Sifat Sholat Nabi dari Bersuci hingga Niat

Seorang muslim hendaknya melakukan ibadah Sholat sesuai dengan yang dicontohkan oleh Rasulullah ﷺ. Dikutip dari buku Sifat Sholat Nabi ﷺ karya Syaikh Abdullah bin Abdurrahman al Jibrin, Berikut di antara beberapa sifat Sholat nabi dari bersuci hingga niat:

1. Bersuci

Apabila hendak melakukan Sholat, seorang muslim diwajibkan untuk bersuci terlebih dahulu dari hadats kecil maupun hadats besar. Hadats besar dapat hilang dengan melakukan mandi jinabat, sedangkan hadats kecil akan hilang dengan melakukan wudhu. Hendaklah ia menyempurnakan wudhunya sebagaimana wudhu Nabi ﷺ. 

2. Sutrah (Penghalang/Pembatas) 

Ia memulai dengan menjadikan sesuatu sebagai sutrah (penghalang/pembatas) di mana ia Sholat dengannya (HR Bukhari). Hal ini dilakukan apabila ia menjadi imam atau ia Sholat sendirian (tinggi sutrah minimal 46,2 cm, lihat kitab al-Qaulul Mubin). 

3. Meluruskan Shaff/Barisan 

Kemudian apabila menjadi imam, hendaklah ia menoleh ke kanan seraya berkata, ‘Istawuu’ (lurus) (Silsilah ash-Shahiihah-Mukhtasharah), dan menoleh ke kiri seraya mengucapkan ‘Istawuu’ (luruskan).

4. Berdiri dan Niat di Dalam Hati

Kemudian ia menghadapkan seluruh badannya ke kiblat (Muttafaq alaih), dan niat dengan hatinya untuk mengerjakan Sholat yang ia kehendaki.

Jangan melafalkan niatnya dengan mengucapkan ‘Ushalli Lillaahi shalaata kadzaa wa kadzaa (saya niat karena Allah untuk Sholat anu.. anu..)’ karena melafalkan niat itu mengada-ada dalam urusan agama.

IHRAM

Manhajus Salikin: Sifat Shalat Nabi, Sujud pada Tujuh Anggota Tubuh

Sekarang kita masih dalam bahasan kitab Manhajus Salikin mengenai sifat Shalat Nabi. Kali ini bahasannya tentang turun sujud dan cara sujud.

# Fikih Manhajus Salikin karya Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di

Kitab Shalat

Kata Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah dalam Manhajus Salikin,

ثُمَّ يَسْجُدُعَلَى أَعْضَائِهِ السَّبْعَةِ كَمَا قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُمِرْتُ أَنْ أَسْجُدَ عَلَى سَبْعَةِ أَعْظُمٍ:عَلَى الجَبْهَةِ—وَأَشَارَ بِيَدِهِ إِلَى أَنْفِهِ—وَالكَفَّيْنِ وَالرُّكْبَتَيْنِ وَأَطْرَافِ القَدَمَيْنِ مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ

“Kemudian turun sujud, lalu sujud pada tujuh anggota tubuh, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Aku diperintahkan untuk sujud pada tujuh anggota tubuh yaitu: dahi—beliau berisyarat dengan tangannya pada hidungnya–, kedua telapak tangan, kedua lutut, kedua ujung kaki.’” (Muttafaqun ‘alaih)

Turun sujud, tangan lebih dulu ataukah lutut?

Pertama, yang mesti dipahami adalah kedua cara tersebut dibolehkan berdasarkan kesepakatan para ulama. Namun para ulama berselisih pendapat manakah yang lebih afdal di antara keduanya.

Kedua, yang paling afdal adalah dilihat dari kondisi orang masing-masing, tidak dikatakan yang paling afdal adalah tangan dulu ataukah lutut dahulu. Karena hadits yang membicarakannya hanyalah mengatakan,

إِذَا سَجَدَ أَحَدُكُمْ فَلاَ يَبْرُكْ كَمَا يَبْرُكُ الْبَعِيرُ

“Janganlah salah satu kalian turun untuk sujud sebagaimana bentuk turunnya unta ketika hendak menderum.” (HR. Abu Daud, no. 840 dan An-Nasa’i, no. 1092. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan).

