Apa Hukum Pinjam Uang dari ?

MEMINJAM uang di rentenir hukumnya riba. Riba merupakan perbuatan yang dibenci dan diharamkan Allah swt. Dalam QS Al-Baqarah (2): 275, Allah swt berfirman, “dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”

Bahkan dalam sebuah Hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah ra, Rasulullah SAW mengategorikan riba sebagai salah satu dari tujuh dosa besar yang harus dihindari (HR Muslim).

Kemudian di Hadits yang lain, Rasulullah saw melaknat kedua belah pihak yang melakukan transaksi riba, juga orang yang menjadi saksi dalam transaksi tersebut (HR Abu Daud).

Dalam Islam, pengharaman riba ini tidak dilakukan dalam satu kali tahap, melainkan dilakukan secara gradual (bertahap). Ini karena praktik riba (yang merupakan tradisi kaum Yahudi) sudah mengakar di kalangan masyarakat Arab saat itu, sama seperti kebiasaan meminum khamar.

Menurut Al-Maraghir, seorang mufasir asal Mesir, pengharaman riba dilakukan dalam empat tahap:

Pertama, Allah hanya menegaskan riba bersifat negatif. Allah berfirman, “Dan suatu riba (kelebihan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak bertambah di sisi Allah.” (QS. Ar-Ruum [30]: 39)

Kedua, Allah memberi isyarat tentang keharaman riba melalui kecaman-Nya terhadap praktik riba di kalangan masyarakat Yahudi. Allah berfirman, “Dan disebabkan mereka makan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta orang lain dengan jalan yang batil.” (QS. An-Nisaa` [4]: 161)

Ketiga, Allah yang mengharamkan riba yang berlipat ganda. Dia berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda.” (QS. Ali Imran [3]: 130) Pada ayat ini, hanya riba yang berlipat ganda saja yang diharamkan.

Keempat, Allah mengharamkan riba secara total dalam segala bentuknya, baik yang berlipat ganda ataupun tidak. Dia berfirman, “dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS. Al-Baqarah [2]: 275). Riba ini lebih jahat daripada zina. Maka sebaiknya dihindari.

Arti Riba

Dalam bahasa Arab, kata ‘riba’ berasal dari kata ‘rabaa yarbuu’ yang berarti tumbuh, berkembang, atau bertambah. Jadi, riba berarti kelebihan atau tambahan. Sedangkan menurut istilah, riba adalah kelebihan harta dalam suatu muamalah (transaksi), dengan tidak ada imbalan atau gantinya.

Macam-macam Riba

– Riba al-fadhl
Kelebihan pada salah satu harta sejenis yang diperjualbelikan dengan ukuran syara’ (timbangan atau takaran). Misal, 1 kg gula dijual dengan 1 ¼ kg gula lainnya. Kelebihan ¼ kg gula dalam jual beli ini disebut dengan riba al-fadhl.

– Riba an-nasii’ah
Kelebihan atas piutang yang diberikan orang yang berutang, kepada orang yang mengutanginya, karena ada faktor penundaan waktu pembayaran. Misal, Badu berhutang kepada Budi Rp 200 ribu, yang pembayarannya dijanjikan bulan depan, dengan syarat pengembalian itu dilebihkan menjadi Rp 250 ribu.

Semua ulama sepakat mengharamkan praktik riba, karena dianggap sama persis dengan praktik riba yang berkembang di kalangan masyarakat Jahiliyah dulu, yang kemudian diharamkan oleh Islam. (*)

sumber: Lampung TribunNews

Pinjaman Bank, Bukan Uang Riba?

Pinjaman Bank

Bagaimana hukum usaha yg modalnya hasil pinjaman bank? Ktika usaha ini berkembang, apakah hasilnya haram? Termasuk rumah KPR bank, apakah berarti rumah itu haram?

Jawab:

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du,

Pertama, kita perlu memahami pengertian harta riba

Riba secara bahasa artinya tumbuh.

Allah berfirman dalam al-Qur’an tentang keutamaan sedekah,

يَمْحَقُ اللَّهُ الرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ

Allah membinasakan riba dan menumbuhkan sedekah. (QS. Al-Baqarah: 276)

Karena itu, sebagian ulama mendefinisikan riba dengan,

فضل مال بلا عوض في معاوضة مال بمال

Kelebihan harta tanpa ada ganti hasil dalam transaksi komersial antara harta dengan harta (Hasyiyah Ibnu Abidin, 5/169).

