Hadis yang merupakan sumber kedua bagi kehidupan beragama kaum Muslimin, menjadi hal yang banyak disoroti bagi Sarjana-Sarjana hadis tak terkecuali untuk meneliti keotentisitasannya. Sarjana Barat saja, tak terhitung berapa banyak Sarjana Barat abad ke-19 yang tertarik pada kajian ini. Nabia Abbott misalnya, dengan keahlian filologinya menghasilkan kesimpulan yang terkait al-Qur’an dan Hadis. Senada dengan Abbott, Fuad Sezgin juga serupa. Ia mengemukakan penemuannya hingga menjadikannya terbilang sebagai tokoh yang non-skeptis terhadap keotentikan hadis.
Pada abad ke-21 saat ini, hadis masih tidak luput dari perkara tersebut. Maraknya kasus-kasus yang semakin beragam, seperti politik, agama, sosial, budaya dan lain sebagainya, hadis masuk pada ranah-ranah tersebut tanpa diperhatikan keotentisitasannya dan dijadikan satu-satunya kambing hitam (dalil) untuk memuaskan opiniopini audience-nya.
Contoh hadis yang dijadikan dalil ialah hadis tentang terbelenggunya setan pada bulan Ramadan. Hadis ini dijadikan dalil terkait bulan Ramadan di mana, hal ini menunjukkan keunikan tersendiri pada bulan Ramadan. Dinilai unik, karena merujuk pada hadis tersebut didapat informasi bahwa pada saat tiba bulan Ramdhan, pintu-pintu surga dibuka dan pintu-pintu neraka ditutup. Dan yang paling penting adalah informasi mengenai terbelunggunya setan pada bulan tersebut. Tulisan ini bertujuan untuk meninjau ulang kualitas dan kuantitas hadis tersebut serta mengeksplorasi pemahaman hadis tersebut pada konteks saat ini.
Takhrij Hadis Tentang Terbelenggunya Setan Pada Bulan Ramadan
Dalam penelitian suatu hadis, ada beberapa langkah metodologis yang menjadi tolak ukur penelitian hadis itu sendiri, yaitu pertama-tama redaksi hadis yang telah ditentukan harus di-takhrij sebagai pintu utama penelitian. Setelah itu, hasil dari takhrij diinventarisasi untuk melakukan i’tibar sanad hadis. Barulah setelah itu melakukan kritik sanad dan matan. Terakhir analisis terhadap pemahaman hadis secara lebih luas terkait tekstual dan kontekstual hadis tersebut. Takhrij Hadis Hadis yang akan di-takhrij ialah hadis tentang terbelenggunya setan pada bulan Ramadan dengan redaksi sebagai berikut:
إذا كان رمضان فتحت أبواب الرحمة و غلقت أبواب جهنم و سلسلت الشياطين
Artinya: “Jika datang bulan Ramadan terbukalah pintu-pintu rahmat, tertutuplah pintu-pintu neraka dan setan-setan dibelenggu.”
Setelah dilakukan kegiatan takhrij hadis, hadis di atas bersumber dari: Al-Bukhari, kitab al-shaum, no. 1.766 dan kitab bad’ al-khalq, no. 3.035. Muslim, kitab al-shiyam, no. 1.793 dan 1.794. Nasai, kitab al-shiyam, no. 2.070, 2.071, 2.072, 2.073, 2.074, 2.075, 2.077 dan 2.078. Ahmad, kitab baqi’ musnad al-muktsirin, no. 7.450, 7.451, 8.330, 8.559 dan 8.837. Malik, kitab al-shiyam, no. 604. Al-Darimi, kitab al-shaum, no. 1710.
Kandungan Matan Hadis
Setan dalam al-Qur’an dengan redaksi syaithan ditemukan di 56 ayat al-Qur’an, sedangkan dengan redaksi syayathin ditemukan sebanyak 12 ayat. Namun, secara eksplisit di dalam ayat al-Qur’an tidak ditemukan adanya informasi tambahan mengenai pembelengguan setan pada bulan Ramadan. Beberapa ayat menceritakan penggodaan setan terhadapmanusia, perbuatan-perbuatan yang mencerminkan perbuatan buruk setan dan lain sebagainya.
