Penjelasan Lafzhul Jalaalah “Allah” (Bag. 1)

Bismillah wal hamdulillah wash shalatu was salamu ‘ala rasulillah. Amma ba’du,

DALIL NAMA “الله”

Dalil tentang nama “الله” banyak jumlahnya, di antaranya adalah firman Allah dalam surah Al-Hasyr ayat 23,

هُوَ اللّٰهُ الَّذِيْ لَآ اِلٰهَ اِلَّا هُوَ

“Dialah Allah tidak ada tuhan (yang berhak disembah) selain Dia.”

ASAL KATA LAFZHUL JALAALAH “الله”

Menurut Al-Kisa’i dan Al-Farra’ rahimahumallah[1], lafzhul jalaalah اللّٰه  asalnya dari الإِلٰه lalu hamzah dihilangkan, lalu huruf lam yang satu diidghamkan ke lam yang lainnya, sehingga menjadi satu lam saja, namun ber-tasydid dan dibaca tebal.

Sebagian ahli bahasa menyebutkan ditebalkan (di-tafkhim)  dalam membaca الله dalam rangka mengagungkan Allah Ta’ala.

Dalil bahwa asal lafzhul jalaalah الله dari الإله adalah firman Allah Ta’ala dalam surah An-Nisa’ ayat 171,

اِنَّمَا اللّٰهُ اِلٰهٌ وَّاحِدٌ

“Sesungguhnya Allah adalah Ilaah Yang Maha Esa.” [2]

Hamzah setelah alif lam itu dihilangkan dari lafzhul jalaalah الله karena hamzah itu berat diucapkan oleh lisan Arab sebab letaknya di tengah kata.[3]

Alif (setelah lam sebelum ha) itu dihilangkan dalam penulisan lafzhul jalaalah الله, namun tetap ada saat diucapkan. Ini menurut pendapat ulama yang terkuat karena lafzhul jalaalah الله   banyak diucapkan maupun ditulis. Karena sering diulang-ulang dalam tulisan itulah sehingga butuh diringankan dalam penulisannya. Maka dihilangkanlah alif dari lafzhul jalaalah الله.

Hal ini sebagaimana dihilangkan alif (setelah mim sebelum nun) dalam penulisan الرحمن, meski tetap ada saat diucapkan. Dengan sebab yang sama juga, dihilangkanlah alif (setelah lam sebelum ha) dalam penulisan إله dan  اللهم. 
[4]

Menurut Az-Zujaji rahimahullah bahwa alif lam ta’rif dimasukkan di awal lafzhul jalaalah الله, untuk menunjukkan bahwa Allah adalah Ilah Yang Haq, karena lafaz إله itu umum penggunaannya, bisa untuk ilah yang hak dan bisa pula untuk ilah yang batil. Sedangkan lafzhul jalaalah الله hanya untuk nama bagi Ilah Yang Hak, yaitu Allah Ta’ala semata.[5]

Adapun الإله disini mengikuti wazan فِعَال yang maknanya adalah sesembahan (yang berhak disembah). Hal ini berdasarkan qira’ah Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma terhadap surah Al-A’raf ayat 127.

وَقَالَ الْمَلَاُ مِنْ قَوْمِ فِرْعَوْنَ اَتَذَرُ مُوْسٰى وَقَوْمَهٗ لِيُفْسِدُوْا فِى الْاَرْضِ وَيَذَرَكَ وَاٰلِهَتَكَۗ

“Dan para pemuka dari kaum Fir‘aun berkata, ‘Apakah Engkau akan membiarkan Musa dan kaumnya untuk berbuat kerusakan di negeri ini (Mesir) dan meninggalkanmu dan sesembahan-sesembahanmu?’”

Ini adalah qira’ah yang masyhur di tengah-tengah kaum muslimin. Namun, Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma membacanya dengan salah satu dari qira’ah sab’ah lainnya, yaitu (وَيَذَرَكَ وَ إِلاَهَتَكَ) yang artinya “dan meninggalkanmu serta penyembahan terhadap dirimu”. Jika digabungkan dua macam qira’ah, ini menunjukkan bahwa beliau memahami makna الإله adalah sesembahan (yang berhak disembah).[6]

Jadi الإله artinya المألوه yaitu المعبود karena الألوهية bermakana العبودية .

