DALAM literatur fiqh Islam, istilah Azl diartikan sebagai tindakan suami mencabut kemaluan dalam berhubungan ketika mendekati ejakulasi dan mengeluarkan sperma di luar rahim agar tidak terjadi pembuahan. Bagaimana hukumnya dalam Islam?
Secara hukum setidaknya ada empat pandangan berbeda menyikapi masalah Azl ini:
1. Boleh secara mutlak
Pendapat ini dilansir oleh kalangan Syafiiyyah dengan berdasarkan hadits Shahih yang diriwayatkan dari Jabir radhiallahu ‘anha:
“Kami melakukan Azl dimasa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sementara Alquran turun, jika saja hal itu larangan niscaya Alquran akan melarang kami melakukannya,” (Mutafaq Alaih/Sunan Ibnu Maajah Vol 1 Hal 620),
“Kami melakukan `azl pada masa Rasulullah. Kabar tersebut sampai kepada beliau, tetapi beliau tidak melarangnya,” (HR Muslim).
Akan tetapi menurut An-Nawawy (Ulama Syafiiyyah) dalam Syarh Muslim menegaskan apabila Azl dilakukan demi menghindari kehamilan hukumnya makruh secara mutlak baik ada kerelaan pihak istri atau tidak karena tindakan Azl dianggap memutus keturunan.
2. Makruh apabila ada hajat
Pernyataan ini dipegang oleh kalangan Hanabilah dengan dasar beberapa hadits yang diriwayatkan oleh Abu Bakar, Umar, Ali, Ibnu Umair dan Ibnu Umair yang membenci Azl karena dapat mengurangi jumlah keturunan yang dianjurkan syara Sabda Rasulullah “Menikahlah kalian dan memperbanyak keturunan”
3. Boleh apabila ada kerelaan Istri
Pendapat ini dari Imam Ahmad berdasarkan sebuah hadis dari Umair yang diriwayatkan Ibnu Majah:
Dari Umar ibn al-Khattab berkata: “Nabi melarang perbuatan `azl terhadap wanita merdeka kecuali seizinnya”. (HR Ibnu Maajah Vol 1 Hal 620)
Perlunya kerelaan dari pihak istri ini dikarenakan istri memiliki Hak atas anak sehingga dengan tindakan Azl akan menghilangkan haknya namun apabila istri memberikan memberikan izin hukumnya tidak makruh.
4. Haram
Pendapat ini dilansir oleh kalangan Dhohiriyyah dengan tendensi hadits yang diriwayatkan dari Judzamah:
“Sesungguhnya para shahabat bertanya tentang Azl, Nabi menjawab hal itu adalah pembunuhan anak dengan samar” (HR. Muslim)
[Sumber: Nihaayah Almuhtaaj Vol 7 Hal 137, Almughny Ibnu Qudaamah Vol 5 Hal 41]