Usia Berapa Sebaiknya Anak Mondok di Pesantren?

Jika ingin memasukkan anak di pesantren, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh para orang tua. Salah satunya adalah faktor usia. Menurut psikolog Fitri Ariyanti Abidin usia anak penting jadi pertimbangan. Ada pesantren yang menerima anak mondok di usia SD, SMP dan SMA. Namun ia kurang sepakat memasukkan anak ke pesantren di usia SD.

Usia tersebut, dia mengatakan, adalah masa perkembangan penajaman nilai-nilai dasar kepada anak. “Selain itu, anak usia SD masih membutuhkan fondasi dari orangtua. Makanya, kurang tepat memasuki anak di usia dini (SD),” katanya.

Ia melihat usia pas memasukkan anak ke pesantren saat SMP. Usia SMP anak menganggap peran orang tua tidak begitu dominan lagi, malahan peran teman yang dianggapnya lebih besar. Peran berikutnya yang harus dilakukan orang tua mengetahui secara langsung pesantren tujuan. “Jangan sekadar membaca brosur atau cerita orang lain,” katanya.

Fitri mengatakan, lebih baik orang tua datang langsung ke pesantren dan tanyakan secara detail bagaimana sistem yang berlaku di pesantren. “Penekanannya apa saja dan bagaimana pola pengasuhan. Hal-hal tersebut harus diketahui secara mendetail, karena pola asuh orangtua terhadap anaknya akan diserahkan kepada pesantren,” kata Fitri.

Informasi mendetail ini sangat dibutuhkan untuk menghindari pola asuh yang tidak sesuai dengan keinginan orang tua. Misalkan, pola pengasuhan sangat disiplin dengan memberlakukan hukuman fisik yang tidak dikehendaki orangtua.

Amin Haedari, direktur Pendidikan Diniyah dan Ponpes Depag, mengakui, anak yang baru masuk ponpes sering terkaget-kaget. Sebab, pola pendidikan di pesantren sangat berbeda dengan di rumah. Di pesantren anak-anak didik mandiri, disiplin, karena ponpes tidak ingin menghasilkan pimpinan yang cengeng dan tidak tahan banting. “Reaksi ini wajar sebagai bentuk ketidaksiapan anak menghadapi perubahan,” kata Fitri.

Memang, pengalaman selama ini tidak semua anak yang masuk ponpes langsung betah. Ada yang kaget, stres, bahkan ingin pulang. Karena itu, sebelum anak masuk ponpes segala informasi yang diperoleh, dia menyarankan, sebaiknya sampaikan kepada anak agar ia tahu dan bersiap-siap. Di antaranya, aturan di ponpes harus bangun sebelum Subuh, makan harus antre, mandi bergiliran bahkan ada yang harus memasak sendiri.

Pesantren yang paham dengan kondisi anak-anak akan lebih lentur. Biasanya, dia mengatakan, pondok memberi kesempatan kepada anak-anak untuk beradaptasi. Sehingga aturannya pada tahap awal tidak terlalu ketat.

Jika masa adaptasi tiga bulan sudah berakhir tapi anak masih ingin tetap pulang, berarti ada sesuatu yang membuat anak tidak nyaman. Fitri menyarankan orang tua untuk mencari tahu sumbernya. “Mungkin saja teman-teman atau lingkungan yang tidak menyenangkan,” katanya.

 

sumber: Republika Online

Tiga Cara Menanamkan Akidah pada Anak-Anak Kita

Orangtua tidak boleh merasa cukup dengan hanya menyekolahkan anak. Sebab akidah ini tidak bisa diwakilkan kepada sekolah

 

SEBAGAI seorang Muslim, tentu tidak ada panduan yang lebih diutamakan dalam mengambil keputusan selain Al-Qur’an.

Hal ini penting, mengingat Al-Qur’an adalah satu-satunya kitab suci yang absolut benar. Mengikutinya secara totalitas berarti menyiapkan diri dan keluarga dalam kebahagiaan. Dan, menolaknya, berarti menjerumuskan dir dan keluarga dalam kesengsaraan.

Oleh karena itu, mau bagaimanapun dunia ini diwarnai oleh hasil karya cipta manusia, seorang Muslim tidak akan pernah bergeser dari menjalani hidup sesuai dengan tuntunan Islam, yakni Al-Qur’an dan Sunnah. Termasuk dalam hal menentukan prioritas dalam mendidik anak.

Dalam masalah pendidikan, Islam meletakkan pendidikan akidah di atas segala-galanya. Dan, itulah yang Allah tekankan dengan menggambarkan betapa getolnya Nabi Ya’kub dalam masalah ini. Sampai ketika anak-anaknya pun dewasa, pertanyaan beliau adalah masalah akidah.

أَمْ كُنتُمْ شُهَدَاء إِذْ حَضَرَ يَعْقُوبَ الْمَوْتُ إِذْ قَالَ لِبَنِيهِ مَا تَعْبُدُونَ مِن بَعْدِي

“Adakah kamu hadir ketika Ya’qub kedatangan (tanda-tanda) maut, ketika ia berkata kepada anak-anaknya: “Apa yang kamu sembah sepeninggalku?” (QS. Al-Baqarah [2]: 133).

