Wacana seputar potongan zakat untuk aparatur sipil negara (ASN) ramai beredar, baik di media cetak maupun digital. Latar belakang munculnya wacana ini adalah agar Indonesia tidak melulu menjadi ‘raja potensi’ tapi minim ‘realisasi’.
Sebab, penerimaan zakat saat ini baru mencapai Rp 6 triliun dari potensi seluruh penerimaan zakat di negeri ini sebesar Rp 217 triliun. Dengan kebijakan ini, diharapkan dapat meningkatkan realisasi penerimaan dana zakat.
Selain itu, wacana ini juga diharapkan dapat memberikan dampak signifikan terhadap penanggulangan kemiskinan dan kesenjangan ekonomi di Indonesia. Sebab, upaya penanggulangan kemiskinan merupakan hal yang sulit untuk dilakukan. Bahkan, Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Menteri Bappenas Bambang Brodjonegoro menyatakan, penanggulangan kemiskinan merupakan hal berat untuk dilakukan.
Selaras dengan penanggulangan kemiskinan, problem kesenjangan pendapatan masih saja menggelayuti bangsa ini, meskipun terjadi penurunan 0,001 poin dari rasio Gini per Maret 2017 sebesar 0,393 dibandingkan September 2016 yang mencapai poin 0,394 (BPS). Namun, hal ini belum berdampak siginifikan pada pemerataan pendapatan masyarakat Indonesia.
Berdasarkan laporan Oxfam Indonesia dan International NGO Forum on Indonesia Development (lNFID), per Februari 2017, satu persen golongan kaya Indonesia menguasai 49,30 persen kue ekonomi nasional. Tentu hal ini menjadi hal yang serius untuk direspons.
Dengan adanya wacana potongan zakat bagi ASN ini, semoga problem kesenjangan pendapatan segera mendapatkan solusi. Sebagaimana dikatakan pakar ekonomi dan mantan penasihat Presiden Joseph E Stiglitz (2014). Menurut dia, salah satu jalan untuk menghilangkan kesenjangan pendapatan suatu negara adalah dengan memangkas pendapatan golongan atas, mempertahankan pendapatan golongan menangah, dan membantu kelas bawah.
Tegasnya, dalam ajaran Islam mekanisme ini hanya bisa dilakukan dengan membudayakan gerakan zakat. Dalam teori relasi antara agama dan negara, Ali bin Abi Thalib menyatakan, “Kadang kala negara dapat menegakkan apa yang tidak dapat ditegakkan oleh agama.”
Salah satu contohnya, penegakan kebijakan potongan zakat. Wacana potongan yang diembuskan pemerintah terkait akan membuat gerakan berzakat lebih memiliki dampak riil dalam peningkatan zakat dibandingkan hanya imbauan ulama dan pengelola zakat.
Jika wacana tentang kebijakan ini terjadi, perlu diketahui beberapa tantangan yang akan dihadapi Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) yang ditengarai akan menjadi pengelola dana zakat tersebut.
Beberapa poin utama dalam pengelolaan zakat meliputi akuntabilitas penghimpunan, tepat sasaran dalam penyaluran, akuntabilitas penggunaan dana, dan profesionalitas amil zakat. Mengapa beberapa hal diatas sangat penting?
Sebab, titik tolak dari segala hal tersebut mengerucut pada satu pertanyaan, “Apakah dana zakat yang berasal dari potongan gaji ASN Muslim berdampak signifikan terhadap penanggulangan kemiskinan dan kesenjangan pendapatan?” Guna menjawab pertanyaan ini, penting kiranya menengok sejarah masa lalu, saat negara (kini Baznas) menjadi pengelola dana zakat.
Beberapa kode etik pengelolaan zakat di masa lalu adalah sebagai berikut (Abu Yusuf, 1985; Abu Ubaid; 2001; Al-Mawardi; 1975); pertama, profesionalitas amil zakat. Amil zakat memiliki peran signifikan dalam penglolaan zakat (Beik, 2010). Jika merujuk masa lampau, amil zakat yang profesional adalah mereka yang mengikuti dengan ‘teguh’ sunah-sunah Rasulullah dan khalifah setelahnya.
