Tafsir Surat An-Naas dari Tafsir Jalalain

Bagaimana penjelasan dari tafsir Jalalain mengenai tafsir surat An-Naas?

Kita lihat penjelasan tafsirnya berikut ini.

Allah Ta’ala berfirman,

قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ النَّاسِ (1) مَلِكِ النَّاسِ (2) إِلَهِ النَّاسِ (3) مِنْ شَرِّ الْوَسْوَاسِ الْخَنَّاسِ (4) الَّذِي يُوَسْوِسُ فِي صُدُورِ النَّاسِ (5) مِنَ الْجِنَّةِ وَالنَّاسِ (6)

(yang artinya):

  1. Katakanlah: “Aku berlindung kepada Rabb (yang memelihara dan menguasai) manusia.
  2. Raja manusia.
  3. Sembahan manusia.
  4. Dari kejahatan (bisikan) setan yang biasa bersembunyi,
  5. yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia,
  6. dari (golongan) jin dan manusia. (QS. An-Naas: 1-6)

TAFSIR JALALAIN DARI SURAH AN-NAAS

Imam Jalaluddin Al-Mahalli rahimahullah berkata,

قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ الناس  خالقهم ومالكهم خُصُّو بالذكر تشريفاً لهم ومناسبة للاستفادة من شر الموسوس في صدورهم .

Katakanlah: “Aku berlindung kepada Rabb (yang memelihara dan menguasai) manusia”, maksudnya yang mencipta mereka, memiliki mereka. Di sini manusia disebutkan secara khusus sebagai bentuk pemuliaan kepada mereka dan sekaligus untuk menyesuaikan dengan pengertian kejahatan waswas setan dalam hati mereka.

{ مَلِكِ الناس } .

Raja manusia.”

{ إله الناس } بدلان أو صفتان أو عطفا بيان وأظهر المضاف اليه فيهما زيادة للبيان .

Sembahan manusia”, ini sebagai badal atau sifat atau athaf bayan. Tambahan mudhaf ilaih dengan kata manusia sebagai penjelasan.

{ مِن شَرِّ الوسواس } أي الشيطان سمي بالحدث لكثرة ملابسته له { الخناس } لأنه يخنس ويتأخر عن القلب كلما ذُكِرَ الله .

Dari kejahatan bisikan setan (syarril waswaas)”, disebutkan bisikan setan karena kebanyakan godaan yang dilancarkannya itu melalui bisikan. “Yang bersembunyi (al-khannaas)”, maksudnya setan itu bersembunyi dan meninggalkan hati manusia apabila hati manusia ingat kepada Allah.

{ الَّذِي يُوَسْوِسُ فِي صُدُوِر النَّاسِ } قلوبهم إذا غفلوا عن ذكر الله .

Yang membisikkan kejahatan ke dalam dada manusia”, ke dalam kalbu manusia di kala mereka lalai mengingat Allah.

{ مِنَ الجنة والناس } باين للشيطان الموسوس أنه جني أوإنسي ، كقوله تعالى : { شَيَاطِينَ الإِنْسِ وَالجِنِّ } أو من الجنة بيان له ( والناس ) عطف على ( الوسواس ) وعلى كل شمل شر لبيد وبناته المذكورين ، واعترض الأول بأن الناس لا يوسوس في صدورهم الناس إنما يوسوس في صدورهم الجن ، وأُجيب بأن الناس يوسوسون أيضاً بمعنى يليق بهم في الظاهر ثم تصل وسوستهم إلى القلب وتثبت فيه بالطريق المؤدي إلى ذلك والله تعالى أعلم .

Dari jin dan manusia”, lafaz ayat ini menjelaskan pengertian setan yang menggoda itu, yaitu terdiri dari jenis jin dan manusia, sebagaimana yang dijelaskan dalam ayat lainnya, yaitu melalui firman-Nya,

شَيَٰطِينَ ٱلْإِنسِ وَٱلْجِنِّ

yaitu setan-setan (dari jenis) manusia dan (dan jenis) jin.” (QS. Al-An’am: 112)

Atau lafaz “minal jinnati” menjadi bayan (penjelasan) dari lafaz al-waswaasil khannaas. Sedangkan lafaz “an-naas” di’athafkan kepada lafaz “al-waswas”. Tetapi pada garis besarnya telah mencakup kejahatan yang dilakukan oleh Labid bin Al-A’sham dan putrinya yang telah disebutkan sebelumnya.