Dalam tafsirnya, Ibn Katsir menjelaskan bahwa kewajiban orangtua adalah memberi wasiat kepada anak-anaknya untuk senantiasa beribadah kepada Allah semata.

Hal ini memberikan petunjuk penting bahwa kewajiban utama orangtua terhadap anak-anaknya adalah tertanamnya akidah dalam sanubarinya, sehingga tidak ada yang disembah melainkan Allah Ta’ala semata.

Lantas, bagaimana cara kita menanamkan pendidikan akidah pada anak di zaman seperti sekarang ini?

Pertama, dekatkan mereka dengan kisah-kisah atau cerita yang mengesakan Allah Ta’ala.

Terkait hal ini para orangtua sebenarnya tidak perlu bingung atau kehabisan bahan dalam mengulas masalah cerita atau kisah. Karena, Al-Qur’an sendiri memiliki banyak kisah inspiratif yang semuanya menanamkan nilai ketauhidan.

Akan tetapi, hal ini tergantung pada sejauh mana kita sebagai orangtua memahami kisah atau cerita yang ada di dalam Al-Qur’an. Jika kita sebagai orangtua ternyata tidak memahami, maka meningkatkan intensitas atau frekuensi membaca Al-Qur’an sembari memahami maknanya menjadi kebutuhan yang tidak bisa ditunda.

Kalaupun dengan cara membaca ternyata masih belum bisa. Kita bisa menyiasatinya dengan membeli buku-buku kisah dalam Al-Qur’an. Jadi, orangtua jangan pernah membelikan anak-anaknya buku cerita, novel atau kisah apapun yang tidak mengandung nilai akidah. Lebih-lebih yang mengandung unsur mitos dan pluralisme-liberalisme.

Mengapa demikian? Orangtua mesti sadar bahwa anak-anak kita saat ini adalah target dari upaya sekulerisme peradaban Barat. Untuk itu, sejak dini, anak-anak kita sudah harus memiliki kekuatan akidah sesuai dengan daya nalar dan psikologis mereka.

Oleh karena itu, tahapan dalam menguatkan akidah anak harus benar-benar kita utamakan. KH. Zainuddin MZ berpesan dalam salah satu pencerahannya, “Didik mereka dengan jiwa tauhid yang mengkristal di dalam batinnya, meresap sampai ke tulang sumsumnya, yang tidak akan sampaipun nyawa berpisah dari badannya, akidah itu tidak akan terpisah dari hatinya. Bahkan dia sanggup dengan tegar berkata, ‘Lebih baik saya melarat karena mempertahankan iman dari pada hidup mewah dengan menjual akidah.”

Kedua, ajak anak mengaktualisasikan akidah dalam kehidupan sehari-hari.

Setelah langkah di atas, selanjutnya tugas kita sebagai orangtua adalah mengajak mereka untuk mengaktualisasikan akidah dalam kehidupan sehari-hari.

Apabila anak kita belum baligh, maka aktualisasi akidah ini bisa dilakukan dengan mengajak anak ikut mendirikan sholat. Sesekali kita kenalkan dengan masjid, majelis taklim, dan sebisa mungkin ajak mereka untuk senantiasa mendengar bacaan Al-Qur’an dari lisan kedua orangtuanya.

Apakah tidak boleh dengan murottal melalui alat elektronik? Jika tujuan kita adalah mengajak, maka keteladanan jauh lebih efektif.

Adapun kala anak kita sudah baligh maka orangtua harus tegas dalam masalah akidah ini. Jika anak sudah berusia 10 tahun dan enggan mendirikan sholat, maka memberi hukuman dengan memukul sekalipun, itu dibolehkan.

Apabila anak kita perempuan, maka mewajibkan mereka berjilbab menjadi satu keniscayaan. Dan, itu adalah bagian dari aktualiasi akidah.

Dengan demikian, sejatinya tugas orangtua dalam masalah akidah ini benar-benar tidak mudah. Sebab selain mengajak, orangtua juga harus senantiasa melakukan kontrol akidah anak-anaknya. Terlebih pengaruh budaya saat ini, seringkali menggelincirkan kaum remaja pada praktik kehidupan yang mendangkalkan akidah.

Ketiga, mendorong anak-anak untuk serius dalam menuntut ilmu dengan berguru pada orang yang kita anggap bisa membantu membentuk frame berpikir islami pada anak.

Orangtua tidak boleh merasa cukup dengan hanya menyekolahkan anak. Sebab akidah ini tidak bisa diwakilkan kepada sekolah atau universitas. Untuk itu, orangtua mesti memiliki kesungguhan luar biasa dalam hal ini.

Dengan cara apa? Di antaranya adalah dengan mencarikan guru yang bisa menyelamatkan dan menguatkan akidah mereka.

