Ketika Kehadiran Tamu Jadi Sebab Kelancaran Rezeki

Menghargai tamu tanpa membedakan status sosial-ekonominya memerlukan latihan tertentu. Nabi Ibrahim tidak mau makan sendirian. Jika tidak ada tamu yang menemaninya, ia pergi ke pasar mencari orang yang mau diajak makan bersama. 

Nabi Muhammad SAW menegaskan dan sekaligus mencontohkan dirinya sebagai orang yang sangat mencintai tamu tanpa membedakan jenis kelamin, etnis, dan agama.  Bagi umat Islam, memuliakan tamu sudah merupakan suatu keharusan sebagaimana ditegaskan Rasulullah: “Akrim al-dhaif walau kana kafiran” (muliakanlah tamunya walaupun ia seorang kafir). 

Dalam kitab-kitab hadits ditemukan suatu bab khusus tentang kemuliaan tamu (takrim al-dhaif). Suatu ketika Rasulullah kedatangan tamu non-Muslim berjumlah 60 orang, 14 orang di antaranya dari kelompok Kristen Najran.

Rombongan tamu dipimpin Abdul Masih. Rombongan ini diterima di masjid dengan penuh persahabatan. Bahkan, menurut Muhammad ibn Ja’far ibn al-Zubair, sebagaimana dikutip Abdul Muqsith dalam kitab as-Sirah an-Nabawiyyah, karya Ibn Hisyam, juz II, hlm 426-428, ketika waktu kebaktian tiba, rombongan tamu Rasulullah ini melakukan kebaktian di dalam masjid dengan menghadap ke arah timur. Ia tidak membeda-bedakan tamu berdasarkan kelas dan status sosial.

Suatu ketika, Rasulullah menerima seorang tamu laki-laki Arab pegunungan, kira-kira semiprimitif. Tiba-tiba tamu ini beranjak ke sudut masjid lalu kencing berdiri di situ. Terang saja para sahabat marah dan bermaksud memukulnya. Namun, Rasulullah menahannya dan memerintahkan agar kencingnya ditimbun dengan pasir. Bahkan, pernah suatu ketika Rasulullah menerima tamu tak diundang, seorang yang sudah lama dicari-cari masyarakat karena terkenal sebagai tukang onar.  

Salah seorang sahabat menghunus pedang untuk membunuh orang tersebut, tetapi ditahan Rasulullah dan mengatakan, “Biarkan kita dengarkan apa maksud kedatangannya di sini.” Sang tamu menyadari kalau dia seorang penjahat dan telah melakukan berbagai macam dosa dan maksiat. Ia menjelaskan tujuannya datang menjumpai Rasulullah, siapa tahu pada masa lalunya pernah mengerjakan suatu kebaikan, maka ia akan menghibahkan kebaikan itu kepada orang yang ditunjuk Rasulullah SAW.  

Semua sahabat yang hadir di masjid tertegun mendengarkan penjelasan itu. Akhirnya, kasus ini menyebabkan turunlah QS Hud [11]:114:  إِنَّ ٱلْحَسَنَٰتِ يُذْهِبْنَ ٱلسَّيِّـَٔاتِ ۚ “Innal hasanat yudzhibna al-sayyi’at” (Sesungguhnya amal kebajikan itu menghapuskan dosa-dosa/perbuatan buruk).

Dalam kasus lain, ketika Rasulullah SWT sedang melayani tamu dari pembesar Quraisy, tiba-tiba datang tamu lain yang kebetulan buta (Abdullah bin Ummi Maktum) lalu Rasulullah berpaling daripadanya demi menghargai pembesar Quraisy.

Peristiwa ini menjadi sebab turunnya QS ‘Abas [80]:1-2: عَبَسَ وَتَوَلّٰٓى اَنۡ جَآءَهُ الۡاَعۡمٰ “‘Abasa watawalla, ‘an jaahul a’ma” (Dia bermuka masam dan berpaling. Karena, telah datang seorang buta kepadanya).” Kita sebagai umatnya, selayaknya mencontoh etika dan pribadi Rasulullah terhadap tamu. Tamu tidak pernah mengurangi jatah dan rezeki kita, bahkan para tamu mengundang turunnya berkah dan rezeki dari langit. 