Namun ada tambahan,

وَلْيَضَعْ يَدَيْهِ قَبْلَ رُكْبَتَيْهِ

“Hendaknya dia letakkan tangannya sebelum lututnya.”

Versi lain mengatakan,

وَلْيَضَعْ رُكْبَتَيْهِ قَبْلَ يَدَيْهِ

“Hendaknya dia letakkan dua lututnya sebelum dua tangannya”

Para ulama berselisih pendapat manakah riwayat tambahan ini yang shahih.

Pendapat yang tepat, kedua versi tambahan tersebut adalah riwayat yang goncang, tidak ada satu pun yang sahih. Keduanya idhtirab (goncang) [baca: lemah]. Sehingga riwayat yang valid hanyalah bagian awal hadits yang berbunyi, “Janganlah salah satu kalian turun untuk sujud sebagaimana bentuk turunnya unta ketika hendak menderum.”

Zahir hadits menunjukkan bahwa orang yang sedang mengerjakan shalat dilarang turun sujud sebagaimana bentuk turunnya unta ketika mau menderum. Turunnya unta untuk menderum itu memiliki bentuk yang khas. Bentuk khas ini bisa terjadi baik kita turun dengan mendahulukan tangan dari pada lutut ataupun kita mendahulukan lutut dari tangan. Sehingga makna sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Janganlah salah satu kalian turun untuk sujud sebagaimana bentuk turunnya unta ketika hendak menderum” adalah ketika akan sujud hendaknya kepala tidak dibuat merunduk sampai ke lantai semisal unta ketika hendak turun sedangkan punggung masih dalam posisi di atas. Inilah bentuk turunnya unta untuk menderum dan bentuk semacam ini berdampak negatif bagi orang yang mengerjakan shalat.

Ringkasnya, terdapat diskusi yang panjang tentang perselisihan ini di kalangan ulama. Pendapat yang paling baik, manakah yang mesti didahulukan apakah tangan ataukah lutut, ini menimbang pada kondisi masing-masing orang. Mana yang lebih mudah baginya, itulah yang ia lakukan. Ada orang yang berat badannya, ada orang yang ringan. Intinya, tidak ada hadits shahih yang marfu’ –sampai pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam–yang membicarakan hal tadi. (Lihat Shifat Shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Syaikh Abdul ‘Aziz Ath-Tharifi, hlm. 129).

Cara sujud

Sujud yang dilakukan adalah bersujud pada tujuh anggota tubuh.

Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda,

أُمِرْتُ أَنْ أَسْجُدَ عَلَى سَبْعَةِ أَعْظُمٍ عَلَى الْجَبْهَةِ – وَأَشَارَ بِيَدِهِ عَلَى أَنْفِهِ – وَالْيَدَيْنِ ، وَالرُّكْبَتَيْنِ وَأَطْرَافِ الْقَدَمَيْنِ

Aku diperintahkan bersujud dengan tujuh bagian anggota badan: (1) Dahi (termasuk juga hidung, beliau mengisyaratkan dengan tangannya), (2,3) telapak tangan kanan dan kiri, (4,5) lutut kanan dan kiri, dan (6,7) ujung kaki kanan dan kiri.” (HR. Bukhari, no. 812 dan Muslim, no. 490)

Kebanyakan ulama berpendapat bahwa dahi dan hidung itu seperti satu anggota tubuh. Untuk anggota tubuh lainnya wajib bersujud dengan anggota tubuh tersebut.

Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Jika dari anggota tubuh tersebut tidak menyentuh lantai, shalatnya berarti tidak sah. Namun jika kita katakan wajib, bukan berarti telapak kaki dan lutut harus dalam keadaan terbuka. Adapun untuk telapak tangan wajib terbuka menurut salah satu pendapat ulama Syafi’iyah sebagaimana dahi demikian. Namun yang lebih tepat, tidaklah wajib terbuka untuk dahi dan kedua telapak tangan.” (Syarh Shahih Muslim, 4:185)


Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

Ingin tahu selengkapnya. 
Yuk KLIK: https://rumaysho.com/21175-manhajus-salikin-sifat-shalat-nabi-sujud-pada-tujuh-anggota-tubuh.html