Pengertian riba di atas, mencakup riba fadhl, yang bentuknya penambahan dalam tukar menukar komoditas ribawi  maupun riba nasiah, dalam bentuk penambahan yang disyaratkan untuk mendapatkan penundaan pembayaran utang.

Uang Pinjaman Bank

Ketika ada orang yang meminjam uang di bank, dari sudut pandang nasabah, hakekatnya dia tidak mengambil uang riba. Namun dia mengambil uang dari pihak yang melakukan transaksi riba.

Sebagai ilutrasi,

Di masa awal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hijrah ke Madinah, orang yahudi menjadi penguasa perekonomian Madinah. Mereka mendominasi pasar. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat melakukan transaksi dengan mereka. Ada yang jual beli, dan bisa dipastikan, ada juga transaksi utang piutang.

Salah satu karakter orang yahudi, mereka suka mengambil riba dan makan harta orang lain dengan cara yang bathil. Allah ceritakan dalam al-Quran,

فَبِظُلْمٍ مِنَ الَّذِينَ هَادُوا حَرَّمْنَا عَلَيْهِمْ طَيِّبَاتٍ أُحِلَّتْ لَهُمْ وَبِصَدِّهِمْ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ كَثِيرًا . وَأَخْذِهِمُ الرِّبَا وَقَدْ نُهُوا عَنْهُ وَأَكْلِهِمْ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ

“Disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, kami haramkan atas (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah, dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta benda orang dengan jalan yang batil.” (QS. An-Nisa: 160 – 161)

Ketika kaum muslimin berutang kepada orang yahudi, mereka tidak disebut mengambil harta riba yang statusnya haram. Tapi mereka mengambil harta dari orang yang melakukan transaksi riba.

Aisyah radhiyallahu’anha menceritakan,

تُوُفِّيَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم وَدِرْعُهُ مَرْهُونَةٌ عِنْدَ يَهُودِيٍّ بِثَلاَثِينَ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ لأَهْلِهِ

“Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, baju perang beliau masih digadaikan kepada orang Yahudi sebagai jaminan utang tiga puluh sha’ gandum untuk nafah keluarganya.” (HR. Bukhari 2916, Nasai 4668, dan yang lainnya).

Demikian pula ketika seorang muslim pinjam uang di bank, uang yang dia terima halal. Bagi dia sebagai peminjam, ini bukan uang riba. Meskipun dari bank, ada kemungkinan uang itu adalah uang riba.

Karena itu, usaha dan hasil yang dia dapatkan halal. Karena modal yang dia gunakan halal.

Bukan Memotivasi Pinjam Bank

Tulisan ini sama sekali bukan memotivasi pembaca untuk mencari pinjaman dari bank. Meminjam di bank, berarti melakukan transaksi riba dengan bank. Karena pada saat meminjam bank, dia menyetujui nota kesepakatan adanya penambahan ketika pelunasan (bunga). Dan itu riba.

Inilah yang menjadi masalah ketika seseorang meminjam uang di bank atau rentenir. Dia menyepakati transaksi riba. Meskipun riba itu belum diberikan pada saat dia menerima pinjaman. Tapi dia telah berkomitmen, dirinya akan memberikan riba ketika pengembalian.

Orang yang melakukan kesepakata demikian, mendapat ancaman hadis dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma,

لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- آكِلَ الرِّبَا وَمُوكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang memakan riba, nasabah riba, juru tulis dan dua saksi transaksi riba. Nabi bersabda, “Mereka itu sama.” (HR. Muslim 4177)

Ketika seseorang meminjam uang di bank, dia melakukan dua kesalahan yang diancam dalam hadis di atas,

Pertama, ketika meminjam dia menyepakati transaksi riba.

Kedua, ketika mengembalikan, dia memberi makan riba.

Kemudian artikel ini hanya meluruskan pemahaman bahwa uang yang didapat dari pinjaman bank adalah uang riba. Sehingga turunan dari uang ini, semuanya haram. Padahal tidak demikian. Justru di posisi nasabah yang meminjam, dia akan memberikan riba kepada bank. Bukan yang menerima riba.

