Ciri Wali Allah yang Diungkap Nabi Khidir AS

Syekh Maulana Muhammad Zakariya Al-Kandahlawi Rah.a menceritakan suatu ketika ada seorang wali Abdal bertanya kepada Nabi Khidir a.s. Apakah Nabi Khidir pernah melihat seorang wali yang lebih tinggi martabatnya daripadanya?  

Nabi Khidir menjawab. “Ya, aku pernah melihatnya,” kata Nabi Khidir menjawab pertanyaan sang wali Abdal itu seperti dikisahkan dalam kita Fadhilah Haji.

Nabi Khidir menceritakan bahwa dirinya ketika itu sedang berada di Masjid Nabawi Madinah. Ia melihat seseorang ahli hadist, yakni Imam Abdul Razaq sedang memperdengarkan hadits. 

Banyak sekali orang yang berkumpul untuk mendengarkan hadits yang dibacakannya. Namun di salah satu pojok masjid ia melihat seorang pemuda yang duduk bersandar sambil meletakkan kepalanya di atas lututnya.

Nabi Khidir mendekat dan bertanya kepada pemuda itu. “Apakah engkau tidak melihat bahwa di sini ada suatu kumpulan manusia yang sedang mendengarkan hadits-hadits Rasulullah SAW? Mengapa engkau tidak duduk bersama mereka?”

Tanpa mengangkat kepalanya dan tanpa menoleh kepada Nabi Khidir, pemuda itu berkata. “Mereka adalah orang-orang yang mendengar hadits dari hamba Dzat Yang Memberi rezeki (yaitu makna dari Abdul Razaq). Dan di sini adalah orang yang mendengarkan hadits langsung dari Dzat Yang Memberi rezeki, bukan dari hamba Dzat Yang Pemberi rezeki.”

Lalu Nabi Khidir berkata kepadanya. “Apabila ucapanmu benar, katakanlah siapa aku ini,” katanya.

Pemuda itu menoleh kepada Nabi Khidir dan berkata. “Kalau firasatku benar, engkau adalah Khidir Alaihissalam ” katanya.

Kemudian Nabi Khidir melanjutkan perkataannya dari kejadian itu ia mengetahui bahwa ada sebagian Wali Allah yang karena ketinggian martabatnya sampai-sampai ia (Nabi Khidir) tidak mengenalnya.

IHRAM

Keutamaan Wali Allah Ta’ala

بسم الله الرحمن الرحيم

Dari Abu Hurairah Radhiallahu’anhu bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

إنَّ اللهَ قال : من عادَى لي وليًّا فقد آذنتُه بالحربِ ، وما تقرَّب إليَّ عبدي بشيءٍ أحبَّ إليَّ ممَّا افترضتُ عليه ، وما يزالُ عبدي يتقرَّبُ إليَّ بالنَّوافلِ حتَّى أُحبَّه ، فإذا أحببتُه : كنتُ سمعَه الَّذي يسمَعُ به ، وبصرَه الَّذي يُبصِرُ به ، ويدَه الَّتي يبطِشُ بها ، ورِجلَه الَّتي يمشي بها ، وإن سألني لأُعطينَّه ، ولئن استعاذني لأُعيذنَّه ، وما تردَّدتُ عن شيءٍ أنا فاعلُه ترَدُّدي عن نفسِ المؤمنِ ، يكرهُ الموتَ وأنا أكرهُ مُساءتَه

Sesungguhnya Allah berfirman: “Barangsiapa yang memusuhi wali (kekasih)-Ku maka sungguh Aku telah mengumumkan peperangan kepadanya. Tidaklah hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan suatu (amal shaleh) yang lebih Aku cintai dari pada amal-amal yang Aku wajibkan kepadanya (dalam Islam), dan senantiasa hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan amal-amal tambahan (yang dianjurkan dalam Islam) sehingga Aku-pun mencintainya. Lalu jika Aku telah mencintai seorang hamba-Ku, maka Aku akan selalu membimbingnya dalam pendengarannya, membimbingnya dalam penglihatannya, menuntunnya dalam perbuatan tangannya dan meluruskannya dalam langkah kakinya. Jika dia memohon kepada-Ku maka Aku akan penuhi permohonannya, dan jika dia meminta perlindungan kepada-Ku maka Aku akan berikan perlindungan kepadanya. Tidaklah Aku ragu melakukan sesuatu yang mesti aku lakukan seperti keraguan untuk (mencabut) nyawa seorang yang beriman (kepada-Ku), dia tidak menyukai kematian dan Aku tidak ingin menyakitinya” (HR al-Bukhari 5/2384, no. 6137).

