AKHIR-akhir ini masalah LGBT kembali berpolemik di masyarakat. Hal ini terkait dengan pembahasan RUU KUHP di DPR RI. Ada kekhawatiran, Dewan akan melegalkan LGBT?
Maha suci Allah yang telah menciptakan setiap makhluk-Nya dengan berpasang-pasangan. Ketentuan ini berlaku pada seluruh makhluk-Nya, tidak terkecuali berbagai penyakit yang menimpa manusia. Tidaklah Allah Taala menciptakan suatu penyakit, melainkan telah menurunkan pula obatnya.
Sahabat Jabir radhiyallahu anhu meriwayatkan dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda, “Setiap penyakit ada obatnya, dan bila telah ditemukan dengan tepat obat suatu penyakit, niscaya akan sembuh dengan izin Allah Azza wa Jalla.” (HR. Muslim)
Dalam setiap proses pengobatan, langkah pertama yang akan ditempuh oleh dokter atau tenaga medis adalah mengadakan diagnotis. Diagnotis bertujuan mengetahui penyebab penyakit yang sedang diderita. Dalam dunia medis moderen, diagnotis dapat ditempuh dengan berbagai cara, dimulai dari wawancara dengan pasient, hingga dengan test laboratoris dengan menggunakan tekhnologi canggih.
Dalam ilmu pengobatan yang diajarkan dalam syariat, Islam telah memudahkan proses pengobatan dengan cara mengajarkan kepada umatnya hasil diagnotis yang benar-benar aktual. Allah Taala yang menurunkan penyakit, telah mengabarkan kepada kita bahwa di antara penyebab datangnya penyakit adalah perbuatan dosa kita sendiri.
Allah Taala berfirman, “Dan musibah apapun yang menimpamu, maka itu adalah akibat dari ulah tanganmu sendiri.” (QS. As Syura 30).
Abu Bilaad yang terlahir dalam keadaan buta bertanya kepada Al Alaa bin Bader, bagaimana penerapan ayat ini pada dirinya, padahal ia menderita buta mata sejak dalam kandungan ibunya?
Jawaban Al Ala bin bader sangat mengejutkan, ia berkata: “Itu adalah akibat dari dosa kedua orang tuamu.”([1])
Singkat kata, penyakit yang menimpa kita, tidak terkecuali penyakit suka sesama jenis sangat dimungkinkan adalah akibat dari perbuatan dosa, baik dosa yang kita lakukan atau yang dilakukan oleh orang-orang yang ada disekitar kita.
Diagnosa:
Berikut beberapa perbuatan dosa atau kesalahan yang mungkin pernah dialami oleh orang yang dihinggapi penyakit suka sesama jenis:
1. Nama yang tidak menunjukkan akan identitas.
Di antara kewajiban pertama yang harus dilakukan oleh kedua orang tua ialah memilihkan nama yang bagus untuk anaknya. Bukan sekedar bagus ketika didengar atau diucapkan. Akan tetapi bagus dari segala pertimbangan, dari makna, nilai sejarahnya. Di antara pertimbangan nama yang baik adalah dapat menunjukkan akan identitas, baik identitas agama ataupun jenis kelamin. Oleh karena itu banyak ulama yang mencela penggunaan nama-nama yang terkesan lembut bagi anak lelaki.
Ibnu Qayyim berkata, “Ada hubungan keserasian antara nama dan pemiliknya. Sangat jarang terjadi ketidak serasian antara nama dan pemiliknya. Yang demikian itu karena setiap kata adalah pertanda akan makna yang terkandung di dalamnya, dan nama adalah petunjuk akan kepribadian pemiliknya. Bila engkau merenungkan julukan seseorang, niscaya makna dari julukan tersebut ada padanya. Sehingga nama yang buruk adalah pertanda bahwa jiwa pemiliknya adalah buruk. Sebagaimana wajah yang buruk, pertanda bagi buruknya jiwa seseorang.”([2])
Oleh karena itu, bila orang yang ditimpa penyakit suka sesama jenis memiliki nama yang kurang menunjukkan akan jati dirinya, hendaknya segera merubah namanya, sehingga lebih menunjukkan akan jati dirinya sebagai seorang lelaki atau wanita.
2. Peranan pakaian dan perhiasan.
Islam melarang kaum lelaki untuk menyerupai kaum wanita, baik dalam pakaian, perhiasan, perilaku atau lainnya, dan demikian juga sebaliknya.
“Nabi shallallahu alaihi wa sallam melaknati lelaki yang menyerupai wanita dan wanita yang menyerupai lelaki, dan beliau bersabda: Usirlah mereka dari rumah-rumah kalian.” (Muttafaqunalaih)
Berdasarkan hadits ini, kaum lelaki dilarang untuk mengenakan pakaian dan perhiasan yang merupakan ciri khas kaum wanita, dan demikian juga sebaliknya. Sebagaimana kaum lelaki juga dilarang untuk menyerupai suara, cara berjalan, dan seluruh gerak-gerik kaum wanita, demikian juga sebaliknya.([3])
Oleh karena itu diharamkan atas kaum lelaki untuk mengenakan perhiasan emas dan pakaian yang terbuat dari sutra. Ini semua karena kedua hal itu merupakan perhiasan yang dikhususkan untuk kaum wanita.
