Beberapa hari setelah itu, sang gubernur itu mengutus dua orang dan diikuti pula oleh utusan yang membawakan hadiah untuk Thawus. Tujuannya adalah mengambil kembali hadiah yang tempo hari diberikann kepada Thawus.
Agar tidak ketahuan kelicikannnya. Sang gubernur meminta utusannya untuk berkata. “ Bahwa utusan Thawus dahulu keliru menyerahkan harta itu kepada Anda. Sebenarnya harta itu untuk orang lain.” Katanya. “Untuk itu sekarang kami datang untuk menariknya kembali dan menyampaikannya kepada orang yang benar.” Kata pengawal itu kepada Thawus.
Meski tidak tahu bahwa pertanyaan itu adalah jebakan untuk menjatuhkan martabatnya. Thawus menjawab dengan tenang dan apa adanya. “Aku tidak menerima apa-apa dari amir, apanya yang harus aku kembalikan?” Namun, kedua pengawal itu bersikeras dan meminta Thawus segera mengembalikannya. “Tapi anda telah menerimanya.” katanya lagi.
Thawus menoleh kepada utusan gubernur dan bertanya. “Benarkah aku telah menerima sesuatu darimu?” Utusan itu gemetar karena takut lalu menjawab: “Tidak, tetapi saya menaruh uang itu di lubang dinding tanpa sepengetahuan Anda.” katanya.Thawus berkata, “Coba lihatlah di tempat tersebut!”
Kedua pengawal itu memeriksa tempat yang dimaksud dan ternyata mereka mendapatkan pundi-pundi berisi uang itu masih utuh seperti semula. Keduanya harus menyibak sarang laba-laba untuk mengambilnya lalu dikembalikanlah uang itu kepada gubernur.
Peristiwa Thawus telah dizalimi oleh gubernurnya itu diceritakan kepada Hajjaj bin Yusuf ketika berada di Mekah untuk menunaikan ibadah haji. Hajjaj yang juga saudara dari sang gubernur yang memiliki pengaruh besar di wilayah baitullah itu bertanya-tanya tentang perkara manasik haji yang belum diketahui Hajjaj.
Namun, ketika sedang asik berbicang, Hajjaj mendengar suara seseorang bertalbiah (membaca doa talbiah) di samping Baitullah dengan suara keras dan memiliki gema yang menggetarkan hati.
Karena suara lirih itu Hajjaj berkata. “Bawalah orang itu kemari!” Orang itupun dibawa masuk kemudian ditanya. “Dari golongan manakah engkau?” Dia menjawab, “Saya adalah satu di antara kaum Muslimin.” Hajjaj berkata, “Bukan itu yang aku tanyakan, saya bertanya dari negeri mana engkau berasal?” Dia menjawab, “Saya penduduk Yaman.” Hajjaj berkata, “Bagaimana keadaan gubernurku yang di sana?” (yakni saudara Hajjaj) Dia menjawab, “Waktu saya pergi, beliau dalam keadaan gemuk, kuat, dan segar bugar.”
Mendengarkan jawab yang bukan diharapkannya Hajjaj berkata lagi. “Bukan itu yang aku maksud.” Dengan nada sedikit kesal, Hajjaj bertanya balik. “Lalu dalam hal apa yang ingin anda ketahui tentang gubernur saya di sana?”. Hajjaj dengan lembaut kembali bertanya lagi. “Bagaimana perlakuannya terhadap kalian?” Dia menjawab, “Waktu saya pergi, beliau adalah seorang yang zhalim dan jahat, taat kepada makhluk dan membangkang terhadap sang Khaliq.”
Wajah Hajjaj merah padam karena malu mendengar perkataan orang tersebut. Lalu dia berkata, “Bagaimana engkau bisa mengatakan demikian sedangkan engkau tahu kedudukan dia di sisiku (yakni saudaranya)?” Dia menjawab, “Apakah Anda mengira bahwa kedudukan dia di sisi Anda lebih mulia daripada kedudukan saya di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala? Sedangkan saya bertamu di rumah-Nya sebagai haji, saya beriman kepada nabi Muhammad SAW, dan saya melaksanakan agama Nabi Muhammad” dam Hajjaj bin Yusuf pun bungkam, tak mampu bicara apa-apa.