Hadits yang agung ini menunjukkan besarnya keutamaan orang yang menjadi wali Allah Ta’ala (kekasih Allah Ta’ala) yang benar, yaitu orang yang selalu menetapi ketaatan dan ketakwaan kepada Allah Ta’ala dengan melaksanakan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Sebagaimana makna firman-Nya:

{ أَلا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلا هُمْ يَحْزَنُونَ. الَّذِينَ آمَنُوا وَكَانُوا يَتَّقُونَ. لَهُمُ الْبُشْرَى فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الآخِرَةِ، لا تَبْدِيلَ لِكَلِمَاتِ اللَّهِ، ذَلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ}

Ketauhilah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertaqwa (kepada Allah). Bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan di dunia dan (dalam kehidupan) di akhirat. Tidak ada perubahan bagi kalimat-kalimat (janji-janji) Allah. Yang demikian itu adalah kemenangan yang besar” (QS Yuunus: 62-64).

Faidah Hadits

Mutiara hikmah yang dapat kita petik dari hadits ini:

  1. Wali Allah adalah orang yang selalu mendekatkan diri kepada-Nya dengan mengamalkan ketaatan, mengerjakan perintah-Nya, menjauhi larangan-Nya dan memperbanyak amal-amal sunnah, maka Allah membalasnya dengan penjagaan dan pertolongan-Nya1.
  2. Perbedaan antara wali Allah dan wali Setan (musuh Allah Ta’ala) adalah bahwa wali Allah Ta’ala selalu mengerjakan amal shaleh yang mendekatkan diri kepada-Nya, sedangkan wali Setan selalu melakukan perbuatan maksiat dan meninggalkan amal shaleh2. Maka jika ada seorang yang mengaku sebagai wali padahal dia tidak memahami dan mengamalkan amal-amal shaleh yang bersumber dari petunjuk al-Qur-an dan sunnah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, ketahuilah dia itu adalah wali setan dan bukan wali Allah Ta’ala.
  3. Setiap orang yang beriman dan bertakwa kepada Allah adalah wali Allah Ta’ala, sebagaimana yang tersebut dalam ayat di atas, akan tetapi derajat/tingkat kewalian manusia berbeda-beda sesuai dengan tingkat keimanan dan ketakwaan mereka kepada-Nya.
  4. Tingkat/derajat kewaliaan ada dua3:
    1. Derajat as-Sabiqun al-Muqarrabun (orang-orang yang sangat dekat kepada Allah Ta’ala dan selalu bersegera/berlomba dalam kebaikan). Inilah tingkatan yang teringgi, yaitu orang-orang selalu mendekatkan diri kepada-Nya dengan mengerjakan amal-amal shaleh yang wajib dan menjauhi perbuatan-perbuatan yang haram, serta berupaya keras melakukan amal-amal sunnah yang dianjurkan dalam Islam dan meninggalkan perkara-perkara yang makruh (dibenci).
    2. Derajat al-Muqtashidun Ashabul yamin (Golongan kanan yang bersikap sederhana dalam beramal), yaitu orang-orang yang selalu mendekatkan diri kepada-Nya dengan menunaikan dan menyempurnakan amal-amal shaleh yang wajib serta menjauhi perbuatan-perbuatan yang haram.
  5. Wali Allah Ta’ala akan selalu mendapatkan bimbingan dan penjagaan Allah Ta’ala dalam pendengaran, penglihatan dan seluruh perbuatan anggota badannya agar mereka selalu berada di atas keridhaan-Nya dan jauh dari segala keburukan4.
  6. Demikian pula dia memiliki kedudukan istimewa di sisi Allah Ta’ala, yang menjadikannya jika memohon maka Allah Ta’ala akan mengabulkan permohonannya dan jika meminta perlindungan maka Allah Ta’ala akan memberikan perlindungan kepadanya, sehingga dia akan menjadi orang yang selalu dikabulkan doanya karena kemuliaannya di sisi Allah Ta’ala5.

وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين

Kota Kendari, 17 Dzulqa’dah 1434 H

Catatan Kaki

1 Lihat kitab “Faidhul Qadiir” (2/240).

2 Lihat kitab “Jaami’ul ‘uluumi wal hikam” (hal. 519 – Muntaqa nafiis).

3 Lihat kitab “Jaami’ul ‘uluumi wal hikam” (hal. 519-520).

4 Lihat kitab “Jaami’ul ‘uluumi wal hikam” (hal. 519) dan “Faidhul Qadiir” (2/240).

5 Lihat kitab “Jaami’ul ‘uluumi wal hikam” (hal. 525).

Penulis: Ustadz Abdullah bin Taslim Al Buthoni, Lc., M.A.

Artikel Muslim.Or.Id

Bolehkah Seorang Wali Meninggalkan Ajaran Agama?

Ada orang yang beranggapan bahwa sebagian orang yang dianggap wali boleh meninggalkan perkara yang wajib, seperti shalat, atau boleh melakukan hal yang dilarang dalam agama, karena mereka dianggap mengetahui hakikat dari ajaran Islam, atau mereka dianggap mendapat ‘ilham’ dari Allah yang mengizinkan mereka melakukan hal-hal tersebut. Kita, orang-orang biasa, seolah ‘haram’ memprotes perbuatan nyeleneh sang wali karena kita sebagai orang biasa dianggap tidak mengetahui hakikat dibalik perbuatan sang wali tersebut. Bahkan ketika sang ‘wali’ sengaja tidak shalat pun tetap dibela karena dianggap ada ‘ilham’ dari Allah yang mendasari perbuatannya itu. Allahul Musta’an.

Biasanya mereka memberi contoh kasus Nabi Khidir ‘alaihissalam. Nabi Khidir membocorkan perahu dan membunuh seorang anak, yang tentu menurut syariat yang dibawa Nabi Musa ketika itu adalah perbuatan maksiat, namun dibalik perbuatan Nabi Khidir tersebut ternyata beliau diberi ilham oleh Allah untuk melakukannya. Dan ketika Nabi Khidir melakukan perbuatan tersebut, Nabi Musa ‘alaihissalam tidak mengetahui alasan yang mendasari perbuatan ‘maksiat’ tersebut.

Menjelaskan hal ini, Syaikh Abdullah Al Faqih hafizhahullah berkata:

“Khidir adalah seorang Nabi yang diberi wahyu oleh Allah berupa ilmu yang tidak diketahui oleh Nabi Musa ‘alaihissalam. Allah Ta’ala berfirman:

فَوَجَدَا عَبْداً مِنْ عِبَادِنَا آتَيْنَاهُ رَحْمَةً مِنْ عِنْدِنَا وَعَلَّمْنَاهُ مِنْ لَدُنَّا عِلْماً

Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami‘ (QS. Al Kahfi: 65)

Kemudian Nabi Khidir menceritakan alasan-alasan atas hal-hal yang Nabi Musa tidak bersabar dalam menghadapinya dan berkata,

 وَمَا فَعَلْتُهُ عَنْ أَمْرِي

Demikian itu adalah tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya‘ (QS. Al Kahfi: 82)

Syariat Nabi Musa ‘alahissalam ketika itu tidak berlaku untuk seluruh manusia. Tidak sebagaimana syari’at yang dibawa Nabi Muhammad shallallahu’alaihi Wasallam. Sehingga Nabi Khidir diperkenankan untuk tidak mengikuti syari’at Nabi Musa.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata,

إن موسى عليه السلام لم تكن دعوته عامة ولم يكن يجب على الخضر اتباع موسى عليهما السلام، بل قال الخضر لموسى إني على علم من الله علمنيه الله ما لا تعلمه وأنت على علم من الله علمكه الله لا أعلمه

‘Dakwah Musa alaihissalam tidak kepada seluruh manusia, dan Nabi Khidir termasuk yang tidak wajib untuk mengikuti syariat Nabi Musa ‘alaihissalam. Bahkan Nabi Khidir berkata kepada Nabi Musa: ‘Aku melakukan sesuatu berdasarkan ilmu yang diajarkan Allah kepada saya, yang engkau tidak tahu. Dan engkau melakukan sesuatu berdasarkan ilmu yang diajarkan Allah kepadamu, yang aku tidak tahu’  (Majmu’ Fatawa, 27/59).

