Nama Firdaus sepertinya sudah tidak asing lagi di telinga kita. Sebuah nama yang disematkan sebagai tempat peristirahatan abadi yang menentramkan dan menyejukkan hati bagi orang-orang beriman. Itulah tempat ternyaman yang tak pernah terbayangkan oleh akal dan tak pernah terlihat oleh mata untuk hamba-Nya yang senantiasa beribadah dan beramal shaleh.
Mengenai istilah surga, dalam Muíjam Mufradat Alfazil Qurani diuraikan bahwa kata jannah atau jannaatun (plural), identik dengan pohon-pohon yang rindang yang juga sering disebut jannah (kebun). Disebut jannah karena menyerupai kebun yang ada di bumi kendati demikian keindahan surga tak tertandingi oleh kebun duniawi.
Ibnu Abbas dalam memaknai kata ini pun mengungkapkan bahwa jannaatun ditulis dalam bentuk jamak karena tingkatan surga ada tujuh; yakni Surga Firdaus, Adn, An-Naíim. Daarul Khulud, Maíwa, Daarus Salaam, dan Illiyun (Syaikh Raghib: 2010, 76)
Tingkatan surga ini tidak bermakna bahwa Allah membeda-bedakan posisi hamba-Nya kelak, sebab semua tingkatan atau jenis surga sudah tentu tempat ternyaman lahir batin yang disediakan Allah khusus untuk para hamba-Nya yang beriman.
Hanya saja, setiap perbuatan baik (amal shaleh) tiap-tiap makhluk berbeda, maka ëpenempatan-nyaí pun disesuaikan dengan usaha hamba-hambaNya selama di dunia; tentu dengan izin dan rahmat-Nya. Lalu, mengapa surga firdaus masuk dalam kategori surga yang paling tinggi dari keenam jenis surga lainnya?
Syaikh Muhammad Fuíad Abd Baqií dalam Muíjam Mufahras Li-Alfazil Quran menguraikan bahwa penyebutan lafadz firdaus dalam al-Quran berjumlah tidak lebih dari dua. Allah menyebutkan lafadz firdaus hanya pada dua surah yakni surah Al-Kahf (18): 107 dan surah Al-Muíminuun (23): 11. Mengapa hanya ada dua tempat? Melalui dua surah inilah insyaAllah kita akan temukan jawabannya.
Dalam surah Al-Kahf (18): 107, Allah berfirman, Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal shalih, bagi mereka adalah surga Firdaus (yang) menjadi tempat tinggal. (QS. 18:107) Mereka kekal di dalamnya, mereka tidak ingin berpindah daripadanya. (QS. 18:108)î (al-Kahfi: 107-108). Surah al-Kahfi ayat 107 ini menyiratkan bahwa prasyarat utama untuk memeroleh firdaus adalah tak cukup hanya dengan beriman, namun juga harus diimbangi dengan beramal shalih.
Amal shalih yang seperi apa? Jawabannya ada pada awal surah Al-Muíminun ayat 1- 10, ìSungguh telah beruntung orang-orang beriman. Yaitu orang-orang yang khusyuí dalam shalat mereka. Dan orang-orang yang meninggalkan perbuatan yang tidak berguna. Dan orang-orang yang menunaikan zakat. Dan orang-orang yang memelihara kemaluannya. Kecuali terhadap isteri-isteri dan hamba sahaya yang mereka miliki, maka sesungguhnya itu tidak tercela.
Tetapi barang siapa yang berzina, maka itulah orang-orang yang melampaui batas. Dan sungguh beruntung orang-orang yang memenuhi janjinya. Serta orang yang memelihara shalatnya. Mereka itulah orang yang akan mewarisi. Yakni mewarisi surga firdaus, mereka kekal di dalamnya,î
Kedua surah di atas memiliki keterkaitan tentang prasyarat apa saja yang membuat seorang hamba layak masuk ke dalam surga firdaus. Selain karena memang masuk surga bisa didapat atas rahmat Allah, manusia juga perlu berikhtiar untuk memerolehnya. Selain harus menunaikan zakat, meninggalkan hal yang sia-sia, menjaga kemaluan, tidak berzina, salah satu syarat untuk penting untuk meraih firdaus adalah dengan menjaga kekhusyuan shalat.
Menurut Ibnu Abbas makna khaasyiuun ialah orang-orang yang takut dan tenang. Ali bin Abi Thalib mengungkapkan yang dimaksud khusyu dalam ayat ini adalah kekhusyuan hati. Hasan al Bishri juga mengatakan bahwa kekhusyuan mereka terdapat dalam hati hingga mereka menundukkan pandangan dan merendahkan diri. Ibnu Katsir dalam tafsir al-Quranil Adzhimi menuliskan bahwa khusyu dalam shalat hanya dapat dilakukan oleh orang yang mencurahkan hatinya hanya untuk shalat, bukan selainnya.
Bagi Rasulullah dan para sahabat, shlat juga mampu menjadi sarana ëistirahatí baik istirahat secara jasmani (menghentikan pekerjaan lain) maupun ruhani (sarana memeroleh ketenangan), sesuai dalam hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad, bahwa Rasulullah bersabda kepada Bilal, ìWahai Bilal! Istirahatkanlah kami dengan shalat.
Sebab shalat adalah seutama-utamanya ibadah yang akan dimintai pertanggung jawabannya kelak di alam akhirat nanti, maka penting bagi kita untuk menjaga waktu, wudhu, gerakan dan bacaannya, agar khusyu mudah didapat. Bahkan, Rasulullah bersabda bahwa shalat menjadi makruh ketika kita dalam kondisi lapar (padahal makanan sudah tersaji) atau menahan buang air kecil maupun besar; sebab hal-hal ini dapat menghilangkan kekhusyuan kita dalam shalat.
Dari ëAisyah ra, dia berkata, ìAku mendengar Rasulullah Saw bersabda, ìTidak sempurna shalat seseorang, apabila terdapat makanan yang terhidangkan (sebelum dia makan) atau dia menahan buang air besar maupun kecil,î (HR Muslim)
Musthafa Saíid Al-Khin menafsirkan hadits di atas dengan kemakruhan hukum menahan lapar dan hajat ketika ingin shalat sementara waktu shalat masih panjang. Sementara jika waktu shalat hampir habis, maka wajib bagi kita untuk mendahulukan shalat dan diperbolehkan menunda makan dan menahan buang air besar maupun kecil, jika dirasa mampu.
Ketika shalat sudah menjadi ëalarm pribadiísebagai sarana ibadah karena Allah dan harapan untuk memeroleh warisan firdaus, maka perasaan berat mengerjakannya akan sirna. Kekhusyuan dan ketenangan batin pun akan sendirinya tercipta. Akhirnya, kedua surah di sama-sama ditutup dengan ëmereka kekal di dalamnyaí, sebagai hadiah tambahan dan janji Allah, bahwa mereka akan tetap tinggal di dalam surga firdaus selama-lamanya, dengan penuh kenyamanan dan kedamaian.
Ya Allah, golongkan kami menjadi hamba-hambaMu yang mewarisi firdaus. Aamiin
Dan dalam kitab ash-Shahihain disebutkan, Rasulullah bersabda: ìJika kalian memohon surga kepada Allah, maka mintalah kepada-Nya surge Firdaus, karena ia merupakan surga yang paling tinggi sekaligus surga paling pertengahan, dan darinya terpancar sungai-sungai surga.î (HR. Al-Bukhari dan Muslim)