Peradaban Islam dibangun atas dasar cinta dan kasih sayang.
Cinta dan kasih sayang adalah ruh kehidupan. Itulah yang menjelaskan mengapa dalam banyak kesempatan Nabi Muhammad SAW selalu berusaha mematrikannya di dada umatnya. ”Orang-orang yang punya rasa kasih sayang, Allah yang Mahasayang akan sayang kepada mereka,” ungkap beliau suatu ketika.
Di lain kesempatan kekasih Allah ini juga bersabda, ”Sayangilah penghuni bumi, niscaya Yang di Langit akan sayang kepada kalian.” Sungguh sebuah ungkapan cinta dan kasih sayang yang sarat makna.
Yusuf Qaradhawi, seorang pemikir dan ulama besar abad ini, pernah menukil perkataan seorang bijak, ”Seandainya cinta dan kasih sayang telah berpengaruh dalam kehidupan. Maka manusia tidak memerlukan lagi keadilan dan undang-undang.” Tak berlebihan. Sebab, mungkinkah huru-hara dan kekacauan dunia itu terjadi, jika cinta dan kasih sayang telah mewujud dalam kehidupan kita? Cinta dan kasih sayang kepada sesama yang terbingkai dalam cinta murni kepada Sang Khalik.
Sebab, sungguh hanya Allahlah Dzat tempat kita menggantungkan segala asa dan cinta. Dan Allah pulalah juga yang berhak menanamkan dan mencabut rasa cinta dari dalam lubuk hati kita. Allah berfirman, ”… sekiranya kalian infakkan semua kekayaan yang ada di bumi, niscaya kalian takkan mampu mempersatukan hati-hati mereka (manusia), tetapi Allahlah yang mempersatukan hati mereka …” (QS Al-Anfal [8]: 63).
Ayat ini menegaskan betapa harta benda tidak cukup mempertautkan hati. Tidak pula berbagai sistem ekonomi serta kondisi kebendaan (materialisme). Kalaupun itu terjadi, ia pastilah ikatan cinta semu, sebatas terpenuhinya sebuah kepentingan. Tentu saja cinta model ini (cinta atas motivasi keduniaan) pasti binasa dan fana, jika ia tak dilengkapi serta dibungkus jiwa yang lembut, yang disinari roh Ilahi.
Inilah rasa cinta dan kasih sayang yang sejati. Kasih sayang yang mendorong senyum yang merekah, dan wajah ceria saat bertemu sesama. Itulah sedekah yang lahir dari keikhlasan cinta dan kasih sayang. Sebab, cinta dan kasih sayang tidak mungkin terpancar dari orang yang gersang dari keduanya. Faaqidussyaa’i laayu’ti, sesuatu yang tidak punya apa-apa, tak akan mampu memberi apa-apa, begitu pepatah Arab soal ini.
Rasulullah SAW dalam sebuah hadis menyatakan, ”Maukah kalian kutunjukkan suatu hal yang apabila kalian lakukan pasti akan saling mencintai? Sebarkan salam di antara kalian.” (HR Muslim). Seulas senyum dan salam saja, mampu untuk merekatkan jalinan silaturahim. Begitu sulitkah menebar cinta, sehingga kebencian kian subur di hati kita?