Fatwa Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah
Pertanyaan:
Seseorang meninggalkan puasa bulan Ramadan karena mencari nafkah untuk dirinya sendiri dan anak keturunan (keluarga) yang menjadi tanggungannya. Bagaimanakah hukum hal tersebut?
Jawaban:
Orang tersebut meninggalkan puasa pada bulan Ramadan dengan alasan bahwa dia bekerja mencari nafkah untuk dirinya dan untuk keluarganya (misalnya dengan kerja berat, pent.). Jika dia melakukan hal itu karena salah paham terhadap dalil dengan memalingkan maknanya (baca: takwil, pent.), yaitu dia menyangka bahwa boleh tidak berpuasa sebagaimana orang sakit boleh untuk tidak berpuasa, maka diperbolehkan bagi yang tidak mampu mencari nafkah, kecuali dengan tidak berpuasa untuk tidak berpuasa. Orang ini statusnya adalah muta’awwil (salah paham terhadap dalil dengan memalingkan maknanya, pent.) dan dia wajib meng-qadha’ puasa tersebut di hari lain jika dia masih hidup atau digantikan hutang puasanya tersebut oleh orang lain jika sudah meninggal dunia. Jika tidak diganti puasanya oleh orang lain, maka wajib memberi makan kepada satu orang miskin untuk setiap hari puasa yang ditinggalkan.
Adapun jika dia dia meninggalkan puasa bukan karena takwil (salah paham terhadap dalil dengan memalingkan maknanya), maka menurut pendapat terkuat dari perkataan para ulama rahimahumullah bahwa semua ibadah yang sudah ditentukan waktu pelaksanaannya, jika seseorang sengaja tidak melaksanakannya di waktu yang sudah ditentukan tersebut tanpa ada uzur (alasan) yang bisa dibenarkan, maka ibadah tersebut (ketika dia lakukan di luar waktunya, pent.) menjadi tidak diterima.
Cukuplah baginya (untuk bertobat) dengan memperbanyak amal saleh, memperbanyak amal ibadah sunah, dan istigfar. Dalil masalah ini adalah perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam sebuah hadis yang sahih,
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa yang mengerjakan suatu amal yang tidak ada tuntunannya dari kami, maka amal tersebut tertolak.” (HR. Bukhari no. 2697 dan Muslim no. 1718)
Sebagaimana ibadah yang sudah ditentukan waktunya itu tidak boleh dikerjakan sebelum waktunya, maka demikian pula ibadah tersebut juga tidak boleh dikerjakan setelah waktunya. Adapun jika terdapat uzur seperti bodoh (jahil) atau lupa, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda berkaitan dengan lupa,
مَنْ نَسِيَ صَلَاةً فَلْيُصَلِّهَا إِذَا ذَكَرَهَا، لَا كَفَّارَةَ لَهَا إِلَّا ذَلِكَ
“Siapa saja yang lupa mengerjakan salat, hendaklah dia mengerjakannya ketika ingat. Tidak ada denda (kaffarah) untuknya, kecuali itu saja.” (HR. Muslim no. 314)
Adapun tidak tahu (bodoh) ini membutuhkan perincian, namun tidak di sini aku merinci hal tersebut.
***
@Rumah Kasongan, 13 Ramadan 1443/ 15 April 2022
Penerjemah: M. Saifudin Hakim
Artikel: www.muslim.or.id
Catatan kaki:
Diterjemahkan dari kitab Fataawa Arkaanil Islaam, hal. 546-547, pertanyaan no. 397.
Sumber: https://muslim.or.id/74599-hukum-meninggalkan-puasa-karena-kerja-berat.html