Dorong anak-anak kita untuk bersilaturrahim, berkunjung ke pengasuh pesantren agar belajar, diskusi atau sharing masalah akidah. Dorong mereka untuk mendatangi majelis-majelis ilmu yang diisi oleh guru, ustadz, ulama atau pun figur publik Muslim yang terbukti sangat baik dalam menguatkan akidah anak.

Mengapa kita sebagai orangtua merasa ringan mengeluarkan biaya untuk kursus ini, kursus itu, sementara untuk akidah yang super penting, bahkan untuk masalah surga dan neraka kita sendiri, kita sebagai orangtua justru tidak mempedulikannya.

Semoga uraian sederhana ini, membantu para orangtua untuk kembali pada orientasi pendidikan Islam yang sesungguhnya. Karena hidup ini bukan semata dunia, tetapi juga akhirat. Maka jangan abaikan masalah yang sangat menentukan dan diperhatikan super serius oleh para Nabi dan Rasul. Wallahu a’lam.

 

sumber: Hidayatullah

Memperkuat Pendidikan Diniyah

Oleh: H. M. Hamdar Arraiyyah, Kepala Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan

Pendidikan agama di sekolah telah dilaksanakan di Indonesia untuk waktu yang lama. UU Nomor 12 Tahun 1954 memuat pasal tentang pengajaran agama di sekolah-sekolah negeri ( BAB XII, Pasal 20). Pada masa UU ini diberlakukan, sekolah memberikan pelajaran agama bergantung pada umur dan kesecradasan murid-muridnya; Murid-murid yang sudah dewasa boleh menetapkan ikut dan tidaknya pelajaran agama; Pelajaran agama tidak mempengaruhi kenaikan kelas anak.

Kebijakan yang lebih tegas ditetapkan kemudian melalui TAP MPRS RI No. XXVII/MPRS/1966. Pendidikan agama menjadi mata pelajaran di sekolah-sekolah mulai dari sekolah dasar sampai dengan universitas-universitas negeri (BAB I, Pasal 1). Kebijakan pemerintah tersebut tidak terlepas dari tantangan yang dihadapi oleh masyarakat dan  bangsa pada waktu itu yang berusaha membebaskan masyarakat dari pengaruh paham komunisme.

Walau kebijakan tentang pengajaran agama pada masa lalu itu masih berlaku secara terbatas pada lembaga pendidikan yang dikelola oleh pemerintah, namun pengaruh positifnya dirasakan. Guru agama Islam yang diangkat oleh pemerintah pada tahun 1967 telah menjalankan tugas, dengan kelebihan dan keterbatasan, memberi kesempatan banyak peserta didik pada semua jenjang pendidikan untuk memperoleh pelajaran agama Islam. Jasa mereka tak dapat dipisahkan dari kondisi kehidupan beragama di kalangan umat yang semakin maju hingga pada waktu sekarang.

Salah satu fakta yang menandai kemajuan tesebut adalah peningkatan jumlah masjid dan mushalla yang mencolok pada akhir dekade tahun 1970-an dan sepanjang tahu 1980-an. Pengaruh lebih lanjut ialah tumbuhnya kesadaran banyak orang untuk menampakkan identitas keagamaan sebagai muslim. Masjid dan mushalla dibangun di lingkungan kantor pemerintahan, barak militer, kantor polisi, perusahaan milik pemerintah dan swasta.

Kaum terpelajar tidak lagi merasa asing dengan ajaran agamanya, seperti ditunjukkan sebagian orang yang tidak sempat mendapat pelajaran agama pada masa sebelumnya. Bahkan banyak kaum terpelajar menjadi pelopor aktivitas keagamaan Islam di tempat kerja atau lingkungan tempat tinggal mereka. Fenomena beberapa tahun terakhir ini, mushalla di mal ramai dikunjungi jamaah untuk salat, walaupun tempat yang disediakan sebagian pengelola mal adanya di tempat parkir, kondisi yang mencerminkan posisi umat dalam bidang ekonomi.

 

Keterbatasan pada Pelaksanaan Pendidikan Agama Islam (PAI)

Penyelenggaraan PAI di sekolah tidak luput dari kelemahan dan keterbatasan. Struktur kurikulum sering disoroti, karena hanya mengalokasikan dua jam pelajaran per minggu untuk pendidikan agama. Kurikulum 2013 merespons kritik dengan tambahan satu jam, sehingga jumlahnya menjadi tiga jam pelajaran, tetapi kebijakan terkait kurikulum ini berubah.

Kelemahan dari segi hasil belajar, yang sering ditunjuk, adalah kemampuan baca tulis Alquran sebagian murid yag tamat SD di banyak daerah tergolong rendah. Sebagian mungkin tidak mampu membaca Alquran dengan lancar. Hal yang sama terjadi pada siswa pada tingkat atau jenjang yang lebih tinggi. Indikator lainnya adalah sebagian siswa belum menjalankan ibadah salat lima waktu secara teratur.