Contoh Salah Paham

Salah satu contoh pengaruh kesalah-pahaman terkait pinjaman bank, ada seorang anak yang merasa resah dengan kehalalan nafkah yang diberikan ortunya, gara-gara ortunya berbisnis dengan modal dari bank. Si anak merasa, uang ortunya dan semua hasil bisnis ortunya adalah riba, karena hasil dari pinjaman bank.

Ada juga yang merasa bingung dengan status rumah KPR. Apakah itu berarti rumah haram, tidak boleh ditempati juga tidak boleh dijual. Karena dia beli dengan dana pinjaman bank.

Bagi yang Sudah Terlanjur

Bagi anda yang telah terlanjur pinjam bank, baik untuk modal maupun untuk konsumtif, seperti rumah dan kendaraan, sebisa mungkin agar segera dilunasi, dan komitmen untuk tidak semakin memperparah bunganya. Karena ini berarti semakin banyak memberi makan riba kepada bank.

Allahu a’lam

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits

 

sumber: Pengusaha Muslim

Apa itu Riba Jahiliyah?

 

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,

Istilah ini sering kita dengar dan kita perlu mengenalnya. Tidak hanya mengenal dalam arti pernah mendengar istilah, tapi juga harus mengenal hakekatnya.

Ada pepatah mengatakan,

عرفت الشر لا للشر لكن لتوقيه ، ومن لا يعرف الشر من الخير يقع فيه

Aku mengenal keburukan untuk untuk mengamalkannya… namun untuk menghindarinya…

Siapa yang tidak kenal keburukan di tengah kebaikan, dipastikan dia terjerumus dalam keburukan itu.

Semua muslim benci syirik, memusuhi syirik. Namun sayang, banyak muslim yang tidak kenal hakekat syirik. Sehingga beberapa diantara mereka melakukan syirik, namun mereka menyebutnya ibadah.

Betul apa yang dipesankan Umar bin Khatab,

إنما تنقض عرى الإسلام عروة عروة إذا نشأ في الإسلام من لا يعرف الجاهلية

Ikatan islam terlepas satu demi satu, karena muncul generasi dalam islam yang tidak kenal tradisi Jahiliyah. (Majmu’ Fatawa, 10/301)

Tentu saja kita tidak ingin mulut ini koar-koar anti riba, sementara kita sendiri adalah praktisi riba jahiliyah. Lebih dari itu, kita akan menimbang, bagaimana praktek riba di zaman ini, dengan cara orang jahiliyah mengambil riba.

Apa itu Riba Jahiliyah?

Kita akan simak beberapa keterangan ulama yang mendapatkan informasi dari para saksi sejarah, para sahabat yang pernah mengalami zaman tersebarnya riba.

Keterangan Zaid bin Aslam – ulama tabiin –,

كَانَ الرِّبَا فِي الْجَاهِلِيَّةِ أَنْ يَكُونَ لِلرَّجُلِ عَلَى الرَّجُلِ الْحَقُّ إِلَى أَجَلٍ فَإِذَا حَلَّ الْأَجَلُ قَالَ : أَتَقْضِي أَمْ تُرْبِي ؟ فَإِنْ قَضَى أَخَذَ وَإِلَّا زَادَهُ فِي حَقِّهِ وَأَخَّرَ عَنْهُ فِي الْأَجَلِ

Bentuk riba jahiliyah, si A berutang kepada si B sampai batas waktu tertentu. Ketika tiba jatuh tempo, si B memberi tawaran kepada si A, “Lunasi utangmu sekarang atau ditambah bunga?” Jika si A melunasi ketika itu, maka tidak ada kelebihan apapun. Dan jika tidak melunasi ketika itu, si A terbebani tambahan yang harus dia bayarkan dan batas pelunasan ditunda. (HR. Malik dalam al-Muwatha’, no. 1371).

Sebagaimana tambahan ini berlaku pada kuantitas yang dibayarkan, tambahan ini juga berlaku pada kualitas yang dibayarkan. Misalnya, dulu utang sapi usia setahun. Ketika jatuh tempo, si A tidak bisa meluasi. Akhirnya waktu pelunasan ditunda, namun harus dibayarkan berupa sapi yang usianya lebih tua.