Pendapat pertama yang menyatakan bahwa di antara yang menggoda hati manusia di samping setan adalah manusia, pendapat tersebut disanggah dengan suatu kenyataan, bahwa yang dapat menggoda hati manusia hanyalah jin. Ini dapat dijawab dengan pernyataan bahwa manusia juga bisa memberikan waswas (godaan) dari sisi lahiriyah, akhirnya masuk dalam kalbu dan menjadi mantap di dalamnya, yaitu melalui cara yang dapat menjurus ke arah itu. Wallahu Ta’ala a’lam.

CATATAN DARI TAFSIR JALALAIN

  1. Allah itu Rabb manusia, yaitu Allah sebagai pencipta dan yang menguasai manusia.
  2. Disebut Rabb manusia dalam surah An-Naas ini karena nantinya yang dibicarakan adalah godaan pada hati manusia.
  3. Manusia dikhususkan dalam ayat ini sehingga disebut Rabbin Naas, karena manusia itu sangat mulia.
  4. Allah itu Raja manusia.
  5. Allah itu sesembahan manusia. Allah sebagai Rabb dan sebagai Malik dari manusia, itulah yang layak disembah dan diibadahi.
  6. Sifat setan itu memberikan waswas (godaan) dan al-khannaas (bersembunyi) kala seseorang mengingat Allah.
  7. Setan menggoda manusia ketika ia lalai.
  8. Ada dua pengertian: (a) setan yang menggoda ada dari kalangan jin dan manusia; (b) setan yang menggoda dalam hati hanya dari kalangan jin. Namun, yang lebih tepat adalah setan yang menggoda bisa dari kalangan jin dan manusia.
  9. Setan bisa menggoda lahiriyah, akhirnya masuk ke dalam kalbu (hati).

Referensi:

  1. Tafsir Al-Jalalain. Cetakan kedua, Tahun 1422 H. Jalaluddin Muhammad bin Ahmad bin Muhammad Al-Mahalli dan Jalaluddin ‘Abdurrahman bin Abu Bakar As-Suyuthi. Ta’liq: Syaikh Shafiyyurrahman Al-Mubarakfury. Penerbit Darus Salam.
  2. Tafsir Jalalain. Penerbit Pustaka Al-Kautsar.

Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Rumasyho.Com

Tafsir Jalalain: Makna Iyyaka Na’budu Wa Iyyaka Nasta’iin

Apa makna iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’iin?

Allah Ta’ala berfirman,

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ (1) الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ (2) الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ (3) مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ (4) إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ (5) اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ (6) صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ (7)

Artinya:

  1. Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang.
  2. Segala puji bagi Allah, Rabb seluruh alam,
  3. Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang,
  4. Pemilik hari pembalasan.
  5. Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan.
  6. Tunjukilah kami jalan yang lurus,
  7. (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepadanya; bukan (jalan) mereka yang dimurkai, dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat. (QS. Al-Fatihah: 1-7)

Kali ini adalah kajian ayat,

إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ

“Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan.”

Jalaluddin Al-Mahalli rahimahullah mengatakan,

{ إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ } أَيْ نَخُصُّكَ بِالعِبَادَةِ مِنْ تَوْحِيْدٍ وَغَيْرِهِوَنَطْلُبُ المَعُوْنَةَ عَلَى العِبَادَةِ وَغَيْرِهَا .

Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan.” Maksudnya, kami hanya mengkhususkan ibadah kepada Allah dengan bertauhid dan lainnya. Kami memohon pertolongan hanya kepada Allah dalam beribadah dan untuk urusan lainnya.”

Catatan dari apa yang disampaikan dalam tafsir Jalalain

  1. Ibadah itu hanya untuk Allah semata.
  2. Bertauhid (mengesakan Allah) itulah maksud dari “iyyaka na’budu”, kepada-Mulah kami beribadah.
  3. Meminta tolong kepada Allah itulah maksud dari “wa iyyaka nasta’iin”, dan isti’anah (meminta tolong) di sini hanya dilakukan kepada Allah dalam hal yang hanya bisa diselesaikan oleh-Nya.
  4. Manusia tidak bisa lepas dari pertolongan Allah untuk dimudahkan dalam urusan dan berbagai ibadah.

Mendalami makna “Iyyaka Na’budu wa Iyyaka Nasta’iin”

Syaikh As-Sa’di rahimahullah menerangkan sebagaimana berikut ini:

Ayat tersebut maksudnya “hanya kepada-Mu sajalah kami menyembah dan memohon pertolongan”. Karena mendahulukan objek (maf’ul) berfungsi untuk membatasi (hashr), yaitu menetapkan hukum yang telah disebut dan meniadakan yang lainnya. Seola-olah kita mengucapkan: Kami (hanya) beribadah kepada-Mu bukan kepada selain-Mu, kami (hanya) memohon pertolongan kepada-Mu bukan kepada selain-Mu.