Indikator lainnya yaitu tingkah laku sebagian siswa yang menyimpang dari ajaran agama berupa pelanggaran terhadap norma kesopanan dan kesusilaan yang kerap terjadi dan cenderung semakin mengkhawatirkan pihak orangtua. Kebiasaan tawuran antar siswa tidak salah juga bila dimasukkan sebagai salah satu contoh, meskipun banyak faktor penyebab yang lain.

Penambahan alokasi waktu pada kurikulum berada di tangan pemerintah. Pihak yang merasa kurang puas dengan hasil PAI di sekolah tidak semestinya bertumpu pada kebijakan itu sebagai satu-satunya solusi. Sejumlah sekolah mempunyai aktivitas keagamaan bagi siswa dalam bentuk ekstrakurikuler yang semarak karena kreativitas kepala sekolah bersama guru dan tenaga kependidikan lainnya. Antisipasi terhadap keterbatasan itu dapat pula dilakukan melalui peran serta masyarakat melalui penyelenggaraan madrasah diniyah takmiliyah.

Mengoptimalkan Peran Madrasah Diniyah Takmiliyah (MDT)

Madrasah diniyah takmiliyah termasuk kategori pendidikan keagamaan nonformal. Madrasah ini dimaksudkan untuk melengkapi, memperkaya dan memperdalam PAI pada MI/SD, MTs/SMA, MA/SMA, MAK/SMK. Pengayaan serupa juga dilakukan untuk mahasiswa. Lembaganya disebut Al-Jamiyah (PMA/13 Tahun 2014). Sesuai dengan tujuannya itu, maka kurikulum MDT setidaknya meliputi mata pelajaran Al-Qur’an, Al-Hadits, Fiqih, Akhlak, Sejarah Kebudayaan Islam, dan Bahasa Arab. Jika ini dipilih sebagai solusi, maka peserta didik di satuan pendidikan formal pada semua jenjang berpeluang untuk memperoleh pengetahuan dasar tentang agama Islam yang kuat. Bahkan ke depan, bekal itu baik dari segi  kompetensi siswa maupun ijazah dapat dilanjutkan untuk menjadi ahli agama Islam yang mampu menjalankan peran sebagai pembimbing kepada masyarakat luas.

Penyelenggaraan MDT diharapkan tumbuh pesat. Regulasi penyelenggaraan MDT memberi kemudahan untuk itu. Misalnya, MDT dapat mengambil bentuk sebagai satuan pendidikan atau program. Jika bentuknya satuan pendidikan, maka harus ada izin penyelenggaraan dari kantor Kemenag setempat. Jika pilihannya dalam bentuk program, maka penyelenggaraannya cukup menyampaikan laporan kepada kantor Kementrian Agama setempat. Persyaratan dari segi jumlah murid yaitu minimal lima belas orang.

Sesuai dengan bentuk pengelolaannya, maka MDT dapat dilakukan oleh pesantren, pengurus masjid, pengelola pendidikan formal dan non formal, organisasi kemasyarakatan Islam, dan lembaga sosial keagamaan Islam lainnya. Artinya, lembaga pendidikan yang sudah ada dapat diperluas fungsinya untuk mendukung penyelenggaraan MDT.

Hal yang sama dapat dilakukan oelh institusi keagamaan berupa masjid yang ada di setiap komunitas muslim. Lembaga ataupun pranata ini memiliki ruang yang dapat difungsikan sebagai tempat berlangsungnya proses pembelajaran. Persyaratan untuk meyelenggarakan MDT dibuat sedemikian rupa untuk meningkatkan kualitas pemahaman, penghayatan, dan pengalaman agama bagi siswa muslim. Persyaratan itu mudah diatasi oleh organisasi keagamaan Islam, jika ada keinginan kuat ke arah itu.

Kementerian Agama di tingkat kabupaten/kota bertugas memberikan layanan administrasi, bimbingan teknis pengelolaan, dan melakukan evaluasi. Idealnya, tugas itu diperluas dengan melakukan penyuluhan kepada masyarakat untuk mendorong partisipasi pada penyelenggaraan dan penguatan MDT. Paling tidak, orangtua murid mengarahkan anaknya untuk ikut belajar di MDT, yang di banyak daerah berlangsung pada sore hari.

Pilihan waktu disesuaikan dengan aktivitas murid belajar di lembaga pendidikan formal pada pagi hari. Penyuluhan ini penting karena masih banyak lingkungan di perkotaan atau dusun di pedesaan yang belum memiliki MDT. Tidak sedikit juga MDT yang berjalan sporadis, dalam arti murid yang terdaftar tidak mengikuti aktivitas pembelajaran di MDT secara teratur.