Disebutkan dalam riwayat lain, keterangan Zaid bin Aslam,

Riba jahiliyah itu peenambahan dalam usia. Si A berutang kepada si B seekor onta. Ketika datang jatuh tempo, si B menagih, “Lunasi sekarang atau tambah usia?”

Jika si A memiliki hewan yang bisa digunakan untuk melunasi, dia bisa bayarkan sesuai usia hewan yang  diutang. Jika tidak ada, maka waktu pelunasan ditunda dan usia hewan untuk pelunasan ditambah. Begitu seterusnya, usianya selalu bertambah. (at-Thabrani dan tafsirnya, 7/205)

Keterangan lain dari Qatadah, seperti yang disebutkan al-Hafidz Ibnu Hajar, beliau menjelaskan riba jahiliyah dalam jual beli kredit, yang harganya bertambah ketika tidak bisa dilunasi ketika jatuh tempo,

إِنَّ رِبَا أَهْلِ الْجَاهِلِيَّةِ يَبِيع الرَّجُل الْبَيْع إِلَى أَجَل مُسَمَّى , فَإِذَا حَلَّ الْأَجَل وَلَمْ يَكُنْ عِنْد صَاحِبه قَضَاءٌ ، زَادَ وَأَخَّرَ عَنْهُ

Bentuk riba jahiliyah, si A menjual barang kepada si B secara kredit sampai batas tertentu. Ketika tiba jatuh tempo, sementara si B tidak bisa melunasi, harga barang dinaikkan dan waktu pelunasan ditunda. (Fathul Bari, 4/313)

Syaikhul Islam mengomentari bentuk riba jahiliyah di atas,

وَهَذَا هُوَ الرِّبَا الَّذِي لَا يُشَكُّ فِيهِ بِاتِّفَاقِ سَلَفِ الْأُمَّةِ وَفِيهِ نَزَلَ الْقُرْآنُ ، وَالظُّلْمُ وَالضَّرَرُ فِيهِ ظَاهِرٌ

Inilah riba yang tidak diragukan lagi keharamannya, dengan sepakat ulama salaf. Inilah riba yang dibahas dalam al-Quran. Nampak sangat jelas unsur kedzaliman dan bahayanya. (Majmu’ al-Fatawa, 20/349).

Ada satu kesimpulan yang penting untuk kita garis bawahi, bahwa utang di masa jahiliyah, tidak otomatis langsung ada ribanya. Riba baru berlaku ketika pada saat jatuh tempo pertama, utang itu tidak bisa dilunasi. Sehingga riba baru dikenakan untuk jatuh tempo kedua.

Kita bisa bandingkan dengan praktek riba di zaman kita.

Siapapun yang berutang di bank ribawi, apapun labelnya, perhitungan riba telah ditetapkan dari sejak awal utang. Sehingga sekalipun utang dibayarkan di batas jatuh tempo pertama, tepat waktu, debitor tetap dikenakan riba.

Kita bisa menilai, manakah yang lebih parah keadaannya?

Masalah pelipatan angka, itu hanya masalah waktu penundaan. Karena riba kontemporer juga bisa berlipat berkali-kali, jika ditunda dalam waktu lama.

Hanya Riba Jahiliyah yang Dilarang?

Sebagian orang beranggapan bahwa transaksi yang dikembangkan bank zaman ini, bukan termasuk transaksi riba jahiliyah. Karena semua terukur dan adanya bunga sebagai kompensasi dari nila waktu uang (time value of money). Sehingga bukan riba yang dilarang dalam al-Quran.

Bahkan mereka memotivasi setiap pengusaha untuk utang.

Bisnis tanpa utang, gak eksis boss..

Biarkan bank yang mengaudit usaha anda. Untuk membuktikan kejujuran anda.

Semakin banyak bank yang merestui pinjaman dana untuk anda, berarti anda semakin terpercaya.

Allahu akbar, jelas motivasi yang sangat membahayakan. Bisa pelaku riba di bank merasa yakin tidak ada yang bermasalah dari gajinya.

Kita bisa jawab dari beberapa sisi,

Pertama, bahwa riba bank kontemporer, tidak berbeda dengan riba jahiliyah. Bahkan riba bank lebih parah dari pada riba jahiliyah.

Kedua, riba jahiliyah tidak mesti berlipat ganda. Karena jika jatuh temponya pendek, tidak ada pelipatan utang.