Wallahu’alam“.

[ Sumber: http://www.islamweb.net/ver2/Fatwa/ShowFatwa.php?lang=A&Id=37719&Option=FatwaId ]

Adapun setelah Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam diutus, seluruh manusia wajib mengikuti syari’at yang beliau bawa, tanpa kecuali. Allah Ta’ala berfirman:

وَما أَرْسَلْناكَ إِلاَّ رَحْمَةً لِلْعالَمِينَ

Kami tidak mengutus engkau, Wahai Muhammad, melainkan sebagai rahmat bagi seluruh manusia” (QS. Al Anbiya: 107)

Sehingga tidak ada ‘wali’ yang halal untuk meninggalkan perkara yang wajib atau melakukan perkara yang haram, ia wajib tunduk kepada ajaran agama. Kita tidak meraguan kewalian Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam, bahkan beliau adalah Khalilullah. Namun sampai beliau wafat, sama sekali beliau tidak melanggar atau meninggalkan syariat yang telah beliau tetapkan dan ajarkan kepada ummatnya.

Selain itu, ajaran Islam sudah sempurna, tidak mungkin ada penambahan, pengurangan atau pengubahan ajaran agama yang dikirimkan oleh Allah melalui ‘ilham’, wangsit, atau mimpi dari salah seorang manusia setelah Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam. Allah Ta’ala berfirman:

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإِسْلاَمَ دِيناً

Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni’mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu” (QS. Al Maidah: 3)

Penulis: Yulian Purnama
Artikel Muslim.Or.Id

Salah Kaprah Mengenai Wali dan Karomah

Tidak sedikit kaum muslimin yang salah paham mengenai definisi wali dan karomah.

Salah Paham Tentang Wali

Banyak orang yang salah memahami mengenai wali. Mereka mengira wali Allah adalah orang-orang yang bisa melakukan perkara-perkara yang ajaib-ajaib. Dari kesalah-pahaman inilah timbul berbagai macam penyimpangan dan kesesatan. Karena orang-orang yang bisa melakukan perkara yang ajaib-ajaib kemudian dikultuskan bahwan disembah.

Wali Terbebas dari Beban Syariat?

Orang-orang awam juga berkeyakinan bahwa wali itu adalah orang yang sudah tidak lagi menjalankan syariat agama, karena sudah mencapai level teratas dalam agama. Jadi mereka orang yang dianggap wali, sudah tidak wajib lagi shalat, tidak wajib puasa, tidak wajib menutup aurat, boleh minum khamr, zina, mencuri, dll. Keyakinan ini jelas batilnya.

Syaikh Muhammad at Tamimi dalam risalah beliau “al Ushul as Sittah” membahas masalah ini, beliau mengatakan:

“Landasan yang kelima: Penjelasan Allah Subhaanahu tentang wali-wali Allah dan perbedaan antara wali Allah dengan pihak-pihak yang menyerupai mereka (wali setan) dari kalangan musuh-musuh Allah kaum munafikin dan kaum fajir (yang banyak berbuat dosa). Cukuplah dalam hal ini ayat dalam surat Ali Imron yaitu firman Allah:

قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ

Katakanlah: Jika kalian mencintai Allah, maka ikutilah aku, niscaya Allah mencintai kalian…(Q.S Ali Imran ayat 31)

Dan ayat dalam surat al-Maidah yaitu firman Allah:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا مَنْ يَرْتَدَّ مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ فَسَوْفَ يَأْتِي اللَّهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ

“Wahai orang-orang yang beriman, barangsiapa yang murtad (keluar dari Islam) di antara kalian, Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka mencintai Allah…” (Q.S al-Maidah ayat 54)