Oleh Prof Nasaruddin Umar, Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta.

KHAZANAH REPUBLIKA

Keutamaan Memuliakan Tamu

Tamu dalam Islam memiliki kedudukan yang sangat terhormat. Maka itu, umat diperintahkan untuk memuliakan tamu, sehingga menjadi tuntunan dan akhlak mulia. Banyak ayat Alquran maupun hadis yang terkait dengan amalan ini.

Salah satunya hadis yang diriwayatkan Abu Hurairah RA. Dalam hadis tersebut, Rasulullah menyandingkan dua amalan utama dalam Islam, yakni berbuat baik kepada tetangga, serta memuliakan tamu.

”Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka hendaklah ia memuliakan tetangga, dan barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, hendaklah ia memuliakan tamunya.” (Mutafaq’alaih)

Imam al-Qadhi Iyadh dalam memaknai hadis di atas, menerangkan, ketika umat berupaya menjalankan syariat Islam, maka wajib baginya untuk memuliakan tetangga dan tamunya, serta berbuat baik kepada keduanya.

Di sisi lain, ada pula hadis itu juga mengaitkan memuliakan tamu dengan kesempurnaan keimanan, kepada Allah dan hari akhir. Ini adalah upaya menuju keimanan yang paripurna, mengingat beriman kepada Allah dan hari akhir, merupakan bagian dari enam rukun iman yang wajib diyakini oleh segenap umat.

Alquran pun memberikan teladan dalam kisah Nabi Ibrahim AS. Suatu hari, Nabi Ibrahim menerima dua tamu yang tidak dikenalnya. Tamu-tamu itu adalah malaikat yang diutus Allah SWT untuk menyampaikan kabar akan kelahiran Ishaq, anak Nabi Ibrahim dari Siti Hajar.

Pada surat az Dzariyaat [51] ayat 24-17, dipaparkan bagaimana Nabi Ibrahim memuliakan tamu-tamunya. Beliau segera membalas salam dari para tamu itu, mempersilahkan mereka masuk ke rumah dan menyuguhkan makanan dengan daging anak sapi yang gemuk.

Demikian halnya Rasulullah SAW selalu memuliakan tamunya, baik dari kalangan sahabat maupun rakyat biasa. Nabi pun tidak sungkan menerima tamu dari kalangan non-Muslim sekalipun.

Berdasar hadis dari Imam Muslim dari Abu Hurairah, suatu ketika Rasulullah menjamu seorang tamu yang kafir. Untuk menjamunya, Rasulullah meminta diperahkan susu kambing, dan lantas diminum oleh si tamu. Hal itu berlangsung hingga tujuh kali. Dan saat pagi ia sudah masuk Islam.

Islam tak sekadar menganjurkan umat memuliakan tamu, tapi juga memerinci hal-hal yang perlu dilakukan tuan rumah. Antara lain menyambutnya dengan wajah menyenangkan, mempersilakan duduk, menyuguhkan makan dan minum, serta memenuhi hak tamunya. Pun saat si tamu pulang, tuan rumah hendaknya mengantarkannya sampai ke pintu, dan tidak dianjurkan menutup pintu sebelum tamu itu pergi.

Lebih jauh, dalam menjamu tamu, mengemuka beberapa pendapat di kalangan ulama. Pertama, yang menyatakan hukumnya sunah, bukan wajib. Ini merupakan pendapat jumhur (kebanyakan) ulama seperti Abu Hanifah, Malik, dan Asy Syafi’i. Sementara ulama seperti Imam Ahmad dan lainnya, berpendapat hukumnya wajib. Adapun dalilnya adalah hadis dari Abu Syuraih al Adawi.

”Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaknya memuliakan tamunya yaitu jaizah-nya. Para shahabat bartanya apa yang dimaksud dengan jaizah itu? Rasulullah menjawab, ”Jaizah itu adalah menjamu satu hari satu malam (dengan jamuan yang lebih istimewa dibanding hari yang setelahnya).” (HR Bukhari dan Muslim).