Nabi Lebih Mulia daripada Wali

Keutamaan para Nabi Dibandingkan Seluruh Manusia

Telah diketahui secara pasti tentang keutamaan para nabi dibandingkan seluruh manusia. Oleh karena itu, Allah Ta’ala memilih mereka untuk menyampaikan risalah kepada umatnya. Allah Ta’ala berfirman,

وَإِذَا جَاءتْهُمْ آيَةٌ قَالُواْ لَن نُّؤْمِنَ حَتَّى نُؤْتَى مِثْلَ مَا أُوتِيَ رُسُلُ اللّهِ اللّهُ أَعْلَمُ حَيْثُ يَجْعَلُ رِسَالَتَهُ

Apabila suatu datang kepada mereka, mereka berkata, ‘Kami tidak akan beriman sehingga diberikan kepada kami yang serupa dengan apa yang telah diberikan kepada utusan-utusan Allah.’ Allah lebih mengetahui di mana Dia menempatkan tugas kerasulan.” (QS. Al-An’am: 124)

Ath-Thabari rahimahullah berkata ketika menjelaskan ayat ini,

“Aku (Allah) mengetahui kepada siapa tugas kerasulan diberikan, siapa manusia yang terpilih untuk (mendapatkan) tugas tersebut. Maka kalian wahai orang-orang musyrik, tidak bisa mencari-cari cara (mengusahakan) agar kalian menjadi seorang nabi (rasul). Karena pemilihan manusia yang menjadi rasul itu adalah hak yang mengutus (yaitu Allah, pent.), bukan hak orang yang diutus. Dan Allah ketika memberikan risalah itu lebih mengetahui kepada siapa tugas itu diberikan.” (Tafsir Ath-Thabari, 12: 96)

Dari penjelasan Ath-Thabari rahimahullah di atas, kita bisa mengetahui bahwa kerasulan itu adalah murni anugerah dari Allah Ta’ala. Bukan hasil usaha manusia, di mana ada metode atau cara tertentu yang bisa ditempuh atau diusahakan agar bisa diangkat menjadi rasul.

Allah Ta’ala juga mengatakan setelah menyebutkan sejumlah nabi,

وَإِسْمَاعِيلَ وَالْيَسَعَ وَيُونُسَ وَلُوطاً وَكُلاًّ فضَّلْنَا عَلَى الْعَالَمِينَ

Dan Ismail, Alyasa’, Yunus, dan Luth. Masing-masing Kami lebihkan derajatnya di atas umat (di masanya).” (QS. Al-An’am: 86)

Wali Lebih Mulia daripada Nabi?

Sebagian orang memiliki keyakinan bahwa wali atau derajat kewalian itu lebih mulia daripada nabi atau derajat kenabian. Bagaimana mungkin keyakinan ini bisa dibenarkan, sementara seseorang itu tidaklah mungkin menjadi wali kecuali dengan mengikuti ajaran rasul?! Sehingga, bagaimana mungkin wali lebih mulia daripada nabi?!

Sebetulnya masalah ini sudah sangat jelas, tidak memerlukan penjelasan detail dan terperinci. Akan tetapi sayangnya, umat Islam mendapatkan musibah dengan adanya kelompok tertentu yang mengatakan bahwa derajat kewalian itu lebih utama atau lebih mulia daripada derajat kenabian.

Para ulama sendiri telah sepakat (ijma’) bahwa derajat nabi itu lebih mulia daripada derajat wali. Ibnu Hazm rahimahullah berkata,

“Tidak ada perselisihan di antara kaum muslimin bahwa para nabi itu lebih tinggi kedudukan dan derajat, lebih memiliki keutamaan, dan lebih mulia dibandingkan dengan selain mereka (selain para nabi, pent.). Siapa saja yang menyelisihi kesepakatan ini, berarti dia bukan muslim.” (Al-Muhalla, 1: 45)

Abu Ja’far Ath-Thahawi rahimahullah berkata, “Kami tidak melebihkan keutamaan seorang wali pun dibandingkan dengan keutamaan Nabi ‘alaihis salaam. Kami katakan, ‘Seorang nabi itu lebih utama daripada seluruh wali.’” (Al-‘Aqidah Ath-Thahawiyyah, hal. 83)

Abul ‘Abbas Al-Qurthubi rahimahullah berkata, “Nabi itu lebih utama daripada wali. Ini adalah perkara yang bisa dipastikan (kebenarannya), baik secara akal maupun naql (dalil). Yang berpendapat berkebalikan dari ini adalah kafir. Karena ini adalah perkara agama yang bisa diketahui secara pasti.” (Al-Mufhim, 6: 217)

Abu ‘Abdillah Al-Qurthubi rahimahullah berkata, “Nabi itu lebih utama daripada wali.” (Tafsir Al-Qurthubi, 11: 17)

Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah berkata dalam konteks menjelaskan kenabian Khidhr, “Hendaknya meyakini Khidhr ini sebagai seorang nabi. Hal ini untuk menutup pintu klaim orang yang menyimpang (ahlul bathil) yang mengklaim, ‘Wali itu lebih utama daripada nabi.’” (Fathul Baari, 1: 220)

Asal-Usul Keyakinan Wali Lebih Utama daripada Nabi

Adapun kaum sufi yang ekstrim, mereka berkeyakinan bahwa wali itu lebih mulia daripada nabi. Kedudukan kenabian itu sedikit di atas kerasulan, namun di bawah kewalian. Sehingga derajat wali itu lebih tinggi daripada derajat nabi.