Dan (dua) ayat dalam Surat Yunus:

أَلَا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ  الَّذِينَ آَمَنُوا وَكَانُوا يَتَّقُونَ

“Ingatlah, sesungguhnya para Wali Allah itu tidak ada perasaan takut pada mereka dan merekapun tidak bersedih. Mereka adalah orang yang beriman dan bertaqwa.” (Q.S Yunus ayat 62-63)

Kemudian Allah ta’ala menakdirkan ternyata kebanyakan orang yang mengaku berilmu dan mengaku kalau dia adalah da’i kepada Allah dan penjaga syariat bahwa para wali haruslah orang yang meninggalkan ittiba’ (meneladani Rasul) dan yang mengikuti Rasul bukanlah mereka (wali Allah), Wali Allah haruslah meninggalkan jihad, barangsiapa yang berjihad bukanlah wali Allah. Wali Allah haruslah meninggalkan iman dan taqwa, barangsiapa yang berpegang teguh dengan iman dan taqwa bukanlah Wali Allah. Wahai Tuhan kami, kami memohon kepadaMu pemaafan dan ‘afiyat (kesehatan dan keselamatan), sesungguhnya Engkau Maha Mendengar doa”

[selesai nukilan]

Manusia Paling Mulia Tidak Pernah Meninggalkan Syariat

Padahal manusia yang paling bertaqwa kepada Allah ta’ala, wali yang paling wali, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, tidak pernah meninggalkan syariat bahkan sampai akhir hidupnya. Dari Aisyah radhiallahu ta’ala ‘anha, bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam ketika beliau sakit menjelang wafatnya beliau bersabda:

أَصَلَّى النَّاسُ؟ فَقَالُوْا: لَا هُمْ يَنْتَظِرُونَكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ، قَالَ: ضَعُوا لِي مَاءً فِي الْمِخْضَبِ

“Apakah orang-orang telah melaksanakan shalat?”. Para Sahabat menjawab, “Belum wahai Rasulullah, mereka masih menunggu engkau (untuk menjadi imam)”. Lalu Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Taruhkanlah air untukku pada al-mikhdhab (tempat air)” (HR. Bukhari no.687, Muslim no. 418).

Demikian juga para sahabat Nabi, yang mereka jelas para wali Allah yang mulia, mereka tidak ada yang meninggalkan syariat sampai akhir hayatnya. Lihat bagaimana Umar bin Khathab radhiallahu’anhu ketika sakaratul maut akibat ditusuk oleh Abu Lu’luah, beliau tetap melaksanakan shalat. Dari Musawwar bin Makhramah radhiallahu’anhu:

أنَّه دخَلَ مع ابنِ عبَّاس رَضِيَ اللهُ عَنْهما على عُمرَ رَضِيَ اللهُ عَنْه حين طُعِن، فقال ابنُ عبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهما: (يا أميرَ المؤمنين، الصَّلاةَ! فقال: أجَلْ! إنَّه لا حَظَّ في الإسلامِ لِمَنْ أضاعَ الصَّلاةَ)

“Ia masuk ke rumah Umar bin Khathab bersama Ibnu Abbas radhiallahu’anhuma ketika Umar (pagi harinya) ditusuk (oleh Abu Lu’luah). Maka Ibnu Abbas radhiallahu’anhuma berkata: Wahai Amirul Mukminin, ayo shalat! Umar pun menjawab: betul, tidak ada bagian dalam Islam bagi orang yang menyia-nyiakan shalat” (HR. Malik dalam Al Muwatha, 1/39, dishahihkan Al Albani dalam Irwaul Ghalil, 1/225).

Maka jelaslah kebatilan keyakinan bahwa wali itu adalah orang yang boleh meninggalkan syariat.

Wali Allah adalah Setiap Orang yang Bertaqwa

Allah ta’ala sudah mendefinisikan wali dalam Al Qur’an. Allah ta’ala berfirman:

مَا كَانُوا أَوْلِيَاءَهُ إِنْ أَوْلِيَاؤُهُ إِلَّا الْمُتَّقُونَ وَلَكِنَّ أَكْثَرَهُمْ لَا يَعْلَمُونَ

“dan mereka (kaum Musyrikin) bukanlah wali-wali Allah? Wali-wali Allah hanyalah orang-orang yang bertaqwa. Tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui” (QS. Al Anfal: 34).

