Hukum Haji dan Umrah

Fatwa Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin

Pertanyaan:

Fadhilatus syekh, apakah hukum haji?

Jawaban:

Hukum haji adalah wajib, berdasarkan ijma’ (kesepakatan) kaum muslimin, yaitu berdasarkan Al-Qur’an, As-Sunnah, dan ijma’ kaum muslimin. Haji adalah salah satu rukun Islam, berdasarkan firman Allah Ta’ala,

وَلِلّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلاً وَمَن كَفَرَ فَإِنَّ الله غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ

Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa yang mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.” (QS. Ali ‘Imran: 97)

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ فَرَضَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ الْحَجَّ فَحُجُّوا

Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Allah telah mewajibkan haji atas kalian. Maka, tunaikanlah ibadah haji.” (HR. Muslim no. 1337)

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

بُنِيَ الْإِسْلَامُ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةِ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ وَالْحَجِّ وَصَوْمِ رَمَضَانَ

Islam dibangun di atas lima (landasan): 1) persaksian bahwa tidak ada sesembahan (yang berhak disembah) selain Allah dan sesungguhnya Muhammad utusan Allah, 2) mendirikan salat, 3) menunaikan zakat, 4) haji, dan 5) puasa Ramadan.” (HR. Bukhari no. 8 dan Muslim no. 16)

Siapa saja yang mengingkari kewajiban haji, maka dia kafir, keluar dari Islam, kecuali jika dia bodoh (tidak mengetahui) tentang wajibnya haji. Yaitu untuk orang-orang yang mungkin saja tidak mengetahui hukumnya, misalnya baru saja masuk Islam atau tinggal di suatu negeri yang jauh (pelosok atau pedalaman) sehingga tidak tahu sedikit pun tentang hukum Islam. Orang-orang ini dimaklumi atas ketidaktahuannya, kemudian dikenalkan dan dijelaskan hukum-hukum Islam tersebut. Jika dia tetap mengingkari, maka barulah dia divonis keluar dari Islam.

Adapun siapa saja yang meninggalkan ibadah haji karena meremehkan, namun tetap mengakui disyariatkannya ibadah haji, maka tidak dikafirkan. Akan tetapi, dia berada dalam bahaya yang besar. Dan sebagian ulama berpendapat akan kafirnya orang tersebut.

Pertanyaan:

Fadhilatus syekh, apakah hukum umrah?

Jawaban:

Adapun umrah, para ulama berbeda pendapat tentang hukumnya. Di antara mereka ada yang mengatakan bahwa hukumnya wajib, sebagian mengatakan hukumnya sunah, dan sebagian membedakan antara penduduk Makkah dan selainnya. Mereka mengatakan, wajib bagi selain penduduk Makkah dan tidak wajib bagi penduduk Makkah. Pendapat yang menurutku paling kuat adalah bahwa hukumnya wajib, baik bagi penduduk Makkah atau selainnya. Akan tetapi, derajat wajibnya itu lebih rendah daripada kewajiban haji. Karena wajibnya haji adalah wajib muakkad, dan karena haji adalah salah satu rukun Islam, berbeda dengan umrah.

***

Penerjemah: M. Saifudin Hakim

Artikel: Muslim.or.id

Catatan kaki:

Diterjemahkan dari kitab Fiqhul Ibadaat, hal. 304-305, pertanyaan no. 207 dan 208.

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/85909-hukum-haji-dan-umrah.html

Hukum Menghadiri Perayaan Pernikahan di Gedung Pernikahan

Fatwa Syekh Muhammad Ali Farkus

Pertanyaan:

Keluarga istri saya mengundang saya untuk menghadiri perayaan pernikahan saudaranya yang akan diadakan di sebuah gedung pernikahan. Dan akan ada tabarruj (berhias), nyanyian, dan kemungkaran lainnya. Saya khawatir (jika saya tidak pergi), mereka akan meminta saya untuk bercerai dan membatalkan perjanjian sewa rumah yang saya sewa dari mereka. Jadi, apa yang Anda sarankan? Semoga Allah memberi Anda kebaikan.

Jawaban:

Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Semoga keselamatan dan keberkahan tercurah kepada yang Allah utus sebagai rahmat bagi seluruh alam, kepada keluarganya, sahabat-sahabatnya, dan pengikut-pengikutnya hingga hari kiamat.

Saya sudah menjawab pertanyaan tentang mengadakan pesta pernikahan di gedung pernikahan, dan Anda dapat melihat fatwa tersebut di situs web. [1]

Adapun bagi seseorang yang takut dengan hal-hal buruk yang disebutkan (di atas) dan mengetahui bahwa kemungkinan besar hal tersebut akan terjadi jika ia tidak menerima undangan, maka ia dapat datang sebelum waktu perayaan sebelum mereka berangkat ke gedung pernikahan, disertai dengan hadiah untuk menyenangkan pengantin, sesuai dengan kemampuan keuangan yang dimilikinya. Namun, jika hal ini sulit dicapai, dan posisi agama/imannya lemah karena tekanan keluarga, dan ia terpaksa menghadiri tempat pernikahan, maka ia berusaha sebanyak mungkin untuk segera pergi, tanpa menyetujui kemungkaran yang ada di gedung pernikahan. Ia juga seharusnya membenci apa yang terjadi di sana, seperti pesta musik dengan “seruling setan”, tarian, dan campur baur (ikhtilat antara pria dan wanita) dan sebagainya. Sesungguhnya orang yang membenci perbuatan maksiat dan mengingkari perbuatan dosa tersebut dianggap tidak ada di tempat tersebut dan dosa tidak mempengaruhinya sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,

إِذَا عُمِلَتِ الْخَطِيئَةُ فِي الْأَرْضِ كَانَ مَنْ شَهِدَهَا فَكَرِهَهَا ـ وَقَالَ مَرَّةً: أَنْكَرَهَا ـ كَانَ كَمَنْ غَابَ عَنْهَا، وَمَنْ غَابَ عَنْهَا فَرَضِيَهَا كَانَ كَمَنْ شَهِدَهَا

“Jika sebuah perbuatan maksiat dilakukan di bumi, maka orang yang menyaksikan dan membencinya (dalam versi lain: mengingkarinya) seperti orang yang tidak menyaksikannya. Sebaliknya, orang yang tidak menyaksikan (perbuatan maksiat) tersebut tetapi meridainya, seperti orang yang menyaksikannya”. [2]

Pengetahuan yang sempurna hanya milik Allah عز وجل, dan doa terakhir kami adalah segala puji dan syukur bagi Allah, Tuhan semesta alam, serta selawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, sahabat-sahabatnya, dan pengikut-pengikutnya hingga hari kiamat.

