Al-Maun, adalah salah satu surat pendek dalam Al-Quran. Pada ayat-ayatnya yang singkat, surat ini menyimpan berbagai masalah yang langsung menyentuh kehidupan sehari-hari.
Nama lain dari Surat ini adalah Surat Aroaita, sesuai dengan ayat pertama didalamnya. Surat ini hanya memiliki 7 ayat, namun pahala bagi pembacanya amatlah besar.Sebelum kita masuk dalam tafsir Surat ini, kita akan simak sabda Rasulullah saw tentang pahala bagi orang yang membacanya. Rasulullah saw bersabda,
“Siapa yang membaca surat ini, Allah mengampuni dosanya selagi dia masih menunaikan zakat.””Siapa yang membacanya setelah solat isya, maka Allah akan mengampuni dan menjaganya hingga solat subuh.”
Para Mufassirin sepakat bahwa Surat ini termasuk Surat Makkiyah, turun sebelum hijrahnya Rasul ke Madinah. Walau ada segelintir yang mengatakan bahwa Surat ini turun setalah hijrah ataupun turun bertahap di Mekah lalu di Madinah.
Asbabun Nuzul
Ada banyak versi yang menceritakan Sebab turunnya ayat ini.Salah satunya mengatakan bahwa Surat ini turun kepada Walid bin Mughiroh, seorang tokoh kafir Quraisy yang punya banyak harta tapi amat kikir. Dia juga punya kedudukan namun kejam dan keras kepada anak yatim.
Surat Al-Maun
“Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Maka itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan untuk memberi makan orang miskin. Maka celakalah orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai terhadap shalatnya, yang berbuat riya, dan enggan (memberikan) bantuan.”(Al-Maun 1-7)
Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? (). Pada awal Surat ini, Allah memulainya dengan sebuah pertanyaan. Sebenarnya, bisa saja Allah langsung mengabarkan tentang orang-orang yang mendustakan agama, seperti “Ketahuilah orang-orang yang mendustakan agama”.
Tapi Allah tidak menggunakan cara itu, Allah memakai bentuk pertanyaan sebagai cara menggugah pendengar agar lebih siap menerima informasi. Tentu berbeda ketika kita mendengar,”Ada seorang yang berbuat keji” dengan “Tahukah engkau, ada orang yang berbuat keji”
Kata Ad-Din dalam ayat ini memiliki banyak arti. Ada yang memberi arti agama secara mutlak, yaitu orang-orang yang mendustakan agama islam itu sendiri. Walau dhohirnya terlihat muslim, tapi dia sedang mendustakan agamanya sendiri.
Ada pula yang mengartikannya sebagai Hari Pembalasan. Yaitu orang-orang yang mengingkari Hari Kiamat dan Hari Pembalasan. Walaupun mengingkari Kiamat sama dengan mengingkari agama. Karena Percaya pada Hari Akhir termasuk dalam Ushuluddin yang harus diyakini.
Dalam ayat lain, Allah juga menggunakan kata Ad-Din dengan makna Hari Pembalasan.
“Pemilik hari pembalasan.”(Al-Fatihah 4)
Dengan mengucapkan syahadat, seorang telah terhitung sebagai muslim dan harus dijaga kehormatannya. Tapi seluruh amalnya bisa menjadi tak bernilai saat ia mendustakan agamanya dengan mengingkari Hari Pembalasan.
Mengapa yakin terhadap Hari Pembalasan itu begitu penting?Karena keyakinan ini begitu berpengaruh dalam hidup manusia. Salah satu faktor yang membuat seorang bisa menjadi rajin beramal adalah karena yakin dengan balasan indah di akhirat. Dan dia juga menghindar dari maksiat agar tidak sengsara di hari itu.
Tapi seorang yang mengingkari Hari Kiamat akan berbeda. Dia bisa saja tak lagi peduli dengan perbuatan baik karena baginya akan sia-sia, dan akan terdorong untuk melakukan maksiat karena tidak akan ada pertanggung jawaban setelahnya.
Ketika bercerita tentang penghuni neraka, Allah berfirman,
Sesungguhnya dahulu mereka tidak pernah mengharapkan perhitungan.”(An-Naba 27)
Orang yang tidak percaya dengan hari kiamat akan lepas kontrol, karena keyakinan ini adalah faktor penting untuk menahan seorang dari perbuatan buruk.
“Sungguh, orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.”(Shad 26)
Siapa saja mereka yang mendustakan agama?
Maka itulah orang yang menghardik anak yatim ()
Tipe pertama yang mendustakan agama adalah mereka yang suka menghardik dan berlaku keras kepada anak yatim. Disaat semestinya para orang tua siap menjadi ayah bagi mereka.
Teringat sejarah Sayidina Ali bin Abi tholib ketika memimpin di kota Kufah. Jika kita bertanya pada seluruh anak yatim disana tentang siapa ayah mereka. Seluruh yatim itu akan kompak menjawab, “ayah kami adalah Ali bin Abi tholib.” Maka jangan heran ketika beliau wafat, yang paling bersedih saat itu adalah anak-anak yatim yang harus kehilangan ayah untuk kedua kalinya.
Disaat tubuh berhias dengan pakaian Muslim, tidak menjamin seorang untuk tidak termasuk orang yang mendustakan agama jika ia masih berlaku kasar pada anak yatim.