Penyelenggaraan MDT sangat membutuhkan dukungan dari kepala sekolah dan guru agama. Anjuran dari kepala sekolah kepada siswa di tempatnya bertugas merupakan senjata ampuh untuk meramaikan aktivitas belajar di MDT. Selain itu, benturan aktivitas ekstrakulikuler di sekolah dengan waktu belajar siswa di MDT dapat dihindari melalui pengaturan yang bijak dari kepala sekolah. Jika terjadi benturan, tidak sedikit siswa mendahulukan aktivitas sekolah. Dalam konteks ini, spirit keagamaan dan kemampuan mencari jalan keluar yang menguntungkan semua pihak diperlukan

Madrasah diniyah sudah lama dikenal di banyak daerah sekitar empat sampai lima dasawarsa silam. Tetapi kondisinya fluktuatif. Silih berganti, maju mundur. Lagi pula, MDT yang berkembang umumnya baru pada tingkat MI/SD, yakni MDT Ula. MDT Wustha untuk MTs/SMP dan Ulya untuk MA/SMA/SMK masih sangat terbatas. Pengembangan ke arah ini memerlukan terobosan. Satu dua pemerintah kabupaten/kota telah membuat Peraturan Daerah untuk mengoptimalkan peran MDT dalam pembinaan agama bagi siswa. Ini patut diapresiasi dan dicontoh oleh daerah lain.

MDT sama fungsinya denga Pendidikan Alquran (PA) yang sekarang ini banyak diselenggakarakan di masjid atau mushalla. Hanya saja, mata pelajaran yang diberikan di PA terbatas pada pengembangan kemampuan membaca, menulis, menghafal dan memahami Alquran. Kehadiran PA yang cukup semarak patut disambut gembira dan diberikan dukungan. Lebih maju lagi, jika PA ditingkatkan menjadi MDT sesuai tingkatannya.

Dewasa ini bentuk dukungan yang masih sangat dibutuhkan dalam pengembangan MDT adalah ketersediaan guru yang memiliki kompetensi dan siap mengabdi dengan sepenuh hati. Masalahnya, kesejahteraan guru sering diabaikan. Ini memang semestinya diusahakan oleh pengelola dengan memanfaatkan dukungan dana dari masyarakat secara bersama-sama serta bantuan pemerintah. Jika ini dilakukan secara profesional, maka kegiatan ini menyerap tenaga kerja alumni Perguruan Tinggi Keagamaan Islam. Semoga.

 

sumber: Republika Online

Lima Poin Pendidikan Anak Dalam Islam

Bunda, apakah ilmumu hari ini? Sudahkah kau siapkan dirimu untuk masa depan anak-anakmu? Bunda, apakah kau sudah menyediakan tahta untuk tempat kembali anakmu? Di negeri yang Sebenarnya. Di Negeri Abadi? Bunda, mari kita mengukir masa depan anak-anak kita. Bunda, mari persiapkan diri kita untuk itu.

Hal pertama Bunda, tahukah dikau bahwa kesuksesan adalah cita-cita yang panjang dengan titik akhir di Negeri Abadi? Belumlah sukses jika anakmu menyandang gelar atau jabatan yang tertinggi, atau mengumpulkan kekayaan terbanyak. Belum Bunda, bahkan sebenarnya itu semua tak sepenting nilai ketaqwaan. Mungkin itu semua hanyalah jalan menuju ke Kesuksesan Sejati. Atau bahkan, bisa jadi, itu semua malah menjadi penghalang Kesuksesan Sejati.

Gusti Allah Yang Maha Mencipta Berkata dalam KitabNya:

“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam syurga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.” (QS 3:185)

Begitulah Bunda, hidup ini hanya kesenangan yang menipu, maka janganlah tertipu dengan tolok ukur yang semu. Pancangkanlah cita-cita untuk anak-anakmu di Negeri Abadi, ajarkanlah mereka tentang cita-cita ini. Bolehlah mereka memiliki beragam cita-cita dunia, namun janganlah sampai ada yang tak mau punya cita-cita Akhirat.

Kedua, setelah memancangkan cita-cita untuk anak-anakmu, maka cobalah memulai memahami anak-anakmu. Ada dua hal yang perlu kau amati:

Pertama, amati sifat-sifat khasnya masing-masing. Tidak ada dua manusia yang sama serupa seluruhnya. Tiap manusia unik. Pahami keunikan masing-masing, dan hormati keunikan pemberian Allah SWT.

Yang kedua, Bunda, fahami di tahap apa saat ini si anak berada. Allah SWT mengkodratkan segala sesuatu sesuai tahapan atau prosesnya.
Anak-anak yang merupakan amanah pada kita ini, juga dibesarkan dengan tahapan-tahapan.

Tahapan sebelum kelahirannya merupakan alam arwah. Di tahap ini kita mulai mendidiknya dengan kita sendiri menjalankan ibadah, amal ketaatan pada Allah dan juga dengan selalu menjaga hati dan badan kita secara prima. Itulah kebaikan-kebaikan dan pendidikan pertama kita pada buah hati kita.

Pendidikan anak dalam Islam, menurut Sahabat Ali bin Abitahalib ra, dapat dibagi menjadi 3 tahapan/ penggolongan usia:

  1. Tahap BERMAIN (“la-ibuhum”/ajaklah mereka bermain), dari lahir sampai kira-kira 7 tahun.
  2. Tahap PENANAMAN DISIPLIN (“addibuhum”/ajarilah mereka adab) dari kira-kira 7 tahun sampai 14 tahun.
  3. Tahap KEMITRAAN (“roofiquhum”/jadikanlah mereka sebagai sahabat) kira-kira mulai 14 tahun ke atas.