Baca juga: Agungnya Sebuah Ikatan Pernikahan

***

Sumber: https://ferkous.com/home/?q=fatwa-1199

Penerjemah: Fauzan Hidayat

Artikel: Muslim.or.id

Catatan kaki:

[1] Lihat fatwa nomor (290) yang berjudul  “Hukum Mengadakan Pesta Pernikahan di Gedung Pernikahan” di situs resmi Syekh Abu Abdil Ma’az Muhammad Ali Forkus – hafizahullah [https://ferkous.com/home/?q=fatwa-290]

[2] HR. Abu Dawud dalam kitabnya “Al-Malahim”, bab “Al-Amru wa An-Nahyu” no. 4345 dari hadits Al-’Urs bin ‘Amirah Al-Kindiy radhiyallahu ‘anhu, dihasankan oleh Al-Albani dalam Kitab “Shahih Al-Jami’” (689)

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/85474-hukum-menghadiri-perayaan-pernikahan-di-gedung-pernikahan.html

Hukum Bekerja di Perusahaan yang Berurusan dengan Bank Ribawi

Fatwa Syekh Muhammad Ali Farkus

Pertanyaan:

Saya ingin bertanya mengenai hukum bekerja di perusahaan-perusahaan yang melakukan transaksi dengan bank. Yaitu, perusahaan-perusahaan yang beroperasi dalam bidang perdagangan dan industri. Akan tetapi, mereka bergantung pada bank untuk meminta pinjaman yang mereka butuhkan dalam kegiatan sehari-hari. Wajazakumullah khairan.

Jawaban:

Puji syukur kepada Allah, Tuhan semesta alam. Selawat dan salam semoga tercurah kepada hamba yang Allah utus sebagai rahmat bagi semesta alam, serta kepada keluarga, sahabat, dan pengikutnya hingga hari kiamat. Amma ba’du.

Jika perusahaan-perusahaan ini adalah cabang dari bank-bank ribawi atau lembaga yang didirikan berdasarkan pinjaman ribawi, dan terus-menerus melakukan transaksi ribawi dengan bank, maka tidak boleh bekerja di dalamnya atau pun bekerja sama dengannya. Hal ini karena akan membantu mereka dalam melanjutkan transaksi ribawi yang dilarang dengan bank. Terutama jika karyawan di dalamnya meminta pinjaman ribawi untuk perusahaannya.

Namun, jika perusahaan-perusahaan ini tidak mengambil bank ribawi sebagai tempat mendapatkan modal atau tidak terus menerus, maka jika ada pilihan lain yang dapat menjaga agamanya (itu yang dipilih). Namun, jika tidak ada pilihan lain selain perusahaan ini, maka hal itu diizinkan karena terpaksa. Karena adanya bencana umum dan kebutuhan yang pasti, selama hukum dasar pekerjaan perusahaan tersebut diperbolehkan.

Jika dia menerima pekerjaan (bekerja di tempat tersebut), dia tidak boleh meridai apa yang dilakukan perusahaannya dalam bertransaksi dengan bank-bank dalam bentuk pinjaman ribawi. Sebaliknya, dia harus mengingkari dan membencinya, tidak boleh bughah (melakukan kejahatan) atau menjadi biasa, sehingga dosa tidak dibebankan padanya karena terikat berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.

إِذَا عُمِلَتِ الخَطِيئَةُ فِي الأَرْضِ كَانَ مَنْ شَهِدَهَا فَكَرِهَهَا ـ وَقَالَ مَرَّةً: «أَنْكَرَهَا» ـ كَانَ كَمَنْ غَابَ عَنْهَا، وَمَنْ غَابَ عَنْهَا فَرَضِيَهَا كَانَ كَمَنْ شَهِدَهَا

“Jika dosa dilakukan di bumi, orang yang menyaksikannya dan membencinya, (dan Rasulullah berkata sekali) mengingkarinya, maka dia seperti tidak ada di sana. Dan orang yang tidak menyaksikannya dan meridainya, maka dia seperti orang yang menyaksikannya.” [1]

Dan pengetahuan (yang benar) adalah hanya milik Allah Ta’ala. Wa’akhiru da’wana, Walhamdulillahi rabbil ‘alamin. Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya kepada Nabi Muhammad, keluarga, sahabat, dan semua pengikutnya hingga hari pembalasan, serta memberikan selawat dan salam dengan sempurna.

Baca juga: Benarkah Tidak Boleh Berinteraksi dengan Bank Ribawi Sama Sekali?

***

Penerjemah: Fauzan Hidayat

Artikel: Muslim.or.id

Sumber:

https://ferkous.com/home/?q=fatwa-255

Catatan kaki:

[1] HR. Abu Dawud dalam kitab “Al-Malahim“, dalam bab Al-Amru wa An-Nahyu (4345), dari hadis Ar-Rus bin ‘Amirah Al-Kindi, semoga Allah meridainya. Dihasankan oleh Al-Albani dalam “Shahih Al-Jami“.

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/85543-hukum-bekerja-di-perusahaan-yang-berurusan-dengan-bank.html

Fatwa Ulama: Mengapa Pahala Puasa Dikhususkan oleh Allah?