Ketiga, dalam islam, riba sekecil apapun dilarang. Meskipun itu terukur. Karena riba jahiliyah pun terukur. Semua kembali kepada kesepakatan.

Dari Handzalah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

دِرْهَمُ رِبًا يَأْكُلُهُ الرَّجُلُ وَهُوَ يَعْلَمُ أَشَدُّ مِنْ سِتَّةِ وَثَلاَثِيْنَ زَنْيَةً

“Satu dirham yang dimakan oleh seseorang dari transaksi riba sedangkan dia mengetahui, lebih besar dosanya daripada melakukan perbuatan zina sebanyak 36 kali.” (HR. Ahmad 21957, ad-Daruqutni 2880 dan dishihkan al-Albani)

Dalam hadis lain, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الرِبَا ثَلاَثَةٌ وَسَبْعُوْنَ بَابًا أيْسَرُهَا مِثْلُ أَنْ يَنْكِحَ الرُّجُلُ أُمَّهُ وَإِنْ أَرْبَى الرِّبَا عِرْضُ الرَّجُلِ الْمُسْلِمِ

“Riba itu ada 73 pintu (dosa). Yang paling ringan adalah semisal dosa seseorang yang menzinai ibu kandungnya sendiri. Sedangkan riba yang paling besar adalah apabila seseorang melanggar kehormatan saudaranya.” (HR. Ibn Majah 2360, al-Hakim 2259 dan dishahihkan ad-Dzahabi).

Karena itu, tidak ada alasan bagi kita untuk membela riba bank, setelah memahami semua riba benilai dosa besar.

Allahu a’lam.

Ditulis oleh Ustadz Ammi Nur Baits

 

sumber: PengusahaMuslim.com

Riba Menjerat Anda Menuju Kefakiran

Allah swt berfirman :

“Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencari keridhaan Allah, maka {yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya) (ar Ruum : 39)

Maksudnya , apa yang engkau keluarkan dari harta kalian, wahai orang-orang kaya, dengan jalan riba demi menambah banyak harta kalian, maka tidak akan bertambah, tidak akan dianggap zakat dan akan dilipat gandakan disisi Allah, karena ia adalah usaha yang jelek dan tidak diberkahi oleh Allah.

Imam Az –Zamkhsyari berkata,” Ayat ini senada dengan firman Allah yang mengatakan , “ Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah . Dan Allah tidak menyukai setiap orang tetap dalam kekafiran dan selalu berbuat dosa (al Baqarah: 276).

Maksudnya bahwa Allah akan memusnahkan tunas kebaikannya dan menghapus semua amalnya, meskipun dilihat dari zahir ia bertambah. Allah akan memperbanyak kualitas sedekah seseorang dan mengembangkannya, meskipun secara zahir terlihat berkurang dan sedikit.

Allah berfirman :

“ Orang-orang yang makan (mengambil riba) tidak dapat berdiri mItulah cirri mereka, dapat diketahui pada hari mashyar yang akan menghancurkan mereka dan sebagai penyingkap keburukan merekaelainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila” (al Baqarah: 275)

Maksudnya, orang-orang yang bermuamalah dengan riba dengan keuntungan yang telah ditentukan dan memeras darah manusia, ia tidak akan bisa berdiri dari kuburnya di hari kiamat kecuali seperti orang yang mati karena terkena gila. Ia merasa kesusahan berdiri, jatuh bangun dan tidak dapat berjalan dengan lurus. Mereka akan berdiri dalam keadaan gila, seperti orang yang telah mati. Itulah ciri mereka , dapat diketahui pada hari mahsyar yang akan menghancurkan mereka dan sebagai penyingkap keburukan mereka.

“ Bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman (al baqarah : 278)

Maksudnya takutlah kalian kepada Allah . Selalulah merasa diawasi oleh-Nya atas apa yang kalian lakukan. Bersihkanlah harta kalian dari riba yang ada pada tangan manusia, jika kalian benar-benar beriman kepada Allah.

Riba secara etimologis adalah ‘penambahan’. Jika dikatakan rabaa as-syaiu artinya sesuatu itu bertambah. Dari asal kata ini muncul ar-rabwah wa ar-raabiah. Secara syar’i yang dimaksud dengan riba adalah penambahan pada modal semula yang di ambil oleh orang yang mengutangi kepada orang yang diutangi dengan tempo waktu yang ditentukan.