Ketiga tahapan pendidikan ini mempunyai karakteristik pendekatan yang berbeda sesuai dengan perkembangan kepribadian anak yang sehat. Begitulah kita coba memperlakukan mereka sesuai dengan sifat-sifatnya dan tahapan hidupnya.

Hal ketiga adalah memilih metode pendidikan. Setidaknya, dalam buku dua orang pemikir Islam, yaitu Muhammad Quthb (Manhaj Tarbiyah Islamiyah) dan Abdullah Nasih ’Ulwan (Tarbiyatul Aulad fil Islam), ada lima Metode Pendidikan dalam Islam.

Yang pertama adalah melalui Keteladanan atau Qudwah, yang kedua adalah dengan Pembiasaan atau Aadah, yang ketiga adalah melalui Pemberian Nasehat atau Mau’izhoh, yang keempat dengan melaksanakan Mekanisme Kontrol atau Mulahazhoh, sedangkan yang terakhir dan merupakan pengaman hasil pendidikan adalah Metode Pendidikan melalui Sistem sangsi atau Uqubah.

Bunda, jangan tinggalkan satu-pun dari ke lima metode tersebut, meskipun yang terpenting adalah Keteladanan (sebagai metode yang paling efektif).

Setelah bicara Metode, ke empat adalah Isi Pendidikan itu sendiri. Hal-hal apa saja yang perlu kita berikan kepada mereka, sebagai amanah dari Allah SWT.
Setidak-tidaknya ada 7 bidang. Ketujuh Bidang Tarbiyah Islamiyah tersebut adalah: (1) PendidikanKeimanan (2) Pendidikan Akhlaq (3) Pendidikan Fikroh/ Pemikiran (4) Pendidikan Fisik (5) PendidikanSosial (6) Pendidikan Kejiwaan/ Kepribadian (7) Pendidikan Kejenisan (sexual education). Hendaknya semua kita pelajari dan ajarkan kepada mereka.

Ke lima, kira-kira gambaran pribadi seperti apakah yang kita harapkan akan muncul pada diri anak-anak kita setelah hal-hal di atas kita lakukan? Mudah-mudahan seperti yang ada dalam sepuluh poin target pendidikan Islam ini:
Selamat aqidahnya, Benar ibadahnya, Kokoh akhlaqnya, Mempunyai kemampuan untuk mempunyai penghasilan, Jernih pemahamannya, Kuat jasmaninya, Dapat melawan hawa nafsunya sendiri, Teratur urusan-urusannya, Dapat menjaga waktu, Berguna bagi orang lain.

Insya Allah, Dia Akan Mengganjar kita dengan pahala terbaik, sesuai jerih payah kita, dan Semoga kita kelak bersama dikumpulkan di Negeri Abadi. Amin. Wallahua’lam, (SAN)

Catatan:

  • Lima Poin Pendidikan Anak: -1.Paradigma sukses-2.Mengenal Tahapan dan Sifat-3.Metode-4.Isi-5.Target.
  •  Buku Muhammad Quthb (Manhaj Tarbiyah Islamiyah) diterjemahkan dengan judul “Sistem Pendidikan Islam” terbitan Al-Ma’arif Bandung, dan buku Abdullah Nasih ’Ulwan (Tarbiyatul Aulad fil Islam) diterjemahkan dengan judul Pendidikan Anak Dalam Islam.

sumber: EraMuslim.com

Adab dan Pendidikan Agama, Kunci Sukses Masa Depan Anak

Kebaikan seseorang itu dimulai dari apa yang paling ditekankan orangtua kala anak-anaknya masih belia. Jika agama yang ditekankan, maka peluang anak sukses di masa depan sangatlah terbuka. Tetapi jika selain itu, mungkin akan kaya, tetapi belum tentu baik, apalagi kuat iman dan takwanya.

Belum lama ini penulis bertemu dengan seorang akademisi yang sering tampil sebagai nara sumber di media massa tentang kasus-kasus yang berhubungan dengan psikologi. Tentu orangtua dari sang akademisi sangat bahagia.

Alhamdulillah, tidak lama dari pertemuan pertama Allah menakdirkan penulis bertemu langsung dengan ayah sang akademisi. Dalam kesempatan itu penulis bertanya, “Apa yang bapak ajarkan kepada anak bapak, hingga hari ini menjadi orang yang bisa memberi manfaat bagi kehidupan?”

Sang bapak tersenyum, lalu menjawab, “Tidak ada yang saya lakukan dan saya tekankan terhadap anak saya sejak kecil kecuali pendidikan agama. Itu saja,” katanya sembari tersenyum.

Bapak itu melanjutkan, “Apalagi ia anak saya satu-satunya. Kata orang, anak semata wayang itu kalau tidak jadi iblis ya jadi malaikat. Alhamdulillah atas rahmat Allah anak saya menjadi anak yang berguna,” terangnya.