Diharamkan pakaian sutra dan perhiasan emas atas kaum lelaki dari umatku dan dihalalkan atas kaum wanita mereka” (HR. At Tirmizy, An Nasai dan dishohihkan oleh Al Albani)
Para ulama menjelaskan hikmah dari larangan ini, bahwa perhiasan emas dan pakaian sutra dapat mempengarui kepribadian lelaki yang mengenakannya. Bahkan Ibnul Qayyim menyatakan bahwa biasanya orang yang mengenakan perhiasan emas atau pakaian sutra memiliki perilaku yang menyerupai perilaku kaum wanita. Kedua hal ini akan terus menerus melunturkan kejantanan lelaki yang mengenakannya, hingga pada akhirnya akan menjadi sirna, dan berubah menjadi kebancian. Oleh karena itu, pendapat yang lebih benar adalah: diharamkan atas orang tua untuk mengenakan kepada anak lelakinya perhiasan emas atau pakaian sutra, agar kejantanan anak tersebut tidak terkikis.([4])
Bukan hanya sebatas dalam penampilan belaka, bahkan ketika sedang sholat pun kaum lelaki dilarang untuk menyerupai wanita.
“Wahai sahabatku, mengapa ketika mendapatkan sesuatu ketika sedang sholat kalian bertepuk tangan. Sesungguhnya tepuk tangan hanya dibolehkan bagi kaum wanita. Barang siapa (dari kaum lelaki) mendapatkan sesuatu ketika sedang salat, hendaknya ia mengucapkan : “Subhanallah”.” (Muttafaqun alaih)
Syariat untuk membedakan diri dari lawan jenis ini juga ditekankan kepada kaum wanita, sehingga mereka dilarang melakukan hal-hal yang menyerupai kaum lelaki dan dianjurkan untuk melakukan hal-hal yang selaras dengan kewanitaannya. Di antara hal yang dapat menunjukkan identitas kewanitaan seseorang ialah dengan cara merubah warna kuku jari jemarinya dengan hinna.
Sahabat Aisyah radhiallahu anha mengisahkan: ada seorang wanita yang dari balik tabir menyodorkan secarik surat kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Maka Nabi pun memegang tangannya, dan beliau bersabda: “Aku tidak tahu, apakah ini tangan seorang lelaki atau wanita?” Wanita itu pun berkata: Ini adalah tangan wanita. Maka Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Andai engkau adalah benar-benar wanita, niscaya engkau telah mewarnai kukumu dengan hinna.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, An Nasai dan dihasankan oleh Al Albani)
3. Peranan Makanan Haram.
Tidak dapat dipungkiri bahwa perangai dan kepribadian setiap manusia terpengaruh dengan jenis makanan yang ia konsumsi. Oleh karena itu, tidak heran bila orang yang memakan daging onta disyariatkan untuk berwudlu, guna menghilangkan pengaruh buruk daging yang ia makan.
“Diriwayatkan dari Jabir bin Samurah radhiyallahu anhu, ia mengisahkan: Ada seorang laki-laki yang bertanya kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam: Apakah kita diwajibkan berwudlu karena memakan daging kambing? Beliau menjawab: Engkau boleh berwudlu, dan juga boleh untuk tidak berwudlu”. Lelaki itu kembali bertanya: Apakah kita wajib berwudlu karena memakan daging unta? Beliau menjawab: “Ya, berwudlulah engkau karena memakan daging unta.” Riwayat Muslim.
Ibnu Taimiyyah berkata: “Orang yang berwudlu seusai memakan daging unta akan terhindar dari pengaruh sifat hasad dan berjiwa kaku yang biasa menimpa orang yang hobi memakannya, sebagaimana yang dialami oleh orang-orang pedalaman. Ia akan terhindar dari perangai hasad dan berjiwa kaku yang disebutkan oleh Nabi shallallallahu alaihi wa sallam dalam hadits riwayat Imam Bukhary dan Muslim:
“Sesungguhnya perangai kasar dan berjiwa kaku biasanya ada pada orang-orang pedalaman , para pemelihara unta, dan lemah-lembut biasanya ada pada para pemelihara kambing.”([5])
Bila demikian adanya, maka tidak diragukan lagi bahwa makanan yang nyata-nyata haram memiliki pengaruh buruk pada diri dan kepribadian pemakannya. Dan di antara makanan haram yang dapat mempengaruhi kepribadian seseorang, sehingga dijangkiti penyakit suka sesama jenis ialah daging babi dan keledai.
Ibnu Sirin berkata, “Tidaklah ada binatang yang melakukan perilaku kaum Nabi Luth selain babi dan keledai.” ([6])Bila seseorang membiasakan dirinya dan juga keluarganya memakan daging babi atau keledai, lambat laun, berbagai perangai buruk kedua binatang ini dapat menular kepadanya.[Ustaz Muhammad Arifin Baderi, MA/muslimorid/]