At Thabari rahimahullah (wafat 310 H) menuturkan:

يعني: الذين يتقون الله بأداء فرائضه, واجتناب معاصيه

“Wali Allah adalah yang bertaqwa kepada Allah, menjalankan semua kewajiban-Nya, dan meninggalkan semua larangan-Nya” (Tafsir Ath Thabari).

As Sa’di rahimahullah menjelaskan:

وهم الذين آمنوا باللّه ورسوله، وأفردوا اللّه بالتوحيد والعبادة، وأخلصوا له الدين‏

“Wali Allah adalah mereka yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, mereka mentauhidkan Allah dalam ibadah dan mengikhlaskan amalan hanya kepada Allah” (Taisir Karimirrahman).

Maka tidak benar bahwa wali Allah itu adalah orang yang punya khawariqul ‘adah (keajaiban-keajaiban). Bahkan semua orang yang beriman dan bertaqwa adalah wali Allah. Semakin tinggi ketaqwaannya dan pengamalannya terhadap syariat agama, semakin tinggi pula kewaliannya.

Para Ulama Sunnah, Mereka Jelas Wali Allah

Jika anda memahami bahwa semua orang yang beriman dan bertaqwa adalah wali Allah. Dan tingkat kewalian itu sebanding dengan ketaqwaan. Maka para ulama ahlussunah, mereka lah yang paling pantas disebut wali. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

إنَّ اللهَ قال : من عادَى لي وليًّا فقد آذنتُه بالحربِ

“Sesungguhnya Allah berfirman: barangsiapa yang menentang wali-Ku, ia telah menyatakan perang terhadap-Ku” (HR. Bukhari no. 6502).

Oleh karena itu Imam Asy Syafi’i rahimahullah (wafat 204 H) mengatakan:

إن لم يكن الفقهاء العاملون أولياء الله فليس لله ولي

“Jika para fuqaha (ulama) yang mengamalkan ilmu mereka tidak disebut wali Allah, maka Allah tidak punya wali” (diriwayatkan Al Baihaqi dalam Manaqib Asy Syafi’i, dinukil dari Al Mu’lim hal. 21).

Maka para ulama, orang-orang yang mengajarkan agama yang benar, dan juga orang-orang yang belajar agama dan mengamalkannya, merekalah wali-wali Allah yang paling nyata.

Perbedaan Karomah dengan Sihir dan Perdukunan

Syaikh Shalih al Fauzan menjelaskan tentang karomah, “Diantara akidah ahlussunah wal Jama’ah adalah membenarkan adanya karomah wali. Karomah wali adalah perkara khawariqul ‘adah (yang di luar kebiasaan manusia) yang Allah jadikan pada diri sebagian wali-Nya, sebagai pemuliaan bagi mereka. Ini ditetapkan dalam al Qur’an dan as Sunnah. 

Orang-orang Mu’tazilah dan Jahmiyah mengingkari adanya karomah. Mereka mengingkari perkara yang sudah menjadi suatu realita. 

Namun perlu kita ketahui bersama, bahwa di zaman sekarang, banyak orang yang terjerumus dalam kesesatan dalam masalah karomah wali. Mereka ghuluw dalam masalah ini sampai-sampai menganggap sya’wadzah (perdukunan), sihir setan dan dajjal sebagai karomah wali. 

Padahal perbedaannya jelas antara karomah wali dan perdukunan. Karomah dijadikan oleh Allah untuk terjadi pada diri orang yang shalih. Sedangkan sya’wadzah (perdukunan) dilakukan oleh tukang sihir dan orang sesat yang ingin menyesatkan manusia dan meraup harta mereka. Kemudian karomah itu terjadi karena sebab ketaatan dan sya’wadzah terjadi karena kekufuran dan maksiat” (Min Ushuli Aqidah Ahlissunnah, 37-38).