Mereka yang mengklaim bahwa kewalian itu lebih utama daripada kenabian, mereka membuat syubhat (kerancuan berpikir) di tengah-tengah masyarakat dengan mengatakan, “Kewalian Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam itu lebih utama daripada (status) kenabian beliau.” Kemudian mengatakan, “Kita bersekutu dengan beliau dalam status kewalian, yang itu lebih tinggi dari kerasulan.”

Tentu saja ini adalah kesesatan. Karena kewalian Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam tidak bisa disamai oleh satu pun manusia, para nabi sekalipun. Lebih-lebih disamai oleh manusia yang bukan nabi, apalagi seperti orang-orang sufi ekstrim ini.

Dan asal usul keyakinan ini adalah anggapan mereka bahwa wali itu mengambil ilmu langsung dari akal tanpa perantara. Wali mendapatkan ilmu (wahyu) langsung dari Allah tanpa perantara. Sedangkan nabi mendapatkan ilmu (wahyu) melalui perantara malaikat.  Sehingga mereka berkeyakinan bahwa wali itu lebih mulia daripada nabi. Tentu saja, keyakinan ini adalah di antara penyimpangan yang nyata.

Semoga Allah Ta’ala melindungi kaum muslimin dari aqidah yang menyimpang semacam ini.

[Selesai]

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

 Artikel: www.muslim.or.id

Catatan kaki:

Disarikan dari kitab Al-Mabaahits Al-‘Aqdiyyah Al-Muta’alliqah bil Imaan bir Rusul karya Ahmad bin Muhammad bin Ash-Shadiq An-Najarhal. 97-100. Kutipan-kutipan dalam artikel di atas adalah melalui perantaraan kitab tersebut.

Sumber: https://muslim.or.id/69481-nabi-lebih-mulia-daripada-wali.html

Ciri Wali Allah yang Diungkap Nabi Khidir AS

Syekh Maulana Muhammad Zakariya Al-Kandahlawi Rah.a menceritakan suatu ketika ada seorang wali Abdal bertanya kepada Nabi Khidir a.s. Apakah Nabi Khidir pernah melihat seorang wali yang lebih tinggi martabatnya daripadanya?  

Nabi Khidir menjawab. “Ya, aku pernah melihatnya,” kata Nabi Khidir menjawab pertanyaan sang wali Abdal itu seperti dikisahkan dalam kita Fadhilah Haji.

Nabi Khidir menceritakan bahwa dirinya ketika itu sedang berada di Masjid Nabawi Madinah. Ia melihat seseorang ahli hadist, yakni Imam Abdul Razaq sedang memperdengarkan hadits. 

Banyak sekali orang yang berkumpul untuk mendengarkan hadits yang dibacakannya. Namun di salah satu pojok masjid ia melihat seorang pemuda yang duduk bersandar sambil meletakkan kepalanya di atas lututnya.

Nabi Khidir mendekat dan bertanya kepada pemuda itu. “Apakah engkau tidak melihat bahwa di sini ada suatu kumpulan manusia yang sedang mendengarkan hadits-hadits Rasulullah SAW? Mengapa engkau tidak duduk bersama mereka?”

Tanpa mengangkat kepalanya dan tanpa menoleh kepada Nabi Khidir, pemuda itu berkata. “Mereka adalah orang-orang yang mendengar hadits dari hamba Dzat Yang Memberi rezeki (yaitu makna dari Abdul Razaq). Dan di sini adalah orang yang mendengarkan hadits langsung dari Dzat Yang Memberi rezeki, bukan dari hamba Dzat Yang Pemberi rezeki.”

Lalu Nabi Khidir berkata kepadanya. “Apabila ucapanmu benar, katakanlah siapa aku ini,” katanya.

Pemuda itu menoleh kepada Nabi Khidir dan berkata. “Kalau firasatku benar, engkau adalah Khidir Alaihissalam ” katanya.

Kemudian Nabi Khidir melanjutkan perkataannya dari kejadian itu ia mengetahui bahwa ada sebagian Wali Allah yang karena ketinggian martabatnya sampai-sampai ia (Nabi Khidir) tidak mengenalnya.

IHRAM