Jika dilacak, beberapa sunah yang harus dilakukan oleh amil zakat meliputi; berlaku jujur, tidak menerima suap dan hadiah (risywah wal hadayah), tidak berlaku zalim terhadap muzakki, dan segara menyalurkan dana zakat.
Dalam diskursus kontemporer, amil profesional menurut Adnan (2017), di antaranya mereka yang berkerja secara full-timer, memiliki pegetahuan memadai terkait zakat dan selalu belajar, memiliki hak dan kewajiban yang jelas, dan memiliki jaringan sebagai anggota profesi.
Dengan potensi zakat dari ASN Muslim bisa mencapai Rp 10 triliun per tahun (Republika.co.id), tentu aspek amil zakat profesional menjadi hal yang harus disiapkan Baznas guna menjaga kepercayaan para ASN yang menjadi ‘muzakki’.
Kedua, akuntabilitas penghimpunan juga merupakan hal yang sangat penting untuk dipertimbangkan. Dalam konteks kebijakan ini, hendaknya mekanisme besaran pungutan harus dijelaskan secara terang benderang.
Tentunya dengan perbedaan penghasilan antara satu ASN dengan yang lain, besaran pungutan zakat juga berbeda, sesuai dengan besaran gaji dan kesediaan ASN untuk zakat. Sebab, sebagaimana pernyataan Menteri Agama bahwa potongan gaji untuk zakat tidak bersifat wajib. Dalam konteks sejarah zakat masa lampau, penghitungan terhadap kewajiban zakat tidak dapat digeneralisasi, akan tetapi sesuai dengan proporsi masing-masing individu (Abu Ubaid, 2001).
Ketiga, tepat sasaran dalam penyaluran. Berdasarkan penelitian yang dilakukan PIRAC (2005), salah satu faktor penyebab rendahnya realisasi terkumpulnya dana zakat adalah banyaknya muzakki yang membayarkan zakat secara langsung kepada mustahik. Menarik untuk dipertanyakan, mengapa mereka prefer untuk membayar langsung dibandingkan melaluli lembaga zakat?
Selain faktor kepercayaan kepada organisasi pengelola zakat (OPZ) dan sosialisasi yang minim; satu faktor lagi penting untuk dijadikan alasan, yaitu tepat sasaran dalam penyaluran. Dalam konteks ini, penyaluran zakat hendaknya tidak keluar dari wilayah di mana zakat dikumpulkan.
Jika hal ini tidak diperhatikan akan banyak ASN yang tidak bersedia pendapatan mereka dipotong, sebab dana mereka yang dipotong tidak ‘menetes’ kepada para mustahik yang ada di lingkungan mereka. Bila itu terjadi, akan lebih zakat diberikan langsung kepada mustahik.
Hal ini menjadi salah satu kode etik dalam pengelolaan zakat oleh negara pada masa lampau, penyaluran zakat tidak boleh keluar dari wilayah pengumpulan.
Keempat, akuntabilitas penggunaan dana. Penting dalam pengelolaan zakat agar dana zakat tidak tercampur dengan dana lain, seperti pajak dan keuangan negara lainnya.
Dengan adanya kebijakan ini, Baznas perlu memerinci secara jelas program-program penyaluran dana zakat dan juga memastikan agar program tersebut tidak tumpang-tindih dengan program pengentasan kemiskinan dan penangulangan kesenjangan pendapatan yang dilakukan negara.
Meskipun memiliki tujuan yang sama, dana zakat tetaplah dana zakat. Dana ini memiliki SOP yang clear and clean kepada siapa dana ini diberikan, yaitu kepada delapan golongan sebagaimana termaktub dalam Alquran surah at-Taubah ayat 60 bahwa golongan yang lebih prioritas adalah warga fakir dan miskin. Wallahu a’lam bissawab.
Oleh: Rahmad Hakim, Kandidat Doktor Ekonomi Islam Universitas Airlangga Surabaya, Dosen Universitas Muhammadiyah Malang