As Sa’di rahimahullah juga menjelaskan:

وشرط كونها كرامة أن يكون من جرت على يده هذه الكرامة مستقيمًا على الإيمان ومتابعة الشريعة ، فإن كان خلاف ذلك فالجاري على يده من الخوارق يكون من الأحوال الشيطانية

“syarat dikatakan karomah adalah ia terjadi pada orang yang lurus imannya dan mengikuti syariat. Jika tidak demikian maka keajaiban yang terjadi padanya adalah dari setan” (Tanbihat Al Lathifah, 107).

Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah menjelaskan:

والكرامة موجودة من قبل الرسول ومن بعد الرسول إلى يوم القيامة ، تكون على يد ولي صالح ، إذا عرفنا أن هذا الرجل الذي جاءت هذه الكرامة على يده هو رجل مستقيم قائم بحق الله وحق العباد عرفنا أنها كرامة . 

وينظر في الرجل فإذا جاءت هذه الكرامة من كاهن – يعني : من رجل غير مستقيم – عرفنا أنها من الشياطين ، والشياطين تعين بني آدم لأغراضها أحياناً

“Karomah sudah ada sebelum diutusnya Rasulullah dan tetap ada sepeninggal beliau hingga hari kiamat. Karomah terjadi pada seorang wali yang shalih. Jika orang yang terjadi karomah pada dirinya kita ketahui ia adalah orang yang lurus agamanya, menjalankan hak-hak Allah, dan menjalankan hak-hak hamba, maka kita ketahui itu adalah karomah.

Dan kita lihat seksama pada orang tersebut, jika karomah tersebut terjadi pada seorang dukun, yaitu orang yang tidak lurus agamanya, maka kita ketahui ia adalah dari setan. Setan terkadang membantu manusia untuk melancarkan tujuan-tujuan setan” (Liqa Baabil Maftuh, 8/8).

Karomah yang Paling Sakti

Orang sering mengidentikkan karomah wali dengan kesaktian-kesaktian dan berbagai keajaiban. Namun tahukah anda apa karomah wali yang paling “sakti” menurut para ulama?

Ibnu Abil ‘Izz Al Hanafi rahimahullah (wafat 792 H) mengatakan:

في الحقيقة إنما الكرامة لزوم الاستقامة ، وأن الله تعالى لم يكرم عبدا بكرامة أعظم من موافقته فيما يحبه ويرضاه وهو طاعته وطاعة رسوله

“Karomah yang sebenar-benarnya adalah seseorang tetap bisa istiqomah. Allah Ta’ala tidak memuliakan seorang hamba dengan suatu karomah yang paling besar kecuali dengan memberinya taufiq untuk tetap melaksanakan apa-apa yang Allah cintai dan ridhai, yaitu taat kepada Allah dan kepada Rasul-Nya” (Syarah Aqidah Thahawiyah, 2/ 748).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan:

وانما غاية الكرامة لزوم الاستقامة، فلم يكرم الله عبدا بمثل أن يعينه على ما يحبه ويرضاه، ويزيده مما يقربه اليه ويرفع به درجته

“Sesungguhnya karomah yang paling ‘sakti’ adalah seseorang tetap bisa istiqomah. Allah tidak memuliakan seorang hamba dengan kemuliaan yang lebih besar ketimbang ia diberi pertolongan untuk tetap bisa melakukan apa-apa yang Allah cintai dan ridhai, dan menambah apa-apa yang bisa mendekatkan dirinya kepada Allah dan mengangkat derajatnya di hadapan Allah” (Al Furqan baina Auliya-ir Rahman wa Auliya-isy Syaithan, 1/187).

Maka karomah yang paling sakti bukanlah hal-hal ajaib seperti bisa terbang, bisa jalan di atas air, bisa mengubah daun jadi uang, dan semisalnya. Karomah paling sakti adalah seseorang menghabiskan hari-harinya dalam keadaan bisa istiqamah di atas ketaatan dan tidak bermaksiat. Sungguh ini sangat sulit kita dapati pada diri-diri kita, dan andai ada orang yang bisa demikian, dialah wali Allah yang sejati.

Semoga Allah ta’ala menjadikan kita semua sebagai wali-wali-Nya.

Penulis: Yulian Purnama

Artikel: Muslim.or.id