Kata dzalika disini menunjukkan begitu jauhnya mereka dalam kebejatan.
Cara Al-Quran Memperlakukan Anak Yatim
Melihat betapa keji mereka memperlakukan anak yatim, kita akan melihat bagaimana cara Al-Quran memperlakukan mereka. Allah berfirman,
“Sekali-kali tidak! Bahkan kamu tidak memuliakan anak yatim.”(Al-Fajr 17)
Al-Quran selalu membedakan perlakuan kepada orang miskin dan anak yatim. Kepada orang miskin, Al-Quran hanya menyuruh kita untuk memberinya makanan atau sesuatu yang mereka butuhkan. Tapi untuk anak yatim, tak cukup memberi makanan, pakaian dan kebutuhan mereka. Kita juga dituntut untuk memberi kasih sayang dan memuliakan mereka. Rasulullah saw bersabda,
“Siapa yang mengelus kepala anak yatim dengan penuh kasih sayang, Allah akan memberikan pahala kepadanya dengan bilangan rambut yang ada di kepala yatim tersebut.””Kelak, aku dan orang-orang yang mengayomi anak yatim berdampingan di Surga.”Sebaik-baik hidangan adalah hidangan yang menyertakan anak yatim di dalamnya.”
Islam sangat mengecam orang-orang yang keras kepada anak yatim. Terbukti dengan banyaknya ayat yang membicarakan tentang mereka. Allah berfirman,
“Dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, sampai dia mencapai (usia) dewasa.”(Al-Anam 152)
“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api dalam perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).”(An-Nisa 10)
Apabila kita mengaku sebagi muslim tapi belum menyayangi dan memberikan hak anak yatim maka berhati-hatilah karena kita akan termasuk orang yang mendustakan agama Allah swt.
Apabila kita mengaku cinta kepada Nabi Muhammad saw, ingatlah bahwa beliau juga yatim disaat kelahirannya. Dan Rasul pun berulang kali berpesan untuk menyayangi anak yatim, bahkan Allah swt pernah berfirman kepada beliau,
Maka terhadap anak yatim janganlah engkau berlaku sewenang-wenang.”(Ad-Dhuha 9)
Dan tidak menganjurkan untuk memberi makan orang miskin ()
Tipe kedua yang termasuk mendustakan agama adalah mereka yang tidak saling menganjurkan untuk memberi makan orang miskin.
Mengentaskan kemiskinan bukan hanya tanggung jawab orang-orang kaya. Kita semua punya tanggung jawab kepada orang-orang miskin. Jika tidak mampu untuk membantu secara langsung, kita masih punya kewajiban untuk mendorong orang-orang kaya agar membantu yang miskin.
Tidak ada alasan lagi bagi kita untuk tidak ikut serta membantu orang yang membutuhkan. Sungguh aneh manusia itu, disaat kaya begitu kikir dan enggan membantu. Disaat tak mampu juga tak mau saling menganjurkan untuk memberi orang-orang miskin.
Salah satu kelompok yang dicampakkan ke neraka adalah mereka yang tidak menganjurkan untuk membantu orang miskin. Allah berfirman,
— — — — — — —
“Di dalam surga, mereka saling menanyakan, tentang (keadaan) orang-orang yang berdosa, “Apa yang menyebabkan kamu masuk ke dalam (neraka) Saqar?” Mereka menjawab, “Dahulu kami tidak termasuk orang-orang yang melaksanakan shalat, dan kami (juga) tidak memberi makan orang miskin, bahkan kami biasa berbincang (untuk tujuan yang batil), bersama orang-orang yang membicarakannya, dan kami mendustakan hari pembalasan.”(Al-Muddatsir 40-46)
Saat Allah bermaksud untuk menyebutkan kalimat “memberi makan orang miskin”, harusnya menggunakan kalimat . Kata toamu miskin sebenarnya memiliki arti “makanan orang miskin”. Kenapa Allah memilih kalimat ini?
Disini Allah ingin menegaskan bahwa sebenarnya saat kita memberi makan orang miskin, kita tidak sedang “memberi” karena sebenarnya makanan itu adalah hak mereka. Kita hanya menyampaikan hak kepada yang berhak menerimanya.
“Dan orang-orang yang dalam hartanya disiapkan bagian tertentu.”(Al-Maarij 24)
Ada sebagian orang yang merasa dimuliakan Allah saat memiliki banyak harta. Dan mereka merasa sedang dihinakan oleh Allah saat mengalami kesempitan dalam rezekinya. Bagaimana jawaban Allah terhadap orang seperti ini?
“Maka adapun manusia, apabila Tuhan Mengujinya lalu Memuliakannya dan Memberinya kesenangan, maka dia berkata, “Tuhan-ku telah Memuliakanku.” Namun apabila Tuhan Mengujinya lalu Membatasi rezekinya, maka dia berkata, “Tuhan-ku telah Menghinaku.” Sekali-kali tidak! Bahkan kamu tidak memuliakan anak yatim. dan kamu tidak saling mengajak memberi makan orang miskin”(Al-Fajr 15-18)
Mulia menurut Al-Quran adalah di saat kita memuliakan anak yatim dan saling mengajak untuk memberi orang miskin. Sudahkah kita melakukan hal ini?
[bersambung]
sumber: Inilah.com