Pertanyaan:

Mengapa Allah Ta’ala mengkhususkan ganjaran puasa dengan balasan dari-Nya?

Jawaban:

Alhamdulillah.

Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan hadis (Bukhari no. 1761, Muslim no. 1946), dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

قال الله كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ لَهُ إِلا الصِّيَامَ فَإِنَّهُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ

‘Allah berfirman, ‘Setiap amalan anak adam untuknya, kecuali puasa. Maka sesungguhnya, ia (puasa) untuk-Ku dan Aku yang akan membalasnya.””

Ketika setiap amalan dikerjakan untuk Allah Ta’ala dan Dia pula yang akan membalasnya, ulama berbeda pendapat dalam tafsir, “Dia (puasa) untuk-Ku dan Aku yang akan membalasnya.” Mengapa puasa dikhususkan dengan hal tersebut?

Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah menyebutkan 10 tafsir para ulama dalam menjelaskan makna hadis dan sebab pengkhususan puasa dengan keutamaan tersebut. Di antara tafsir yang terpenting antara lain:

Pertama: Ibadah puasa tidak berpotensi riya sebagaimana ibadah lainnya yang berpotensi riya. Al-Qurthubi rahimahullah berkata, “Ketika berbagai amalan dapat disusupi riya, ibadah puasa tidak dapat diketahui hanya dengan semata-mata amalan puasanya, kecuali oleh Allah Ta’ala. Maka, Allah Ta’ala menyandarkan puasa kepada diri-Nya. Dan oleh sebab itu, Allah berfirman dalam sebuah hadis qudsi,

يدع شهوته من أجله

Dia menahan nafsu syahwatnya karena Aku.”

Ibnul Jauzi rahimahullah berkata, “Seluruh kegiatan peribadahan itu tampak (di mata manusia, pent.) dengan semata-mata perbuatannya dan sedikit yang dapat selamat dari kotoran (yakni dapat tercampur dengan riya), ini berkebalikan dengan puasa.”

Kedua: Yang dimaksud dengan “Aku yang akan membalasnya”, adalah “Sesungguhnya Aku sendiri (satu-satunya) yang mengetahui kadar pahala dan jumlah kelipatannya.” Al-Qurthubi rahimahullah berkata, “Maknanya adalah bahwa amalan-amalan ibadah telah diketahui kadar balasannya oleh manusia. Bahwasanya kelipatan balasannya dari 10 kali sampai 700 kali lipat sampai (kelipatan) sesuai kehendak Allah Ta’ala, kecuali puasa. Sesungguhnya Allah Ta’ala memberi ganjaran ibadah puasa tanpa kadar (batas). Dalilnya adalah hadis riwayat Muslim (no. 1151) dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasalam bersabda,

كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ يُضَاعَفُ الْحَسَنَةُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعمِائَة ضِعْفٍ ، قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ : إِلا الصَّوْمَ فَإِنَّهُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ

Setiap amal anak adam akan dilipatgandakan balasannya 10 kali lipat sampai 700 kali lipat. Allah Ta’ala berfirman, ‘kecuali ibadah puasa, dia (puasa) itu untuk-Ku, dan Aku yang akan membalasnya.’”

Yakni, Aku akan membalasnya dengan balasan yang sangat banyak, dengan kadar yang tidak ditetapkan (tanpa batas). Sebagaimana firman Allah Ta’ala,

إنما يوفى الصابرون أجرهم بغير حساب

Sesungguhnya hanya orang yang bersabar yang diberi balasannya tanpa batas.

Baca Juga: Kapankah Puasa Ramadhan Diwajibkan Kepada Umat Manusia?

Ketiga: Makna dari “puasa itu untuk-Ku” yaitu, sesungguhnya puasa adalah ibadah yang paling Aku (Allah Ta’ala) cintai dan ditujukan untuk-Ku. Ibnu Abdil Bar rahimahullah berkata, “Cukuplah perkataan ‘puasa itu untuk-Ku’, sebagai bukti keutamaan puasa atas amal ibadah lainnya. An-Nasai meriwayatkan (no. 2220) dari Abu Umamah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

عَلَيْكَ بِالصَّوْمِ ، فَإِنَّهُ لا مِثْلَ لَهُ

Wajib atas kalian berpuasa, karena sesungguhnya tidak ada (ganjaran, pent) yang semisal dengannya.” Disahihkan oleh Al-Albani di Shahih An-Nasa’i.

Keempat: Penyandaran ini (kepada Allah) Ta’ala adalah penyandaran kemuliaan dan keagungan. Seperti perkataan, baitullah (rumah Allah), meskipun seluruh rumah yang ada itu adalah milik Allah Ta’ala. Az-Zain Ibn Munir rahimahullah (terkait contoh di atas, pent) berkata, “Pengkhususan dalam konteks umum pada contoh kalimat ini tidak dipahami, kecuali sebagai bentuk pemuliaan dan penghormatan.”

Syeikh Ibn Al-Utsaimin rahimahullah berkata, “Hadis di atas adalah hadis yang mulia yang menunjukkan berbagai macam bentuk keutamaan puasa:

Yang pertama, sesungguhnya Allah Ta’ala mengkhususkan puasa untuk diri-Nya di antara berbagai amal saleh lainnya. Hal tersebut karena kemuliaan puasa di sisi-Nya, kecintaan-Nya terhadap ibadah puasa, terwujudnya keikhlasan kepada Allah Ta’ala di dalam ibadah puasa. Karena ibadah puasa merupakan rahasia antara seorang hamba dengan Rabbnya, yang tidak ada yang mengetahui ibadahnya, kecuali Allah Ta’ala semata. Dan sesungguhnya orang yang puasa ketika berada di tempat sepi (tidak tampak oleh pandangan manusia) mungkin untuk melakukan apa yang diharamkan Allah Ta’ala pada dirinya saat berpuasa, namun ia tidak melakukannya, karena ia mengetahui bahwa ada Rabb yang bersamanya dalam kesendiriannya. Rabbnya telah mengharamkan hal tersebut, lalu ia meninggalkannya karena takut azab Allah Ta’ala dan berharap pahala dari-Nya.

