Ketika seseorang membatalkan puasanya di bulan Ramadhan (baik dengan cara apapun), atau ia lupa niat di malam harinya, maka ia wajib untuk mengqadha’ atau mengganti puasanya di lain hari, selain hari yang diharamkan (2 Hari raya dan hari tasyrik). Bagaimana hukum membatalkan puasa qadha?
Sebagaimana pada umumnya, pasti ketika berpuasa di selain bulan puasa, terkadang seseorang dituntut atau terdesak untuk membatalkan puasanya. Lalu bagaimanakah pandangan fikih atas seseorang yang membatalkan puasanya? Jawabannya adalah diperinci, jika ia sengaja membatalkan puasanya di bulan Ramadhan, maka ia tidak boleh membatalkan puasa qadha.
Dan sebaliknya, dijelaskan oleh Imam Al-Nawawi dalam redaksi berikut;
لَوْ شَرَعَ فِي صَوْمِ قَضَاءِ رَمَضَانَ فَإِنْ كَانَ الْقَضَاءُ عَلَى الْفَوْرِ لَمْ يَجُزْ الْخُرُوجُ مِنْهُ وَإِنْ كَانَ عَلَى التَّرَاخِي فَوَجْهَانِ أَحَدُهُمَا يَجُوزُ قَالَهُ الْقَفَّالُ وَقَطَعَ بِهِ الْغَزَالِيُّ وَالْبَغَوِيُّ وَطَائِفَةٌ وَأَصَحُّهُمَا لَا يَجُوزُ وَهُوَ الْمَنْصُوصُ فِي الْأُمِّ وَبِهِ قَطَعَ الرُّويَانِيُّ فِي الْحِلْيَةِ وَهُوَ مُقْتَضَى كَلَامِ الْأَكْثَرِينَ لِأَنَّهُ تلبس بالفرض ولا عذر في قَطَعَهُ فَلَزِمَهُ إتْمَامُهُ كَمَا لَوْ شَرَعَ فِي الصَّلَاةِ فِي أَوَّلِ الْوَقْتِ
“Ketika ada seseorang yang memulai qadha’ puasa bulan Ramadhan, maka jika puasanya ini model yang harus segera diganti, diharamkan untuk memutusnya. Adapun dalam konteks puasa yang model penggantiannya tidak harus segera, maka ada 2 pendapat.
Menurut Imam Al-Qaffal diperbolehkan membatalkan puasanya, demikian juga pendapatnya Al-Ghazali, Al-Baghawi dan lain-lain. Namun menurut qaul ashah, tetap tidak diperbolehkan untuk membatalkan puasa qada. Ini merupakan pendapat yang diutarakan oleh Imam Syafi’i, dipedomani oleh Al-Ruyani dan mayoritas ulama.
Yang demikian ditengarai dengan faktor bahwasanya ia sudah terlanjur melaksanakan ibadah wajib (sedang memutus ibadah wajib ini diharamkan) dan tidak ada udzur baginya untuk memutusnya, sehingga diharuskan untuk meneruskan puasanya. Sebagaimana seseorang yang telah terlanjur melaksanakan sholat fardhu di awal waktu. (Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzzab, Juz 2 Halaman 318)
Berbeda dengan di atas, Syekh Khatib Syirbini menyatakan bahwa baik sengaja atau tidak saat membatalkan puasanya di bulan Ramadhan, ia tidak diperbolehkan membatalkan puasa qadha. Beliau menjelaskan;
وَمَنْ تَلَبَّسَ بِصَوْمٍ وَاجِبٍ أَوْ صَلَاةٍ وَاجِبَةٍ حَرُمَ عَلَيْهِ قَطْعُهُ سَوَاءٌ كَانَ قَضَاؤُهُ عَلَى الْفَوْرِ كَصَوْمِ مَنْ تَعَدَّى بِالْفِطْرِ، أَوْ أَخَّرَ الصَّلَاةَ بِلَا عُذْرٍ أَمْ لَا بِأَنْ لَمْ يَكُنْ تَعَدَّى بِذَلِكَ.
“Sesiapa yang telah terlanjur melaksanakan puasa wajib (puasa di bulan Ramadhan, qada’ atau nadzar) atau shalat wajib, maka diharamkan baginya untuk memutus ibadahnya. Baik puasanya itu berupa qadha yang tidak harus diganti dengan segera, semisal dalam konteks seseorang yang sembrono dalam membatalkan puasanya atau mengakhirkan shalat dengan tanpa adanya alasan.
Atau orang tersebut tidak diharuskan segera mengganti ibadahnya, semisal dalam konteks seseorang yang kebalikan dari kasus tadi.” (Iqna’ fi hill alfadz abi Syuja’ Juz 2 Halaman 407)
Lalu apakah ketika membatalkan puasa qadha’ dengan cara bersetubuh, ia diwajibkan menunaikan kafarat sebagaimana dalam konteks bulan puasa? Jawabannya adalah tidak. Ibnu Hajar Al-Haitami menyatakan;
ولا” تجب الكفارة “على من جامع” أي وطئ ولم يفسده صومه كأن جامع “ناسيًا” أو جاهلًا وقرب إسلامه أو نشأ ببادية بعيدة عن العلماء “أو مكرهًا”…ولا على من أفسد بجماعه صوم “غير رمضان” كالقضاء والنذر لورود النص في رمضان وهو مختص بفضائل لا يشركه فيها غيره.
“Kafarat tidak diwajibkan bagi mereka yang membatalkan puasanya dengan cara bersetubuh dalam keadaan lupa, tidak tahu (bahwa bersetubuh bisa membatalkan puasa), baru masuk Islam, jauh dari ulama, dipaksa, karena yang demikian Dianggap uzur.
Dan juga kafarat tidak diwajibkan bagi mereka yang membatalkan puasa wajib dengan bersetubuh di selain bulan Ramadhan, semisal puasa Qada dan Nazar. Karena yang diperintahkan dalam Nash itu hanya khusus di bulan Ramadhan dan ini termasuk salah satu keutamaannya bulan Ramadhan yang tidak disamai oleh yang lainnya. (Minhaj al-Qawim, Halaman 257)
Dengan demikian bisa diketahui bahwasanya ulama itu berbeda pendapat terkait hukum membatalkan puasa Qadha, sehingga bagi seseorang itu dianjurkan untuk berhati-hati dalam melaksanakan puasa qadhanya, namun jika ia terdesak untuk membatalkannya maka silakan mengikuti ulama yang memperbolehkan Untuk membatalkan puasa qadhanya. Wallahu A’lam bi al-shawab.