Mendahulukan penyebutan ibadah sebelum isti’anah (meminta tolong) merupakan bentuk penyebutan umum sebelum khusus dan sebagai bentuk perhatian didahulukannya hak Allah atas hak hamba-Nya.

Makna ibadah mencakup setiap perkara yang dicintai dan diridai oleh Allah, baik perbuatan dan perkataan, yang lahir maupun batin. Sedangkan isti’anah adalah penyandaran diri kepada Allah untuk mendapatkan manfaat dan menolak mudarat dengan didasari keyakinan kepada-Nya dalam mencapai hal tersebut.

Beribadah dan memohon pertolongan kepada-Nya merupakan dua sarana untuk menggapai kebahagiaan yang abadi dan keselamatan dari seluruh kejelekan. Maka, tidak ada jalan menuju keselamatan kecuali dengan melaksanakan kedua hal tersebut (beribadah dan meminta tolong kepada Allah). Ibadah disebut ibadah jika pelaksanaannya sesuai dengan tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan hanya mengharap wajah Allah semata. Dua hal ini (mengikuti tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ikhlas) merupakan syarat diterimanya ibadah.

Penyebutan isti’anah diakhirkan setelah penyebutan ibadah, padahal isti’anah merupakan bagian dari ibadah, adalah untuk menunjukkan bahwa seluruh ibadah itu membutuhkan pertolongan Allah. Jika Allah tidak memberikan pertolongan dalam ibadah, niscaya tidak akan mendapatkan apa yang diinginkan dalam melaksanakan perintah-perintah-Nya atau menjauhi larangan-larangan-Nya. (Lihat Tafsir As-Sa’di, hlm. 25-26)

Ayat ini mengajarkan untuk kita agar berlepas diri dari syirik dan tidak boleh bergantung pada kekuatan sendiri

Ibnu Katsir rahimahullah berkata,

وقدم المفعول وهو { إياك } ، وكرر؛ للاهتمام والحصر، أي: لا نعبد إلا إياك، ولا نتوكل إلا عليك، وهذا هو كمال الطاعة. والدين يرجع كله إلى هذين المعنيين

Maf’ul (objek) yaitu “iyyaka” didahulukan penyebutannya dan berulang untuk menunjukkan perhatian dan pembatasan. Maksudnya adalah tidaklah kami beribadah kecuali kepada-Mu semata, tidaklah kami bertawakkal kecuali hanya kepada-Mu. Inilah kesempurnaan ketaatan. Agama itu kembali ke kedua makna ini.

وهذا كما قال بعض السلف: الفَاتِحَةُ سِرُّ القُرْآنِ، وَسِرُّهَا هَذِهِ الكَلِمَةُ: { إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ } [الفاتحة: 5]

Inilah sebagaimana sebagian salaf mengatakan, “Surah Al-Fatihah itu inti Al-Qur’an. Inti dari surah Al-Fatihah adalah pada ayat “iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’iin”.

فالأول تبرؤ من الشرك، والثاني تبرؤ من الحول والقوة، والتفويض إلى الله عز وجل. وهذا المعنى في غير آية من القرآن

Kalimat pertama “hanya kepada-Mu-lah kami beribadah” mengandung makna berlepas diri dari syirik. Kalimat kedua “hanya kepada-Mu-lah kami memohon pertolongan” mengandung makna berpelas diri dari usaha dan kekuatan sendiri, lalu berserah diri kepada Allah.

وهذا المعنى في غير آية من القرآن، كما قال تعالى

Makna seperti ini juga ditemukan dalam ayat lainnya seperti pada ayat.

فَاعْبُدْهُ وَتَوَكَّلْ عَلَيْهِ ۚ وَمَا رَبُّكَ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ

Maka sembahlah Allah, dan bertawakkallah kepada-Nya. Dan sekali-kali Tuhanmu tidak lalai dari apa yang kamu kerjakan.” (QS. Hud: 123)

قُلْ هُوَ الرَّحْمَنُ آمَنَّا بِهِ وَعَلَيْهِ تَوَكَّلْنَا

Katakanlah: “Dialah Allah Yang Maha Penyayang kami beriman kepada-Nya dan kepada-Nya-lah kami bertawakkal.” (QS. Al-Mulk: 29)

رَبَّ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ لا إِلَهَ إِلا هُوَ فَاتَّخِذْهُ وَكِيلا

“(Dialah) Rabb masyrik (yang di timur) dan maghrib (di barat), tiada Rabb (yang berhak disembah) melainkan Dia, maka ambillah Dia sebagai pelindung.” (QS. Al-Muzammil: 9)

وكذلك هذه الآية الكريمة: { إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ } .

Demikian pula ayat yang mulia ini “iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’iin”. (Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 1:206)

Kalam Ghaib Beralih ke Mukhathab

Ibnu Katsir rahimahullah berkata,

وتحول الكلام من الغيبة إلى المواجهة بكاف الخطاب، وهو مناسبة  ، لأنه لما أثنى على الله فكأنه اقترب وحضر بين يدي الله تعالى؛ فلهذا قال: { إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ }

“Penyebutan kalimat dalam bentuk pujian masih dalam bentuk ghaib (membicarakan orang ketigha), kemudian beralih pada bentuk orang kedua (di ayat “iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’iin”), seakan-akan yang membaca itu dekat dan hadir di hadapan Allah. Oleh karena itu, ayat tersebut dibaca ‘iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’iin’.” (Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 1:206)

Ibadah itu maqshudah, meminta tolong (isti’anah) itu wasilah

Ibnu Katsir rahimahullah berkata,

وإنما قدم: { إياك نعبد } على { وإياك نستعين } لأن العبادة له هي المقصودة، والاستعانة وسيلة إليها، والاهتمام والحزم هو أن يقدم ما هو الأهم فالأهم، والله أعلم.

“Didahulukannya “iyyaka na’budu” (hanya kepada-Mulah kami beribadah) dari “wa iyyaka nasta’iin” (hanya kepada-Mulah kami meminta pertolongan) karena ibadah itu maqshudah (yang jadi tujuan). Sedangkan isti’anah (meminta tolong) itu adalah wasilah pada tujuan tadi. Yang jadi perhatian dan kemantapan adalah mendahulukan yang lebih penting dahulu dari lainnya. Wallahu a’lam.” (Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 1:207)

Menghilangkan riya’ dan sifat sombong

Kalimat “iyyaka na’budu” (hanya kepada-Mulah kami beribadah) ini menolak riya’. Sedangkan kalimat “wa iyyaka nasta’iin” (hanya kepada-Mulah kami meminta pertolongan) ini menolak sifat sombong karena kita bisa melakukan ketaatan hanya dengan pertolongan dari Allah. Pernyataan seperti ini disebutkan oleh Ibnu Taimiyyah dan Ibnul Qayyim rahimahumallah. Lihat At-Tashiil li Ta’wil At-Tanziil Tafsir Surah Al-Baqarah fii Sual wa Jawab, hlm. 51.

Faedah ayat

  1. Kita diperintahkan memurnikan ibadah hanya kepada Allah.
  2. Kita diperintahkan meminta tolong hanya kepada Allah semata (dalam perkara yang hanya Allah yang dapat menyelesaikannya).

Referensi:

  1. At-Tashiil li Ta’wil At-Tanziil Tafsir Surah Al-Baqarah fii Sual wa Jawab. Syaikh Musthafa Al-‘Adawi. Penerbit Maktabah Makkah.
  2. Tafsir Al-Jalalain. Cetakan kedua, Tahun 1422 H. Jalaluddin Muhammad bin Ahmad bin Muhammad Al-Mahalli dan Jalaluddin ‘Abdurrahman bin Abu Bakar As-Suyuthi. Ta’liq: Syaikh Shafiyyurrahman Al-Mubarakfury. Penerbit Darus Salam.
  3. Tafsir Jalalain. Penerbit Pustaka Al-Kautsar
  4. Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim. Cetakan pertama, Tahun 1431 H. Ibnu Katsir. Tahqiq: Prof. Dr. Hikmat bin Basyir bin Yasin. Penerbit Dar Ibnul Jauzi.
  5. Tafsir Al-Qur’an Al-Karim Juz ‘Amma. Cetakan ketiga, Tahun 1424 H. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin. Penerbit Dar Ats-Tsuraya.
  6. Tafsir As-Sa’di. Cetakan kedua, Tahun 1433 H. Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di. Penerbit Muassasah Ar-Risalah.

Disusun di Darush Sholihin, 27 Ramadhan 1441 H (19 Mei 2020)

Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

Akhi, ukhti, yuk baca tulisan lengkapnya di Rumaysho:
https://rumaysho.com/24478-tafsir-jalalain-makna-iyyaka-nabudu-wa-iyyaka-nastaiin.html