Oleh sebab itu, Allah Ta’ala membalas orang tersebut karena keikhlasan ini, dan mengkhususkan puasa untuk diri-Nya di antara amalan yang lain. Oleh karenanya, Allah Ta’ala berfirman, “Dia meninggalkan syahwatnya dan makanannya demi Aku.” Dan faedah pengkhususan ini akan tampak pada hari kiamat, sebagaimana dikatakan oleh Sufyan bin ‘Uyainah rahimahullah,

إِذَا كانَ يومُ القِيَامَةِ يُحاسِبُ الله عبدَهُ ويؤدي ما عَلَيْه مِن المظالمِ مِن سائِر عمله حَتَّى إِذَا لم يبقَ إلاَّ الصومُ يتحملُ اللهُ عنه ما بقي من المظالِم ويُدخله الجنَّةَ بالصوم

Ketika hari kiamat nanti, Allah Ta’ala akan menghisab hamba-Nya dan membalas kezaliman-kezaliman amal perbuatannya hingga tidak ada yang tersisa, kecuali puasa, Allah Ta’ala akan memikul kezaliman tersebut darinya dan Allah Ta’ala masukkan ia ke surga dengan sebab amal puasa.”

Yang kedua, Allah Ta’ala berfirman tentang puasa, “Aku yang akan membalasnya.” Penyandaran balasan kepada diri-Nya yang mulia, karena sesungguhnya amal saleh akan dilipat gandakan balasannya. Balasan kebaikan dengan 10 kali lipat yang semisal sampai 700 kali lipat sampai berkali-kali lipat yang banyak. Adapun puasa, maka Allah sandarkan balasannya pada diri-Nya, tanpa ada jumlahnya. Dan Allah Ta’ala adalah Zat yang paling mulia di antara yang mulia dan paling dermawan di antara para dermawan. Dan kadar pemberian itu sesuai dengan kedudukan yang memberikannya. Maka, ganjaran orang yang berpuasa adalah ganjaran yang sangat besar dan sangat banyak tanpa ada batasan. Puasa adalah sabar dalam ketaatan kepada Allah Ta’ala, sabar dari apa-apa yang diharamkan oleh Allah Ta’ala, dan sabar atas takdir Allah yang menyakitkan seperti, lapar, haus, dan kelemahan fisik dan jiwa. Maka, terkumpul ketiga bentuk sabar dalam ibadah puasa. Orang yang puasa menjadi termasuk orang-orang yang bersabar. Maka, Allah Ta’ala berfirman,

إنما يوفى الصابرون أجرهم بغير حساب

Sesungguhnya, hanya orang yang bersabar yang diberi balasannya tanpa batas.“(QS. Az-Zumar: 10) Sekian kutipan. (Majlis Syahri Ramadhan, hal. 13)

Demikian. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam

Penulis: dr. Abdiyat Sakrie, Sp.JP

Artikel: Muslim.or.id

Sumber : https://islamqa.info/ar/answers/50388/ لماذا-خص-الصوم-بقوله-تعالى-الصيام-لي-وانا-اجزي-به

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/83789-fatwa-ulama-mengapa-pahala-puasa-dikhususkan-oleh-allah.html

Fatwa Ulama: Hukum Menyampaikan Khotbah Jumat dengan Selain Bahasa Arab

Pertanyaan:

Apakah hukum (menyampaikan) khotbah Jumat dengan selain bahasa Arab?

Jawaban:

Pendapat yang benar dalam masalah ini adalah bahwa tidak boleh bagi khatib salat Jumat untuk menyampaikan khotbah dengan menggunakan bahasa yang tidak dipahami oleh jemaah yang hadir. Jika jamaah tersebut misalnya bukan orang Arab, dan tidak memahami bahasa Arab, maka khatib menyampaikan khotbah dengan bahasa yang mereka pahami. Karena khotbah adalah wasilah (sarana) untuk menyampaikan penjelasan kepada mereka. Maksud (tujuan) dari khotbah Jumat adalah menjelaskan batasan-batasan (hukum) Allah kepada manusia, memberikan nasihat, dan memberikan petunjuk kepada mereka. Kecuali ayat-ayat Al-Qur’an yang wajib disampaikan dengan bahasa Arab, kemudian diterjemahkan dengan bahasa setempat.

Dalil bahwa wajib bagi khatib untuk menyampaikan khotbah dengan bahasa jemaah yang hadir adalah firman Allah Ta’ala,

وَمَا أَرْسَلْنَا مِن رَّسُولٍ إِلاَّ بِلِسَانِ قَوْمِهِ لِيُبَيِّنَ لَهُمْ

Kami tidak mengutus seorang rasul pun, melainkan dengan bahasa kaumnya. Supaya dia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka.” (QS. Ibrahim: 4)

Maka, Allah Ta’ala menyebutkan bahwa sarana untuk menyampaikan penjelasan (petunjuk) hanyalah dengan menggunakan bahasa yang dipahami oleh jemaah (kaum) yang hadir.

***

Penerjemah: M. Saifudin Hakim

Catatan kaki:

Diterjemahkan dari kitab Fataawa Arkaanil Islaam, hal. 473-474, pertanyaan no. 324.

© 2022 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/77942-hukum-menyampaikan-khutbah-jumat-dengan-selain-bahasa-arab.html

Fatwa Ulama: Kapan Mengucapkan “Ash-Shalatu Khairun Minan Naum”?

Pertanyaan:

Kalimat “ash-shalatu khairun minan naum” (Mendirikan salat itu lebih baik daripda tidur) apakah diucapkan saat azan pertama (azan awaal) ataukah pada saat azan kedua (azan tsani)?