“Tetapi kalau saya pikir dan renungkan, sungguh saya tidak berperan apa-apa. Itu semua semata-mata rahmat Allah yang mungkin karena anak saya memang saya tempa untuk mengenal agamanya dengan baik dan mengamalkannya sejak kecil,” imbuhnya.

Jawaban yang boleh dikatakan singkat itu sungguh memberikan inspirasi penting bagi para orangtua tentang bagaimana mendidik anak. Karena yang sejatinya paling perlu dikhawatirkan orangtua terhadap masa depan anak sebenarnya bukan soal profesi dan pendapatan. Lebih dari itu adalah iman, ketakwaan dan kemanfaatan buah hati kita bagi kehidupan.

Pembentukan Adab

Ketika anak mendapat asupan gizi pendidikan agama dengan benar dan terus-menerus hal itu akan membuatnya memiliki adab dalam kehidupan, utamanya adab kepada Allah Ta’ala, Nabi dan yang tidak kalah pentingnya adalah adab terhadap orangtua.
Tidak ada satu pun materi pendidikan yang bisa melahirkan adab bagi seorang anak manusia, melainkan dengan pendidikan agama yang meliputi, aqidah, ibadah dan muamalah.

Mengapa banyak anak yang tidak hormat kepada orangtua meski otak mereka cerdas? Itu tidak lain karena mereka tidak mengenal apalagi memiliki adab. Termasuk mengapa banyak orang pintar dan berkedudukan tinggi yang berperilaku korup. Semua itu terjadi karena ketiadaan adab.

Dan ketiadaan adab itu bukan karena mereka kala anak-anak tidak sekolah tetapi karena kala anak-anak mereka tidak benar-benar mendapatkan pengasuhan orangtua yang menekankan betapa pentingnya pendidikan agama.

Dan, berbicara pendidikan agama di sini tidak mesti dipahami secara dikotomis, dimana pelajaran non agama diabaikan. Justru tetap ditingkatkan secara proporsional.

Dari sini tepatlah apa yang ditauladankan oleh Luqman Hakim dalam mendidik anaknya.

وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لِابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَا بُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ

“Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.” (QS. Luqman [31]: 13).

Manivestasi dari ayat tersebut tentu dengan membiasakan anak-anak kita disiplin dalam ibadah dan senantiasa diingatkan bahwa urusan ibadah adalah urusan paling utama dalam hidup ini. Agar ibadah anak bagus sedari kecil tentu anak perlu akrab dengan kitab suci Al-Qur’an, hadits-hadits Rasulullah, termasuk sejarah Nabi, sahabat dan para ulama.

Ketika ini berhasil dilakukan, insha Allah anak akan tumbuh menjadi pribadi yang kaya akan referensi kesholehan, ketakwaan dan kesungguhan yang penuh inspirasi dan mengagumkan hatinya. Nah, inilah yang nantinya secara perlahan namun pasti memudahkan tumbuhnya adab dalam diri anak.

Sebab, pendidikan agama (Islam) bukanlah pendidikan yang menekankan aspek kognitif semata tetapi juga pada implementasi dalam kehidupan sehari-hari. Dan, ketika itu dilakukan seorang anak sejak kecil dan berhasil dipelihara hingga dewasa, maka otomatis ia sudah membangun habit yang luar biasa.

Tauladan Orangtua

Akan tetapi, hari ini masih umum orang yang sedikit sangsi terhadap kedahsayatan pendidikan agama pada anak. Oleh karena itu banyak orangtua yang rela membayar mahal pendidikan anak yang boleh dikatakan pendidikan agamanya sebatas kognitif.
Sebenarnya, pendidikan agama ini tidak bisa diserahkan sepenuhnya kepada pihak lain, bahkan sekolah sekalipun. Pendidikan agama ini menjadi tanggung jawab utama setiap orangtua. Sebab, perilaku orangtua itulah yang paling berperan dominan dalam pemebentukan watak dan karakter anak.

Terkait hal ini Al-Qur’an memberikan gambaran gamblang betapa orangtua harus benar-benar memperhatikan kualitas pendidikan agama anak, utamanya ketauhidan. Hal ini bisa kita lihat di dalam Al-Qur’an:

“Adakah kamu hadir ketika Ya’qub kedatangan (tanda-tanda) maut, ketika ia berkata kepada anak-anaknya: “Apa yang kamu sembah sepeninggalku?” Mereka menjawab: “Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu, Ibrahim, Ismail dan Ishaq, (yaitu) Tuhan Yang Maha Esa dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya.” (QS. Al-Baqarah [2]: 133).

Artinya, orangtua harus mengontrol betul kualitas pendidikan agama anak-anaknya, tidak saja kala mereka belia, tetapi sepanjang hayat, bahkan saat kita sebagai orangtua akan meninggal dunia. Pendidikan agama (ketauhidan) anak harus tetap dan utama yang diperhatikan.