Allah berfirman,

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat beberuntungan.” (Ali-Imran:130)

“Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah melarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta orang dengan cara yang bathil. (Ali-Imran:130)

Maksudnya, mereka memakan harta riba padahal Allah telah mengharamkannya di dalam Taurat. Dan mereka memakan harta manusia dengan jalan suap dan semua cara yang haram, yang jelasnya tidak dibenarkan dalam ajaran agamanya.

“Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa.” (Al-Baqarah:276)

Maksudnya, Allah telah menghalalkan jual beli karena di dalamnya mengandung banyak manfaat dan Dia mengharamkan riba karena didalamnya mengandung banyak mudharat yang besar, baik itu bagi diri pribadi maupun masyarakat. Karena di dalam muamalah tersebut terdapat penambahan nilai yang sifatnya sangat mencekik dan menguras pihak yang mengutang.

Saudaraku. Hindarilah bermuamalah dengan riba sebagaimana engkau lari dan menghindar dari penyakit lepra. Karena ia dapat menjerat Anda ke dalam jurang kefakiran dan penyakit-penyakit lain yang berbahaya, serta kehidupan yang serba sulit. Apapun sebabnya anda harus menghindar darinya, jangan tergiur oleh bujukan-bujukan yang mengajakmu bermuamalah dengan riba. Satu hal yang paling penting anda ketahui adalah bahwa Allah telah mengharamkannya untuk memakan riba, maka anda harus menjauhinya selama hal tersebut haram.

-/Yasir Syalabi/-

sumber: Era Muslim

Dinar-Dirham, Harganya Sama Sejak Zaman Rasul Sampai Sekarang (1)

“ALI bin Abdullah menceritakan pada kami, Sufyan menceritakan pada kami, Syahib bin Gharqadah menceritakan pada kami, ia berkata: saya mendengar penduduk bercerita tentang  Urwah, bahwa Nabi Muhammad SAW memberikan uang 1 Dinar kepadanya agar dibelikan seekor kambing untuk beliau (H.R Bukhari).”

Dari hadits tersebut kita bisa tahu bahwa harga pasaran kambing yang wajar di zaman Rasulullah SAW adalah 1 Dinar.

Jika 1 Dinar saat ini (2011) adalah Rp. 1.950.000 maka nilai Dinar tetap cukup untuk untuk membeli 1 kambing dengan kualitas terbaik. Kesimpulannya perbedaan waktu antara pada zaman Rasulullah SAW sampai hari ini nilai daya belinya masih tetap 1 Dinar hal ini merupakan bukti nyata jika kita menyimpan Dinar/Emas stabilitas nilai daya belinya mampu menangkal  kenaikan barang dan jasa.

Coba kita bandingkan misalnya dengan nilai uang rupiah (IDR), pada tahun 1970 jika harga seekor kambing dengan kualitas yang bagus di kisararan Rp 7.000 (tujuh ribu rupiah) per ekornya. Tahun 2013 setelah terjadi perbedaan waktu 43 tahun dari 1970-2013, situasinya berubah.

Uang Rp 7.000 tersebut tidak jadi kita belikan kambing pada saat itu, kemudian kita simpan dan kita kebetulan lupa menaruhnya dan tiba–tiba secara tidak sengaja kita menemukan uang yang kita simpan tersebut di tahun 2013 ini, maka hal yang pasti terjadi uang tersebut di jamin tidak laku karena cetakan mata uang telah berganti-ganti seiring periode masa berlakunya yang ditetapkan oleh Bank Indonesia (BI).

Apabila uang tersebut kita paksakan untuk dibelanjakan pasti kita dianggap kurang waras, jika kita tukarkan di BI untuk mendapatkan nilai pecahan baru dengan nominal yang sama juga pasti akan ditolak karena batas waktu penukaran dari masa berlakunya telah habis, otomatis uang kita jadi uang kuno yang hanya berguna untuk koleksi pribadi dan museum.