Jawaban:

Kalimat “ash-shalaatu khairun minan naum” itu diucapkan di azan pertama (azan awwal) sebagaimana terdapat penjelasannya di hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

فإذا أذنت أذان الصبح الأول فقل : الصَّلَاةُ خَيْرٌ مِنَ النَّوْمِ

Jika azan pertama salat subuh dikumandangkan, maka ucapkanlah ‘ash-shalatu khairun minan naum.’” (HR. Abu Dawud no. 500 dan An-Nasa’i no. 633)

(Berdasarkan hadis di atas), kalimat tersebut diucapkan pada saat azan pertama, bukan azan kedua.

Akan tetapi, wajib untuk diketahui apakah maksud dari azan pertama sebagaimana dalam hadis? Azan pertama adalah azan yang dikumandangkan setelah masuknya waktu salat subuh. Sedangkan yang dimaksud dengan azan kedua (azan tsani) adalah ikamah. Hal ini karena ikamah juga disebut sebagai azan, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

بَيْنَ كُلِّ أَذَانَيْنِ صَلاَةٌ

Ada salat (yang didirikan) di antara dua azan.” (HR. Bukhari no. 624 dan Muslim no. 838)

“Dua azan” yang dimaksud dalam hadis tersebut adalah azan dan ikamah.

Di dalam Shahih Bukhari disebutkan, “Sesungguhnya Amirul Mukminin ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu menambahkan azan ketiga untuk salat jumat.”

Jika demikian, maka azan pertama yang diperintahkan kepada Bilal radhiyallahu ‘anhu untuk mengumandangkan “ash-shalaatu khairun minan naum” adalah azan untuk salat subuh (yaitu setelah masuknya waktu salat subuh, pent.).

Adapun azan sebelum terbit fajar bukanlah azan untuk saat subuh. Manusia menyebutnya sebagai azan di akhir malam sebagai azan awwal untuk salat subuh. Sedangkan pada hakikatnya, azan tersebut bukanlah azan untuk mendirikan salat subuh. Hal ini karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

فَإِنَّهُ يُؤَذِّنُ بِلَيْلٍ، لِيَرْجِعَ قَائِمَكُمْ وَيُوقِظَ نَائِمَكُمْ

Sesungguhnya Bilal mengumandangkan azan saat masih malam untuk mengingatkan orang yang sedang salat dari kalian (agar bersahur atau istirahat mempersiapkan salat subuh, pent.) dan membangunkan orang yang sedang tidur dari kalian (untuk bersahur atau salat malam, pent.).” (HR. Bukhari no. 621 dan Muslim no. 1093)

Maksudnya, agar orang-orang yang masih tidur bisa bangun dan makan sahur, dan agar orang yang masih salat malam untuk istirahat dan makan sahur.

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda kepada Malik bin Al-Huwairits radhiyallahu ‘anhu,

فَإِذَا حَضَرَتِ الصَّلَاةُ فَلْيُؤَذِّنْ لَكُمْ أَحَدُكُمْ

Jika waktu salat tiba, maka hendaklah salah satu di antara kalian mengumandangkan azan.” (HR. Bukhari no. 628 dan Muslim no. 674)

Telah diketahui bahwa waktu salat subuh tidaklah tiba, kecuali setelah terbitnya fajar. Dengan demikian, maka azan yang dikumandangkan sebelum terbit fajar bukanlah azan untuk salat subuh. Sehingga apa yang dipraktikkan oleh masyarakat saat ini, yaitu kalimat “ash-shalatu khairun minan naum” yang diucapkan pada saat azan subuh, inilah praktik yang benar. Adapun orang-orang yang menyangka bahwa yang dimaksud dengan azan awal sebagaimana di dalam hadis adalah azan sebelum terbit fajar, maka hal itu tidak perlu diperhatikan.

Sebagian orang berkata, dalil bahwa yang dimaksud adalah azan di akhir malam (sebelum terbit fajar, pent.) agar orang-orang itu bangun untuk mendirikan salat sunah. Sehingga dikumandangkanlah kalimat “ash-shalatu khairun minan naum”. Kata “khairun” (lebih baik) itu menunjukkan perkara yang lebih utama (lebih afdal) (artinya, menunjukkan perkara sunah, yaitu salat malam; dan bukan perkara wajib, yaitu salat subuh, pent.).

Maka kami katakan bahwa kata “khairun” itu bisa dimaksudkan untuk perkara yang wajib yang paling wajib. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا هَلْ أَدُلُّكُمْ عَلَى تِجَارَةٍ تُنجِيكُم مِّنْ عَذَابٍ أَلِيمٍ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَتُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنفُسِكُمْ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ

Hai orang-orang yang beriman, maukah kamu aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkanmu dari azab yang pedih? (Yaitu) kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” (QS. Shaf: 10-11)

Padahal, ayat itu berkaitan dengan keimanan (yang wajib).

Allah Ta’ala juga berfirman tentang salat jumat,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِي لِلصَّلَاةِ مِن يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ

Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan salat Jumat, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” (QS. Al-Jumuah: 9)

Oleh karena itu, kata “lebih baik” itu bisa berupa perkara yang wajib dan bisa berupa perkara yang sunah.

***

Penerjemah: M. Saifudin Hakim

© 2022 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/77924-kapan-mengucapkan-ash-shalaatu-khairun-minan-naum.html

Fatwa Ulama: Waktu Salat yang Paling Utama

Pertanyaan:

Apakah waktu yang paling utama untuk mendirikan salat? Apakah di awal waktu merupakan yang paling utama?

