Tentang shalat sunnah dua raka’at ihram, para ulama berselisih pendapat tentang disyariatkannya shalat tersebut. Jumhur (mayoritas) ulama berpendapat dianjurkannya (baca: sunnah) shalat dua rakaat ihram sebelum memulai talbiyah sebagai tanda memulai rangkaian manasik haji atau umrah.
Di antara dalil yang dipakai oleh jumhur ulama adalah hadits yang diriwayatkan dari ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,
َسَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِوَادِي العَقِيقِ يَقُولُ: أَتَانِي اللَّيْلَةَ آتٍ مِنْ رَبِّي، فَقَالَ: صَلِّ فِي هَذَا الوَادِي المُبَارَكِ ، وَقُلْ: عُمْرَةً فِي حَجَّةٍ
“Aku mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika berada di lembah Al-‘Aqiq, beliau berkata, “Malaikat yag diutus oleh Rabbku datang kepadaku dan berkata, “Shalatlah di lembah yang penuh berkah ini dan katakanlah, “Aku berniat melaksanakan ‘umrah dalam ibadah haji ini.” (HR. Bukhari no. 1534)
Jumhur ulama mengatakan bahwa berdasarkan hadits ini, dianjurkan untuk shalat sunnah (khusus) dua raka’at sebelum memulai ihram. (Majmu’ Fataawa Ibnu Baaz, 17: 68-69)
Sebagian ulama lainnya mengatakan bahwa tidak terdapat dalil yang menunjukkan disyariatkannya shalat sunnah dua rakaat ihram, yaitu shalat sunnah khusus dua raka’at yang dikerjakan oleh jamaah haji atau umrah sebelum memasuki rangkaian manasik haji atau umrah.
Yang terdapat dalil dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah beliau memulai ihram setelah shalat fardhu (yaitu shalat dzuhur) di Dzul Hulaifah (sekarang disebut Bir ‘Ali), kemudian beliau mulai berihram. Dzul Hulaifah adalah miqat jamaah haji yang datang dari arah Madinah. Oleh karena itu, dianjurkan untuk memulai ihram setelah melaksanakan shalat fardhu, jika hal itu memungkinkan (mudah) baginya.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullahu Ta’ala berkata,
َينلأمته صلاة للإحرام لا بقوله ولا بفعله ولا بإقربغي أن نعلم أن الإحرام ليس له صلاة فإنه لم يرد عن النبي صلى الله عليه وسلّم أنه شرع اره.
“Hendaknya diketahui bahwa ihram itu tidak memiliki shalat tertentu (yang dikerjakan sebelum ihram, pent.). Karena tidak terdapat dalil dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau mensyariatkan untuk umatnya shalat ihram, baik dengan perkataan, perbuatan, atau dengan persetujuannya.” (60 Su’aalan fi Ahkaamil Haidh wan Nifaas, hal. 43)
Beliau rahimahullahu Ta’ala juga menjelaskan,
َوذهب شيخ الإسلام ابن تيمية ـ رحمه الله ـ إلى أن ركعتي الإحرام لا أصل لمشروعيتهما، وأنه ليس للإحرام صلاة تخصه لكن إن كان في الضحى، فيمكن أن يصلي صلاة الضحى ويحرم بعدها، وإن كان في وقت الظهر، نقول: الأفضل أن تمسك حتى تصلي الظهر، ثم تحرم بعد الصلاة، وكذلك صلاة العصر. وأما صلاة مستحبة بعينها للإحرام، فهذا لم يرد عن النبي صلّى الله عليه وسلّم وهذا هو الصحيح.
“Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu Ta’ala berpendapat bahwa tidak terdapat dalil yang menunjukkan disyariatkannya shalat dua raka’at ihram. Ihram tidak memiliki shalat khusus sebelumnya. Akan tetapi, jika seseorang berada di waktu dhuha, dan memungkinkan baginya untuk shalat dhuha dan memulai ihram setelahnya, meskipun dia ihram di waktu dhuhur, maka kami katakan bahwa yang lebih baik adalah menunggu sampai tiba waktu dhuhur, kemudian memulai ihram setelah shalat dzuhur. Demikian pula untuk shalat ashar. Adapun shalat sunnah khusus untuk memulai ihram, maka tidak terdapat dalil dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Inilah pendapat yang shahih.” (Asy-Syarhul Mumti’, 7: 69)
Syaikh Dr. Shalih Al-Fauzan hafidzahullahu Ta’ala berkata, “Adapun shalat sebelum ihram, maka pendapat yang benar adalah ihram itu tidak memiliki shalat khusus. Akan tetapi, jika bertepatan dengan waktu shalat fardhu, maka dia ihram setelah shalat fardhu tersebut. Hal ini karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memulai talbiyah pertama setelah shalat fardhu (yaitu shalat dzuhur, pent.).” (Al-Mulakhkhash Al-Fiqhi, hal. 198)
Ibnul Qayyim rahimahullahu Ta’ala berkata,
َولم ينقل عنه أنه صلى للإحرام ركعتين غير فرض الظهر.
“Tidaklah dinukil dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau shalat dua raka’at untuk ihram, kecuali shalat dzuhur.” (Zaadul Ma’aad, 2: 101)
Adapun sebagai sanggahan terhadap hadits yang dipakai sebagai dalil oleh jumhur ulama, perkataan malaikat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Shalatlah di lembah yang penuh berkah ini” tidaklah menunjukkan diperintahkannya shalat sunnah dua raka’at ihram. Karena kalimat ini mengandung kemungkinan yang lain, yaitu melaksanakan shalat wajib (shalat fardhu) yang lima, dan bukan shalat sunnah dua raka’at ihram.
Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdullah bin Baaz rahimahullahu Ta’ala berkata,
َوكونه أحرم بعد الفريضة لا يدل على شرعية ركعتين خاصة بالإحرام وإنما يدل على أنه إذا أحرم بالعمرة أو بالحج بعد صلاة ، يكون أفضل إذا تيسر ذلك .
“Adapun yang dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berihram setelah shalat wajib, hal ini tidak menunjukkan disyariatkannya dua raka’at khusus sebelum ihram. Hal tersebut hanyalah menunjukkan bahwa jika seseorang berihram untuk umrah atau haji setelah shalat wajib, itulah yang lebih baik (lebih afdhal) ketika mudah (memungkinkan) baginya untuk mengerjakannya.” (Majmu’ Fataawa Ibnu Baaz, 17: 69)
Bagaimana jika diniatkan sebagai shalat sunnah setelah wudhu’?
Terdapat pertanyaan yang ditujukkan kepada Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu Ta’ala, “Jika seseorang berwudhu dan kemudian shalat dua raka’at setelah wudhu, bukankah hal ini disyariatkan?”
Beliau rahimahullahu Ta’ala menjawab,
َنعم مشروعة، وعلى هذا فنقول: أنت إذا اغتسلت وتوضأت فصلِّ ركعتين سنة الوضوء، ولكن يبقى النظر إذا كان ليس من عادته في غير هذا المكان أن يصلي ركعتي الوضوء، فأراد أن يصلي هنا، أليس سوف يشعر في نفسه أن هذه الصلاة من أجل الإحرام؟ أو على الأقل من أجل الاشتراك بين الإحرام والوضوء؟
الجواب: هذا هو الظاهر، ولذلك نقول: إذا كان سيبقى الإنسان في الميقات حتى يأتي وقت الفريضة، فالأفضل أن يهل بعد الفريضة.
“Betul bahwa ini perkara yang disyariatkan. Oleh karena itu kami katakan, jika Engkau mandi dan berwudhu, shalatlah sunnah dua raka’at wudhu’. Akan tetapi, terdapat ganjalan bagi mereka yang tidak memiliki kebiasaan untuk shalat sunnah wudhu selain di tempat ini (yaitu miqat jama’ah haji dan umrah, pent.), kemudian ingin shalat sunnah wudhu di tempat (miqat) tersebut. Tidakkah akan muncul dalam dirinya bahwa shalat ini dia kerjakan dalam rangka ihram? Atau minimal karena adanya irisan (pertemuan) antara ihram dan wudhu’? Jawabannya, inilah yang lebih tampak (dzahir). Oleh karena itu kami katakan, jika seseorang berada di miqat sampai tiba waktu shalat wajib, maka yang lebih afdhal adalah memulai ihram setelah shalat fardhu.” (Asy-Syarhul Mumti’, 7: 69)
***
Penulis: M. Saifudin Hakim
Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/46447-hukum-shalat-sunnah-dua-rakaat-ihram.html