Coba kita balik cerita ini menjadi seperti ini, uang Rp 7.000 tersebut kita belikan emas murni pada saat itu harga emas Rp 500/gr maka akan mendapatkan 14 gr emas murni, lantas emas tersebut kita simpan dan seiring dengan berjalannya waktu kita lupa menaruh atau lupa memilikinya. Kemudian pada tahun 2011 emas murni kita temukan, jika kita uangkan tetap akan laku dan sekaligus jadi penolong keuangan kita jika harga 14 gr x Rp. 450.000 maka uang yang kita terima Rp. 6.300.000.

Uang  Rp 7.000 tersebut jika disimpan di bank dalam kurun 41 tahun maka bunga bank yang kita terima Rp 28.700 dengan asumsi (10% tahun x 41 tahun) maka uang total pokok dan bunga kita terima sebesar Rp 35.700 ditahun 2011, maka begitu kita keluar dari bank uang tersebut yang rencananya kita  belikan 1 ekor kambing dengan pasaran harganya ditahun 2011 Rp. 1.950.000  dipastikan uang kita tidak akan cukup untuk membeli kambing tersebut, dengan langkah lemas dan pasrah yang bisa kita lakukan adalah menuju warung sate untuk membeli 1 porsi sate kambing plus minuman.

BERSAMBUNG

 

sumber: Islam Pos

Mengapa Riba Menghancurkan Negara (2 – Habis)

PEMINJAM adalah pihak kekurangan dana, yang dapat kita sebut sebagi orang miskin. Pihak pengelola bank akan mengalokasikan dana yang ditabung oleh para orang kaya dan menjadikannya dana untuk dipinjamkan kepada peminjam. Namun, dana orang kaya yang menabung di bank dalam jumlah yang besar akan mendapatkan bunga yang besar. Darimanakah asal bunga tersebut? Di samping itu, orang miskin yang dengan terpaksa harus meminjam uang di bank semakin melarat akan tambahan beban bunga yang harus mereka tanggung.

Dan bunga yang dibayarkan para orang miskin akan disalurkan untuk membiayai operasional bank dan diberikan kepada orang kaya sebagai bunga. Itulah salah satu hal yang mengacaukan sistem perekonomian dunia, dimana yang kaya makin kaya dan yang miskin makin miskin.

3. Riba juga akan berpengaruh terhadap investasi, produksi, dan pengangguran. Semakin tinggi suku bunga, semakin rendah investasi sehingga semakin rendah pula produksi akibat kekurangan modal. Terjadinya penurunan produksi, dapat memacu meningkatknya pengangguran dan kemiskinan.

4. Inflasi dapat terjadi karena peningkatan bunga. Hal ini dapat dianalogikan bila bunga di bank meningkat, maka akan menurunkan minat menabung sehingga jumlah uang yang beredar di masyarakat menjadi over limit dibandingkan jumlah uang yang disimpan. Karena uang yang disimpan sedikit, akibatnya daya beli menurun dan meningkatkan kemiskinan rakyat. Hal ini merupakan asumsi dari teori Cateris Paribus.

5. Sistem ekonomi riba juga menjebak Negara-negara berkembang kepada debt trap (jebakan utang) yang dalam sehingga bunga yang harus dibayar atas utang yang telah dilakukan semakin menggemuk. Untuk membayar bunga saja kesulitan apalagi membayar pokok dari hutang mereka.

6. Di Indonesia, pelaksanaan riba pun berdampak pada pengurasan dana APBN. Bunga telah membebani APBN untuk membayar bunga obligasi kepada perbankan konvensional yang telah dibantu dengan BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia).

Dengan pemaparan diatas, sudah sepatutnya masyarakat dan pemimpin negara sadar akan buruknya pelaksanaan riba bagi kesejahteraan dan kemaslahatan perekonomian masyarakat. Sang Maha Benar (Al-Haq), dalam firman-Nya telah menyatakan larangan keras terhadap tindakan riba. Para ekonom pun telah sepakat untuk menjauhi riba. Fakta atas dampak-dampak negative yang ditimbulkan riba pun telah berbicara bahwa Riba adalah ‘biang penyakit perekonomian’, maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?