Jawaban:

Yang paling utama adalah (mendirikan salat) sesuai dengan waktu yang dituntut oleh syariat. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ketika ditanya tentang amal apakah yang paling dicintai oleh Allah? Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab,

الصَّلَاةُ عَلَى وَقْتِهَا

Salat pada waktunya.” (HR. Bukhari no. 527 dan Muslim no. 85)

Rasulullah tidak mengatakan,

الصَّلَاةُ في أول وَقْتِهَا

Salat di awal waktunya.”

Hal ini karena sebagian salat dianjurkan untuk didirikan di awal waktu dan sebagian yang lain dianjurkan ditunda di akhir waktunya. Misalnya, salat isya dianjurkan untuk ditunda sampai sepertiga malam [1]. Oleh karena itu, jika ada seorang wanita di rumah dan bertanya, “Manakah yang lebih utama untukku, apakah salat isya ketika azan isya (di awal waktu) ataukah saya tunda sampai sepertiga malam?”

Kami katakan, yang lebih utama adalah ditunda sampai sepertiga malam. Hal ini karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam suatu ketika mengakhirkan salat isya, sampai-sampai sahabat mengatakan, “Wahai Rasulullah, para wanita dan anak-anak telah tidur.” Kemudian Rasulullah keluar rumah dan salat bersama mereka. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata,

إِنَّهُ لَوَقْتُهَا لَوْلَا أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي

Ini adalah waktunya yang utama, seandainya tidak memberatkan umatku.” (HR. Bukhari no. 566 dan Muslim no. 638)

Baca Juga: Hukum Mengqodo Shalat Sunah Rawatib

Oleh karena itu, yang paling utama bagi wanita ketika di rumah adalah mengakhirkannya.

Demikian pula, seandainya ada laki-laki dalam kondisi safar, lalu mengatakan, “(Manakah yang lebih utama) kami mengakhirkan salat isya atau mendirikan salat isya di awal waktu?”

Kami katakan, “Yang lebih utama adalah mengakhirkan salat isya.”

Demikian pula, seandainya ada sekelompok orang yang sedang dalam perjalanan dan tiba waktu salat isya, manakah yang lebih utama, apakah mendirikan salat isya di awal waktu atau mengakhirkannya? Kami katakan, yang lebih utama adalah mendirikan di akhir waktu, kecuali jika terdapat kesulitan (masyaqqah).

Adapun salat-salat wajib yang lainnya, yang lebih utama adalah mendirikan di awal waktu, kecuali jika ada sebab tertentu. Salat subuh lebih utama didirikan di awal waktu. Demikian pula salat zuhur, asar, dan maghrib, kecuali jika terdapat sebab tertentu.

Di antara contoh sebab tertentu tersebut adalah ketika cuaca sangat terik (panas), maka yang lebih utama adalah menunda salat zuhur sampai cuaca agak teduh, yaitu sampai mendekati salat asar. Karena cuaca menjadi agak dingin ketika mendekati waktu salat asar. Oleh karena itu, jika cuaca sangat panas, maka yang lebih utama adalah menunda sampai cuaca agak dingin. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

إِذَا اشْتَدَّ الْحَرُّ فَأَبْرِدُوا بِالصَّلَاةِ فَإِنَّ شِدَّةَ الْحَرِّ مِنْ فَيْحِ جَهَنَّمَ

Apabila panas sangat menyengat, maka tundalah salat hingga panasnya mereda. Sebab panas yang sangat menyengat itu berasal dari hembusan api jahanam.” (HR. Bukhari no. 536 dan Muslim no. 615)

Demikian pula, suatu ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berada dalam perjalanan (safar), kemudian Bilal berdiri hendak mengumandangkan azan. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata,

أَبْرِدْ

Tundalah.”

Kemudian Bilal hendak berdiri lagi mengumandangkan azan, namun Rasulullah mengatakan,

أَبْرِدْ

Tundalah.” (HR. Bukhari no. 535 dan Muslim no. 616)

Kemudian Bilal berdiri kembali hendak mengumandangkan azan dan Rasulullah pun mengizinkannya.

Contoh sebab menunda yang lain adalah ketika di akhir waktu terdapat jemaah yang tidak dijumpai kalau salat di awal waktu. Dalam kondisi ini, menunda salat di akhir waktu menjadi lebih utama. Misalnya, seseorang mendapati waktu salat di suatu tempat, dan dia tahu bahwa dia akan sampai di suatu negeri dan mendapati jemaah di akhir waktu. Maka, manakah yang lebih utama baginya, salat ketika itu atau dia tunda sampai mendapati jemaah?

Kami katakan, yang lebih utama adalah menunda sampai mendapati jemaah. Bahkan, kami katakan wajib untuk ditunda agar bisa mendapatkan jemaah. [2]

Penerjemah: M. Saifudin Hakim

Catatan kaki:

[1] Jika matahari tenggelam jam 18.00 dan terbit jam 06.00, maka waktu malam selama 12 jam. Sepertiga malam berarti pukul 22.00.

[2] Diterjemahkan dari kitab Fataawa Arkaanil Islaam, hal. 348-350, pertanyaan no. 205.

© 2022 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/77865-fatwa-ulama-waktu-salat-yang-paling-utama.html

Fatwa Ulama: Hukum Meninggalkan Puasa karena Kerja Berat

Fatwa Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah

Pertanyaan:

Seseorang meninggalkan puasa bulan Ramadan karena mencari nafkah untuk dirinya sendiri dan anak keturunan (keluarga) yang menjadi tanggungannya. Bagaimanakah hukum hal tersebut?