Begitu pula dalam hadis-hadis yang di luar tema hadis ini. Tidak terdapat hadis-hadis lain yang bertentangan dengan hadis tersebut. Juga tidak ditemukan adanya data-data sejarah yang menginformasikan hal ini. Dengan demikian, matan hadis yang diteliti berkualitas maqbul. Pemahaman Hadis Menurut Nurun Najwah dalam memahami hadis Nabi, ada tiga tahapan yang ditawarkan oleh Fazlur Rahman, yaitu pemahaman terhadap makna teks, pemahaman terhadap konteks historis dan berdasarkan petunjuk al-Qur’an untuk dapat menangkap ide moral yang dituju.
Pada kitab-kitab syarah diakumulasi bahwa matan hadis ini hanya dapat dipahami secara majazi. Al-Baji dalam al-Muntaqa menyebutkan, apa yang dimaksud dengan futtihat abwab al-rahmah ialah dalam bulan Ramadan pahala bagi orang-orang yang mengerjakan puasa dilipatgandakan dan perkerjaan apapun (kebaikan) dapat membawa seseorang kepada surga.
Adapun maksud dari gulliqat abwab jahannam ialah adanya percikan berkah dari bulan Ramadan itu sendiri. Berkah yang dimaksud ialah banyaknya ampunan Tuhan, pengampunan dosa dan banyak melakukan kebaikan-kebaikan. Sedangkan makna dari sulsilat al-syayathin ada dua pemaknaan, yaitu setan yang dibelenggu dalam arti yang sebenarnya dan setan yang seperti terbelenggu. Hal ini karena pada saat datangnya bulan Ramadan, usaha yang dilakukan oleh setan untuk menggoda orang-orang yang bertakwa tidak berpengaruh.
Al-Nawawi mengatakan hadis tersebut secara umum dapat dipahami dengan makna asli dan dapat dipahami dengan konteks yang berbeda, seperti dengan datangnya bulan Ramadan, adanya keharusan untuk menghormati bulan Ramadan. Selain itu, dengan kesakralan bulan Ramadan maka pada bulan tersebut mudahnya mendapat pahala dan ampunan. Di sisi lain, ada pemahaman lain bahwa terlihat sedikitnya gangguan dan godaan dari setan-setan, seolaholah setan-setan pengganggu tersebut dibelenggu.
Demikian pula dengan Ibn Hajar, yang lebih mengakumulasi pendapat-pendapat dari Ulama-ulama lain. Ibn Hajar menambahkan bahwa terbukanya pintu langit merupakan indikasi adanya diturunkannya rahmat dari langit, baik berupa taufiq (petunjuk) maupun terkabulnya doa-doa yang baik-baik. Sedangkan pada gulliqat abwab mengindikasikan keharusan seorang yang berpuasa pada bulan Ramadan untuk mengindari dari perbuatanperbuatan yang buruk.
Adapun alasan terbelenggunya setan, dikonfirmasi oleh al-Baji bahwa hal itu karena kebiasaan setan yang mencuri berita dari langit. Nampak sedikit rancu pada konklusi ini. Pada QS. Al-Jinn, kita dikonfirmasi oleh al-Qur’an bahwa ada informasi mengenai pencurian berita langit oleh jin. Sayyid Quthb dalam tafsirnya mengungkapkan bahwa dalam al-Qur’an sendiri memang telah dikonfirmasi mengenai kebiasaan setan (setan dari kalangan jin) sebagaimana disebutkan di atas, setan yang dimaksud adalah jin yang memiliki sifat negatif. Salah satu sifat buruknya ialah mencuri berita dari langit dan membisikkan berita tersebut kepada paranormal dan dukun-dukun.
Akan tetapi, informasi yang diberikan al-Qur’an ialah ketika para jin/setan mencoba mencuri berita-berita dari langit, mereka dihadang dengan penjagaan kuat dan panah-panah api. Hal ini tentu berbeda dengan konteks hadis yang jika dipahami secara hakiki dibelenggu pada bulan Ramadan karena mendengar berita dari langit. Konteks kalimat yang digunakan dalam al-Qur’an ialah shigah fi’il mudhari’, hal ini menunjukkan adanya kesinambungan kejadian tersebut hingga seterusnya. Padahal peristiwa ini telah terjadi pada masa Nabi.
Menurut hemat penulis, hadis di atas lebih cocok jika dipahami secara majazi. Kandungan hadis tentang terbelenggunya setan pada bulan Ramadan merupakan kalimat pendukung untuk kandungan yang lebih umum, yaitu adanya keutamaan bulan Ramadanyang dapat dianalogikan sebagai bulan yang mulia. Kemuliaan bulan Ramadan tersebut diumpamakan dengan dibukanya pintu surga dan ditutupnya pintu neraka serta dibelenggunya setan.