Keberadaan riba bagaikan ‘lingkaran setan’ yang tidak ada ujungnya. Berbagai transaksi di dunia ini seringkali dekat dengan riba. Untuk itu, mari kita berusaha, berusaha terus, dan terus berusaha untuk meminimalisir keterlibatan dengan riba. Contoh sederhana adalah dengan tidak menabung di bank konvensional atau bila memang kenyataan mengharuskan memiliki akun nasabah di bank konvensional, maka jangan ambil bunganya. [atika azis/education learning]

 

sumber: Islam Pos

Mengapa Riba Menghancurkan Negara (1)

RIBA merupakan tambahan uang atas modal yang diperoleh dengan cara yang tidak benar. Pengertian tersebut sekaligus menerangkan bahwa riba (usury) dan bunga (interest) berarti sama. Dalam firmannya, Allah SWT beberapa kali menekankan bahwasanya melaksanakan riba adalah perbuatan dosa besar karena dapat merugikan banyak umat. Secara kasat mata, tidak sedikit orang merasa ‘diuntungkan’ terhadap keberadaan bunga.

Cukup ironis, karena bunga tersebut berasal dan tumbuh diatas tangisan dan kemelaratan orang lain atas bunga utang para rakyat yang meminjam uang di bank. Dengan pembiasaan praktek riba yang dipropagandakan oleh negara kafir, seluruh negara pun menjadi korbannya. Umat islam menjadi terjebak dalam bertransaksi melalui bank karena mayoritas bank (bank konvensional) menggunakan praktek bunga sebagai salah satu sumber penghasilan mereka.

orang-orang yang makan riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdiri orang yang kemasukan setan karena penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu disebabkan mereka berkata sesungguh jual beli itu sama dengan riba padahal Allah menghalalkan jual beli dan mengharamakaan riba. Orang-orang yang telah sampai kepada larangan dari Rabb lalu berhenti maka bagi apa yang telah diambil dahulu dan urusan kepada Allah. Siapa yang mengulangi maka mereka itu adalah penghuni neraka mereka kekal di dalamnya. Allah memusnahkan riba dan menumbuhkembangkan sedekah-sedekah. Dan Allah tidak menyukai tiap orang yang tetap dalam kekafiran dan selalu berbuat dosa.” (QS.al-Baqarah: 275-276)

Dalam ayat lain Dia Yang Maha Tinggi berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba jika kalian orang-orang yang beriman. maka jika kalian tidak mengerjakan maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangi kalian. Dan jika kalian bertaubat maka bagi kalian pokok harta kalian kalian tidak menzalimi dan tidak pula dizalimi.”(QS.al-Baqarah: 278-279)

Larangan akan riba dalam Islam, bukan diharamkan dengan bukti yang tidak kuat. Segala perintah Allah pasti jelas dan sangat bermanfaat untuk seluruh umat. Tidak sedikit pakar ekonomi non muslim yang menolak praktek riba karena dampak-dampak yang telah ditimbulkannya.

Lalu apa contoh perilaku riba?

Dari abi Said al-khudari r.a ( katanya): sesungguhnya Rasulullah bersabda :Jangnanlah kamu menjual dengan emas kecuali yang sama nilainya, dan janganlah kamu menjual uang dengan uang kecuali yang sama nilainnya, dan jangganlah  kamu menambah  sebagian atas sebagiannya, dan jannganlah kammu menjual yang tidak kelihatan diantara dengan yang nampak. (muttafaq Alaihih).

Riba menimbulkan dampak yang sangat buruk bagi masyarakat secara luas, di antaranya :

1.   Sistem riba menimbulkan krisis ekonomi diseluruh penjuru negeri sejak tahun 1930-an. Riba menjadi penyebab utama tidak stabilnya mata uang suatu negara. Uang akan berpindah dari tingkat bunga riil yang rendah ke yang tinggi dan hal ini menjadi ‘sasaran empuk’ para spekulator untuk memperoleh keuntungan dengan menyimpan uangnya di Negara yang tingkat bunganya tinggi. Usaha seperti ini disebut dengan Arbitraging.Praktek riba dapa membuat suatu perbuatan licik menjadi lumrah untuk dilakukan.

2.   Meningkatkan kesenjangan pertumbuhan ekonomi masyarakat dunia sehingga yang kaya makin kaya dan yang miskin makin miskin. Dalam pelajaran ekonomi kita mengenal pihak kelebihan dana dan pihak kekurangan dana. Penabung atau pemberi pinjaman adalah pihak kelebihan dana, yang dapat kita sebut sebagai orang kaya.

(Bersambung )

 

sumber: Islam Pos