Asal الألوهية diambil dari:

أله – يأله – إلهة – ألوهة . Maka, nama “الله” mengandung sifat al-uluhiyyah (الألوهية), yaitu hak untuk diibadahi.[7]

MAKNA LAFZHUL JALAALAH “الله”

اللهadalah nama Allah yang khusus bagi-Nya dan mengandung sifat al-uluhiyyah (berhak diibadahi). Makhluk tidak boleh menggunakannya sebagai nama dan makhluk juga tidak boleh bersifat dengan sifat yang terkandung di dalamnya. Bahkan, الله adalah nama Allah Ta’ala yang teragung sebagaimana yang akan datang penjelasannya nanti, insyaa Allah.

Ulama tafsir dari kalangan sahabat, Ibnu Abbas radiyallahu ‘anhuma, berkata ketika menjelaskan makna nama الله”,

الله ذو الألوهية والعبودية على خلقه أجمعين

“Allah adalah Yang bersifat dengan sifat al-uluhiyyah dan memiliki hak untuk diibadahi atas seluruh makhluk-Nya.” (Dikutip oleh Ibnu Jarir Ath-Thabari rahimahullah dalam kitab Tafsir karya beliau)

Makna lafzhul jalaalah “الله” yang disampaikan Ibnu Abbas radiyallahu ‘anhu ini mengandung dua poin penting:

Pertama, ditinjau dari sifat Allah yang terkandung dalam nama “الله”.

Bahwa Allah adalah Tuhan yang memiliki sifat al-uluhiyyah, yaitu sifat berhak untuk diibadahi/disembah. Sifat al-uluhiyyah adalah sifat kesempurnaan yang mutlak dari segala sisi yang tidak ada aib dan kekurangsempurnaan dari segala sisi pula. Sifat al-‘uluhiyyah adalah sifat yang mengandung seluruh sifat-sifat keindahan, kebesaran, keagungan, kasih sayang, kebaikan, dan seluruh sifat kesempurnaan bagi Allah Ta’ala yang lainnya.

Jadi, sifat al-uluhiyyah mengumpulkan, mengandung, dan menunjukkan kepada seluruh nama Allah Ta’ala yang husna (terindah) dan seluruh sifat-Nya yang ‘ulya (paling sempurna) dan mengandung penyucian Allah Ta’ala dari segala kesamaan dengan makhluk dan dari segala aib serta kekurangsempurnaan.

Karena Allah Ta’ala memiliki sifat al-‘uluhiyyah inilah yang menyebabkan Dia satu-satunya Tuhan yang berhak untuk disembah. Karena sifat ini mengandung kesempurnaan dari segala sisi, tiada duanya, dan penyucian Allah Ta’ala dari segala aib serta kekurangsempurnaan.

Dari sisi bahasa pun telah dijelaskan bahwa lafzhul jalaalah الله  asalnya dari الإله . Sehingga nama “الله” mengandung sifat al-uluhiyyah (الألوهية), yaitu hak untuk diibadahi.

Kedua, ditinjau dari tuntutan atas diri hamba dan sifat hamba.

Makna lafzhul jalaalah “الله”, jika ditinjau dari tuntutan atas diri hamba dan sifat hamba adalah sebagai berikut:

Bahwa karena Allah Ta’ala satu-satunya Tuhan yang memiliki sifat al-uluhiyyah, yaitu satu-satunya Tuhan yang berhak disembah (diibadahi), maka nama “الله” mengandung tuntutan kewajiban atas diri hamba. Sekaligus ini menjadi sifat yang melekat pada diri hamba, yaitu al-‘ubudiyyah (menghamba atau beribadah) hanya kepada Allah Ta’ala semata.

Nama “الله” yang mengandung sifat al-uluhiyyah mengandung tuntutan bahwa wajib bagi kita sebagai hamba-Nya untuk mempersembahkan segala macam ibadah, baik ibadah zahir maupun batin, hanya kepada-Nya semata karena Allah Ta’ala adalah satu-satunya Tuhan yang berhak disembah (diibadahi).

Tidaklah kita berdoa, kecuali kepada-Nya saja. Tidaklah kita kembali saat tertimpa musibah dan kesulitan, kecuali kepada-Nya semata. Tidaklah kita bertawakal, kecuali kepada-Nya saja. Tidaklah kita memohon perlindungan dari segala keburukan, kecuali kepada-Nya saja. Tidaklah kita menundukkan dan merendahkan diri dengan ketundukan dan perendahan diri jenis ibadah, kecuali kepada-Nya semata. Karena Allah Ta’ala adalah Yang Mahasempurna dari segala sisi dan disucikan dari aib dan kekurangsempurnaan dari segala sisi pula, yang semua ini terkandung dan terkumpul dalam sifat al-uluhiyyah.

