Ini kata sepakat ulama, setiap utang piutang yang dalamnya adalah keuntungan, maka itu adalah Riba.
Dalam hadits disebutkan,
كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً فَهُوَ حَرَامٌ
“Setiap utang piutang yang di dalamnya ada keuntungan, maka itu dihukumi haram.”
Haditd di atas diriwayatkan oleh Al-Harits Ibnu Abi Usamah dalam musnadnya sebagaimana disebut dalam Bughyah Al-Bahits, 1: 500, dari jalur Sawar bin Mash’ab, dari ‘Imarah Al-Hamdani, dari ‘Ali radhiyallahu ‘anhu secara marfu’ sampai pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ibnu Hajar mengatakan bahwa sanad hadits ini bermasalah. Sawar bin Mash’ab, Ibnu Ma’in mengatakan bahwa ia itu laysa bisyai’, artinya termasuk perowi yang dho’if. Bukhari mengatakan bahwa Sawar bin Mash’ah itu munkarul hadits, artinya termausk perowi yang dho’if. Juga ada hadits sebagai penguat dari Fadhalah bin ‘Ubaid dikeluarkan oleh Al-Baihaqi namun dho’if -sebagaimana kata Ibnu Hajar- dalam Bulughul Maram. Juga ada hadits mauquf -perkataan sahabat- dari ‘Abdullah bin Salam, dikeluarkan oleh Bukhari dalam Manaqib Al-Anshar, bab Manaqib ‘Abdullah bin Salam, no. 3814).
Walaupun hadits di atas adalah didho’ifkan oleh para ulama, namun ada ijma’ (kata sepakat ulama) yang mendukung kandungan maknanya.
Ibnu Qudamah rahimahullah berkata,
وَكُلُّ قَرْضٍ شَرَطَ فِيهِ أَنْ يَزِيدَهُ ، فَهُوَ حَرَامٌ ، بِغَيْرِ خِلَافٍ
“Setiap utang yang dipersyaratkan ada tambahan, maka itu adalah haram. Hal ini tanpa diperselisihkan oleh para ulama.” (Al-Mughni, 6: 436)
Kemudian Ibnu Qudamah membawakan perkataan berikut ini,
“Ibnul Mundzir rahimahullah berkata,
أَجْمَعُوا عَلَى أَنَّ الْمُسَلِّفَ إذَا شَرَطَ عَلَى الْمُسْتَسْلِفِ زِيَادَةً أَوْ هَدِيَّةً ، فَأَسْلَفَ عَلَى ذَلِكَ ، أَنَّ أَخْذَ الزِّيَادَةِ عَلَى ذَلِكَ رَبًّا .
“Para ulama sepakat bahwa jika orang yang memberikan pinjaman memberikan syarat kepada yang meminjam supaya memberikan tambahan atau hadiah, lalu transaksinya terjadi demikian, maka mengambil tambahan tersebut adalah riba.”
Diriwayatkan dari Ubay bin Ka’ab, dari Ibnu ‘Abbas dan Ibnu ‘Abbas bahwasanya mereka melarang dari utang piutang yang ditarik keuntungan karena utang piutang adalah bersifat sosial dan ingin cari pahala. Jika di dalamnya disengaja mencari keuntungan, maka sudah keluar dari konteks tujuannya. Tambahan tersebut bisa jadi tambahan dana atau manfaat.” Lihat Al-Mughni, 6: 436.
Namun catatan dari Ibnu Qudamah,
فَإِنْ أَقْرَضَهُ مُطْلَقًا مِنْ غَيْرِ شَرْطٍ ، فَقَضَاهُ خَيْرًا مِنْهُ فِي الْقَدْرِ ، أَوْ الصِّفَةِ ، أَوْ دُونَهُ ، بِرِضَاهُمَا ، جَازَ
“Jika meminjamkan begitu saja tanpa ada syarat di awal (syarat penambahan, pen.), lalu dilunasi dengan yang lebih baik, yakni dilunasi dengan jumlah berlebih atau dengan sifat yang lebih baik, maka itu boleh, dengan ridha keduanya (bukan paksaan, pen.).” (Al-Mughni, 6: 438)
Sehingga tidak semua keuntungan dalam utang-piutang termasuk riba. Selama tidak dipersyaratkan di awal, maka masih dibolehkan. Apa yang dimaksudkan ini disebutkan dalam hadits berikut.
Dalam hadits Abu Raafi’ bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah meminjam dari seseorang unta yang masih kecil. Lalu ada unta zakat yang diajukan sebagai ganti. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas menyuruh Abu Raafi’ untuk mengganti unta muda yang tadi dipinjam. Abu Raafi’ menjawab, “Tidak ada unta sebagai gantian kecuali unta yang terbaik (yang umurnya lebih baik, -pen).” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian menjawab,
أَعْطُوهُ فَإِنَّ مِنْ خِيَارِ النَّاسِ أَحْسَنَهُمْ قَضَاءً
“Berikan saja unta terbaik tersebut padanya. Ingatlah sebaik-baik orang adalah yang baik dalam melunasi utangnya.” (HR. Bukhari, no. 2392 dan Muslim, no. 1600).
Semoga Allah menjauhkan kita dari riba dan debu-debunya.
Sumber : https://rumaysho.com/15186-sepakat-ulama-utang-piutang-yang-ada-keuntungan-dihukumi-riba.html