalam bukunya The Hundred, menempatkan Nabi Muhammad SAW pada urutan pertama dari 100 tokoh dunia yang paling berpengaruh sepanjang masa. Penilaian objektif ini berdasarkan pada asumsi, bahwa Nabi Muhammad SAW telah sukses membangun peradaban umat manusia secara gemilang dengan ajaran Islam yang diembannya.

Maka, umat Islam digelari Khaeru Ummah, artinya umat terbaik dan pilihan. Karena mampu menjadi lokomotif perubahan dengan membawa 3 misi kemanusiaan: (1) humanisasi, yaitu memanusiakan manusia dengan memerintahkan kebajikan; (2) liberasi, yaitu membebaskan manusia dari belenggu kedurhakaan dengan mencegah perbuatan munkar; dan (3) transendensi, yakni memelihara keimanan dan ketauhidan dalam kehidupan.

Hal ini sejalan dengan firman Allah SWT: Artinya: “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik” (QS. Ali-‘Imran [3]:110). Wallahu A’lam Bish-Shawaab.

Oleh: Dudung Abdul Rohman *)
*) Widyaiswara Balai Diklat Keagamaan Bandung

 

 

sumber: Republika Online