Jawaban:

Orang tersebut meninggalkan puasa pada bulan Ramadan dengan alasan bahwa dia bekerja mencari nafkah untuk dirinya dan untuk keluarganya (misalnya dengan kerja berat, pent.). Jika dia melakukan hal itu karena salah paham terhadap dalil dengan memalingkan maknanya (baca: takwil, pent.), yaitu dia menyangka bahwa boleh tidak berpuasa sebagaimana orang sakit boleh untuk tidak berpuasa, maka diperbolehkan bagi yang tidak mampu mencari nafkah, kecuali dengan tidak berpuasa untuk tidak berpuasa. Orang ini statusnya adalah muta’awwil (salah paham terhadap dalil dengan memalingkan maknanya, pent.) dan dia wajib meng-qadha’ puasa tersebut di hari lain jika dia masih hidup atau digantikan hutang puasanya tersebut oleh orang lain jika sudah meninggal dunia. Jika tidak diganti puasanya oleh orang lain, maka wajib memberi makan kepada satu orang miskin untuk setiap hari puasa yang ditinggalkan.

Adapun jika dia dia meninggalkan puasa bukan karena takwil (salah paham terhadap dalil dengan memalingkan maknanya), maka menurut pendapat terkuat dari perkataan para ulama rahimahumullah bahwa semua ibadah yang sudah ditentukan waktu pelaksanaannya, jika seseorang sengaja tidak melaksanakannya di waktu yang sudah ditentukan tersebut tanpa ada uzur (alasan) yang bisa dibenarkan, maka ibadah tersebut (ketika dia lakukan di luar waktunya, pent.) menjadi tidak diterima.

Cukuplah baginya (untuk bertobat) dengan memperbanyak amal saleh, memperbanyak amal ibadah sunah, dan istigfar. Dalil masalah ini adalah perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam sebuah hadis yang sahih,

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

Barangsiapa yang mengerjakan suatu amal yang tidak ada tuntunannya dari kami, maka amal tersebut tertolak.” (HR. Bukhari no. 2697 dan Muslim no. 1718)

Sebagaimana ibadah yang sudah ditentukan waktunya itu tidak boleh dikerjakan sebelum waktunya, maka demikian pula ibadah tersebut juga tidak boleh dikerjakan setelah waktunya. Adapun jika terdapat uzur seperti bodoh (jahil) atau lupa, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda berkaitan dengan lupa,

مَنْ نَسِيَ صَلَاةً فَلْيُصَلِّهَا إِذَا ذَكَرَهَا، لَا كَفَّارَةَ لَهَا إِلَّا ذَلِكَ

Siapa saja yang lupa mengerjakan salat, hendaklah dia mengerjakannya ketika ingat. Tidak ada denda (kaffarah) untuknya, kecuali itu saja.” (HR. Muslim no. 314)

Adapun tidak tahu (bodoh) ini membutuhkan perincian, namun tidak di sini aku merinci hal tersebut.

***

@Rumah Kasongan, 13 Ramadan 1443/ 15 April 2022

Penerjemah: M. Saifudin Hakim

Artikel: www.muslim.or.id

Catatan kaki:

Diterjemahkan dari kitab Fataawa Arkaanil Islaam, hal. 546-547, pertanyaan no. 397.

Sumber: https://muslim.or.id/74599-hukum-meninggalkan-puasa-karena-kerja-berat.html

Fatwa Ulama: Hutang Puasa Ramadan yang Belum Terbayar

Fatwa Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah

Pertanyaan:

Seseorang memiliki hutang puasa Ramadan dan belum membayarnya sampai masuk bulan Ramadan tahun berikutnya. Apa yang harus dia lakukan?

Jawaban:

Kita telah mengetahui bahwa Allah Ta’ala berfirman,

فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَن كَانَ مَرِيضاً أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ

Maka, barangsiapa di antara kamu menyaksikan bulan (hilal Ramadan), maka hendaklah ia berpuasa. Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (QS. Al-Baqarah: 185)

Jika orang tersebut tidak berpuasa karena alasan yang bisa dibenarkan oleh syariat (uzur syar’i), wajib baginya untuk meng-qadha’ (mengganti) di hari lain dalam rangka mengikuti perintah Allah Ta’ala. Dan wajib baginya mengganti di tahun tersebut (sebelum bulan Ramadan tahun berikutnya, pent.). Dia tidak boleh menundanya sampai setelah bulan Ramadan pada tahun berikutnya. Hal ini berdasarkan perkataan ibunda ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha,

كَانَ يَكُونُ عَلَيَّ الصَّوْمُ مِنْ رَمَضَانَ فَمَا أَسْتَطِيعُ أَنْ أَقْضِيَ إِلَّا فِي شَعْبَانَ

Aku berhutang puasa Ramadan dan aku tidak bisa meng-qadha’-nya, kecuali pada bulan Sya’ban.” (HR. Bukhari no. 1950 dan Muslim no. 1146)

Hal itu disebabkan karena kedudukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di sisi beliau radhiyallahu ‘anha.

Perkataan ibunda ‘Aisyah, “dan aku tidak bisa meng-qadha’-nya, kecuali pada bulan Sya’ban”, adalah dalil bahwa qadha’ puasa bulan Ramadan itu sebelum bulan Ramadan tahun berikutnya. Akan tetapi, jika dia menunda sampai setelah bulan Ramadan tahun berikutnya, maka wajib baginya untuk istighfar (memohon ampunan) kepada Allah Ta’ala, bertobat dari perbuatan tersebut, menyesal terhadap apa yang telah dia perbuat, dan tetap mengganti puasa tersebut. Karena kewajiban qadha’ tidaklah gugur meskipun ditunda (sampai setelah bulan Ramadan tahun berikutnya, pent.). Oleh karena itu, dia tetap wajib meng-qadha’ puasa tersebut meskipun setelah bulan Ramadan tahun berikutnya. Wallahul Muwaffiq.

***

@Rumah Kasongan, 13 Ramadan 1443/ 15 April 2022

Penerjemah: M. Saifudin Hakim

Sumber: https://muslim.or.id/74597-hutang-puasa-ramadan-yang-belum-terbayar.html

Apakah Vaksinasi Covid 19 Membatalkan Puasa?