Nah, dalam konteks ini, bagaimana mungkin orangtua akan mampu melakukan pekerjaan utama ini kalau orangtua sendiri sebagai pihak yang paling berharap anak-anaknya sukses di masa depan tidak benar-benar mau memberikan keteladanan. Tentu akan sangat sulit.

Dengan demikian, maka sudah seharusnya para orangtua mengubah mindsetnya yang selama ini dimiliki. Bahwa pendidikan agama itu adalah yang terpenting bagi masa depan anak. Bahkan, pendidikan agama itu adalah tanggung jawab sepanjang hayat para orangtua. Karena tidak akan baik seseorang melainkan ia memahami agamanya.

Jaminan Allah                                 

Rasulullah pernah bersabda, “Barangsiapa yang dikehendaki kebaikan oleh Allah, maka Allah akan memahamkannya dalam urusan agama.” (HR. Bukhari Muslim).

Dan, apakah kita masih belum yakin bahwa orang yang akan diangkat derajatnya di sisi Allah adalah orang yang beriman (baik pendidikan dan pengamalan agamanya) dan berilmu (QS. 58: 11) ? Jadi, jangan ragu, masa depan anak-anak kita akan baik bahkan bermanfaat bagi kehidupan, jika sejak kecil kita biasakan mereka mengamalkan ajaran agama Islam ini dengan baik.

(fauziya/hidayatullah/muslimahzone.com)

Smartphone, Media Sosial dan Anak-anak Muslim

Di era digital saat ini, anak-anak tumbuh dengan obsesi yang kuat pada gadget teknologi modern. Mereka benar-benar ‘gila’ untuk menggunakan setiap jenis gadget yang tersedia seperti komputer, tablet, smartphone dan orang tua tampaknya telah kehilangan kontrol atas mereka. Di sisi lain, sebagian dari kita benar-benar mendorong anak-anak kita untuk menggunakan gadget ini. Orangtua memberikan perangkat ini untuk mereka sebagai hadiah ulang tahun atau sebagai bujukan agar mereka lulus ujian.

Kebutuhan untuk melindungi anak-anak kita dari penyalahgunaan gadget ini dan dari sudut gelap web memang tidak bisa terlalu ditekankan. Membiarkan mereka tanpa mengontrol aksesnya ke internet berarti memberi mereka undangan terbuka terhadap perbuatan keji dan tak tahu malu. Hal ini juga merupakan ancaman utama bagi keimanan mereka karena internet, selain memiliki beberapa informasi yang dapat diandalkan, juga mengandung sejumlah besar komponen yang melukiskan gambaran yang sangat negatif dari Islām dan syariah. Kita harus memahami bahwa anak-anak belum siap untuk membedakan antara Haqq (kebenaran) dan Bathil (kepalsuan).

Facebook, di samping situs sosial lainnya, adalah tempat yang menakutkan bagi anak-anak kita dan mereka tidak boleh diizinkan untuk mengunjunginya. Mereka dapat dengan mudah tertarik berinteraksi dengan lawan jenis, sebuah tindakan yang dilarang dalam Islam.

Bahkan orang Barat yang berpikiran liberal, kini mempertimbangkan tentang dampak perangkat ini jika dimiliki anak-anak. Berikut ringkasan dari salah satu penulis Barat yang berpikir tentang efek negatif perangkat ini bagi anak :

10 Alasan agar Anda tidak Memberikan Anak Anda Sebuah Smartphone

Teknologi telah banyak membuat hidup kita lebih mudah dan lebih efisien. Namun sebagai orang tua, Anda harusnya khawatir tentang dampak perangkat seperti smartphone yang anak Anda miliki. Ketika memiliki perangkat mobile sendiri bagi anak-anak dianggap sesuatu yang biasa, tidakkah seharusnya Anda khawatir tentang dampak negatif apa yang akan ditimbulkan smartphone pada pertumbuhan anak Anda?

  1. Mengubah hubungan antara orangtua dan
  2. Membatasi pikiran kreatif mereka.
  3. Menyebabkan mereka kurang tidur.
  4. Tidak memberikan waktu bagi anak-anak untuk merenung atau belajar tentang konsekuensi dari tindakan mereka.
  5. Menghambat kemampuan mereka untuk belajar.
  6. Menyebabkan kecanduan.
  7. Memiliki dampak negatif pada kesehatan mental anak Anda.
  8. Menyebabkan obesitas secara tidak langsung.
  9. Menyebabkan masalah perilaku.
  10. Menyebabkan sensitifitas anak untuk melakukan

Melalui smartphone, anak-anak terkena dampak kekerasan dalam game dan melaluicyberbullying di situs chat. Ini menyebabkan sensitifitas anak-anak dan mendorong mereka untuk menerima bahwa perilaku kekerasan hanyalah sebuah cara biasa untuk memecahkan masalah.

Bukankah kita umat Islam seharusnya lebih sensitif berkaitan dengan masalah ini?

Wallahu’alam.

(fauziya/muslimahzone.com)