Intinya, kita sebagai hamba Allah Ta’ala, tugas dan kewajiban kita adalah menghamba kepada Allah semata, beribadah, serta menyembah kepada-Nya saja. Ini sesuai dengan akar bahasa hamba Allah, yaitu عبد الله dari عبد – يعبد – عبادة. Sehingga, tugas ‘abdullah (hamba Allah) adalah beribadah kepada Allah Ta’ala semata.

Ingatlah bahwa tujuan hidup kita adalah beribadah hanya kepada Allah Ta’ala semata. Allah Ta’ala berfirman,

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku (saja)”. (QS. Adz-Dzaariyaat: 56).

Sedangkan ibadah menurut Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah,

الْعِبَادَةُ هِيَ اسْمٌ جَامِعٌ لِكُلِّ مَا يُحِبُّهُ اللَّهُ تَعَالَى وَيَرْضَاهُ مِنَ الْأَقْوَالِ وَالْأَعْمَالِ الْبَاطِنَةِ وَالظَّاهِرَةِ

“Ibadah adalah suatu istilah yang mencakup setiap perkara yang dicintai dan diridai oleh Allah Ta’ala, baik berupa ucapan maupun perbuatan, (baik) yang batin (hati), maupun yang zahir (anggota tubuh yang tampak).”

Jadi, inti ibadah itu adalah mempersembahkan kepada Allah Ta’ala semata segala hal yang dicintai dan diridai-Nya. Dengan demikian, tuntutan yang terkandung dalam nama “الله” atas hamba-Nya adalah bagaimana ucapan dan perbuatan seorang hamba dalam 24 jam dicintai dan diridai oleh Allah Ta’ala. Inilah hakikat penghambaan dan peribadatan kita kepada Allah Ta’ala semata.

DALIL DARI MAKNA LAFZHUL JALAALAH “الله”

Makna lafzhul jalaalah “الله” yang disampaikan oleh ulama tafsir dari kalangan sahabat, yaitu Ibnu Abbas radiyallahu ‘anhuma tersebut, sesungguhnya berdasarkan dalil-dalil yang menggabungkan antara sifat al-‘uluhiyyah yang ada pada Allah Ta’ala dengan kewajiban ibadah (al-‘ubudiyyah) atas hamba-Nya.

Di antara dalil hal itu adalah firman Allah Ta’ala,

اِنَّنِيْٓ اَنَا اللّٰهُ لَآ اِلٰهَ اِلَّآ اَنَا۠ فَاعْبُدْنِيْۙ وَاَقِمِ الصَّلٰوةَ لِذِكْرِيْ

“Sungguh, Aku ini Allah, tidak ada tuhan (yang berhak disembah) selain Aku, maka sembahlah Aku dan laksanakanlah salat untuk mengingat Aku.” (QS. Thaha: 14)

وَمَآ اَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَّسُوْلٍ اِلَّا نُوْحِيْٓ اِلَيْهِ اَنَّهٗ لَآ اِلٰهَ اِلَّآ اَنَا۠ فَاعْبُدُوْنِ

“Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum Engkau (Muhammad), melainkan Kami wahyukan kepadanya, bahwa tidak ada tuhan (yang berhak disembah) selain Aku, maka sembahlah Aku.” (QS. Al-Anbiya’ : 25)

[Bersambung]

***

Penulis: Sa’id Abu Ukkasyah

Artikel: www.muslim.or.id

Catatan kaki:

[1]  Fathul Majid, karya Syekh Abdur Rahman Alusy Syaikh rahimahullah.

[2]  Al-Haqqul Wadhih Al-Mubin ( https://www.Islamweb.net/ar/fatwa/64836/  )

[3] https://www.alukah.net/literature_language/0/80377/#ixzz7KlElWyB6

[4] Dalilul Hairan ‘Ala Maurizh Zham’an, Ibrahim At-Tunisi rahimahullah (hal. 37) dan Al-Anbari rahimahullah dalam Al-Bayan fi Gharib I’rabil Qur’an (1: 32), serta As-Syathibi rahimahullah di Aqilah Atrabil Qashaid Fi Asnal Maqashid Fi ‘Ilmi Tasmil Mashahif, hal. 14

[5] http://www.alfaseeh.com/vb/showthread.php?t=64126

[6] At-Tamhid, karya Shaleh Alusy Syaikh rahimahullah

[7]  At-Tamhid, hal. 18 dan Syarah Tsalatsatul Ushul, hal. 56,  karya Syekh Shaleh Alus Syaikh hafizhahullah

Sumber: https://muslim.or.id/73408-penjelasan-lafzhul-jalaalah-allah-bag-1.html