Dalam hitungan hari, bulan suci Ramadhan akan kembali hadir. Sebagai seorang yang muslim, puasa merupakan suatu kewajiban bagi individu. Di sisi lain, di Bulan Rajab dan Sakban jamak kaum muslimin di Indonesia yang menunaikan puasa sunat, atau sekadar membayar hutang puasa Ramadah lalu. Sementara itu pemerintah Indonesia, lagi menggulirkan program vaksinasi nasional. Nah, ada kekhawatiran kaum muslimin bahwa vaksinasi Covid 19 membatalkan puasa.

Nah bagaimana hukum fiqih memandang persoalan ini.  Apakah vaksinasi Covid 19 membatalkan puasa?

Menurut Mufti Agung dan Kepala Departemen Urusan Islam dan Kegiatan Amal Dubai, Uni Emirat Arab, vaksinasi Covid 19 tidak membatalkan puasa. Pasalnya, kata Syaikh Dr. Ahmed bin Abdul Aziz Al-Haddad, ketika seseorang di vaksinasi, jarum suntik tersebut masuk melalui organ tertutup manusia. Hal itu tak membatalkan puasa.

Pun efek samping  yang timbul setelah setelah vaksinasi, tak juga membatalkan puasa. Pelbagai efek samping vaksinasi  antara lain; pusing,  mual, muntah yang tak disengaja, juga tak membatalakan puasa.  Namun, bila efek samping tersebut memberatkan si pasien, maka ia dibolehkan syariat untuk berbuka. Sebagai keringan hukum bagi yang divaksinasi.

Mufti Agung Kerajaan Arab Saudi, Syekh Abdul Aziz bin Abdullah Alu Syaikh, mengatakan boleh hukumnya seorang divaksinasi Covid 19 pada saat ia berpuasa. Vaksinasi Covid 19 tak membatalkan puasa. Pasalnya pemberian vaksin melalui cara Intramuskuler yaitu injeksi ke dalam otot tubuh.

Mufti Kerajaan Arab Saudi itu mengatakan:

لأنه ليس مفطر لكونه لا يعد طعامًا ولا شرابًا، كما أنه يعطى عن طريق العضل

Artinya: Vaksin tidak membatalkan puasa, karena keadaannya  bukan tergolong kepada makanan dan minuman, dan vaksin itu diberikan secara intramuskuler (suntik ke otot).

Lembaga Fatwa Al Azhar pun mengeluarkan fatwa yang sama—vaksinanasi Cpvi 19 tak membatalkan puasa—, pasalnya metode vaksinasi dilakukan dengan menyuntikkan jarum ke otot atau pembuluh darah atau bagian lainnya yang bukan merupakan bagian luar anggota tubuh manusia.

Lembaga Fatwa Al-Azhar menulis:

اللقاحات والتطعيمات بهذا الشكل ليست أكلا ولا شربا ولا هي في معناهما, لأنه دخل بدنه عن طريق الجلد، والجلد ليس منفذا للجوف

Artinya: vaksin dan vaksinasi dengan cara demikian bukan tergolon makan dan minum, dan tak juga dengan perngertian keduanya, karena vaksinasi adalah memasukkan jarum ke tubuh melalui kulit , dan kulit tak masuk ke dalam rongga (baca: anggota luar) tubuh.

Ulama kontemporer, Sayyid Sabiq dalam kitab Fiqih Sunnah, Jilid I, halaman 463-464, mengatakan bahwa suntik tak membatalkan puasa. Pasalnya, ia bukanlah perkara yang memberikan zat makanan terhadap tubuh manusia. Justru, suntik itu membuang zat-zat kotor yang ada dalam tubuh manusia.

Ada pun obat  dari cairan suntik, seandainya sampai masuk dan menjalar ke lambung untuk mengobati luka atau membunuh virus yang mematikan  atau cairan itu sampai ke otak, itu tidak sama dengan makanan. Itu semua berbeda dengan makanan yang sampai ke lambung atau otak manusia. Demikian itu bukan tergolong makanan yang dapat membatalkan puasa.

Sayyid sabiq menjelaskan terkait suntik:

كذلك الحقنة , لاتغذي، بل تستفرغ ما في البدن, والدواء الذي يصل إلى المعدة، في مداواة الجائفة, والمأمومة لا يشبه ما يصل إليها من غذائه

Artinya: suntikan juga demikian. Ia bukanlah perkara yang memberikan zat makanan kepada tubuh, bahkan sebaliknya, ia membuang pelbagai zat yang tak bermanfaat dalam tubuh. Obat yang sampai masuk ke dalam lambung untuk mengobati luka yang sampai ke perut dalam atau ke selaput otak, itu semua tak sama dengan makanan.

Pada sisi lain, Syekh Hasan bin Ahmad bin Muhammad bin Salim Al Kaff, dalam kitab  at- Taqriratu as sadidatu fil masaili al mufidah, halaman 452 mengatakan boleh menggunakan jarum suntik pada saat melaksanakan puasa. Demikian itu apabila jarum suntik tersebut dilaksanakan pada lubang anggota tubuh yang tertutup. Oleh karena itu, vaksinasi Covid 19 tak membatalkan puasa.

Syekh Hasan Al- Kaff menulis:

حكم الابرة تجوز للضرورة, انها لا تبطل مطلقا لانها وصلت الى الجوف من غير منفذ مفتوح. واذا كان في العضل -وهي العروق غير المجوفة -: فلا تبطل

Artinya: Hukum menggunakan jarum (baca: suntik) pada saat puasa boleh disebabkan darurat. Sesungguhnya suntik itu tak membetalkan puasa secara mutlak. Pasalnya suntik itu dilakukan kepada rongga tubuh (saluran) yang tidak terbuka. Dan apabila suntik itu dilakukan pada otot (maskuler) artinya; pada pembuluh darah, yang bukan bagian anggota rongga terbuka tubuh, maka tidak membatalkan puasa.

Demikianlah penjelasan hukum terkait apakah vaksinasi Covid 19 membatalkan puasa?

BINCANGSYARIAH.COM